Download this Blogger Template by Clicking Here!

PROFIL

https://web.facebook.com/irwan.a.lovers

Selasa, 15 Agustus 2017

Widgets

KOMPILASI HUKUM ISLAM: SEJARAH DAN PROSES PERUMUSAN

A.      Sejarah Terbentuknya Kompilasi Hukum Indonesia
1.    Sejarah
Setelah Indonesia merdeka, ditetapkan 13 kitab fikih sebagai referensi hukum materiil di pengadilan agama melalui Surat Edaran Kepala Biro Pengadilan Agama RI. No. B/1/735 tanggal 18 februari 1985. Hal ini dilakukan karena hukum Islam yang berlaku di tengah-tengah masyarakat ternyata tidak tertulis dan berserakan di berbagai kitab fikih yang berbeda-beda.
Akan tetapi penetapan kitab-kitab fikih tersebut juga tidak berhasil menjamin kepastian dan kesatuan hukum di pengadilan agama. Muncul persoalam krusial yang berkenaan dengan tidak adanya keseragaman para hakim dalam menetapkan keputusan hukum terhadap persoalan-persoalan yang mereka hadapi. Berbagai hal dan situasi hukum Islam itulah yang mendorong dilakukannya kompilasi terhadap hukum Islam di Indonesia untuk menjamin kepastian dan kesatuan penerapan hukum Islam di Indonesia.
Hal ini disebabkan tidak tersedianya kitab materi hukum Islam yang sama. Secara material memang telah ditetapkan 13  kitab yang dijadikan rujukan dalam memutuskan perkara yang kesemuanya bermazhab Syafi’i. Akan tetapi tetap saja menimbulkan persoalan yaitu tidak adanya keseragaman keputusan hakim.
Bustanul Arifin adalah seorang tokoh yang tampil dengan gagasan perlunya membuat Kompilasi Hukum Indonesia. Gagasan-gagasan ini didasari pada pertimbangan-pertimbangan berikut:
1.    Untuk berlakunya hukum Islam di Indonesia, harus ada antara lain hukum yang jelas dan dapat dilaksanakan oleh aparat penegak hukum maupun oleh masyarakat.
2.    Persepsi yang tidak seragam tentang syari’ah menyebabkan hal-hal: 1. Ketidakseragaman dalam menentukan apa-apa yang disebut hukum Islam itu (maa anzalallahu), 2. Tidak mendapat kejelasan bagaimana menjalankan syari’at itu (Tanfiziyah) dan 3. Akibat kepanjangannya adalah tidak mampu menggunakan jalan-jalan dan alat-alat yang tersedia dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan perundangan lainya.
3.    Di dalam sejarah Islam, pernah ada tiga Negara dimana hukum Islam diberlakukan (1). Sebagai perundang-undangan yang terkenal dalam fatwa Alamfiri, (2). Di kerajaan Turki Ustmani yang terkenal dengan nama Majallah al-Ahkam Al-Adliyah dan (3). Hukum Islam pada tahun 1983 dikodifikasikan di Subang.[1]
Gagasan Bustanul Arifin disepakati dan dibentuklah Tim pelaksana Proyek dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) ketua Mahkamah Agung RI dan Menteri Agama RI No.07/KMA/1985. Dalam Tim tersebut Bustanul dipercaya menjadi Pemimpin Umum dengan anggota Tim yang meliputi para pejabat Mahkamah Agung dan Departemen Agama. Dengan kerja keras anggota Tim dan ulama-ulama, cendikiawan yang terlibat di dalamnya maka terumuslah KHI yang ditindaklanjuti dengan keluarnya instruksi presiden No.1 Tahun 1991 kepada menteri Agama untuk menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam yang terdiri dari buku I tentang Perkawinan, Buku II tentang Kewarisan, Buku III tentang Perwakafan. Inpres tersebut ditindaklanjuti dengan SK Menteri Agama No.154 Tahun 1991 tanggal 22 Juli 1991.
Kemunculan KHI di Indonesia dapat dicatat sebagai sebuah prestasi besar yang dicapai umat Islam. Setidaknya dengan adanya KHI itu, maka saat ini di Indonesia tidak akan ditemukan lagi pluralisme Keputusan Peradilan agama, karena kitab yang dijadikan rujukan hakim Peradilan Agama adalah sama. Selain itu fikih yang selama ini tidak positif, telah ditransformasikan menjadi hukum positif yang berlaku dan mengikat seluruh umat Islam Indinesia. Lebih penting dari itu, KHI diharapkan akan lebih mudah diterima oleh masyarakat Islam Indonesia karena ia digali dari tradisi-tradisi bangsa indonesia. Jadi tidak akan muncul hambatan Psikologis di kalangan umat Islam yang ingin melaksanakan Hukum Islam.[2]
2.    Pengertian dan Tujuan Kompilasi Hukum Islam
a.    Pengertian Kompilasi Hukum Islam
Istilah kompilasi berasal dari bahasa Latin Compilare yang masuk ke dalam bahasa Belanda dengan sebutan compilatie, yang dalam bahasa inggrisnya disebut compilation. Secara harfiah berarti kumpulan dari berbagai karangan atau karangan yang tersusun dari kutipan-kutipan buku lain.
Bustanul Arifin menyebut Kompilasi Hukum Islam sebagai "fikih dalam bahasa Undang-Undang atau dalam bahasa rumpun Melayu disebut peng-Qanun-an hukum syara`". Wahyu Widhiana menyatakan bahwa "Kompilasi Hukum Islam adalah sekumpulan materi Hukum Islam yang ditulis pasal demi pasal, berjumlah 229 pasal, terdiri dari 3 kelompok materi hukum, yaitu Hukum Perkawinan (170 pasal), Hukum Kewarisan -termasuk wasiat dan hibah- (44 pasal), dan Hukum Perwakafan (14 pasal), ditambah satu pasal Ketentuan Penutup yang berlaku untuk ketiga kelompok hukum tersebut.
Secara materi, Kompilasi Hukum Islam itu adalah ketentuan hukum Islam yang ditulis dan disusun secara sistematis menyerupai peraturan perundang-undangan untuk sedapat mungkin diterapkan seluruh instansi Departemen Agama dalam menyelesaikan masalah-masalah di bidang yang telah diatur Kompilasi Hukum Islam. Oleh para hakim peradilan agama Kompilasi Hukum Islam digunakan sebagai pedoman dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara yang diajukan kepada-Nya.
b.    Tujuan Penyusunan Kompilasi Hukum Islam
Upaya mempositifkan hukum Islam melalui Kompilasi Hukum Islam ini mempunyai beberapa sasaran pokok yang hendak dicapai:
1)      Melengkapi pilar Peradilan Agama
2)      Menyamakan persepsi penerapan hukum
3)      Mempercepat proses Taqribi baina al-Madzahib
B.       Proses Perumusan Kompilasi Hukum Islam
Untuk melihat gambaran umum hukum islam sebagai bagian hukum nasional, dengan mengikuti proses perumusan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Untuk mendeskripsikan proses perumusan kompilasi hukum Islam, tidak terlepas pada latar belakang Kompilasi Hukum Islam, Landasan Yuridis dan Landasan Fungsional.
1.    Latar Belakang Penyusunan Kompilasi Hukum Islam
Setelah Indonesia merdeka, ditetapkanlah 13 kitab fikih sebagai referensi hukum materiil di pengadilan agama melalui Surat Edaran Kepala Biro Peradilan Agama RI. No. B/1/735 tanggal 18 februari 1958. Hal ini dilakukan karena hukum Islam yang berlaku di tengah-tengah masyarakat ternyata tidak tertulis dan berserakan di berbagai kitab fikih yang berbeda-beda.
Akan tetapi penetapan kitab-kitab fikih tersebut juga tidak berhasil menjamin kepastian dan kesatuan hukum di pengadilan agama. Berbagai hal dan situasi hukum Islam itulah yang mendorong dilakukannya kompilasi terhadap hukum Islam di Indonesia untuk menjamin kepastian dan kesatuan penerapan hukum Islam di Indonesia.
Lahirnya KHI tidak dapat dipisahkan dari latar belakang dan perkembangan (pemikiran) hukum Islam di Indonesia. Di satu sisi, pembentukan KHI terkait erat dengan usaha-usaha untuk keluar dari situasi dan kondisi internal hukum Islam yang masih diliputi suasana kebekuan intelektual yang akut. Di sisi lain, KHI mencerminkan perkembangan hukum Islam dalam konteks hukum nasional, melepaskan diri dari pengaruh teori receptie, khususnya dalam rangkaian usaha pengembangan Pengadilan Agama.
Hukum Islam di Indonesia memang sejak lama telah berjalan di tengah-tengah masyarakat. Namun harus dicatat bahwa hukum Islam tersebut tidak lain merupakan hukum fiqh hasil interpretasi ulama-ulama abad ke dua hijriyah dan abad-abad sesudahnya. Pelaksanaan hukum Islam sangat diwarnai suasana taqlid serta sikap fanatisme mazhab yang cukup kental. Ini makin diperparah dengan anggapan bahwa fiqh identik dengan Syari’ah atau hukum Islam yang merupakan wahyu aturan Tuhan, sehingga tidak dapat berubah. Umat Islam akhirnya terjebak ke dalam pemahaman yang tumpang tindih antara yang sakral dengan yang profan.
Situasi tersebut berimplikasi negatif terhadap pelaksanaan hukum Islam di lingkungan Peradilan Agama. Pengidentifikasian fiqh  dengan Syari’ah atau hukum Islam sepertiitu telah membawa akibat kekeliruan dalam penerapan hukum Islam yang sangat “keterlaluan”. Dalam menghadapi penyelesaian kasus-kasus perkara di lingkungan peradilan agama, para hakim menoleh kepada kitab-kitab fiqh sebagai rujukan utama. Jadi, putusan pengadilan bukan didasarkan kepada hukum, melainkan doktrin serta pendapat-pendapat mazhab yang telah terdeskripsi di dalam kitab-kitab fiqh.
Akibat dari cara kerja yang demikian, maka lahirlah berbagai produk putusan Pengadilan Agama yang berbeda-beda meskipun menyangkut satu perkara hukum yang sama. Hal ini menjadi semakin rumit dengan adanya beberapa mazhab dalam fiqh itu sendiri, sehingga terjadi pertarungan antar mazhab dalam penerapan hukum Islam di Pengadilan Agama.[3]
Proses penerapan hukum Islam yang simpang-siur tersebut di atas tentu saja tidak dapat dibenarkan dalam praktek peradilan modern, karena menimbulkan ketidakpastian hukum dalam masyarakat. Menjadikan kitab-kitab fiqh sebagai rujukan hukum materiil pada pengadilan agama juga telah menimbulkan keruwetan lain. Kenyataan-kenyataan ini mengharuskan dibentuknya sebuah unifikasi hukum Islam yang akhirnya berhasil disahkan pada tahun 1991, yakni Kompilasi Hukum Islam yang diberlakukan oleh Inpres No. 1 tahun 1991.
2.    Landasan Yuridis
Landasan yuridis mengenai perlunya hakim memperhatikan kesadaran hukum masyarakat adalah Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Pasal 28 ayat 1 yang berbunyi: ” Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Selain itu, Fikih Islam mengungkapkan kaidah:” Hukum Islam dapat berubah karena perubahan waktu, tempat, dan keadaan”. Keadaan masyarakat itu selalu berkembang, karenanya pelaksanaan hukum menggunakan metode yang sangat memperhatikan rasa keadilan masyarakat. Diantara metode itu ialah maslahat mursalah, istihsan, istishab, dan urf.[4]
3.    Landasan fungsional.
Kompilasi Hukum Islam adalah fikih Indonesia karena ia disusun dengan memperhatikan kondisi kebutuhan hukum umat Islam Indonesia. Fikih Indonesia dimaksud adalah fikih yang telah dicetuskan oleh Hazairin dan T.M. Hasbi Ash-Shiddiqi. Fikih sebelumnya mempunyai tipe fikih lokal semacam fikih Hijazy, fikih Mishry, fikih Hindy, fikih lain-lain yang sangat mempehatikan kebutuhan dan kesadaran hukum masyarakat setempat. Ia mengarah kepada unifikasi mazhab dalam hukum islam. Oleh karena itu, di dalam sistem hukum di Indonesia ini merupakan bentuk terdekat dengan kodifikasi hukum yang menjadi arah pembangunan hukum nasional di Indonesia.[5]
C.      Institusi (organisasi) Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Hukum berfungsi sebagai alat untuk mengubah masyarakat yang disebut oleh Roscoe Pound ” a Tool of social enginering” Dalam konteks dinamika Kompilasi Hukum Islam diperlukan Institusi (organisasi) untuk menjalankan dan melakukan pengawasan dalam penerapannya di masyarakat.
a.    Peradilan dan hakim-hakim agama
Peranan dari para Hakim Agama yang mekanisme kerjanya sudah mempunyai landasan yang kokoh dengan ditetapkannya Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang peradilan Agama, maka dalam menghadapi kompilasi hukum islam sebagai ketentuan hukum material yang harus dijalankan tidak hanya berfungsi sebagai "mulut dari kompilasi" akan tetapi dituntut untuk lebih meningkatkan perannya dalam berijtihad menemukanhukum melalui perkara-perkara yang ditanganimya.[6]
b.    Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Majelis Ulama indonesia (MUI) lebih meningkatkan peranannya untuk mengkaji beberapa aspek kemasyarakatan yang berdimensi hukum yang memang sangat diperlukan oleh masyarakat dalam rangka penetapan hukum dalam masyarakat indonesia yang sedang membangun. Visi MUI adalah terciptanya kondisi kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan yang baik, memperoleh ridlo dan ampunan Allah swt menuju masyarakat berkualitas demi terwujudnya kejayaan Islam dan kaum muslimin dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai manifestasi dari rahmat bagi seluruh alam.[7]
c.    Lembaga-lembaga hukum dan fatwa dari organisasi islam
Peranan dari lambaga-lembaga hukum dan fatwa yang kita temui pada berbagai organisasi islam yang ada di Indonesia seperti Muhamadiyah, Nahdlatul Ulama dan lain-lain perlu lebih ditingkatkan dalam rangka mendukung dalam penetapan hukum islam.
d.   Lembaga pendidikan tinggi.
Kegiatan penelitaian di bidang Hukum Islam harus lebih digalakkan. Lembaga pendidikan sebagai media intelektual untuk mengawal dan selalu mengkritisi atas berjalannya Kompilasi Hukum Islam. Perguruan Tinggi Islam khususnya diharapkan memberikan kontribusi positif terhadap pengembangan Kompilasi Hukum Islam.
e.    Lembaga-lembaga penelitian dan pengkajian pemerintah
Lembaga- lembaga penelitian dan pengkajian dari pemerintah, semacam LIPI, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Agama dan lain sebagainya sudah seharusnya melibatkan diri dalam kegiatan penelitian dan pengkajian masalah-masalah hukum islam yang berskala nasional.
f.     Media massa
Peranan media massa dalam persoalan ini sangat besar sekali untuk menjebatani komunikasi ilmiah dari berbagai pihak yang terlibat dalam pengkajian dan penelitian masalah-masalah hukum islam. Media selain untuk sosialisasi tetapi juga berperan sebagai kontrol terhadap berjalannya penerapan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.[8]

[1] aafandia.wordpress.com/2009/05/20/instruksi-presiden-ri-nomor-1-tahun-1991-tentang-kompilasi-hukum-islam/
[2] http://el-ghozali-hasanah.blogspot.com/2011/04/sejarah-terbentuknya-kompilasi-hukum-islam.html
[3] Zainuddin Ali, Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 98
[4] Ibid., hlm. 100.
[5] Ibid.
[6] Zainudin Ali, Sosiologi Hukum (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 38.
[7] Mahfud, Moh.MD.Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia (Yogyakarta: Gama Media, 1999) hlm. 259.
[8] Abdurahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Akademika Pressindo, 1992), hlm 7

SHARE THIS POST   

  • Facebook
  • Twitter
  • Myspace
  • Google Buzz
  • Reddit
  • Stumnleupon
  • Delicious
  • Digg
  • Technorati
Author: Mohammad
Mohammad is the founder of STC Network which offers Web Services and Online Business Solutions to clients around the globe. Read More →

0 komentar: