Download this Blogger Template by Clicking Here!

PROFIL

https://web.facebook.com/irwan.a.lovers

Minggu, 28 Februari 2016

tafsir

TAFSIR
I.             Pendahuluan
            Al-Qur’an yang merupakan  mukjizat besar Nabi Muhamad  SAW,  yang diturunkan sebagai pedoman bagi manusia dalam menata kehidupannya, untuk memperoleh kebahagiaan lahir dan bathin di dunia dan akhirat kelak. Konsep-konsep yang dibawa oleh al-Qur’an selalu relevan dengan problema yang dihadapi manusia karena al-Qur’an turun untuk berdialog dengan setiap ummat yang ditemuinya, sekaligus menawarkan pemecahan terhadap problema tersebut kapan dan dimana mereka berada.   
            Al-Qur’an yang diturunkan dalam kurun waktu 23 tahun, yang dapat dibagikan dalam kelompok Makkiyah dan Madaniyyah, selalu membicakan suatu masalah yang sangat  unik, tidak tersusun secara sistimatis sebagaimana buku-buku ilmiah yang dikarang oleh manusia. Al-Qur’an jarang sekali membicarakan suatu masalah secara rinci,  kecuali menyangkut masalah akidah, pidana,  dan beberapa masalah lainnya. Umumnya al-Qur’an lebih banyak mengungkapkan suatu permasalahan secara global, parsial dan seringkali menampilkan  suatu masalah dalam prinsib-prinsib dasar dan garis besar.
            Keadaan yang demikian, sama sekali tidaklah berarti mengurangi keistimewaan al-Qur’an sebagai kalam Allah. Bahkan sebaliknya disitulah letak keunikan dan keistimewaan dari al-Qur’an bila dibandingkan dengan buku-buku ilmiah yang lainnya. Hal ini membuat al-Qur’an menjadi objek kajian yang selalu menarik dan tidak pernah kering bagi kalangan cendikiawan, baik muslim maupun non muslim, sehingga ia tetap aktual sejak diturunkan empat belas abad yang`silam.
Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu dengan penuh berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.(QS. Shod :29 )
Dalam menggali ataupun memahami ayat-ayat Al Qur’an para  ulama-ulama tafsir  menggunakan berbagai macam metode dan corak yang beragam, yang ini bertujuan agar penafsiran al-Qur’an dapat menjawab berbagai problema yang dihadapi oleh umat manusia. Memang memahami ayat-ayat Al- Qur’an dengan benar tidaklah mudah, sejarah mencatat, terdapat beberapa kosa kata pada ayat al- Qur’an yang tidak difahami oleh sebagian sahabat nabi dan sahabat langsung menanyakan hal tersebut kepada Nabi, namun untuk masa kita saat ini akan bertanya kepada siapa tatkala kita menemukan beberapa ayat yang sulit untuk difahami. Belum lagi ayat-ayat mutasyabihat yang masih banyak mengandung pertanyaan  dari maksud ayat tersebut secara tertulis.
Oleh karenanya, dalam memahami Al Qur’an diperlukan metode dan pendekatan-pendekatan untuk menafsirkan al- Qur’an agar Al Qur’an dapat memberikan jawaban yang pas dan sesuai problerma  yang berkembang dimasyarakat. Jawaban yang sesuai  dengan apa yang dibutuhkan dan dirasakan masyarakat pada saat ini sangat berarti dan berdampak positif bagi Islam yang dikenal sebagai Agama yang rahmatan lil ’alamin.
           Dalam perkembangannya metode-metode yang digunakan para mufasir banyak dan sangat beragam, masing-masing dari metode yang ada pun tidak lepas dari keistimewaan dan sekaligus kelemahan. Metode apa yang akan digunakan oleh mufasir sangat tergantung pada apa yang hendak diketahui dan dicapainya. Misalnya seseorang yang hendak memperoleh jawaban secara tuntas tentang suatu persoalan, maka baginya lebih tepat menggunakan metode Maudlu’i. Di sisi lain, metode ini mampu menjawab dan menolak adanya kesan kontradiksi di antara ayat-ayat al -Qur’an.  Sedangkan bagi seseorang yang ingin mengetahui segala segi dari kandungan ayat Al-Qur’an, maka baginya lebih tepat menggunakan metode Tahlili, akan tetapi metode ini ia tidak dapat memperoleh jawaban Al Qur’an secara tuntas.
              Demikian pula dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an timbul berbagai corak penafsiran al-Qur’an  hal ini disebabkan oleh karena para mufassir memiliki latar belakang keilmuan yang berbeda-beda sehingga timbullah tafsir fiqhi, tafsir falsafi , tafsir Isyari/Shufi, Tafsir Adabi Ijtima’i, dan lain-lain.
hal ini  dilatar belakangi oleh keilmuan yang mereka yang berbeda-beda  sehingga ketika mereka menafsirkan al-Qur’an sangat terpengaruh oleh disiplin keilmuan yang mereka miliki
             Oleh karena itu dalam rangka memahami al-Qur’an, sekaligus menjadikan al-Qur’an sebagai penjelasan dari setiap problema maka pemahaman terhadap metodologi  yang dipergunakan oleh para mufassir sangatlah penting artinya, tampa memahami metodologi dan corak penafsiran yang dipergunakan maka kita akan sulit menemukan makna tafsir yang sesungguhnya.

II.  PEMBAHASAN
1.      Pengertian Tafsir dan dan Bedanya dengan Ta’wil
a.      Pengartian Tafsir
Tafsir menurut bahasa ialah menerangkan dan menjelaskan. Menurut istilah ialah tafsir ialah mensyarahkan Al-Qur’an, menerangkan maknanya dan menjelaskan apa yang di kehendakinya dengan nashnya atau dengan isyaratnya ataupun dengan najwahnya.[1]
Dalam al-Qur’an surat al-Furqon ayat 33 Allah menerangkan tentang tafsir
33. Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya.

             Prof. TM. Hasby Ash-shiddieqy mendefinisikan ilmu tafsir sebagai berikut, ilmu tafsir ialah ilmu yang menerangkan tentang hal nuzulul ayat, keadaan-keadaannya, kisah-kisahnya, sebab-sebab turunnya, tertib makkiyahnya, madaniyahnya, muhkam, mutasyabihnya, nasikhnya, ‘amnya, mutlaqnya, mujmalnya, mufassarnya (mufashshalnya), halalnya, haramnya, wa’adnya, wa’idnya, amernya, nahyunya, I’barnya dan amsalnya.[2]
Sedangkan Abu Hayan mendefinisikan ilmu tafsir sebagai berikut : ilmu tafsir ialah suatu ilmu yang dibahasakan di dalamnya cara menuturkan (membunyikan) lafadz-lafadz Al-Qur’an, madlul-madlulnya baik mengenai kata tunggal maupun mengenai kata-kata tarkib dan makna-maknanya yang dipertanggungkan oleh keadaan susunan dan beberapa kesempurnaan bagi yang demikian seperti mengetahui nasakh, sebab nuzul, kisah yang menyatakan apa yag tidak terang (mubham) didalam Al-Qur’an dan lain-lain yang mempunyai hubungan rapat dengan itu. [3]



     b.      Pengertian Takwil
Kata takwil merupakan masdar dari awwala, yaitu awwala, yu’awwila, ta’wil. Secara bahasa, ia berarti rujuk (kembali) kepada asal. Sedangkan takwil menurut istilah berarti memalingkan suatu lafal dari makna zahir kepada makna yang tidak zahir yang juga dikandung oleh lafal tersebut, jika kemungkinan makna itu sesuai dengan Al-kitab dan Sunnah.[4]
Al-Raghib al-Isfahany mengatakan bahwa takwil adalah mentarjihkan satu diantara makna-makna yang dimungkinkan oleh suatu lafaz dengan tampa memastikan[5]
Dalam al-Qur’an surat Ali Imran  ayat 7 Allah menerangkan tentang takwil
Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat[183], itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat[184]. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.

    c.   Perbedaan Tafsir dan Takwil
Para mufassirin berselisih pendapat dalam member makna tafsir dan takwil. Abu Ubaidah berkata : “Tafsir dan takwil satu makna”. Pengertian demikian dibantah sebagian ulama. Diantaranya Abu Bakar Ibn Habib an-Naisaburry. Al – Ashfahany berkata : “Tafsir lebih umum dari takwil. Tafsir lebih banyak dipakai mengenai kata-kata tunggal. Sedangka takwil lebih banyak dipakai mengenai makna dan susunan kalimat.
Kata Abu Thalib Ats Tsa’laby : “Tafsir ialah, menerangkan makna lafadh, baik makna hakikatnya maupun makna majaznya, seperti mentafsirkan makna Ash Shirath dengan jalan dan Ash Shaiyib dengan hujan. Ta’wil ialah, mentafsirkan bathin lafadh. Jadi tafsir bersifat menerangkan petunjuk yang dikehendaki, sedang ta’wil menerangkan hakikat yang dikehendaki.
Perbedaan-perbedaan tersebut dapat dipaparkan sebagai berikut :

a.       Tafsir
1.      Pemakaiannya banyak dalam lafazh-lafazh dan mufradat
2.      Jelas diterangkan dalam Al-Qur’an dan hadits-hadits sahih
3.      Banyak berhubungan dengan riwayat
4.      Digunakan dalam ayat-ayat muhkamat (jelas)
5.      Bersifat menerangkan petunjuk yang dikehendaki.

b. Takwil
1.      Pemakaiannya lebih banyak pada makna-makna dan susunan kalimat
2.      Kebanyakan diistinbath oleh para ulama
3.   Banyak berhubungan dengan dirayat
4.   Digunakan dalam ayat-ayat mutasyabihat (tidak jelas)
5.   Menerangkan hakikat yang dikehendaki


Contoh Takwil Al-Qur’an:   al-Qur’an surat thoha ayat 5                                                                       
(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas 'Arsy[6]

Ayat ini perlu dita’wilkan, menurut arti hakiki seperti yang difahamkan oleh Ibnu Taimiyah Ia mengartikan perkataan “istawa” dalam ayat ini artinya Tuhan yang maha esa itu duduk bersela diatas Arasy serupa dengan duduknya sendiri. Pendapat ini ditolak oleh kebanyakan ulama Ahlussunnah wal jamaah, mereka mengatakan bahwa jika arti “istawa” berarti duduk sama seperti manusia maka itu berarti menyamakan Tuhan dengan manusia.
Menurut Ahlussunnah wal jamamah arti “istawa” perlu ditakwilkan. Ulama salaf mentakwil bahwa arti istawa itu lebih baik jika diartikan , hanya diserahkan kepada kepada Tuhan, sambil mengi’tikadkan bahwa Tuhan itu tidak serupa dengan makhluk. Sedangkan ulama  khalaf mentakwilkan bahwa arti istawa dengan arti “istaula” yang berarti menguasai atau memerintah.[7]

2.      Terjemah Al-Qur’an dan Kaitannya dengan Tafsir     
a.       Pengertian Terjemah Al-Qur’an
Menurut pengertian bahasa ialah menerangkan dengan bahasa yang lain. Sedangkan menurut istilah terjemah itu ada dua pengertian, yaitu terjemah harpiah dan terjemah tafsiriah atau ma’nawiyah. Terjemah harpiah adalah memindahkan kata-kata dari suatu bahasa yang sinonim dengan bahasa yang lain dimana susunan kata yang diterjemahkan sesuai dengan susunan kata yang menerjemakan, begitu pula tertib bahasa yang diterjemahkan sesuai dengan tertib bahasa yang menerjemahkan. Sedangkan terjemah tafsiriyah atau ma’nawiyah ialah menjelaskan maksud kalimat (pembicaraan) dengan bahasa yang lain tanpa keterkaitan dengan tertib kalimat aslinya atau tanpa memeperhatikan susunannya.[8]

b.      Syarat-Syarat Terjemah Al-Quran
Secara umum, syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam tarjamah, baik tarjamah harfiyah maupun tarjamah tafsiriyah adalah:
a.       Penerjemah memahami tema yang terdapat dalam kedua bahasa, baik  pertama maupun bahasa terjemahnya;
  b.      Penerjemah memahami gaya bahasa (uslub) dan ciri-ciri khusus atau karakteristik dari kedua bahasa tersebut;
c.       Hendaknya dalam terjemahan terpenuhi semua makna dan maksud yang dikehendaki oleh bahasa pertama;
d.      Hendaknya bentuk (sighat) terjemahan lepas dari bahasa pertama (ashl). Seolah-olah tidak ada lagi bahasa pertama melekat dalam bahasa terjemah tersebut.[9]]

   C.    Sejarah Terjemah Al-Qur’an
 Dalam sejarah, penerjemahan al-Qur'an pertama kali dilakukan oleh ketua gereja Cluny, Petrus Agung Peter The Venerable asal Prancis pada tahun 1143 M. Dengan bantuan pendeta Robert Ketton asal Inggris dan Herman Dalmash dari Jerman, demi mendapatkan pengetahuan tentang al-Qur'an kitab umat Islam -yang pada zamannya menjadi agama yang berkembang pesat di Andalusia, Spayol- penerjemahan al-Qur'an kemudian ia lakukan.
Terjemahan tersebut sekitar empat abad lamanya hanya dimilki oleh gereja untuk dipelajari dan tidak diizinkan dicetak diluar gereja dengan alasan sepaya umat Kristen tidak mempunyai kesempatan mempelajari al-Qur'an terjemahan tersebut, hingga tidak aka ada penganut Kristen yang murtad dari agamanya.Pertengahan Abad 16 tahun 1543, di bawah pengawasan seorang Swiss bernama Teidoor, terjemahan ini kemudian dicetak. Tahun 1550 untuk kedua kalinya dicetak dalam tiga jilid. Meskipun mengandung kesalahan penerjemahan dan kekeliruan tidak sedikit, tapi kehausan bangsa Eropa untuk mempelajari kitab suci kaum Muslim disamping ketakutan serta kekhawatiran melakukan penerjemahan terhadap kitab mereka bila kemudian menyebar di tengah-tengah masyarakat non-Muslim, karya Petrus ini bukan hanya diterima di tengah bangsa Eropa, lebih dari itu, menjadi referensi terjemahan al-Qur'an untuk bahasa-bahasa Latin lain seperti Italia, Jerman dan Belanda."
Qur'an Karim, adalah satu-satunya kitab langit yang tidak mengalami perubahan.
Bagi umat Islam merupakan dasar hukum dan nilai sekaligus sumber keilmuan dalam agama ini. Al-Qur'an yang telah meletakkan batu bangunan peradaban kurang lebih seper empat penduduk bumi yang mayoritas di daerah timur. Bagi barat, tentu saja pintu masuk untuk memahami pemikiran umat Islam adalah mengetahui kitab suci agama Islam ini.
Atas dasar inilah, secara dini barat kemudian dengan keteguhan keras melakukan usaha penerjemahan melalui gelombang yang dikenal dengan Istisyraq (Westernisasi) dari bahasa Arab ke dalam bahasa Latin.[10]

3.      Macam-macam Metode Tafsir Dari Sisi Sumber  Penafsiran
       Sebelum lebih jauh membahas tentang metode dan pendekatan dalam    memahami (tafsir) Al Qur’an, kita fahami terlebih dahulu tentang metode itu sendiri. Kata  ”Metode” berasal dari bahasa Yunani yakni methodos, kata ini terdiri dari dua  kata, yakni meta, yang berarti menuju, melalui, mengikuti, sesudah; dan kata modos¸ yang berarti jala, perjalanan, cara dan arah. Kata methods sendiri berarti penelitian, metode ilmiah, hipotesa ilmiah atau uraian ilmiah.
                         Dalam bahasa Inggris, kata tersebut sering disebut dengan method, dan dalam bahasa Arab kata tersebut diterjemahkan dengan istilah manhaj atau Thariqah. Dalam bahasa Indonesia sendiri istilah tersebut diartikan sebagai cara yang teratur, terpikir, baik-baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu Pengetahuan dan sebagainya); cara kerja yang tersistem dan untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai sesuatu yang ditentukan.  Dalam kaitannya dengan studi Al Qur’an, maka istilah metode dapat diartikan sebagai cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksudkan Allah dalam ayat-ayat Al Qur’an yang diturunkan melalui perantara Nabi Muhammad SAW.
Secara umum para ulama telah membagi tafsir menjadi dua bagian yaitu: Tafsir bi al-riwayah, atau disebut juga dengan tafsir bi al-ma’tsur, dan tafsir bi al-dirayah atau disebut juga dengan tafsir bi al-ra’y.[11]

a.       Tafsir bi al-Ma’tsur
  Tafsir bi al-ma’tsur adalah cara menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang bersumber dari nash-nash, baik nash al-Qur’an, sunnah Rasulullah saw, pendapat (aqwal) sahabat, ataupun perkataan (aqwal) tabi’in. Dengan kata lain
 yang dimaksud dengan tafsir bi al-ma’tsur adalah cara menafsirkan ayat al-Qur’an dengan ayat al-Qur’an, menafsirkan ayat al-Qur’an dengan sunnah, menafsirkan ayat al-Qur’an dengan pendapat para sahabat, atau menafsirkan ayat al-Qur’an dengan perkataan para tabi’in.
           Oleh karena itu, untuk menafsirkan al Qur`an maka metode yang tepat adalah mencari hadis yang berkaitan dengan ayat tersebut setelah tidak didapatkan ayat al -Qur`an yang lain yang menjelaskan ayat tersebut. Apabila memang tidak ada ayat dan atau hadis nabi Muhammad saw yang dapat menafsirkan sebuah ayat al- Qur`an maka yang digunakan adalah pendapat-pendapat para sahabat karena mereka lebih tahu tentang asbabun nuzul dan tingkat keimanan mereka adalah yang tertinggi di kalangan pengikut Rasulullah saw.
Dalam pertumbuhannya, tafsir bil ma’tsur menempuh tiga periode, yaitu:
1.      Periode I, yaitu masa Nabi, Sahabat, dan permulaan masa tabi’in ketika belum tertulis dan secara umum periwayatannya masih secara lisan (musyafahah).
2.      Periode II, bermula dengan pengodifikasian hadits secara resmi pada masa pemerintahan Umar bin Abd Al-Aziz (95-101). Tafsir bil al-Ma’tsur ketika itu ditulis bergabung dengan penulisan hadits dan dihimpun dalam salah satu bab-bab hadits.
3.     Periode III, dimulai dengan penyusunan kitab Tafsir bil al-Ma’tsur yang secara khusus dan berdiri sendiri. baik al-Qur’an dengan ayat al-Qur’an, al-Qur’an dengan hadis, dan al-Qur’an dengan pendapat sahabat. tafsir inilah jalan ma’rifah yang sahih dan metode yang dikenal. Inilah tafsir yang tidak mungkin menyelewengkan dalam kitabullah.
      Beberapa kitab tafsir bil ma`tsur yang terkenal diantaranya tafsir Ibnu Abbas dengan judul Tanwiirul Miqbas min Tafsiiri Ibn Abbas, tafsir at Thabari dengan judul Jamii’ul Bayaan fii Tafsiiril Qur`an, tafsir Ibnu ‘Atiyyah dengan judul Muharrarul Wajiiz fi Tafsiiril Kitaabil ‘Aziz, dan tafsir Ibnu Katsir dengan judul Tafsirul Qur`anul ‘Azhim.
b.      Tafsir bi al-ra’y
Cara penafsiran bil ma’qul atau lebih populer lagi bir ra`yi menambahkan fungsi ijtihad dalam proses penafsirannya, di samping menggunakan apa yang digunakan oleh tafsir bil ma`tsur. Penjelasan-penjelasannya bersendikan kepada ijtihad dan akal dan berpegang teguh kepada prinsip-prinsip bahasa Arab dan adat-istiadat orang Arab dalam mempergunakan bahasanya.
Husayn al Dhahaby menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tafsir bir ra`yi adalah penafsiran al Qur`an atas dasar ijtihadnya yang berlandaskan pengetahuannya tentang penuturan bangsa Arab dan arah pembicaraan mereka serta pengetahuannya tentang lafal bahasa Arab dan makna yang ditunjukkannya dengan menjadikan syair jahily sebagai acuan dan panduannya. Meskipun demikian, lanjut al Dhahaby, asbaabun nuzuul, naasikh wa mansuukh, dan alat bantu lainnya merupakan pengetahuan-pengetahuan yang tetap harus dikuasai dan digunakan dalam penafsiran ini

4.      Dari Segi langkah-langkah Tafsir
1.      Tahlili
           Tahlili adalah akar kata dari hala, huruf ini terdiri dari huruf ha dan lam, yang berarti membuka sesuatu,[12]
            sedangkan kata tahlily sendiri masuk dalam bentuk infinitf (mashdar) dari kata hallala, yang secara semantik berarti mengurai, menganalisis, menjelaskan bagian-bagiannya serta memiliki fungsi masing-masing.[13]
           Secara terminologi metode Tahlily adalah menafsirkan ayat-ayat A-l Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan dengan menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufassir yang menafsirkan ayat-ayat terebut; ia menjelaskan dengan pengertian dan kandungan lafadz-lafadznya, hubungan ayat-ayatnya, hubungan surat-suratnya, asbabun nuzulnya hadis-hadis yang berhubungan dan pendapat para mufasir terdahulu yang diwarnai oleh latar belakang  pendidikan dan keahliannya
Biasanya mufasir dalam menafisirkan dengan motode tahlily ini ayat demi ayat, surah demi surah, yang mana semuanya sesuai dengan urutan mushaf dan juga asbabun nuzul ayat yang ditafsirkan.
4.    Macam-macam pendekatan metode Tahlily
a).    Pendekatan Bi al-Matsur
           Tafsir dengan metode Riwayat (matsur) adalah rangkaian keterangan yang terdapat dalam Al Qur’an, sunah, atau kata-kata sahabat sebagai penjelasan maksud dari firman Allah, yaitu penafsiran Al Qur’an dengan sunah nabawiyah. Dengan kata lain yang dimaksud dari tafsir al matsur adalah tafsir Al Qur’an dengan Al Qur’an, Al Qur’an dengan As-Sunah atau penafsiran Al Qur’an menurut atsar yang timbul dari kalangan sahabat.[14]
Contoh Tafsir Al Qur’an dengan Al Qur’an ; Q.S (5) : 1
 
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.
           Ayat ini menjelaskan tentang  binatang ternak yang halal. Kemudian dijelaskan lagi dalam ayat berikutnya, Q.S Al Maidah (5) :3
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah], daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya], dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini, orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa. karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

           Ayat ini menjelakan lagi tentang maksud kandungan ayat yang umum diatas bahwa ada hal-hal yang diharamkan dari makanan tersebut, termasuk didalamnya binatang ternak yang haram.
Contoh tafsir Al Qur’an dengan Sunah, Q.S Al Baqarah (2) : 238, yang menegaskan tentang shalat Wustha
Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa]. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu'.
           Ayat ini dijelaskan oleh  Rasul dengan sunnahnya yang menjelaskan bahwa  pengertian tersebut dengan Shalat Ashar.

b).    Pendekatan bi Al-Ra’yu
           Al-Ra’yu secara etimologi berarti keyakinan, qiyas dan ijtihad. Sedangkan menurut ’ulama tafsir, metode ini dinamakan dengan tafsir ra’yu atau tafsir dengan akal (ma’qul), adalah karena penafsiran kitab Allah bertitik tolak dari pendapatnya dan ijtihadnya, tidak berdasarkan pada apa yang dinukilkan dari sahabat atau Tabi’in. Namun ayng dimaksud Ra’yu disini adalah ijtihad yang didasarkan pada dalil-dalil yang shahih, kaidah yang murni dan tepat, bisa diikuti serta sewajarnya digunakan oleh orang yang hendak mendalami tafsir Al Qur’an atau mendalami pengertiannya. Maksud Ra’yu disini bukanlah menafsirkan Al Qur’an berdasarkan kata hati atau kehendaknya. Al-Qurtubi mengatakan ;”barangsiapa yang menafsrkan Al-Qur’an berdasarkan imajinasinya (yang tepat menurut pendapatnya) tanpa berdasarkan kaidah-kaidah, maka ia adalah termasuk orang-orang yang keliru dan tercela.[15]
           Terdapat banyak perdebatan (pro dan kontra) mengenai boleh atau tidaknya menafsirkan Al Qur’an dengan pendekatan al-Ra’yu­ (akal). Diantara sekian banyak ’ulama yang ada, mayoritas ’ulama enggan menafsirkan Al Qur’an dengan pendekatan al Ra’yu. Karena hal ini berdasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Turmuzi dari Jundab,


artinya : barang siapa yang menafsirkan Al Qur’an dengan ra’yunya kebetulan tepat, niscaya ia telah melakukan kesalahan.
           Dari perdebatan yang ada, tidak berarti pendekatan tafsir Al Qur’an dengan ra’yu tidak mendapat tempat dikalangan ulama.
           Sebagian ulama yang menerima menafsirkan Al Qur’an dengan pendekatan al-ra’yu ini memberikan syarat-syarat dan kaidah-kaidah yang ketat. Diantara syarat-syaratnya adalah :
(1). Menguasai Bahasa Arab dan cabang-cabangnya,
 (2). Menguasai Ilmu-ilmu Al Qur’an,
(3). Berakidah yang baik dan benar,
4. Mengetahui prinsip-prinsip pokok-pokok agama Islam
5. menguasai imu yang berhubungan dengan pokok bahasan ayat-ayat yang ditafsirkan.[16]

           Contoh dari tafsir ayat Al Qur’an dengan pendekatan ra’yu adalah pada Q.S. al Isra : 72
 
 Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).

           Kalau memahami ayat tersebut secara tekstual, tentunya akan terdapt kekeliruan dalam memahaminya. Sebab dalam ayat itu menjelaskan bahwa setiap orang yang buta adalah celaka dan rugi serta akan masuk neraka jahanam. Padahal yang dimaksud dengan buta pada ayat tersebut adalah bukanlah buta mata, akan tetapi buta hati. Hal ini kemudian didukung dengan penjelaasan ayat lainnya. Yakni Q.S. Al Hajj : 46
maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.

pada ayat ini dijelaskan dengan tegas ”bukanlah matanya yang buta, akan tetapi yang buta ialah buta hati.
Terkait dengan tafsir Al Qur’an dengan pendekatan Ra’yu ini tidak luput dari adanya kelebihan dan kekurangan. Adapun kelebihannya adalah sebagai berikut
a.        Ruang lingkup yang luas.
b.      Dapat menampung berbagai ide yang ada.
c.       Hal terpenting dari pendekatan dengan ra’yu ini adalah, apabila kita hendak menginginkan pemahaman dan maksud dari ayat Al Qur’an yang lebih luas dan mendalam dengan melihat dari beberapa aspek yang ada, tidak ada jalan lain kecuali dengan menggunakan pendekatan ra’yu.
d.      Adapun kekurangan dari pendkatan ra’yu adalah sebagai berikut :
e.       Menjadikan petunjuk ayat al Qur’an yang ada bersifat parsial. Hal ini menimbulkan kesan seakan-akan Al Qur’an memberikan pedoman tidak utuh dan konsisten  karena adanya perbedaan, akibat dari tidak diperhatikannya ayat-ayat yang mirip.
f.        Melahirkan penafsiran yang bersifat subyektif. Hal ini berakibat banyaknya mufasir yang menafsirkan Al Qur’an sesuai dengan kemauan hawa nafsunya.
g.       Masuknya pemiiran israiliat. Hal ini terjadi akibat dari terlalu lemahnya dalam membatasi pemikiran-pemikiran yang ada.[17]

           Contoh dari kitab-kitab tafsir yang menggunakan metode ra’yu adalah kitab Hadarik al-Tanzil wa Haqiq al-ta’wil karya Mahmud al-Nasafiy, kitab Anwar al-tanzil wa Asrar al ta’wil karya al-Baidhuwiy dan lain-lainnya.

2.       Tafsir Muqoran
            Secara etimologis kata maqarin adalah merupakan bentuk isim al-fa’il dari kata qarana, maknannya adalah membandingkan antara dua hal. Jadi dapat dikatakan tafsir maqarin adalah tafsir perbandingan. Secara terminologis adalah menafsirkan sekelompok ayat Al Qur’an atau suatu surat tertentu dengan cara membandingkan antara ayat dengan ayat, atau atara ayat dengan hadis, atau antara pendapat ulama tafsir, dengan menonjolkan aspek-aspek perbedaan tertentu dari obyek yang dibandingkan.[18]
            Dari berbagai literarur yang ada, pengertian metode Maqarin dapat dirangkumkan dalam beberapa pemahaman :
   (1). Metode yang membandingkan teks (nash) ayat-ayat Al Qur’an yang memiliki  atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih, atau memiliki redaksi yang berbeda bagi suatu kasus yang sama,
                2). Adalah membandingkan ayat Al Qur’an dengan hadis yang pada lahirnya 
                     Pertentangan.
                           3). adanya Membandingkan berbagai pendapat ulama tafasir dalam      menafsirkan Al Qur’an.
                                    Adapun tujuan penafsiran Al Qur’an secara Maqarin adalah untuk membuktikan bahwa antara ayat Al Qur’an satu dengan yang lainnya, antara ayat Al Qur’an dengan matan suatu hadis tidak terjadi pertentangan.
                    
a.      Ciri-ciri Metode Maqarin (perbandingan/komparatif)
            Dilihat dari aspek sasaran (objek) bahasa terdapat tiga aspek yang dikaji dalam perbandingan yaitu perbandingan ayat dengan ayat perbandingan dalam aspek ini dapat dilakukan pada semua ayat, baik itu pemakaian mufradat, urutan kata maupun kemiripan redaksi, semua hal ini dapat dibandingkan. Jika yang akan dibandingkan itu memiliki kemiripan redaksi, maka langkah-langkah nya adalah sebagai berikut :
 a. Mengidentifikasi dan mengumpulkan ayat-ayat Al Qur’an yang redaksinya bermiripan, sehingga dapat diketahui mana ayat yang mirip dan mana ayat yang tidak mirip.
(b). Memperbandingkan antara ayat-ayat yang redaksinya bermiripan, memperbincangkan satu kasus yang sama, atau dua kasus yang berbeda dalam suatu redaksi yang sama.
(c). menganalisis perbedaan yang terkandung di dalam berbagai redaksi tentang ayat yang dijadikan objek bahasan.[19]

            Perbandingan ayat dengan hadis
            Perbandingan penafsiran dalam aspek ini terutama yang dilakukan adalah terhadap ayat-ayat Al Qur’an yang tampak pada lahirnya bertentangan dengan hadis-hadis Nabi yang diyakini Shahih, hadis-hadis yang dinyatakan dhoif tidak perlu dibandingkan dengan Al Qur’an, karena level dan kondisi keduanya tidak seimbang. Hanya hadis yang shahih saja yang akan dikaji dalam aspek ini apabila ingin dibandingkan dengan ayat-ayat Al Qur’an. Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut :
                        a).  Menghimpun ayat-ayat yang pada lahirnya tampak bertentangan dengan hadis-hadis Nabi, baik ayat-ayat tersebut mempunyai kemiripan redaksi dengan ayat-ayat lain atau tidak.
                        b). Membandingkan dan menganalisis pertentangan yang dijumpai didalam kedua teks ayat dan hadis
                       c).    Membandingkan antara berbagai pendapat para ulama tasir dalam menafsirkan ayat dan hadis.
                   Contoh tafsir muqoron :
                  

                         Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar. Demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya).

                         Ayat ini mempunyai perbedaan dari ayat lain yaitu  surat al-Isro’ ayat  31


          
                  Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.

                       Ayat  di atas surat al-An’am ayat 151 dibandingkan dengan aya surat al-Isro ayat 31,  lalu seorang mufassir menguraikan tentang perbedaan dan persamaan  dari masing-masing kandungan ayat-ayat  tersebut.
                 Tafsir dengan metode maqarin (perbandingan) mempunyai beberapa kelebihan dan kekurangan. Namun apapun yang terjadi, metode ini menjadi amat penting tatkala para mufasir hendak mengembangkan pemikirannya dalam menafsirkan Al Qur’an dengan cara yang rasional dan objektif, sehingga kita mendapatkan gambaran yang komprehensif berkenaan dengan latar belakang lahirnya suatu penafsiran dan sekaligus dapat dijadikan perbandingan dan pelajaran dalam mengembangkan penafsiran Al Qur’an pada periode-periode selanjutnya. Adapun kelebihan metode maqarin adalah sebagai berikut :
a.       Memberikan wawasan yang luas
b.      Membuka diri untuk selalu bersikap toleran
c.       Dapat mengetahui berbagai penafsiran
d.      Membuat mufasir lebih berhati-hati

                 Adapun kekurangan dari metode maqarin adalah sebagai berikut :
a.       Tidak cocok untuk pemula
b.      Kurang tepat untuk memecahkan masalah kontemporer
c.       Menimbulkan kesan pengulangan pendapat

3.      Metode Maudhu’i (Tematik)
     Kata maudhu’iy ini dinisbahkan kepada kata al-Mawdhu’i, artinya adalah topik atau materi suatu pembicaraan atau pembahasan secara semantik. Jadi tafsir mawdhu’i adalah metode yang ditempuh oleh seorang mufassir dengan cara menghimpun seluruh ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara tentang satu masalah / tema serta mengarah kepada satu pengertian dan satu tujuan sekalipun ayat-ayat turunnya berbeda tersebar dalam berbagai surat dalam al-Qur’an dan berbeda pula waktu dann tempat turunnya[20]
 Tafsir ayat Al Qur’an dengan metode ini memiliki dua bentuk :
a).     Menafsirkan satu surat dalam Al Qur’an secara menyeluruh dan utuh dengan menjelaskan tujuannya yang bersifat umum dan khusus, serta menjelaskan korelasi antara persoalan-persoalan yang beragam dalam surat tersebut, sehingga satu surat tersebut dengan berbagai masalahnya merupakan satu kesatuan yang utuh.
       b).    Menafsirkan dengan cara menghimpun ayat-ayat Al Qur’an yang membahas satu masalah tertentu dari berbagai ayat dan surat Al Qur’an yang diurut sesuai dengan urutan turunnya, kemudian menjelaskan pengertian secara menyeluruh dari ayat-ayat tersebut untuk menarik petunjuk al- Qur’an secara utuh tentang masalah yang akan dibahas.
           Dalam menafsirkan ayat Al Qur’an dengan metode Maudhu’i ada beberapa langkah yang harus dilewati oleh para mufasir, antara lain :
a).   Menghimpun ayat-ayat yang berkenaan dengan judul yang sesuai dengan kronologi urutan turunnya ayat tersebut. Langkah ini diperlukan guna mengetahui kemungkinan adanya ayat Al Qur’an yang mansukh.
b).  Menulusuri latar belakang turunnya ayat-ayat Al Qur’an yang telah dihimpun
c).   Meneliti dengan cermat semua kata atau kalimat yang dipakai dalam ayat tersebut, terutama adalah kosa kata yang menjadi pokok permasalahan pada ayat tersebut. Setelah itu ayat tersebut dikaji dari berbagai aspek yang masih berkaitan dengannya seperti bahasa, budaya, sejarah dan munasabat.
d).  Mengkaji pemahaman ayat-ayat dari pemahaman berbagai aliran dan pendapat para mufasir, baik yang klasik maupun yang kontemporer.
e).    Mengkaji semua ayat secara tuntas dan seksama dengan menggunakan penalaran yang objektif melalui kaidah-kaidah tafsir yang mu’tabar serta didukung oleh fakta-fakta sejarah yang ditemukan.

Adapun contoh dari tafsir maudu’i adalah berbicara tentang masalah riba dalam al-Qur’an .
39. Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya). (Qs. Al-Rum : 39 )
161. dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih. (QS. Al-Nisa : 161 )
           130. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda[228]] dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. (QS.Ali Imran :130 )
 278. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.(QS. Al-Baqorah :278

Ayat-ayat diatas adalah ayat-ayat yang berbicara dalam satu tema (Maudu’i) yaitu  tentang riba, kemudian seorang mufassir mengklasifikasikan ayat-ayat tersebut mana ayat yang pertama turun, yang kedua, ketiga dan yang terakhir lalu diambillah suatu tafsir kesimpulan bahwa al-qur’an melarang riba secara beransur-ansur, namun pada tahapan terakhir al-Qur’an melarang riba dalam berbagai bentuknya.

           Metode tafsir ayat Al Qur’an secara tematik sangat membantu masyarakat agar semua persoalan yang ada dapat dipecahkan berdasarkan Al Qur’an, selain itu juga guna membimbing masyarakat Muslim kejalan yang benar. Metode ini pun tak luput dari adanya kelebihan dan kekurangan. Adapun kelebihannya adalah sebagai berikut :
a.        Dapat menjawab semua persoalan masyarakat sesuai dengan kondisinya
b.      Lebih praktis dan sistematis
c.        Sangat dinamis
d.      Menafsirkannya lebih utuh
Adapun kekurangannya adalah sebagai berikut :
a.        Memenggal ayat Al Qur’an
b.       Membatasi pemahaman ayat

            Ayat-ayat Al Qur’an yang sangat banyak ini sejatinya dapat menjawab semua persoalan yang terjadi pada masyarakat. Namun kesan yang ada pada saat ini seakan-akan ayat al- Qur’an masih mengandung misteri sehingga belum mampu menjawab semua persoalan yang ada. Kesan dan pemahaman yang keliru ini adalah akibat dari ”miskin”nya cara, metode dan pendekatan dalam memahami dan menafsirkan ayat Al Qur’an. Metodologi tafsir Al Qur’an adalah salah satu cara untuk mengkaji, memahami dan menguak lebih jauh maksud dan kandungan dari ayat-ayat Al Qur’an. Metode tafsir yang adapun sangat beragam model, bentuk dan pendekatannya.
              Adalah suatu hal yang sangat penting bagi kita untuk mengetahui dan memahami macam-macam metode tafsir ayat Al Qur’an yang ada dengan berbagai macam pendekatannya, jika hal ini telah kita ketahui, maka ayat-ayat Al Qur’an semakin hidup dan mampu untuk menjawab segala persoalan masyarakat yang berkembang begitu cepat. Hal ini semakin mempertegas bahwa Al Qur’an adalah wahyu Allah yang menjadi rujukan dan sumber utama semua umat Islam.

5.       Macam-macam  Corak Tafsir
           Corak penafsiran al-Qur’an  adalah  bagaimana para ulama menafsirkan  al-Qur’an sesuai dengan bidang keilmuan yang mereka dalami sehingga ketika mereka menafsirkan al-Qur’an sangat terpengaruh oleh disiplin ilmu yangkeilmuan yang berbeda-beda , sehingga tafsir yang mereka hasilkan tersebut berbeda-beda yang memiliki corak  sesuai dengan ilmu yang mereka kuasai.
           Adapun maca-macam corak tafsir tersebut antara lain adalah :
          
a.    Tafsir Fiqhi
             Tafsir fiqhi adalah corak petafsiran yang lebih banyak menyoroti masalah-masalah fiqhi  dari segi sumber penafsirannya. Penafsiran ayat al-Qur’an yang dilakukan oleh para tokoh suatu mazhab untuk dapat dijadikan sebagai dalil atas pembenaran terhadap mazhabnya, tafsir fiqhi dapat ditemukan dalam kitab-kitab fiqhi karangan imam-imam  dari berbagai mazhab yang berbeda. Sebagaimana kita temukan sebahagian ulama yang yang mengarang kitab tafsir bercorakkan fiqhi adalah Ah-kam al-Qur’an” karangan al-Jasshash. [21]  dll.

        Adapun contoh tafsir fiqhi adalah seperti  tafsir surat al-Maidah ayat  6

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh  perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.
         
        Ar-Razy memiliki kecenderungan mengikuti mazhab Syafi’i , ini terlihat ketika dia menafsirkan ayat-ayat hukum, seperti menjelaskan ayat ini. meskipun Ar-Razy  mengemukakan pendapat- pendapat fuqoha, namun pada kesimpulannya ia akhirnya merujuk kepada pendapat imam Syafi’i hal ini disebabkan karena Ar-Razy adalah pengikut setia mazhab Syafi’i.[22]
         

b.    Tafsir Falsafi/ilmu kalam
        Tafsir Falsafi adalah tafsir yang dalam penjelasannya menggunakan pendekatan filsafat, termasuk dalam hal ini adalah tafsir yang bercorakkan kajian ilmu kalam dan dari segi sumber penafsirannya.  tafsir bercorak falsafi ini termasuk tafsir bi-al-ra’yi. Dalam faktanya penafsiran ini dilakukan setalah buku-buku filsafat Yunani kuno banyak yang diterjemahkan kedalam bahasa Arab, selain itu juga dikarenakan banyak tokoh-tokoh Islam yang berhasil mempelajari dan mengembangkan teori filsafat Yunani kuno yang dirasakan serasi dan sesuai dengan tuntunan-tuntunan agama
Contoh kitab tafsir falsafi adalah Tafsir Mafath al-Ghaib karangan al- Fakhr al-Razi.  Dalam kitab tersebut ia menempuh cara ahli filsafat keutuhan dalam mengemukakan dalil-dail yang didasarkan kepada ilmu kalam dan simantik (logika) [23]
Sebagai contohnya  uraian tafsir surat fussilat ayat 2-4
          Diturunkan dari Tuhan Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
 Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui,
 
yang membawa berita gembira dan yang membawa peringatan, tetapi kebanyakan mereka berpaling, tidak mau mendengarkan.

                Dalam menguraikan ayat Fussilat ayat 2-4 ini,  Ar-Razy membahas masalah al-Qur’an Qadim atau Hadits (makhluk)  ia menguraikan pandangan Mu’tazilah dan Asy’ariyah  namun pada akhirnya Ar-Razy cenderung membela paham Asy’ariyah ia membela faham Asy’riyah yang berkesimpulan bahwa al-Qur’an itu qodim [24]
            Demikian pula pada tafsir al-kasysyaf  yang disusun oleh az-zamarkasi, yang sangat cenderung pada mu’tazilah sebagai kesimpulannya  terutama ketika menguraikan ayat-ayat yang muhkamat dan mutasyabihat.

c.    Tafsir Isyari/ Shufi
Tafsir Isyari  disebut  juga dengan tafsir Shufi adalah penafsiran orang-orang sufi terhadap al-Qur’an yang menggunakan pendekatan Shufi.
Tafsir ini bermula dari anggapan orang shufi yang beranggapan bahwa latihan rohani (riyadhah) yang dilakukan kaum shufi terhadap dirinya akan menyampaikan kesuatu tungkat dimana dia dapat menyingkap isyarat-isyarat qudus yang terdapat dibalik ungkapan-ungkapan ayat-ayat al-Qur’an dan akan tercurah pula kedalam hatinya dari limpahan ghaib.
Dalam pendekatannya tafsir Shufi ini dipengaruhi oleh faham-faham sufisme seperti konsep tentang khauf, mahabbah, ma’rifat, hulul, dan wihdat al-wujud. Ad apun kitab-kitab shufi  adalah Tafsir Al-Qur’an al-Azhim karangan Imam al-Tusturi . Haqa’id at-Tafsir karangan al-Allamah as-Sulami  [25]
        Contoh Tafsir Shufi adalah tafsir terhadap surat an-Nisa’ ayat 66
66. Dan sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka: "Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampungmu", niscaya mereka tidak akan melakukannya kecuali sebagian kecil dari mereka. Dan sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (iman mereka).

          Ayat ini ditafsirkan oleh orang-orang shufi,  bunuhlah dirimu dengan melawan hawa nafsumu , atau keluarlah dari dalam rumah-rumahmu , dengan membuang perasaan cinta  kepada kenikmatan dunia dari dalam hatimu.[26]


d.   Tafsir Adabi  Ijtima’i.
        Tafsir Adabi Ijtima’i adalah tafsir yang menekankan pembahasannya pada masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Dari segi sumber penafsirannya tafsir   Ijtima’i termasuk tafsir bi al-ra’yi. Namun ada juga sebahagian ulama yang mengkategorikannya sebagai tafsir bil-Izdiwaj ( tafsir campuran ) karena prosentase antara atsar dan akal itu seimbang.
Tafsir adabi adalah merupakan corak baru yang menarik pembaca dengan mengungkapkan tentang hukum-hukum alam, tatanan-tatanam dalam kemasyarakatan yang dikandungnya, yang menumbuhkan kecintaan kepada al-Qur’an serta memotifasi untuk menggali makna-makna dan rahasia-rahasia al-Qur’an . Diantara kitab tafsir adhabi adalah kitab tafsir al-Manar karangan Muhammad Abduh dan Rasyid Ridho


       d.Tafsir ‘Ilmi
        Tafsir Ilmi adalah penafsiran ayat-ayat kauniyah yang terdapat dalam al-Qur’an dengan mengaitkannya dengan ilmu-ilmu pengetahuan modern yang timbul pada masa sekarang. Tafsir Ilmi ini lebih menekankan kepada pembahasannya kepada ilmu-ilmu pengetahuan umum dan dari segi sumbernya, tafsir ini juga termasuk tafsir bi-al-Ra’yi.   Diantara kitab tafsir Ilmi adalah kitab al-Islam Yata’Adda, karangan al-Allamah Wahid al-Din Khan.





                                          


III.                      Kesimpulan:
           Dari beberapa uraian diatas dapat disimpulkan antara lain adalah :
1.      Tafsir ialah suatu ilmu yang menerangkan atau menjelaskan tentang kandungan ayat dan segala sesuatu yang berhubungan dengan kandungan ayat tersebut, seperti nuzul Qur’an, kisah-kisah, makkiyah madaniyah, muhkamat mutasyabihat nasikh am sehingga kandungan ayat itu menjadi jelas.
2.      Ta’wil ialah Memalingkan suatu lafaz dari makna yang zhahir kepada makna yang lain yang dapat diterima  sesuai dengan al-Qur’an dan al-Sunnah.
3.      Terjemah adalah memindahkan kata-kata  dari suatu bahasa kepada bahasa yang lain dimana susunan kata yang diterjemahkan sesuai dengan susunan kata yang menerjemahkanMacam-macam metode tafsir dari segi sumber penafsiranan
a.       Tafsir bi al-Mat’tsur, yaitu menafsirkan Al-Qur’an dengan al-Qur’an, dengan Sunnah, atau dengan aqwal sahabat
b.      Tafsir bi al-Ra’y , yaitu menafsirkan ayat al-Qur’an dengan menggunakan ijtihad mufassir  dan menjadikan akal pikiran sebagai pendekatan utama
4.      Ditinjau dari segi langkah-langkah tafsir dapat dibagikan kepada
a.       Tafsir Tahlili yaitu tafsirsir dengan pendekatan bi al-Matsur dan tafsir dengan pendekatan bi al-Ra’yi
b.      Tafsir muqoron yaitu tafsir yang membandingkan dua ayat dengan menonjolkan aspek persamaan dan perbedaan keduanya
c.       Tafsir Maudhu’i ( Tematik ) yaitu tafsir dengan cara menghimpunkan seluruh ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara tenatang suatu tema lalu diurutkan ayatnya kemuadian diambil suatu kesimpulan
5.      Macam-macam corak tafsir antara lain adalah
a.       Tafsir Fiqhi yaitu tafsir yang lebih banyak menyoroti masalah-masalah fiqih
b.      Tafsir Falsafi / ilmu Kalam , yaitu tafsir yang menjelaskan ayat yang lebih banyak menggunakan pedekatan filsafat dan ilmu kalam
c.       Tafsir Isyari / Shufi,  adalah tafsir yang menggunakan pendekkatan-pendekatan shufi ( tasauf ).
d.      Tafsir Adabi Ijtima’i, adalah tafsir yang menekankan pembahasannya pada masalah-masalah sosial kemasyarakatan
e.       Tafsir Ilmi, suatu tafsir yang menafsirkan ayat-ayat kauniyah yang terdapat dalam al-Qur’an serta menghubungkannya dengan pengetahuan modren.


                                      






















DAFTAR PUSTAKA
Hasby Ash-shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra, 2009
Al-Aridh, Ali Hasan, Sejarah dan Metodologi Tafsir, Jakarta : Rajawali Pers, 1992.
Ali Ash-Shabuuniy, Muhammad, Studi Ilmu Al Qur’an, alih Bahasan, Amiudin, (Bandung : Pustaka Setia, 1999).
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya, Bandung : CV. J-ART, 2005
Al-Farmawy, Abu al-Hayy,  AL Bidayah Fi ala Tafsir al-maudhu’iy, (Mesir : Maktabah al-Jumhuriyyah, 1977).
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an , Mizan, Bandung 1995
Said Agil Al-Munawwar, Al-Qur’an Membangun Tradisi   Kesalehan Hakiki, Ciputat  Jakarta 2004
Ahmad ibn Faris ibn Zakariya, Mu’jam Maqayis al-Lughah, Juz 11 (Mesir : Isa al-Babiy al-Halabiy, 1990).
Baidan, Nasrudin, Metode Penafsiran Al Qur’an, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002).
Jalal, Abdul, Urgensi Tafsir Madhui Pada Masa Kini, (Jakarta : Kalam Mulia, 1990)
M. Karman, Supriana, Ulumul Qur’an dan Pengenalan Metodologi Tafsir, (Bandung : Pustaka Islamika, 2002).
Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. 1 (Jakarta :Gramedia, 1977)








[1] Hasby Ash-shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, (Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra, 2009), hal. 153

[2].Hasby Ash-shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/Tafsir ( Jakarta : Bulan Bintang, 1974), hal.179

[3].Ibid, hal. 180  
[4] Kadar M. Yusuf, Studi Al-Qur’an, ( Jakarta : Amzah, 2009 ), hal. 128
[5] Ali Hasan al-Aridl, sejarah dan metodologi Tafsir,  Jakarta : Rajawali Pers, 1992 hlm 3
[6] .Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya, (Bandung : CV. J-ART, 2005), hal. 140
[7] . Sirajuddin Abbas, I’tikad Ahlus sunnah wal Jamaah, cet . 5 hlm 174.


[8] Mashuri Sirojuddin Iqbal dan A. Fudlali, Pengantar Ilmu Tafsir, ( Bandung : Angkasa, 1994), hal.93
[9] . http://haidarchace.wordpress.com/2011/11/07tafsir-al-quran/

[10]Htp://www.imanjama.org/index.php?option=com_content&view=article&id=sejarah-terjemah-al-quran&catid.2011/11/08

[11] Ahmad Syadali dan Ahmad Rofi’I, Ulumul Qur’an II, (Bandung : CV. Pustaka Setia, 2000 ), hal. 53

             11.  Ibrahim  Musthafa, al-Mu’jam al-Washit, Juz 11, Mesir :  Isa al-Babiy – al-Halabiy 1990 hlm 20
[13] Abu al-Hayyan al-Farmawiy, al-Bidayah Fi ala al-Maudu’iy, Mesir  : Maktabah al-Jumuhuriyyah, 1977 hlm 52

[14] . Muhammad Ali Ash-Shabuuniy, Studi Ilmu al-Qur’an, Alih bahasa , Amiudin, Bandung ; Pustaka Setia 1999 hlm 248
[15] . Ibid, hlm 258
[16] . Supriana dan M Karman, Ulumul Qur’an dan Pengenalan Metodologi Tafsir, Bandung: Pustaka Islamika, 2002 hlm.308
[17]. Nasrudin Baidah, Metodologi penafsiran al-Qur’an Ibid
[18] Abu Hayyan al-Farmawi, Ibid hlm 45
[19] . Nasrudin Baidah, Ibid, hlm  69
[20] .Said Agil Husein al-Munawwar, al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan hakiki, Jakarta Pt Intermasa 2002 hlm 74
[21]. Ibid hlm. 71
[22] Ibid , hlm.112-113
[23]. Ibid hlm. 72
[24] Ibid, hlm 111
[25] . Ibid hlm 71
[26]L Ibid, hlm. 91 

SHARE THIS POST   

  • Facebook
  • Twitter
  • Myspace
  • Google Buzz
  • Reddit
  • Stumnleupon
  • Delicious
  • Digg
  • Technorati
Author: Mohammad
Mohammad is the founder of STC Network which offers Web Services and Online Business Solutions to clients around the globe. Read More →

0 komentar: