Download this Blogger Template by Clicking Here!

PROFIL

https://web.facebook.com/irwan.a.lovers

Rabu, 28 Oktober 2015

Widgets

IKHWAN AL-SHAFA






I.                   Pendahuluan
Seiring dengan perluasan wilayah islam keberbagai negara terjadi kemajuan diberbagai bidang, termasuk juga dibidang ilmu pengetahuan dan teologi. Majunya ilmu pengetahuan umum sangat terasa ketika berkuasanya daulah Abbasiyah. Banyak faktor yang telah melatar belakangi berkembangnya aliran-aliran pemikiran dalam sejarah islam pada masa ini, seperti: pergolakan politik, kekecewaan terhadap pemerintahan yang bertindak sewenang-wenang dan kebutuhan akan ilmu pengetahuan itu sendiri agar membantu kelancaran dalam kehidupan. Hal ini tidak terlepas dari peran akal yang digunakan untuk berpikir yang akan menghasilkan paham-paham yang baru yang berperan dalam berbagai bidang kehidupan.
Ketika Mu’tazilah digunakan sebagai mazhab resmi negara, maka dinasti Abasiyah mengalami kemajuan yang pesat diberbagai bidang kehidupan. Karena mereka rasionalis, menggunakan kekuatan logika untuk berpikir dan pengetahuan juga diperoleh dengan cara berpikir. Sehingga banyaklah ilmu-ilmu baru yang mereka peroleh. Namun, semenjak pemerintahan Daulah Abbasiyah dipimpin oleh khalifah Al-Mutawakkil yang berpikiran tradisonal terjadi perubahan peraturan. Khalifah membatalkan teologi rasional Mu’tazilah yang telah dianut oleh para pendahulunya. Khalifah mengganti semua jabatan kaum rasionalis yang ada di pemerintahan dan mereka diusir keluar kota Baghdad. Pemerintah juga melarang mengajarkan berbagai disiplin ilmu pengetahuan, keadaan ini menyebabkan tumbuhnya cara berpikir tradisional. Pengaruh yang ditimbulkan pemikiran tradisional pemerintah ini menyebabkan terjadinya persaingan tidak sehat dan kerusakan akhlak rakyat.
Berdasarkan kondisi tersebut maka lahirlah ikhwan al-Shafa. Mereka ada untuk menyelamatkan masyarakat agar bisa menuntut ilmu dan mendekatkan diri kejalan yang bisa menimbulkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Mereka ingin agar senantiasa berada dijalannya.
Bertitik tolak dari kondisi tersebut maka dalam makalah ini penulis akan menjelaskan bagaimana sejarah lahir dan karya Ikhwan al-Shafa, pendapat Ikhwan al-Shafa tentang filsafat ketuhanan, penciptaan dan al-nafs.
II.                Pembahasan
A.    Sejarah Hidup dan Karyanya
Ikhwan al-Shafa (Brethren of Purity atau The Pure Brethen) adalah nama sekelompok pemikir Muslim Rahasia (filosifiko-religius) berasal dari sekte Syi’ah Isma’iliyah yang lahir ditengah komunitas Sunni.[1] Merupakan perkumpulan rahasia yang bergerak dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Sesuai dengan namanya, Ikhwan al-Shafa berarti persaudaraan yang suci dan bersih.[2] Disebut juga Khullan al-wafa, Ahl al-‘Adl, Abna al-Hamdi, atau dengan sebutan singkat Ikhwanuna, atau disebut juga Auliya’ Allah.[3] Asas utama perkumpulan ini adalah persaudaraan yang dilakukan secara tulus ikhlas, kesetiakawanan yang suci murni dan saling menasehati antar sesama anggota dalam menuju ridha Allah. Dari sini kita ketahui bahwa Parsaudaraan mereka tulus sehingga suci dan bersih.
Perkumpulan ini lahir pada abad ke-4 H/ 10 M di kota Basrah pada masa pemerintahan al-Mansur, khalifah kedua pemerintahan Bani Abbas. Dari Basrah, Ikhwan al-Shafa terus menyebar dan berkembang keberbagai daerah seperti Iran dan Kuwait. Dalam perkembangannya, perkumpulan ini menggunakan cara yang halus dengan mengutus beberapa orang anggotanya untuk merekrut orang-orang yang dianggap dapat bekerja sama terutama dari kalangan pemuda Mereka takut kalau kegiatan mereka diketahui oleh pemerintah yang sedang berkuasa. Maka mereka melakukan kegiatan secara sembunyi-sembunyi. Baru terungkap setelah berkuasanya Dinasti Buwaihi, yang berpaham Syi’ah di Baghdad pada Tahun 983 M. Ada kemungkinan kerahasiannya ini dipengaruhi oleh paham taqiyah (menyembunyikan keyakinan) ajaran Syi’ah karena basis kegiatannya ditengah masyarakat Sunni yang tidak sejalan dengan ideologinya.[4]
Latar belakang munculnya ikhwan al-Shafa adalah karena keprihatinan terhadap pelaksanaan ajaran Islam yang telah tercemar oleh ajaran dari luar Islam. Mereka hadir untuk membangkitkan kembali rasa cinta pada Ilmu pengetahuan dikalangan umat Islam. Menurut mereka, syari’at telah dinodai bermacam-macam kejahilan dan dilumuri keanekaragaman kesesatan. Satu-satunya jalan untuk membersihkannya adalah filsafat.
Kelompok ini sangat merahasiakan nama-nama anggotanya karena khawatir akan tindakan penguasa pada waktu itu yang cenderung menindas gerakan-gerakan pemikiran yang timbul. Kondisi ini menyebabkan Ikhwan al-Shafa memiliki anggota yang terbatas, mereka juga sangat selektif dalam menerima anggota baru dengan melihat berbagai aspek. Diantara syarat yang mereka tetapkan dalam merekrut anggota adalah: memiliki ilmu pengetahuan yang luas, loyalitas yang tinggi, memiliki kesungguhan dan berkhlak mulia.[5]
seandainya saja perkumpulan ini ada pada zaman sekarang, kemungkinan besar juga tidak akan banyak pengikutnya. Bukan karena takut pada pemerintah yang sedang berkuasa, tapi karena sulitnya mencari pemuda yang betul-betul bisa melakukan persaudaraan yang suci dan bersih. Kesibukan dan budaya individualisme juga telah mendominasi berbagai bidang kehidupan sekarang ini.
Kelompok mereka juga telah mengirimkan orang-orangnya kekota tertentu untuk menyebarkan pahamnya dengan membentuk cabang-cabang baru, namun mereka sangat selektif dalam memilih anggota sehingga kerahasiaan mereka tetap terjaga. Ada empat tingkatan anggota mereka:
1. Ikhwan al-Abrar al-Ruhama, yakni kelompok yang berusia15-30 tahun yang memiliki jiwa yang suci dan pikiran yang kuat. Mereka berstatus sebagai murid, karenanya dituntut tunduk dan patuh kepada guru.
2. Ikhwan al-Akhyar wa al-Fudhala, yakni kelompok yang berusia 30-40 tahun. Pada tingkat ini mereka sudah mampu memelihara persaudaraan, pemurah, kasih sayang, dan siap berkorban demi persaudaraan (tingkat guru-guru).
3. Ikhwan al-Fudhala al-Kiram, yakni kelompok berusia 40-50 tahun. Dalam kenegaraan kedudukan mereka sama dengan sultan atau hakim. Mereka sudah mengetahui aturan ketuhanan sebagai tingkatan para nabi.
4. Al-Kamal, yakni kelompok yang berusia 50 tahun keatas. Mereka disebut dengan tingkatan al-Muqarrabin min Allah karena mereka sudah mampu memahami hakikat sesuatu sehingga mereka sudah berada di atas alam realitas, syariat dan wahyu sebagaimana malaikat al-muqarrabin.[6]
Dari tingkatan diatas terlihat betapa selektifnya kelompok Ikhwan al-Shafa dalam memilih anggota. Tidak semua orang bisa tergabung dalam anggota kelompok mereka.
Karena dari tingkatan anggota mereka tidak semua orang memiliki kriteria yang bisa mereka terima. Mereka yang ingin bergabung harus memiliki kualitas pemikiran yang bagus. Dan yang memiliki kualitas bagus itu juga tidak banyak. Karena kebanyakan orang malas menggunakan akalnya untuk berpikir menghasilkan suatu karya yang baru.
Ketika khalifah Al-Muntazid memimpin Daulah Abbasiyah, ia mengintruksikan agar seluruh karya dan filsafat ikhwan al-Shafa diserahkan kepadanya untuk dibakar. Maka sangat wajar saat ini tidak ditemukan karya asli mereka. Sangat disayangkan sekali karya mereka yang cukup banyak dilenyapkan begitu saja oleh khalifah karena berpedaan pola pikir khalifah yang Sunni dan Ikhwan al-Shafa yang Syi’ah. Menurut saya, dimasa sekarang pada zaman modern ini hal seperti ini juga sering terjadi. Sebagai contoh adalah ketika salah seorang staf biasa berbicara atau melahirkan suatu karya yang tidak sesuai dengan pendapat atasannya, maka tidak perlu menunggu waktu lama surat mutasi akan keluar. Bahkan bisa menyebabkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Pertemuan-petemuan yang diselenggarakan Ikhwan al-Shafa melahirkan karya tulis sebanyak 52 buah yang dinamakan Rasa’il Ikhwan al-Shafa. Ia merupakan ensiklopedia populer tentang ilmu dan filsafat yang ada pada waktu itu. Ditinjau dari segi isi, Rasa’il ini dapat diklasifikasikan menjadi empat bidang:
a. 14 risalah tentang risalah matematika, yang mencakup geometri, astronomi, musik, geografi, seni, modal dan logika.
b. 17 risalah tentang fisika dan ilmu alam, yang mencakup geneologi, mineralogi, botani, hidup dan matinya alam, senang dan sakitnya alam, keterbatasan manusia, dan kemampuan kesadaran.
c. 10 risalah tentang ilmu jiwa, mencakup metafisika Pythagoreanisme dan kebangkitan alam.
d. 11 risalah tentang ilmu-ilmu ketuhanan, meliputi kepercayaan dan keyakinan, hubungan alam dengan Allah, akidah mereka, kenabian dan keadaannya, tindakan rohani, bentuk konstitusi politik, kekuasaan Allah, magic dan azimat.[7]
B. Filsafat Ketuhanan
          Dalam filsafat ketuhanan, ikhwan al-Shafa terpengaruh oleh Neo-Pythagoreanisme yang dipadukan dengan filsafat keesaan Plotinus pada Ikhwan al-Shafa. Barangkali kesan tauhid dalam filsafat mereka itulah yang menarik Ikhwan al-Shafa mengambilnya sebagai argumen tentang keesaan Allah.
Mereka melandasi pemikirannya pada angka-angka atau bilangan. Menurut mereka, ilmu bilangan adalah lidah yang mempercakapkan tauhid, al-tanzih, dan meniadakan sifat tasybih serta dapat menolak atas orang yang mengingkari keesaan Allah. [8]Ilmu pengetahuan tentang angka bisa membawa manusia memahami Allah yang maha esa dengan angka satu sebagai angka pertama.
Mereka juga mengatakan angka satu sebelum angka dua, dan dalam angka dua terkandung pengertian kesatuan. Dengan istilah lain, angka satu adalah angka yang pertama dan angka itu lebih dahulu dari angka dua dan lainnya. Oleh karena itu, keutamaan terletak pada angka yang dahulu yakni satu. Sementara angka dua dan lainnya terjadinya kemudian. Oleh karena itu, terbuktilah bahwa Yang Maha Esa (Allah) lebih dahulu dari yang lainnya seperti dahulunya angka satu dari angka yang lain.[9]
Adanya Allah merupakan sesuatu yang sangat nyata karena dengan fitrahnya manusia bisa mengenal semua yang ada di alam ini. Tentu saja semua ini ada karena ada menciptakannya. Dan Allah itu maha esa yang meliputi semesta alam.
Sebagai aliran filsafat, Ikhwan al-Shafa hadir dengan rasionalisme pemikiran seperti Mu’tazilah, mereka menolak dan meniadakan sifat bagi Allah. Allah itu satu, tidak tersusun, karena jika Allah tersusun dengan sifatnya maka akan terganggu kekadimannya. Allah tidak dapat diserupakan dengan makhluknya, peletakan sifat bagi Allah hanyalah untuk memudahkan pemahaman bagi masyarakat awam.
C.  Penciptaan
Filsafat penciptaan Ikhwan al-Shafa terpengaruh oleh Pythagoras dan Plotinus. Menurut mereka, Allah adalah pencipta dan mutlak esa. Dengan kemauan sendiri Allah menciptakan akal pertama atau Akal Aktif secara emanasi. Kemudian, Allah menciptakan jiwa dengan perantaraan akal. Selanjutnya Allah menciptakan materi pertama (al-kayula al-ula). Dengan demikian, kalau Allah kadim, lengkap dan sempurna, maka akal Pertama juga demikian. Pada akal pertama segala potensi yang ada akan muncul pada wujud berikutnya. Sementara jiwa terciptanya secara emanasi dengan perantaraan akal, maka jiwa kadim dan lengkap, tetapi tidak sempurna. Demikian juga halnya materi pertama karena terciptanya secara emanasi dengan perantaraan jiwa, maka materi pertama adalah kadim, tidak lengkap dan tidak sempurna.[10]
Kemurnian tauhid dapat senantiasa terjaga karena Allah tidak berhubungan secara langsung dengan alam materi. Proses emanasi Allah Maha Pencipta, dari-NYA timbullah: a. Akal Aktif atau akal pertama (al-‘Aql AL Fa’al)
b. jiwa Universal (al-Nafs al-Kulliyat)
c. Materi Pertama (al-Hayula al-Ula)
d. Alam Aktif (al-Thabi’at al Failat)
e. Materi Absolut atau Materi Kedua (al-Jism al-Muthlaq)
f. Alam Planet-Planet (Alam al-Aflak)
g. Unsur-Unsur alam terendah (‘Anashir al-Alam al-Sufla), yaitu: air, udara, tanah dan api
h. Materi gabungan, yang terdiri dari mineral, tumbuh-tumbuhan, dan hewan. Sementara itu manusia termasuk kelompok hewan, yaitu hewan yang berbicara dan berpikir.[11]
Selaras dengan prinsip matematika yang digunakannya maka Ikhwan Al-Shafa dapat menggabungkan kedelapan mahiyah diatas bersama zat Allah yang mutlak, maka sempurnalah jumlah bilangan menjadi sembilan. Angka sembilan ini juga membentuk sustansi organik pada tubuh manusia, yakni tulang, sumsum, daging, urat, darh, saraf, kulit, rambut dan kuku.[12]
Proses penciptaan secara emanasi diatas, menurut Ikhwan al-Shafa terbagi menjadi dua: penciptaan sekaligus, (daf’atan wahidah) dan penciptaan secara gradual (tadrij). Penciptaan sekaligus apa yang mereka sebut alam rohani, yakni Akal Aktif, Jiwa Universal, dan Materi Pertama. Sementara itu, penciptaan secara gradual apa yang mereka sebut alam jasmani, yakni Jisim Mutlak dan seterusnya. Jisim mutlak dan seterusnya. Jism Mutlak tercipta dalam zaman yang tidak terbatas dalam periode yang panjang. Periode-periode ini akan membentuk perubahan dalam masa, seperti penciptaan dalam masa enam hari. Tentang alam semesta, menurut Ikhwan al-Shafa, bukan kadim, tetapi baharu. Karena alam semesta ini, menurut mereka, diciptakan Allah dengan cara emanasi secara gradual, mempunyai awal, dan akan berakhir pada masa tertentu.[13]
Dari pendapat mereka tersebut kita ketahui bahwa penciptaan alam semesta dan seluruh isinya ini memerlukan proses. Dalam jangka waktu tertentu dia ada dan sampai pada masanya juga akan berakhir.
D.  Al-Nafs
Menurut Ikhwan al-shafa, tentang jiwa manusia bersumber dari jiwa universal. Dalam perkembangan jiwa manusia banyak dipengaruhi oleh materi yang mengitarinya. Agar potensi jiwa itu tidak kecewa dalam perkembangannya, maka jiwa dibantu oleh akal. Jiwa anak-anak pada mulanya seperti kertas putih yang bersih dan belum ada coretan. Lembaran putih tersebut  akan tertulis dengan adanya tanggapan panca indera yang menyalurkan ke otak bagian depan yang memiliki daya imajinasi (al-quwwah al-mutakhayyilah), dari sini meningkat kepada daya berpikir (al-quwwah al-mufakkirah) yang terdapat pada otak bagian tengah. Pada tingkat ini manusia sanggup membedakan antara benar dan salah, antara baik dan buruk. Setelah itu disalurkan ke daya ingatan (al-quwwah al-hafizhah) yang terdapat pada otak bagian belakang. Pada tingkat ii seseorang telah sanggup menyimpan hal-hal yang abstrak yang diterima oleh daya berpikir. Tingkatan terakhir adalah daya berbicara (al-quwwah al-nathiqah), yaitu kemampuan mengungkapkan pikiran dan ingatan itu melalui tutur kata yang bermakna kepada pendengar atau menuangkannya lewat bahasa tulis kepada pembaca.[14]
III.             Penutup
1.      Ikhwan al-Shafa (Brethren of Purity atau The Pure Brethen) adalah nama sekelompok pemikir Muslim Rahasia (filosifiko-religius) berasal dari sekte Syi’ah Isma’iliyah yang lahir ditengah komunitas Sunni. Merupakan perkumpulan rahasia yang bergerak dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Sesuai dengan namanya, Ikhwan al-Shafa berarti persaudaraan yang suci dan bersih.
2.      Dalam filsafat ketuhanan, ikhwan al-Shafa terpengaruh oleh Neo-Pythagoreanisme yang dipadukan dengan filsafat keesaan Plotinus.
3.      Adanya Allah merupakan sesuatu yang sangat nyata karena dengan fitrahnya manusia bisa mengenal semua yang ada di alam ini. Tentu saja semua ini ada karena ada menciptakannya. Dan Allah itu maha esa yang meliputi semesta alam.
4.      penciptaan alam semesta dan seluruh isinya ini memerlukan proses. Dalam jangka waktu tertentu dia ada dan sampai pada masanya juga akan berakhir.


DAFTAR PUSTAKA
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h. 139

Ramayulis dan Syamsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, (Ciputat : PT. Ciputat Press Group, 2005),h. 101

Ya’cub, A.Tasman, Filsafat Islam, (Padang : IAIN IB Press, 1999)


Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis, (terj.) oleh Zaimul Am, (Bandung: Mizan, 2002), hal. 64.
Hasymsyah Nasution, Filsafat Islam, (JAKARTA : Gaya Media Pratama, 1999), h.47-52

http://faridfann.wordpress.com/2008/05/21/biografi-dan-pemikiran-ikhwan-al-shafa/



[1] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h. 139
[2] Ramayulis dan Syamsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, (Ciputat : PT. Ciputat Press Group, 2005),h. 101
[3] Ya’cub, A.Tasman, Filsafat Islam, (Padang : IAIN IB Press, 1999)
[4] Sirajuddin Zar, Op .Cit,  h. 139
[5] Ramayuilis dan Syamsul Nizar, Op.Cit, h.102
[6] Sirajuddin Zar, Op. Cit, h.141
[7] Sirajuddin Zar, ibid, h.142-143
[8] Sirajuddin Zar, ibid, h.148
[9] Sirajuddin Zar, ibid, h.147
[10] Ibid, h.149
[11] Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis, (terj.) oleh Zaimul Am, (Bandung: Mizan, 2002), hal. 64.

[12] Hasymsyah Nasution, Filsafat Islam, (JAKARTA : Gaya Media Pratama, 1999), h.47-52

[13] http://faridfann.wordpress.com/2008/05/21/biografi-dan-pemikiran-ikhwan-al-shafa/

[14] Hasymsyah Nasution, Filsafat Islam, (JAKARTA : Gaya Media Pratama, 1999), h.47-52

SHARE THIS POST   

  • Facebook
  • Twitter
  • Myspace
  • Google Buzz
  • Reddit
  • Stumnleupon
  • Delicious
  • Digg
  • Technorati
Author: Mohammad
Mohammad is the founder of STC Network which offers Web Services and Online Business Solutions to clients around the globe. Read More →

0 komentar: