Download this Blogger Template by Clicking Here!

PROFIL

https://web.facebook.com/irwan.a.lovers

Senin, 04 Mei 2015

Widgets

ASPEK KEWAHYUAN HADITS





I.                   PENDAHULUAN
Puji syukur kepada Allah SWT yang telah banyak mencurahkan rahmat serta kasih sayangnya kepada kita, sehingga Islam masih menjadi pondasi yang kokoh dalam diri pribadi manusia. Shalawat serta salam kita sampaikan kepada nabi Muhammad SAW juga beserta para sahabatnya yang istiqomah memperjuangkan Islam.
Agama Islam mempunyai peraturan yang telah tertulis di dalam al-Qur’an. Al-Qur’an merupakan sumber hukum Islam yang pertama. Al-Qur’an bukanlah suatu undang-undang dalam pengertian modern yang menggunakan format dan ibarat tertentu yang mudah dipahami dan diterapkan. Al-Qur’an adalah sumber hidayah yang didalamnya terkandung norma dan kaidah-kaidah yang diformulasikan dalam bentuk peraturan. Tujuan diturunkannya al-Qur’an adalah untuk meletakkan suatu pandangan hidup yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan penciptanya. Keterangan diatas menunjukkan bahwa Al-qur’an menjadi sumber dari segala hukum dan seluruh sistem hukum yang ada mesti berpangkal dari al-Qur’an, penggunaan sumber lain harus sesuai dengan petunjuk al-Qur’an dan tidak berbuat hal-hal yang bertentangan dengan al-Qur’an.
Pada prinsipnya peraturan dan undang-undang yang terkandung didalamnya adalah masih bersifat umum, tidak memberikan perincian sehingga masih sulit untuk dipahami secara langsung.  Oleh karena itu Allah swt. mengutus Rasulullah saw. untuk memberikan penjelasan terhadap ayat-ayat tersebut. Firman Allah swt.
!$uZø9tRr&ur y7øs9Î) tò2Ïe%!$# tûÎiüt7çFÏ9 Ĩ$¨Z=Ï9 $tB tAÌhçR öNÍköŽs9Î) öNßg¯=yès9ur šcr㍩3xÿtGtƒ
Artinya : … dan kami turunkan kepadamu al-Quran, agar kamu   menerangkan kepada manusia apa-apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.  (Q.S. an-Nahl: 44)[1]

          Sunnah sebagai sumber hukum kedua setelah al-Qur’an, dalam semua mazhab diakui merupakan pembahasan yang sangat luas dan berkepanjangan, mencakup aspek-aspek kehujjahan, ketetapan, syarat-syarat penerimaan, dilalah, bagian-bagiannya dan lain-lain yang tidak lagi menjadi rahasia bagi orang-orang yang mengkajinya, baik dari mazhab Dawud  dan Ibn Hazm al-Zahiri yang sama-sama mengingkari penggunaan qiyas dan ta’lil, hingga mazhab Abu Hanifah dan kawan-kawannya yang dikenal dengan mazhab Ra’yu dalam sejarah fiqh Islam.[2]
           Sebagian besar ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an adalah dalam bentuk garis besar yang secara amaliah belum dapat dilaksanakan tanpa penjelasan dari sunnah. Dengan demikian fungsi sunnah yang utama adalah untuk menjelaskan al-Qur’an  hal ini telah sesuai dengan penjelasan Allah dalam surat an-Nahl ayat 64 :
!$tBur $uZø9tRr& y7øn=tã |=»tGÅ3ø9$# žwÎ) tûÎiüt7çFÏ9 ÞOçlm; Ï%©!$# (#qàÿn=tG÷z$# ÏmŠÏù   Yèdur ZpuH÷quur 5Qöqs)Ïj9 šcqãZÏB÷sムÇÏÍÈ
Artinya :Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.[3]

II.                PENGERTIAN HADITS DAN SUNNAH DAN HADITS QUDSI.
1.                  Pengertian hadits
A.                Menurut bahasa (Etimologi)
Hadits menurut bahasa mempunyai beberapa arti :
a.  Jadid, lawan qadim = yang baru. Jama’nya : hidats, hudatsa dan  huduts.
b.  Qarib = yang dekat, yang belum lama lagi terjadi, seperti dalam perkataan “haditsul ahdi bil Islam” =orang yang baru memeluk agama Islam. Jama’nya hidats, hudatsa dan huduts.
c.   Khabar = warta, yakni : “ ma yutahaddatsu bihi wa yunqolu” = sesuatu yang dipindahkan dari seseorang kepada seseorang. [4]
        Kemudian dari itu sebagian ulama berkata : lafadz “ahadits” bukan jama’ dari hadits yang bermakna khabar, tetapi isim jama’ baginya. Mufrad ahadits yang sebenarnya adalah: uhdutsah, yang bermakna “ sesuatu berita yang diperkatakan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain”.
Allah pun memakai kata “ hadits” dengan pengertian khabar dalam firman-Nya :
(#qè?ù'uù=sù ;]ƒÏpt¿2 ÿ¾Ï&Î#÷WÏiB bÎ) (#qçR%x. šúüÏ%Ï»|¹ ÇÌÍÈ
Artinya : “Maka hendaklah mereka mendatangkan suatu khabar  yang semisal Al- Quran itu  jika mereka orang-orang yang benar” [5]

B.                Menurut istilah ahli hadits.
           Pengertian Hadits menurut ahli hadits adalah Segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi baik berupa perkataan, perbuatan atau pernyataan sifat-sifat dan sebagainya.
1. Hadits Qouliyah yaitu hadits yang berupa perkataan Rasulullah  biasanya dimulai dengan kata-kata “saya mendengar Rasulullah bersabda(قال رسول الله).
2.   Hadits Fi’liyah yaitu hadits yang merupakan perbuatan Rasulullah biasanya dimulai dengan kata “saya melihat” (رئيت رسول الله) dan kebanyakan berkaitan dengan praktek ibadah untuk memberikan contoh yang benar.
3.   Hadits Taqririyah yaitu hadits yang merupakan tanda persetujuan atau penolakan dari Rasulullah. [6]
            Menurut sebagian ulama, bahwa hadits mempunyai pengertian yang sama dengan khabar, sedangkan yang lain mengatakan bahwa terdapat perbedaan pengertian antara hadits dengan khabar. Hadits adalah sesuatu yang dinukil dari Nabi sehingga mereka yang ahli hadits disebut dengan Muhaditsin, sedangkan khabar adalah sesuatu yang dinukil dari selain Nabi dan  mereka yang ahli khabar disebut sebagai ahli sejarah.
2.                  Pengertian sunnah
Para ulama berbeda-beda dalam mendefinisikan sunnah, sesuai dengan disiplin ilmu dan bidang garapannya masing-masing. Ulama hadits, karena melihat Nabi sebagai figur pemimpin yang sikap dan pebuatannya sangat ideal untuk menjadi suri tauladan, mendefinisikan sunnah dengan: segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi, baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan, sifat maupun sirah, sebelum bi’tsah atau sesudahnya. Adapun menurut Ulama ushul, yang melihat sunah sebagai landasan hukum di samping al-Qur’an, mendefinisikannya dengan: perkataan, perbuatan dan taqrir Nabi yang dapat dijadikan sandaran hukum. Sedangkan menurt Ahli fikih, sunnah adalah: setiap informasi mengenai Nabi yang tidak menyangkut beban fardhu atau wajib.
Kata Sunnah oleh sebagian ulama -semisal Imam Abu Ishaq al-Syathibiy- juga digunakan untuk perbuatan sahabat. Misalnya, sunnah sahabat dalam pengkodifikasian al-Qur’an, penambahan adzan dalam sholat Jumat, dan lain-lain.
Ulama hadits menyamakan pengertian hadits dengan sunnah. Namun terkadang istilah hadits dimaksudkan untuk: perkataan, perbuatan dan taqrir Nabi SAW. Karenanya istilah sunnah lebih umum daripada hadits. Adapun menurut Ulama ushul, hadits adalah sunnah qauliyyah saja. [7]
Kesulitan mengidentikkan antara hadits dan sunnah maka perlulah kita tentukan garis perbedaan yang tegas. Hadits, ialah : segala peristiwa yang disandarkan kepada Nabi, walaupun sekali saja terjadi dalam sepanjang hidupnya, dan walaupun hanya diriwayatkan oleh seorang perawi saja. Sedangkan sunnah ialah : “Cara Rasulullah melaksanakan sesuatu ibadah yang dinukilkan kepada kita dengan amaliah yang mutawatir pula” Nabi melaksanakannya bersama para sahabat, kemudian para sahabat melaksanakannya. Kemudian diteruskan pula oleh para tabi’in. Walaupun lafadz penukilannya terkaadang tidak mutawatir akan tetapi dalam segi amaliah mutawatir adanya. Pelaksanaaan yang mutawatir inilah yang dimaksudkan dengan sunnah. [8]
3.                  Pengertian hadits qudsi
Hadits qudsi ialah : “Perakataan-perkataan yang disabdakan oleh Nabi SAW  dengan mengatakan : “ Allah Berfirman......... Nabi menyandarkan perkataan itu kepada Allah. Beliau meriwayatkan dari Allah SWT.
Sebagian ulama berkata : “ Al- qur’an adalah lafadznya tidak seorangpun ahli balaghah mampu membuatnya dan diturunkan oleh Allah dengan perantaran Jibril, sedangkan hadits qudsi tidak demikian ia bukan merupakan mukjizat Nabi dan diturunkan tidak melalui perantaraan malaikat Jibril.
Bagaimanapun perbedaan pendapat tentang hadits qudsi tersebut, hadits qudsi adalah merupakan perbendaharaan agama yang mulia dan agung, yang didalamnya terdapat bimbingan, tuntunan, pedoman serta petunjuk yang dijamin kebenarannya olh Allah SWT dalam Al-qur’an :
$tBur ß,ÏÜZtƒ Ç`tã #uqolù;$# ÇÌÈ   ÷bÎ) uqèd žwÎ) ÖÓórur 4ÓyrqムÇÍÈ
Artinya : “Dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). [9]
III.             PENGERTIAN WAHYU DAN MACAM-MACAMNYA
A.                Pengertian wahyu.
Wahyu menurut bahasa adalah isyarat yang cepat dengan tangan dan sesuatu isyarat yang diklakukan juga bukan dengan tangan. Juga bermakna surat, tulisan, sebagaimana bermakna pula yang kita sebut kepaada orang lain untuk diketahuinya. Sebagaimana dipergunakan juga untuk lafadz Al qur’an. Atau dengan kata lain, wahyu dalam hal ini adalah pengetahuan-pengetahuan yang Allah tuangkan kedalam jiwa nabi, dan kehendaki agar disampaikan kepada manusia untuk menunjukkan manusia agar hidup bahagia dunia dan akhirat.
Muhammad Syahrur menjelaskan bahwa format wahyu disajikan dalam proses komunikasi verbal  antara Allah dengan malaikat hingga pesan tersebut sampai kepada nabi Muhammad merupakan bentuk redaksi linguistik melalui media fonetik (suara) al-dzikr, bukan melalui media tekstual (khathiyah) [10]
B.                Macam-macam wahyu.
1.                  Taklimullah (Allah SWT berbicara langsung) kepada Nabi- Nya dari belakang hijab. Yaitu Allah SWT menyampaikan apa yang hendak Dia sampaikan, baik dalam keadaan terjaga maupun dalam keadaan tidur.
Sebagai contoh dalam keadaan terjaga, yaitu seperti ketika Allah SWT berbicara langsung dengan Nabi Musa AS. Allah berfirman
4 zN¯=x.ur ª!$# 4ÓyqãB $VJŠÎ=ò6s? ÇÊÏÍÈ
Artinya : ..dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung. [11]
2. Melalui perantaraan Malaikat Jibril, dengan cara :
a . Malaikat Jibril menampakkan diri dalam wujud aslinya. Cara seperti ini sangat jarang terjadi, dan hanya terjadi dua kali. Pertama, saat Malaikat Jibril mendatangi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam setelah masa vakum dari wahyu, yaitu setelah Surat al 'Alaq diturunkan, lalu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak menerima wahyu beberapa saat. Masa ini disebut masa fatrah, artinya kevakuman. Kedua, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melihat Malaikat Jibril dalam wujud aslinya, yaitu saat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dimi'rajkan.
b. Malaikat Jibril Alaihissallam terkadang datang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam wujud seorang lelaki. Biasanya dalam wujud seorang lelaki yang bernama Dihyah al Kalbiy. Dia adalah seorang sahabat yang tampan rupawan. Atau terkadang dalam wujud seorang lelaki yang sama sekali tidak dikenal oleh para sahabat. Dalam penyampaian wahyu seperti ini, semua sahabat yang hadir dapat melihatnya dan mendengar perkataannya, akan tetapi mereka tidak mengetahui hakikat permasalahan ini. Sebagaimana diceritakan dalam hadits Jibril yang masyhur, yaitu berisi pertanyaan tentang iman, Islam dan ihsan.
c . Malaikat Jibril mendatangi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, namun ia tidak terlihat. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengetahui kedatangan Malaikat Jibril dengan suara yang mengirinya. Terkadang seperti suara lonceng, dan terkadang seperti dengung lebah. Inilah yang terberat bagi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sehingga dilukiskan saat menerima wahyu seperti ini, wajah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berubah. Meski pada cuaca yang sangat dingin, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bermandikan keringat, dan pada saat itu bobot fisik Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berubah secara mendadak[12]
3. Melalui bisikkan yang dimasukkan  ke dalam kalbu.
yaitu Allah Azza wa Jalla atau Malaikat Jibril meletakkan wahyu        yang hendak disampaikan ke dalam kalbu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam disertai pemberitahuan bahwa, ini merupakan dari Allah SWT.
4. Dalam bentuk ilham.
Yaitu Allah memberikan ilmu kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, saat beliau berijtihad pada suatu masalah.
5. Melalui mimpi.
Yaitu Allah Azza wa Jalla terkadang memberikan wahyu kepada para nabi- Nya dengan perantaraan mimpi. Sebagai contoh, yaitu wahyu yang diturunkan kepada Nabi Ibrahim Alaihissalllam agar menyembelih anaknya. Peristiwa ini diceritakan oleh Allah SWT di dalam Al- qur’an :
$¬Hs>sù x÷n=t/ çmyètB zÓ÷ë¡¡9$# tA$s% ¢Óo_ç6»tƒ þÎoTÎ) 3ur& Îû ÏQ$uZyJø9$# þÎoTr& y7çtr2øŒr& öÝàR$$sù #sŒ$tB 2ts? 4 tA$s% ÏMt/r'¯»tƒ ö@yèøù$# $tB ãtB÷sè? ( þÎTßÉftFy bÎ) uä!$x© ª!$# z`ÏB tûïÎŽÉ9»¢Á9$#
Artinya : Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar".[13]
IV.              PANDANGAN ULAMA TENTANG KEWAHYUAN HADITS.
Banyak teori yang sudah menjelaskan tentang wahyu, baik yang klasik maupun yang modern. Para ulama umumnya berpijak pada hadits-hadits Rasulullah yang secara tekstual cenderung mengabaikan aspek kesejarahan dan rasionalitas. Selain disebut wahyu, dalam proses transfer informasi dikenal istilah lain yang menurut para ulama dinamakan ilham. Ilham dimaksudkan sebagai upaya menuangkan suatu pengetahuan atau informasi kedalam jiwa dan meminta supaya dikerjakan oleh pihak yang menerimanya.
Menurut TM. Hasbi Ash Shiddieqy, wahyu yang juga disebut dengan ilham dapat diperoleh siapa saja dan tanpa disyariatkan kepada orang lain. Ilham itu juga merupakan perasaan halus yang diyakini jiwa serta dapat mendorongnya untuk melakukan sesuatu yang di yakininya, serta tidak mengetahui dari mana datangnya.[14]
Abdurrazzaq Lahiji terkait masalah ini berkata, “Apabila ada orang yang menduga bahwa Nabi Saw pada sebuah perkara beramal berdasarkan pikiranya sendiri dan tidak menantikan wahyu maka dari sudut mana pun orang ini tidak tahu dan jahil terhadap tujuan kenabian dan hakikat nabi. Dan orang sedemikian di hadapan orang-orang berakal telah keluar dari wilayah agama, khususnya karena hal ini bertentangan dengan nash al-Qur’an Srat An Najm ayat 3-4 dan menspesifikasi masalah ini terhadap sebagian masalah lainnya, sejatinya merupakan perbuatan yang tidak dapat diterima. Seluruh urusan yang bertalian dengan agama memerlukan izin Ilahi dan wahyu Rabbani, nah tatkala Nabi tidak berbuat berdasarkan pendapatnya sendiri maka bagaimana mungkin orang lain dapat berbuat sebaliknya.” [15]
Al-qur’an menolak anggapan sementara orang-orang yang memandang wahyu sebagai sesuatu yang aneh. Allah berfirman :
tb%x.r& Ĩ$¨Z=Ï9 $·6yftã ÷br& !$uZøym÷rr& 4n<Î) 9@ã_u öNåk÷]ÏiB ÷br& ÍÉRr& }¨$¨Z9$# ÎŽÅe³o0ur šúïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä ¨br& óOßgs9 tPys% A-ôϹ yYÏã öNÍkÍh5u 3 tA$s% tbrãÏÿ»x6ø9$# žcÎ) #x»yd ֍Ås»|¡s9 îûüÎ7B 
Artinya : Patutkah manusia merasa heran kalau kami mewahyukan kepada seorang lelaki dari mereka : ‘Berilah peringatan kepada manusia dan gembirakanlah orang-orang yang beriman, bahwa mereka itu memperoleh kedudukan tertinggi disisi tuhannya’ Orang-orang kafir itu berkata: Sesungguhnya orang itu ( Muhammad) jelas adalah tukang sihir. [16]

Pesan-pesan yang hendak disampaikan dalam komunikasi bukanlah merupakan pesan khusus untuk penerima pertama, akan tetapi ada tuntutan untuk menyampaikan pesan-pesan tersebut kepada umat manusia, maka yang dituntut adalah menyampaikan pesan tersebut tanpa ada penyimpangan, baik dalam kata maupun kalimatnya, hal ini sesuai dengan firman Allah SWT :
÷Pr& tbqä9qà)tƒ ¼ã&s!§qs)s? 4 @t/ žw tbqãZÏB÷sムÇÌÌÈ
Artinya : Ataukah mereka mengatakan: "Dia (Muhammad)  membuat-buatnya". sebenarnya mereka tidak beriman."[17]

Dalam konteks ayat tersebut, pihak penerima pesan pertama bertugas mentransfer Risalah (Pesan-peas Ilahiyah) kepada manusia, dalam hal  ini penerima pertama tidak sekedar menerima, memahami, dan mengetahui isi kandungan risalah tersebut saja, akan tetapi diangkat sebagai utusan atau “seorang Nabi / Rasul”
Sesuai dengan penjelasan Al qur’an surat Al maidah ayat 67 :
* $pkšr'¯»tƒ ãAqߧ9$# õ÷Ïk=t/ !$tB tAÌRé& šøs9Î) `ÏB y7Îi/¢ ( bÎ)ur óO©9 ö@yèøÿs? $yJsù |Møó¯=t/ ¼çmtGs9$yÍ 4 ª!$#ur šßJÅÁ÷ètƒ z`ÏB Ĩ$¨Z9$# 3 ¨bÎ) ©!$# Ÿw Ïöku tPöqs)ø9$# tûï͍Ïÿ»s3ø9$#
Artinya : Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir. [18]
Menurut Nasr Hamid Abu Zaid, teks sebagai pesan yang harus disampaikan berarti bahwa yang menjadi sasaran teks adalah seluruh umat manusia, yaitu manusia yang terkait dengan sistem bahasa teks, serta yang terkait dengan sistem kebudayaan dimana bahasa tersebut dijadikan sebagai alat untuk berkomunikasi. Berdasarkan pendapat tersebut, istilah “menurunkan” (al-tanzil) haruslah difahami sebagai istilah “menurunkan” kepada manusia melalui dua perantara yaitu Malaikat Jibril ( Makhluk ghaib) dan Rasul (Muhammad) sebagai seorang manusia.

V.                 ANALISIS PENULIS TENTANG KEWAHYUAN HADITS.
Hadits merupakan wahyu dari Allah SWT di samping al-Qur’an. Hal ini dibuktikan dengan lisensi Allah swt dan Rasul-Nya. Di antara lisensi Allah tersebut adalah firman-Nya:
Ÿwöqs9ur ã@ôÒsù «!$# y7øn=tã ¼çmçGuH÷quur M£Jolm; ×pxÿͬ!$©Û óOßg÷YÏiB cr& x8q=ÅÒム$tBur šcq=ÅÒムHwÎ) öNåk|¦àÿRr& ( $tBur štRrŽÛØo `ÏB &äóÓx« 4 tAtRr&ur ª!$# šøn=tã |=»tGÅ3ø9$# spyJõ3Ïtø:$#ur šyJ©=tãur $tB öNs9 `ä3s? ãNn=÷ès? 4 šc%x.ur ã@ôÒsù «!$# y7øn=tã $VJŠÏàtã ÇÊÊÌÈ  
Artinya : Sekiranya bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu, tentulah segolongan dari mereka berkeinginan keras untuk menyesatkanmu. tetapi mereka tidak menyesatkan melainkan dirinya sendiri, dan mereka tidak dapat membahayakanmu sedikitpun kepadamu. dan (juga karena) Allah telah menurunkan kitab dan Hikmah kepadamu, dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. dan adalah karunia Allah sangat besar atasmu. [19]

Allah SWT mengutus Rasul-Nya untuk memberi peringatan kepada umat manusia (Qs.Al-Mudattsir: 1-3). Dan al-Qur’an adalah inti risalah yang harus disampaikan kepada mereka. Namun tugas Nabi tidak hanya terbatas dalam penyampaian teks al-Qur’an, namun juga menjelaskan makna yang memerlukan penjelasan yang lebih detail inilah yang dimaksudkan dengan hadits, dan suatu hal yang tidak mungkin jika dalam menjelaskan beberapa risalah kepada umatnya Rasulullah menyampaikan tidak berdasarkan wahyu dari Allah SWT,  karena tidak satu pun perkataan, perbuatan serta ketetapan   Nabi Muhammad Saw yang dilakukan dengan nafsu tanpa izin wahyu dari Allah SWT sebagaimana maksud dari Firman Allah Surat An- Najm ayat 3-4.
VI.             PENUTUP.
Hadits merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah Al qur’an dibidang penetapan hukum, peradilan, fiqh, da’wah, tarbiyah dan lain sebagainya. Yakni segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi, baik itu qouliyyah (sabda Nabi), fi’liyyah ( Perbuatan Nabi yang diungkapkan oleh sahabat dengan bahasa sahabat) maupun takririyah (Ketetapan atau diamnya nabi atas perbuatan sahabat).   Rasulullah telah menyampaikan jika kita berpegang teguh pada dua pusaka yang ditinggalkannya yakni al qur’an dan As Sunnah kita tidak akan tersesat dan pasti akan memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat.
Makalah ini tentunya terdapat kekurangan baik dari segi isi maupun metodologi penulisannya, untuk itu penulis mengharapkan kritik, saran yang bersifat konsruktif dari para pembaca agar nantinya makalah yang sederhana ini mampu memberikan kontribusi yang positif khususnya untuk pembaca dan penulis sendiri.
Semoga Allah SWT selalu memberikan taufik dan hidayah-Nya kepada kita semua, amin ya Rabbal ‘alamin.

VII.          DAFTAR KEPUSTAKAAN.
1.                  Departemen Agama RI, (1983/1984), Al qur’an dan Terjemahnya, Jakarta : Proyek Pengadaan Kitab Suci Al qur’an
2.                  Drs. M. Agus Solahuddin, M. Ag dan Agus Suyudi, Lc. M. Ag, (2008), Ulumul Hadits, Bandung : Pustaka Setia
3.                  DR. Yusuf Qardawi (1993), Bagaimana Memahami Hadits Nabi SAW, Bandung : Karisma
4.                  TM. Hasbi Ash Shiddieqy, (1974), Sejarah dan Pengantar ilmu Hadits, Yogyakarta : Bulan Bintang
5.                  DR. Subhi As Shalih, (1995), Membahas Ilmu-ilmu Hadits, Jakarta : Pustaka Firdaus
6.                  DR. Yusuf Qardawi,(1997) Terjemahan Al-Marja’iyyah al-Ulya fi al Islam li al-qur’an wa al Sunnat Dawabit wa Mahazir fi al Fahm wa al tafsir, Jakarta : Rabbani Press
7.                  DR. M. Ajaj Al Khathib, (1999), Hadits Nabi Sebelum di Bukukan, Jakarta : Gema Insani
8.                  Abd. Rohman, M. Hum, (2007), Komunikasi Dalam Al qur’an
( Relasi Ilahiyah dan Insaniyah),Malang : UIN Malang
9.                  Rosihan Anwar,M. Ag (2004), Ulumul Qur’an ,Bandung : Pustaka Setia
































 





















     










 





[1]Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 1995), hal.  217
[2] Yusuf Qardhawi, al-Marja’iyyah al-Ulya fi al Islam li al-qur’an wa al Sunnat Dawabit wa Mahazir fi al Fahm wa al tafsir, Diterjemahkan oleh Bahruddin Fanani dengan Judul Al-Qur’an dan as-Sunnah Referensi Tertinggi Umat Islam, (Jakarta: Rabbani Press, 1997), hal. 71
[3] Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, hal. 411
[4] TM. Hasbi  Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Yogyakarta, Bulan  Bintang, 1974) hal. 12
[5] Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, hal. 868
[6] www. Google, Konsep dan Aplikasi Hadits, Hafidz Abdurrahman, (diakses 03 Januari 2012 03:38:41)

[7] www. Google, Konsep dan Aplikasi Hadits, Hafidz Abdurrahman, (diakses 03 Januari 2012 03:38:41)

[8] TM. Hasbi  Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Yogyakarta, Bulan  Bintang, 1974) hal. 40
[9] Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, hal. 871
[10] TM. Hasbi  Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al qur’an dan tafsir, (Yogyakarta, PT. Pustaka Rizki Putra, 1953) hal. 17
[11] Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, hal. 151
[12] www. Google, Bagaimana Wahyu disampaikan , Hafidz Abdurrahman, (diakses 03 Januari 2012 03:38:41)
[13] Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, hal. 725
[14] TM. Hasbi  Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al qur’an dan Tafsir, (Yogyakarta, PT. Pustaka Rizki Putra, 1953) hal. 17

[15] TM. Hasbi  Ash Shiddieqy,  hal. 18

[16] Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, hal. 305
[17] Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, hal. 867
[18] Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, hal. 140
[19] Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, hal. 140

SHARE THIS POST   

  • Facebook
  • Twitter
  • Myspace
  • Google Buzz
  • Reddit
  • Stumnleupon
  • Delicious
  • Digg
  • Technorati
Author: Mohammad
Mohammad is the founder of STC Network which offers Web Services and Online Business Solutions to clients around the globe. Read More →

0 komentar: