Download this Blogger Template by Clicking Here!

PROFIL

https://web.facebook.com/irwan.a.lovers

Rabu, 12 Oktober 2016

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP MENJAMAK, QASHAR DAN MENQADHA SHALAT BAGI PENGANTIN SAAT MELAKSANAKAN PESTA PERNIKAHAN





Abstrak
Pada era modern nilai materialisme (madiyyah) lebih dominan dibandingkan spiritualisme (ruhiyyah), sehingga orang berpegang teguh pada agama seperti memegang bara api. Praktek nilai-nilai agama selalu ingin mengambil jalan termudah dan terlalu cepat dikondisikan sebagai masyaqqah. Kasus pada saat resepsi pernikahan (walimah al-`urs) menjadi bukti nyata bahwa setengah orang-orang besar yang terlibat didalamnya, termasuk pengantin, sering mengabaikan shalat bahkan meninggalkannya dengan alasan bahwa alasan untuk mendapatkan rukhshah sehingga mempluralkan atau make up sholat. Kondisi aktual di pengantin sibuk walimah al`urs tidak dapat dikategorikan sebagai alasan yang mengarah kepada masyaqqah. Abstract The modern era materialism value (madiyyah) is more dominant than in spiritualism (ruhiyyah), so the majority of people cling to religion is like holding hot coals. Thus in practice the values of religion have always wanted to take the easiest path and too fast conditioned as a masyaqqah. Cases at the time of the wedding reception (walimah al-`urs) be concrete evidence that a large half people involved in it, including the bride, often neglecting prayer even leave it with reason that excuse to get rukhshah so that pluralize or make up the prayers. Actual conditions in the busy bride walimah al `urs can not be categorized as an excuse leads to masyaqqah.
Kata Kunci: Jamak, qadha, shalat

A.    Pendahuluan
Hukum Islam adalah hukum yang didasarkan atas wahyu Allah. Sumber pokoknya adalah al-Qur`an dan al-Sunnah. Allah SWT dalam menetapkan hukum selalu memperhatikan kemampuan manusia dan memberikan kemudahan pada saat manusia menghadapi kesulitan.[1] Allah SWT tidak serta merta menetapkan hukum tanpa memperdulikan sisi kemanusiaan manusia. Bahkan Allah menghendaki yang mudah dan sepadan dengan kemampuan manusia.[2] Nabi Muhammad juga selalu memilih yang termudah jika dihadapkan pada dua pilihan, selama tidak mendatangkan dosa.[3] Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:[4]

حَدَّثَىَا عَبْدُ اللََِّّ بْهُ يُىسُفَ أَخْبَرَوَا مَالِكٌ عَهْ ابْهِ شِهَابٍ عَهْ عُرْوَةَ بْهِ الزُّبَيْرِ عَهْ عَائِشَتَ
اللََُّّ عَىْهَا أَوَّهَا الَ مَا خُيِّرَ سُىلُ اللََِّّ صَلَّى اللََُّّ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْهَ أَمْرَيْهِ إِلََّّ أَخَذَ
أَيْسَرَهُمَا مَا لَمْ يَكُهْ إِثْمًا فَإِنْ كَانَ إِثْمًا كَانَ أَبْعَدَ الىَّاسِ مِىْهُ

Artinya: “Tidak sekali-kali nabi dihadapkan kepada dua pilihan kecuali beliau memilih yang lebih ringan sepanjang tidak jatuh kedalam dosa. Tetapi jika menimbulkan dosa, maka nabi SAW adalah orang yang paling menjahuinya”.

Sebagai bukti bahwa Allah tidak memberikan beban berat kepada hambahnya dan selalu memberikan kemudahan pada manusia adalah pemberian keringan (rukhsah) terhadap orang yang berhalangan melakukan ibadah shalat dengan jama` dan qashar juga mengqadha shalatnya.
Menurut para ulama boleh menjama’ sholat ketika dalam kondisi berikut: bahaya (takut), Safar (bepergian), sakit, hujan, haji, selebihnya, mereka berbeda pandangan. Inilah syari’at yang sangat memudahkan, walau bukan berarti mempermudah semuanya tanpa ada petunjuk yang jelas.
Fenomena tersebut dapat dilihat dan dirasakan ketika adanya pesta pernikahan (walimah al-`ursy), dimana dua orang pengantin sebagai raja dan ratu sehari sangat sibuk dalam menyambut tamu dan berdandan dengan serba mahal sehingga tak sedikit di antaranya yang meninggalkan shalat.
Islam sangat menganjurkan untuk diadakannya pesta pernikahan, bahkan walau hanya dengan menyembelih seekor kambing, tujuannya selain sebagai ekspresi kebahagiaan dari kedua mempelai, juga agar pernikahan itu diketahui oleh halayak ramai dan tidak terkesan disirrikan. Walaupun demikian pada prinsipnya Islam juga tidak setuju jika itu diadakan secara berlebihan, sehingga menyebabkan ada sebagian hak dan kewajiban yang terlupakan. Padahal nikah pada prinsipnya adalah ibadah, bahkan separuh taqwa, sejatinya mengharap pahala dan ridho-Nya, tetapi ternyata dihari itu banyak dosa. Sehingga bagaimana mau mendapatkan sakinah, mawaddah, dan warahmah.

B.     Pembahasan
1.      Pengertian Shalat Jamak, Qashar, dan Qadha
Jamak secara bahasa berarti mengumpulkan. Maksudnya ialah mengumpulkan dua shalat yang dikerjakan pada satu waktu. Shalat jamak ada dua macam, yaitu jamak taqdim dan jamak takhir. Jamak taqdim adalah mengumpulkan dua shalat yang dikerjakan sekaligus di waktu shalat yang lebih awal, seperti mengumpulkan shalat Zuhur dan ashar yang dikerjakan di waktu Zuhur atau mengumpulkan shalat maghrib dan isya yang dikerjakan di waktu Maghrib. Sedangkan jamak takhir ialah mengumpulkan dua shalat yang dikerjakan sekaligus di waktu shalat yang terakhir, seperti mengumpulkan shalat zuhur dan ashar yang dikerjakan di waktu Ashar atau mengumpulkan shalat maghrib dan isya yang dikerjakan di waktu Isya. Shalat yang boleh dijamak hanyalah yang waktunya berdekatan dan ditentukan, yaitu shalat Zuhur dengan Ashar dan shalat Maghrib dengan Isya.[5]
Qashar secara bahasa berarti memperpendek atau meringkas. Shalat qashar artinya memendekkan shalat wajib, yang jumlahnya empat rakaat menjadi dua rakaat bagi musafir. Shalat qashar merupakan salah satu keringanan yang diberikan Allah SWT kepada hambah-Nya yang sedang musafir dalam melaksanakan kewajiban shalat.[6]
Qadha secara bahasa adalah memutuskan dan memisahkan.[7] Sedangkan menurut istilah fiqh adalah mengerjakan shalat diluar waktu yang telah disyari’atkan.[8] Maka shalat qadha’ diartikan dengan melaksanakan shalat di luar waktu yang ditentukan sebagai pengganti shalat yang ditinggalkan karena unsur kesengajaan, lupa, memungkinkan atau tidak memunginkan dalam pelaksanaan shalat tersebut.

2.      Syarat-syarat Jama`, Qashar, dan Qadha Shalat
Ulama mazhab Maliki mengatakan bahwa menjamak shalat dibolehkan karena enam hal, yaitu: (1) dalam perjalanan; (2) hujan; (3) sakit; (4) wukuf di Arafah; (5) berada di Muzdalifah; dan (6) berada dalam keadaan yang sangat gelap.[9] Dalam kitab Fiqh al-Sunnah karya Sayyid Sabiq dijelaskan bahwa boleh untuk menjamak shalat Zuhur dan Ashar, Maghrib dan Isya`, baik taqdim maupun takhir, jika berada dalam kondisi berikut ini:[10]
a. Jama`ah haji yang sedang berada di Arafah dan Muzdalifah. Sepakat para ulama bahwa ketika berada di Arafah hendaklah menjamak shalat Zuhur dan Ashar dengan jamak taqdim, sedangkan ketika berada di Muzdalifah hendaklah menjamak shalat Maghrib dan Isya dengan jamak takhir. Hal ini merupakan sunnah Rasulullah SAW.
b. Ketika dalam perjalanan (safar). Menjamak shalat baik taqdim maupun takhir bagi musafir hukumnya boleh (jaiz) sebagaimana hadits yang diriwayatkan Mu`az bin Jabal.
c. Pada saat hujan lebat. Hal ini sesuai dengan hadits rasulullah SAW:
أَ ان ثَُِّ ص و جَ عًََ تَْٛ انْ غًَْشِبِ أَْنعِشَاءِ فِ نَْٛهَحٍ يَطِْٛشَجٍ )س أ انثخاس (ٖ
“Sesungguhnya nabi SAW menjamak shalat Maghrib dan Isya ketika hujan pada suatu malam”

d. Disebabkan sakit atau uzur. Menurut ulama mazhab Hanbali kebolehan bagi orang sakit untuk menjamak shalat karena kondisi sakit itu pada hakikatnya lebih dahsyat dari pada kondisi hujan lebat. Kemudian yang termasuk kategori uzur diantaranya orang yang menyusui anak karena sulit membersihkan diri dan pakaian dari najis air kencing anak pada setiap waktu shalat, wanita yang istihadhah, sering keluar mazi (lendir yang keluar mengawali keluarnya mani) juga seringnya keluar mani, atau sering keluar air kencing, sehingga sulit untuk bersuci, juga orang yang khawatir terhadap keselamatan diri, harta, dan kehormatan, atau juga pekerja berat yang apabila meninggalkan pekerjaannya untuk melaksanakan shalat akan membawa mudharat pada dirinya dan pekerjaannya.[11]
e. Karena ada keperluan (hajat) yang mendesak. Keperluan (hajat) yang dimaksud adalah keperluan yang jika tidak dilakukan maka akan berakibat pada keadaan yang lebih buruk.
Menurut ulama mazhab Maliki, menjamak shalat dalam perjalanan dibolehkan secara mutlak, baik perjalanan yang panjang (jauh) maupun dekat. Orang sakit boleh melakukan jamak shalat apabila sulit melakukan shalat pada waktunya atau merasa khawatir terhadap penyakitnya bertambah parah atau membuatnya hilang akal. Adapun dalam keadaan hujan lebat, musim dingin/salju, atau hari yang sangat gelap, yang dibolehkan hanya jamak taqdim. Untuk melakukan shalat jamak taqdim dalam perjalanan menurut ulama mazhab Maliki disyaratkan dua hal, yakni tergelincir/condongnya matahari ke arah Barat pertanda masuknya waktu Zuhur dan berniat berangkat sebelum waktu ashar. Kemudian ulama mazhab Maliki menyatakan bahwa shalat jamak dilakukan dengan satu kali azan dan iqamat bagi setiap shalat. Menurut ulama mazhab Syafi`i, shalat jamak boleh dikerjakan dalam perjalanan, karena hujan lebat, dan ketika mengerjakan manasik haji di Arafah dan Muzdalifah. Shalat jamak karena dingin, musim salju, dan hujan lebat hanya boleh dengan jamak taqdim yang dilakukan secara berjama`ah di mesjid yang jauh. Menurut ulama mazhab Syafi`i, untuk melaksanakan jamak taqdim disyaratkan enam hal, yaitu: (1) niat jamak taqdim; (2) shalat itu dilakukan secara berurutan sesuai dengan urutannya, seperti mendahulukan Zuhur daripada Ashar; (3) kedua shalat itu dilaksanakan tanpa tenggang waktu yang panjang; (4) perjalanan yang dilakukan masih berlanjut ketika shalat yang kedua dimulai; (5) waktu shalat pertama masih ada ketika shalat kedua dikerjakan; dan (6) yakin bahwa shalat pertama yang dikerjakan adalah sah.
Sedangkan syarat jamak takhir ada dua hal, yaitu niat jamak takhir sebelum habisnya waktu shalat pertama dan perjalanan masih berlanjut sampai selesainya shalat kedua. Urutan dalam mengerjakan shalat jamak takhir tidaklah wajib.
Seseorang boleh mendahulukan Ashar dari Zuhur dalam jamak takhir, demikian juga mendahulukan Isya dari Maghrib. Akan tetapi, ulama mazhab Syafi`i tetap mengatakan bahwa mengikuti urutan waktu shalat hukumnya sunnah, bukan syarat sahnya shalat jamak takhir.
Menurut ulama mazhab Hanbali, jamak taqdim dan takhir boleh dilakukan dalam tujuh hal berikut: (1) perjalanan menempuh jarak yang jauh yang menyebabkan seseorang boleh mengqashar shalatnya; (2) sakit yang membawa kesulitan bagi penderitanya untuk melaksanakan shalat pada waktunya; (3) orang yang menyusui anak karena sulit membersihkan diri dari najis anak setiap waktu shalat; (4) orang yang tak mampu bersuci dengan air atau bertayamum pada setiap shalat karena mengalami kesulitan; (5) orang yang tidak bisa mengetahui masuknya waktu shalat; (6) wanita yang istihadhah (wanita yang mengeluarkan darah terus menerus dari vaginanya karena penyakit); dan (7) sering keluar mazi (lendir yang keluar mengawali keluarnya mani) juga seringnya keluar mani, atau ada uzur, seperti orang khawatir terhadap keselamatan diri, harta, dan kehormatan, atau juga pekerja berat yang apabila meninggalkan pekerjaannya untuk melaksanakan shalat akan membawa mudharat pada dirinya dan pekerjaannya itu.
Adapun syarat-syarat shalat qashar, para ahli fiqh mengemukakan beberapa syarat sahnya shalat qashar, yakni:
a. Menurut jumhur ulama, perjalanan yang dilakukan itu adalah perjalanan yang panjang, yaitu dua marhalah (perjalanan dua hari, tidak termasuk malamnya) atau menurut ulama mazhab Hanafi, 16 farsakh atau tiga marhalah (tiga hari tiga malam).
b. Menurut jumhur ulama, perjalanan yang dilakukan itu merupakan perjalanan yang mubah (boleh), bukan perjalanan yang makruh atau haram, seperti merampok dan berjudi. Menurut ulama mazhab Syafi`i dan Hanbali, apabila perjalanan yang dilakukan itu bertujuan untuk maksiat, maka tidak sah shalat qasharnya. Akan tetapi bagi ulama mazhab Maliki, shalat qasharnya tetap sah tetapi berdosa. Menurut ulama mazhab Hanafi, asal perjalanan itu selama tiga hari tiga malam, maka boleh melakukan qashar tanpa membedakan apakah perjalanan itu perjalanan mubah atau tidak.
c. Ulama mazhab Hanafi mensyaratkan perjalanan tersebut melampaui batas desanya sendiri dan desa-desa sekitarnya, sehingga ia telah keluar dari daerah huniannya. Ulama mazhab Maliki membedakan antara perjalanan yang dilakukan oleh penduduk kota, masyarakat pedalaman, dan masyarakat pegunungan. Bagi masyarakat kota, baru dikatakan musafir apabila telah melampaui batas kota. Untuk masyarakat pedalaman, seseorang baru dikatakan musafir apabila perkampungan masyarakat pedalaman telah dilewatinya. Adapun bagi masyarakat pegunungan, seseorang baru dikatakan musafir apabila telah meninggalkan pemukiman mereka. Menurut ulama mazhab Syafi`i, apabila daerah tempat tinggal yang akan musafir ini dipagar, maka ia dikatakan musafir apabila telah keluar dari pagar tersebut. Apabila derah tersebut tidak dipagar, maka dapat dikatakan musafir apabila telah melampaui bangunan paling akhir dari batas daerah tersebut. Menurut ulama mazhab Hanbali, dapat dikatakan musafir apabila perkampungannya atau rumah terakhir di pinggiran daerah tersebut telah dilaluinya, baik masih dalam pagar/batas desa maupun telah melampauinya. Ulama mazhab Hanbali berpendapat bahwa batas-batas daerah tersebut diserahkan sepenuhnya kepada kebiasaan setempat.
d. Perjalanan tersebut bermaksud menuju tempat tertentu, sehingga tidak ragu-ragu dalam perjalanannya. Jika perjalanan tanpa tujuan dan tidak menuju tempat tertentu, maka tidak dikatakan musafir atau tidak boleh melakukan shalat qashar. Akan tetapi ulama mazhab Hanafi menyatakan bahwa orang yang ragu-ragu dan tidak memiliki tujuan perjalanan berhak mengqashar shalat apabila telah sampai dan berhenti di daerah tertentu.
e. Ulama mazhab Syafi`i mensyaratkan shalat qashar itu hanya dilakukan oleh orang yang secara sengaja melakukan perjalanan, bukan bagi orang yang mengikuti perjalanan orang lain. Menurut ulama mazhab Hanafi, jika orang yang mengikuti musafir tersebut mengetahui niat yang diikutinya, maka boleh mengqashar shalat.
f. Menurut ulama mazhab Syafi`i dan Hanbali, orang yang mengqashar shalat tidak boleh menjadi makmum orang yang mukim (orang yang tidak musafir). Akan tetapi ulama mazhab Hanafi menyatakan bahwa apabila musafir menjadi makmum orang yang mukim di awal awaktu shalat, maka shalatnya sah, tetapi bila shalat berjamaah tersebut dilakukan bukan di awal waktu, musafir tidak boleh mengikutinya.
g. Menurut ulama mazhab Syafi`i dan mazhab Hanbali, niat mengqashar shalat harus ditegaskan ketika takbiratul ihram. Ulama mazhab Maliki menyatakan niat itu cukup di luar shalat. Sedangakn ulama mazhab Hanafi menyatakan niat itu boleh ketika akan melakukan dan dalam perjalanan tersebut.
h. Ulama mazhab Hanafi mensyaratkan bahwa orang yang melakukan perjalanan haruslah orang yang baligh dan berakal. Dengan demikian anak kecil tidak boleh mengqashar shalat. Akan tetapi jumhur ulama tidak mengemukakan syarat ini.
Berdasarkan hadits rasulullah SAW, bahwa syarat-syarat mengqadha shalat ada dua hal, yaitu tertidur dan lupa. Sabda rasulullah SAW:[12]
 يَ اََوَ عَ صَلََجٍ أَ سََِْٛ آَ فَهُْٛصَهِّ آَ إِرَا رَكَشَ اَْ )س أ انثخاس ئسهى(
“Barang siapa yang meninggakan shalat karena tidur atau lupa maka hendaknya ia sholat bila ingat”. (HR. Bukhari Muslim)
Hadits ini menunjukan bahwa siapa yang meninggalkan shalat dengan uzur maka wajib menggantinya bila mengingatnya. secara tersirat dapat dipahami bahwa orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja maka kewajiban menggantinya lebih utama dari pada yang meninggalkannya karena uzur.
3.      Analisis
Sebagai agama yang kaffah,[13] Islam selalu menjadi rujukan umatnya untuk menjawab persoalan-persoalan yang selalu berkembang seiring dengan pergeseran zaman dan perubahan tempat. Apakah persoalan itu menyangkut akidah, ibadah ataupun hubungan kemanusian yang begitu kompleks. Dalam tradisi syari`at Islam, ada ibadah langsung (mahdhah) dan ada pula yang dikategorikan ibadah tidak langsung (ghair mahdhah). Ibadah langsung ini, menyangkut hubungan manusia dengan Allah tanpa melalui perantara, seperti shalat, zakat, puasa dan haji. Sedangkan ibadah yang tidak langsung harus melalui kontrak sosial, seperti muamalah, munakahat, jihad, dan siyasat.
Pernikahan yang merupakan sunnah rasul hendaklah diumumkan dan diberitahukan kepada masyarakat. Islam pada prinsipnya sangat menganjurkan untuk diadakannya pesta pernikahan (walimah al-`ursy),[14] bahkan walau hanya dengan menyembelih seekor kambing, tujuannya selain sebagai ekspresi kebahagiaan dari kedua mempelai, juga agar pernikahan itu diketahui oleh halayak ramai dan tidak terkesan disirrikan.[15] Bahkan menurut Imam Syafi’i makanan yang dihidangkan dalam acara walimah setidaknya adalah satu ekor kambing. Pendapat tersebut sesuai dengan apa yang telah disabdakan oleh Rasul SAW sebagai berikut:[16]

 قَالَ سَسُ لُْٕ اللهِ صَهَّ اللهُ عَهَْٛ سََٔهَّىَ نِعَثْذِانشَّحْ تْ عَ فٍْٕ أَ نِْٔىْ نََٔ تِانشَّاجِ )يتفق عهٛ (ّ
“Rasulullah saw bersabda kepada „Abdurrahman bin „Auf: Adakanlah walimah, sekalipun hanya memotong seekor kambing”. (HR. Bukhari Muslim).
Bahkan nabi SAW sendiri pernah menyelenggarakan walimah untuk Shafiyah dengan Hais yaitu berupa adonan tepung, lemak, dan susu kering dan ditaruh di atas permadani kecil.[17] Akan tetapi, walimah boleh saja diadakan seadanya, yang penting dengan sesuatu yang bisa dimakan.[18]
Dalam hadits nabi yang lain bahwa Rasulullah SAW menyuruh agar pernikahan itu diberitahukan secara terbuka dan jangan disembunyikan. Secepat mungkin diramaikan atau digembirakan dengan berbaagi cara. Sebagaimana yang telah disabdakan dalam haditsnya sebagai berikut:[19]
 ع عا ئشح سضٙ الله ع آُ ع ان ثُٙ صه الله عهٛ سٔهى قال أَعْهِ إُُْ زَْا ان كَُِّاحَ
أَجْعَهُ إْ فِٙ انْ سًََاجِذِ أَضْشِتُ إْعَهَْٛ تِانذُّفُ فْْٕ )س أ أح ذً أنتشيز (٘
“Dari Aisyah r.a dari Nabi SAW, beliau bersabda, “Beri tahukanlah pernikahan dan jadikanlah pernikahanmu di mesjid serta bunyikanlah rebana dalam pernikahan itu”. (HR. Ahmad dan Turmudzi)
Disamping Rasulullah SAW menganjuran untuk mengadakan walimah, beliau juga menganjurkan untuk menghadiri undangan pada suatu pesta pernikahan. Bahkan ulama menyatakan hukum mendatangi walimah (pesta pernikahan) adalah fardu kifayah. Sebagian ulama lagi mengatakan fardu ‘ain. Artinya wajib bagi setiap induvidu yang mendapat undangan untuk menghadirinya. Dalam sebuah hadits disebutkan:[20]

 ات ع شً سضٙ الله ع آًُ ع ان ثُٙ صه الله عهٛ سٔهى اِرَادَعَا اَحَذُكُىْ اَخَا فَهُْٛجِةْ
عُشْسًا كَا اَ حََْْٔ )س أ يسهى إٔت دا دٔ(
“Dari Ibnu Umar r.a dari Nabi SAW bersabda: “Apabila seseorang mengundang saudaranya, hendaklah saudaranya itu memperkenankannya, baik undangan itu untuk walimah al-`urs atau yang lainnya. (HR. Imam Muslim dan Abu Daud).[21]
Telah menjadi tradisi dalam kehidupan di masyarakat Indonesia secara umum bahwa acara pernikahannya sangat sakral dan esensial, sehingga menghabiskan waktu yang lama dan biayanyapun besar. Kondisi seperti ini bahkan menjadi tren dan dibangga-banggakan sebagian orang. Dengan demikian orang yang terlibat langsung dalam acara walimah al-`urs, seperti semua panitia, kedua keluarga dari pihak laki-laki dan perempuan, lebih khusus kedua mempelai (pasangan suami isteri) yang dijadikan raja dan ratu sehari, diliputi rasa senang dan bahagia. Namun tidak sedikit di antara pengantin-pengantin tersebut lalai, lupa, bahkan dengan sadar meninggalkan shalat fardhu, dengan alasan sibuk melayani tamu dan repot untuk melepaskan pakaian pengantin juga karena dandanan yang serba mahal.
Di antara beberapa alasan tersebut dijadikan sebagai alasan untuk menjamak bahkan mengqadha shalat. Dalil yang menjadi alasan mereka tentang jamak shalat karena kesibukan ialah hadits riwayat Ibn Abbas ra:[22]
 عَ اتْ عَثَّاسٍ سَضَِٙ اللهَُّ عَ آًَُُْ قَال: إِ ان ثََُِّّٙ صَهَّ اللهَُّ عَهَْٛ سََٔهَّىَ جَ عًََ تَْٛ انظُّ شِْٓ أَنْعَصْشِ
أَنْ غًَْشِبِ أَنْعِشَاءِ تِانْ ذًَِٚ حَُِ يِ ْٛشِ خَ فٍْٕ يَطَشٍ
“Dari Ibn Abbas ra, ia berkata: sesungguhnya nabi SAW menjamak shalat zuhur dan ashar, shalat maghrib dan isya ketika tiba di Madinah tidak dalam kondisi takut juga tidak hujan” Hadits di atas tidak memberikan penjelasan rincinya, para ulama’ banyak memberikan penafsiran tentang hadits ini. Ada yang mengatakan hadits ini dipakai dalam kondisi hujan, ada lagi yang menjelaskan bahwa hadits ini teruntuk bagi mereka yang sedang melaksanakan hal-hal yang sangat penting sekali, sehingga jika ditinggalkan maka akan terjadi perkara yang besar, misalnya kondisi dokter yang sedang mengoperasi pasiennya, namun ada juga yang memaknainya secara umum yaitu kondisi dimana tidak memungkinkan untuk mengerjakan sholat pada waktunya, akan tetapi dengan syarat:
a. Kejadiannya harus bersifat di luar perhitungan dan terjadi tiba-tiba begitu saja. Seperti yang terjadi pada diri Rasulullah SAW tatkala terlewat dari shalat Zuhur, Ashar, Maghrib dan Isya sekaligus, gara-gara ada serangan atau kepungan musuh dalam perang Azhab (perang Khandaq). Beliau saat itu menjama’ shalat yang tertinggal setelah lewat tengah malam, bukan ketika perjalanan, sebab beliau SAW dan para shahabat bertahan di dalam kota Madinah Al-Manuwwarah.
b. Syarat kedua adalah bersifat sangat memaksa, yang tidak ada alternatif lain kecuali harus menjama’. Sifat memaksa disini bukan disebabkan karena kepentingan biasa, misalnya sekedar karena ada rapat, atau pesta pernikahan, atau kemacetan rutin yang melanda kota-kota besar. Kejadian yang memaksa itu semsisal Tsunami yang menimpa Aceh dan Mentawai, dokter yang sedang mengoperasi, gempa bumi yang berkepanjangan, kerusuhan massa.
Selanjutnya dalam pembahasan yang telah disajikan pada syarat-syarat jamak, qashar, dan qadha shalat tidak ada pendapat ulama yang menyatakan bahwa kesibukan dalam resepsi pernikahan dapat dijadikan illat (alasan) untuk menjamak, menqashar, dan mengqadha shalat. Dalam kaidah fiqh disebutkan: اَنْحُكْىُ َٚذُ سُْٔ يَعَ عِهَّتِ
 “Hukum itu berputar bersama ilatnya” Berdasarkan kaidah di atas, jika ada ‘ilat maka ada hukum dan jika tidak ada maka tidak ada hukum. Oleh karena itu seorang pengantin (pasangan suami isteri yang sah) ketika merayakan resepsi pernikahan (walimah al-`ursy) yang diliputi rasa bahagia dan kesibukkan dalam menyambut tamu serta mengikuti acara tersebut hingga sore hari, juga karena hiasan dandanan yang mahal, tidak dapat hal itu dijadikan alasan („ilat) dan uzur secara syar`i untuk mengerjakan shalat dengan jamak, qadha, apalagi qashar.
Kesibukkan dalam resepsi pernikahan (walimah al-`ursy) tidak bisa dikategorikan dalam kondisi masyaqqah,[23] sehingga tidak bisa dihilangkan dengan rukhshah. Pada prinsipnya dalam menghadapi masyaqqah, jumhur ulama ushul fiqh berpendapat bahwa ada dua solusi yang diberikan agama: pertama, rukhshah[24] (keringan dari taklif yang semula), seperti shalat fardhu yang empat reka`at dijadikan dua reka`at (qashar) ketika dalam perjalanan (safar), kedua, menghentikan taklif, seperti bebas shalat wajib bagi wanita yang sedang haidh dan nifas.[25] Sesungguhnya kewajiban mengerjakan shalat fardhu merupakan kewajiban mutlak. Jika tidak mampu berdiri lakukan dengan duduk, jika tidak bisa duduk lakukan dengan berbaring, jika tidak bisa berbaring, shalatlah dengan isyarat. Allah SWT berfirman: “Maka ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. kemudian apabila kamu telah merasa aman, Maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.”
Juga hadits nabi SAW:[26]
 عَ عِ شًَْا تْ حَصِْٛ قَالَ كَا تِٙ تَ إَسِْٛش فَسَ نْ ان ثَُِّ ص و عَ انصَّلََجِ فَ الَ : صَمِّ
قَائِ اًً فَإِ نَىْ تَسْتَطِعْ فَ اعِذًا فَإِ نَىْ تَسْتَطِعْ فَعَهَ جَ ثُِْكَ )س أ انج اًعح ا يسهى(
“Dari Imran bin Hashin bahwa ia terkena penyakit bawasir (embeyen), maka ia bertanya kepada rasulullah SAW perihal shalatnya. Rasulullah SAW menjawab: “shalatlah dalam keadaan berdiri, jika engkau tidak mampu maka shalatlah dengan cara duduk, dan jika engkau tidak bisa maka shalatlah dengan berbaring” (HR. Jama`ah kecuali Muslim)

C.    Penutup
Berdasarkan hasil pembahasan dan analisis di atas dapat disimpulkan:
a. Bahwa Islam memperbolehkan untuk mengadakan resepsi pernikahan (walimah al-`urs) dengan ketentuan sesuai dengan syari`at Islam. Bahkan anjuran tersebut sesuai dengan hadits nabi SAW yang menganjurkan walimah al-`urs walaupun dengan menyembelih seekor kambing. Hal mengisyaratkan bahwa nikah itu perlu diumumkan pada khalayak ramai dan tidak terkesan dirahasiakan (al-sirr).
b. Pengantin laki-laki dan perempuan sebagai raja dan ratu sehari, walaupun diliputi kebahagiaan namun jangan melalaikan tujuan utama pernikahan yakni mencapai bahtera rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan warahmah. Sebagai langkah awal menggapai hal tersebut tidaklah diperkenankan melalaikan dan meninggalkan kewajiban shalat fardhu. Karena kewajiban menjalankan shalat fardhu adalah mutlak.
c. Pengantin laki-laki dan perempuan yang sibuk melayani tamu undangan dan berdandan dengan peralatan serba mahal, tidak boleh dijadikan alasan (ilat) untuk menjamak, mengqashar, dan mengqadha shalat, karena kondisi tersebut tidak termasuk kategori masyaqqah untuk mendapatkan rukhshah.

DAFTAR PUSTAKA
Abi Isa Muhammad Ibn Isa Ibn Surah (Imam al-Tirmizi), al-Jami` al-Shahih Sunan al-Tirmizi, Beirut: Dar al-Fikr, tt
Abdul `Aziz Muhammad `Azam, Qawa`id al-Fiqh al-Islamy, Maktabah al-Risalah al-Dauliyah, 1998
Ahsin W. Al-Hafidz, Kamus Ilmu al-Qur`an, Jakarta: Amzah, 2006
Ali Ahmad al-Nadwi, al-Qawaid al-Fiqhiyyah Mafhumuha, Nasyatuha, Tathawwuruha, Dirasatu Muallafatiha Adillatuha, Muhimmatuha, Tathbiqatiha, Dimsyiq: Dar al-Qalam, 1414 H/1994 M
Al-Imam Abi Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardazbah al-Bukhori al-Ju`fi (wafat 256 H), Shahih al-Bukhari, Beirut-Libanon: Dar al-fikr, 1415 H/ 1995 M
Al-Imam al-Hafizh Abi al-Fadl Jalaluddin bin Abdirrahman al-Suyuthi (w. 911 H), Tausyih Syarh al-Jami` al-Shahih, Arriyadh: al-Mamlakah al-Arabiyah al-Su`udiyah, 1998 M/1419 H
Al-Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, (445-505 H), al-Mustashfa fi `Ilm al-Ushul, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1413 H/1996M
Al-Hafizh Abi Daud Sulaiman bin al-Asy`ats al-Sajistani (w 275 H), Sunan Abi Daud, Beirut: Dar al-Fikr, 1414 H/ 1994
Hukum Islam, Vol. XIV No. 1 Juni 2014 Jamak dan Qadha........Arisman 12
Al-Hafiz Jalaluddin al-Suyuthi, Sunan al-Nasa`i, Kairo: Dar al-Hadits, tt
Asmuni, Terjemah Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, Jakarta: Darul Falah, 2005
Anshori Umar, Terjemah Fiqhu Al- Mar‟ah Al-Muslimah, Semarang: As-Syifa’, 1986
Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2006
Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin, Fiqih Madzhab Syafi‟i, Bandung: Pustaka Setia, 2007
Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, Dar al-Fikri al-Araby, 1377 H/1957 M
Muhammad al-Hajjaj al-Qusyairi, Shahih Muslim, Beirut: Dar al-Fikr, tt
Nur al-Din Mukhtar al-Khadimi, al-Muyassar fi `Ilmi al-Qawaid al-Fiqhiyyah, Dimsyiq: al-Yamamah, 1428 H/2007 M
Sa`di Abu Jaib, al-Qamus al-Fiqhiy Lughatan wa Ishtilahan, Dimsyiq-Suriah: 1419 H/ 1998 M
Sayyid Sabiq, Fiqih al-Sunnah, Bab al-Jam`u Baina Shalatain, Kairo: Dar al-Fath lil-I`lam al-`Arabi, 1418 H/ 1998 M
Suprapta dan Djedjen Zainuddin, Fiqih, Semarang: Karya Toha Putra, 2004
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Ushuluhu, Dimsyiq: Dar al-Fikr, 1427 H/2006 M
Yusuf al-Qaradhawi, Min Hady al-Islam Fatawa Mu`ashirah, Kairo: Dar al-Qalam, 1430 H/2009 M


[1]  Lihat QS. al-Baqarah (2) juz ke-2: 185, h. 45 dan Lihat QS. al-Baqarah (2) juz ke-3: 286, h. 72, QS. al-Nisa` (4) juz ke-5: 28, h. 122, dan QS. al-Maidah (5) juz ke-6: 6, h. 159.
[2]  Ali Ahmad al-Nadwi, al-Qawaid al-Fiqhiyyah Mafhumuha, Nasyatuha, Tathawwuruha, Dirasatu Muallafatiha Adillatuha, Muhimmatuha, Tathbiqatiha, (Dimsyiq: Dar al-Qalam, cet. Ke-3, 1414 H/1994 M), h. 302.
[3] Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, (Dar al-Fikri al-Araby, 1377 H/1957 M), h. 320.
[4] Shahih al-Bukhari, Kitab al-Manaqib Bab Sifat al-Nabi, No. Hadits 3560, (Beirut-Libanon: Dar al-fikr, jilid ke-2, 1415 H/ 1995 M), h, 309. Juga dalam kitab yang sama pada Kitab al-Adab Bab Qauli al-Nabi “Yassiru wa la Tu`assiru”, no. Hadits 6126, jilid ke-4, h. 80
[5]  Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, jilid 4, 2006), h. 1572
[6] Ibid, h. 1591.
[7] Sa`di Abu Jaib, al-Qamus al-Fiqhiy Lughatan wa Ishtilahan, (Dimsyiq-Suriah: 1419 H/ 1998 M), h. 305.
[8] Ibid., h. 306.
[9] Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2003), h. 1572
[10] Sayyid Sabiq, Fiqih al-Sunnah, Bab al-Jam`u Baina Shalatain, Jilid ke-1, (Kairo: Dar al-Fath lil-I`lam al-`Arabi, 1418 H/ 1998 M), h. 204.
[11]Ibid, h. 209.

[12] Al-Hafiz Jalaluddin al-Suyuthi, Sunan al-Nasa`i Juz 1, Bab fi Man Nasiya Shalat, op. Cit., h. 293.
[13] Istilah Kaffah disebut dalam QS. al-Baqarah (2): 208. Menurut bahasa, artinya utuh, keseluruhan, dan integral. Maksudnya adalah memahami dan mengikuti Islam secara utuh dan menyeluruh, tidak sepotong atau secara parsial. (lihat, Ahsin W. Al-Hafidz, Kamus Ilmu al-Qur`an, Jakarta: Amzah, cet. Ke-2, 2006), h. 143.
[14] Sayyid Sabiq, Fiqih al-Sunnah, Bab I`lan al-Zawaj Jilid ke-2, op. Cit., h. 148
[15] Walimah diartikan sebagai makanan yang dihidangkan pada acara pernikahan (lihat: Muhammad bin Qosim, Fathal Qorib, (Libanon: Darul Kutub Alamiah, 2008), h. 326. secara bahasa, walimah diartikan dengan pesta, kenduri, atau resepsi. Dengan demikian Walimatun nikah adalah pesta yang diselenggarakan setelah dilaksanakannya aqad nikah dengan menghidangkan berbagai jamuan yang biasanya disesuaikan menurut adat setempat. Adapun hukum melaksanakannya adalah sunnah. (lihat: Suprapta dan Djedjen Zainuddin, Fiqih, (Semarang: Karya Toha Putra, 2004), h.103
[16]  Al-Imam al-Hafizh Abi al-Fadl Jalaluddin bin Abdirrahman al-Suyuthi (w. 911 H), Tausyih Syarh al-Jami` al-Shahih, Bab al-Walimah Hak, Kitab Nikah juz ke-7(Arriyadh: al-Mamlakah al-Arabiyah al-Su`udiyah, 1998 M/1419 H), h. 3250.
[17] Asmuni, Terjemah Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi Jilid II, (Jakarta: Darul Falah, 2005) h. 862.
[18] Anshori Umar, Terjemah Fiqhu Al- Mar‟ah Al-Muslimah, (Semarang: As-Syifa’, 1986) h.382
[19] 19 Sayyid Sabiq, Fiqih al-Sunnah, Bab I`lan al-Zawaj Jilid ke-2, op. Cit., h. 149
[20] 20 Muhammad al-Hajjaj al-Qusyairi, Shahih Muslim, Kitab Nikah Bab al-Amr bi Ijabah al-Da`i ila al-Da`wah, No. Hadits 1429, (Beirut: Dar al-Fikr, tt), h. 1052
[21] Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin, Fiqih Madzhab Syafi‟i Jilid II, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), h. 309.

[22] Abi Isa Muhammad Ibn Isa Ibn Surah (Imam al-Tirmizi), op. Cit., Bab Ma Ja`a fi al-Jam`i baina al-Shalatain fi al-Hadhr, no. Hadits 187, (Beirut: Dar al-Fikr, tt), h. 355.
[23] Abdul `Aziz Muhammad `Azam, Qawa`id al-Fiqh al-Islamy, Maktabah al-Risalah al-Dauliyah, 1998-1999, h. 133).
[24] Rukhsah menurut bahasa adalah: عثاسج ع انٛسش انس نٕٓح (kemudahan dan keringanan), menurut syara` عثاسج ع اً سٔع نه كًهف ف فعه نعزس عٔجز عُّ (Lihat: al-Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, (445-505 H), al-Mustashfa fi `Ilm al-Ushul, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1413 H/1996 M), h. 329-330. Menurut Wahbah al-Zuhaili, rukhshah secara bahasa artinya انتٛسٛش أنتس ٛٓم (kemudahan atau keringan). Menurut istilah ulama ushul artinya: الأحكاو انت ششع آ الله تعان ت اُء عه أعزاس انعثاد سعاٚح نحاجت ىٓ يع ت اء انسثة ان جًٕة نهحكى الأصه (hukum-hukum pengecualian yang disyari`atkan oleh Allah SWT sebagai keringanan kepada manusia karena keadaan dan kebutuhan tertentu). ((Lihat: Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Ushuluhu, op. cit., h. 114-115). Rukhshah dapat berlaku dalam keadaan yang tidak normal yang menjadi penyebab diberikannya keringanan kepada manusia. (Lihat: Ensiklopedi Hukum Islam, op. cit., h. 157.)
[25] Ibid, Ensiklopedi Hukum Islam, h. 1151
[26] . 26 Sayyid Sabiq, op. Cit., Bab Shalat al-Maridh, h. 198.

SHARE THIS POST   

  • Facebook
  • Twitter
  • Myspace
  • Google Buzz
  • Reddit
  • Stumnleupon
  • Delicious
  • Digg
  • Technorati
Author: Mohammad
Mohammad is the founder of STC Network which offers Web Services and Online Business Solutions to clients around the globe. Read More →

1 komentar: