Download this Blogger Template by Clicking Here!

PROFIL

https://web.facebook.com/irwan.a.lovers

Rabu, 28 Oktober 2015

Widgets

TASAWUF (Asal Usul dan Arti Tasawuf, Maqâmât dan Ahwâl)





A.   Pendahuluan

Al-Qur`an dan hadis bukanlah sebuah aturan-aturan kaku yang membatasi ruang gerak manusia. Al-Qur`an dan hadis adalah panduan hidup yang menggiring manusia menuju ketentraman, kedamaian dan kebahagiaan. Kebahagiaan yang sempurna adalah kebahagiaan yang meliputi dua dimensi, yaitu dimensi dunia dan dimensi akhirat. Kebahagiaan di dunia dapat dirasakan dengan jiwa yang tentram. Kebahagiaan akhirat adalah kebahagiaan bertemu dan berkomunikasi dengan Allah. Berkomunikasi bukan dalam arti melalui panca indra dan organ tubuh yang dimiliki manusia, tetapi proses komunikasi yang dilakukan antara jiwa suci dengan jiwa Yang Maha Suci. Suatu kebahagiaan yang luar biasa dan anugrah yang tiada tara.
 Mengikat lingkaran rohani dengan Allah merupakan tujuan akhir kehidupan manusia. Kehidupan yang berlandaskan rohani dan fitrah yang diciptakan Allah disebut dengan kehidupan yang hakiki. Sedangkan kehidupan yang hanya bersandarkan kepada materi saja adalah kehidupan yang semu. Oleh karena itu manusia pada dasarnya adalah suci, maka kegiatan yang dilakukan oleh sebagian manusia untuk mensucikan diri merupakan naluri manusia. Usaha yang mengarah kepada pensucian jiwa terdapat di dalam kehidupan tasawuf.
Tasawuf  merupakan suatu ajaran untuk mendekatkan diri sedekat mungkin dengan Allah bahkan kalau bisa menyatu dengan Allah melalui jalan dan cara, yaitu maqâmât dan ahwâl. Dalam perkembangannya tasawuf  mendapatkan berbagai kendala, ada pendapat yang mengatakan bahwa tasawuf  bukan berasal dari Islam itu sendiri tetapi merupakan pengaruh dari ajaran-ajarn agama lain. Untuk lebih jelasnya, dalam makalah ini akan dicoba memaparkan beberapa persoalan yang berhubungan dengan asal usul tasawuf, pengertian tasawuf dan maqâmât dan ahwâl yang harus dijalankan oleh seorang untuk menjadi seorang sufi.

B. Pengertian Tasawuf
Ada beberapa pengertian yang dikemukakan oleh beberapa ahli mengenai asal kata tasawuf. Ada yang berpendapat bahwa tasawuf berasal dari kata ahl alsuffah, yaitu orang-orang yang ikut pindah dengan Nabi dari Mekkah ke Madinah,kehilangan harta benda dan dalam keadaan miskin, mereka tinggal di mesjid dan tidur di atas batu dengan memakai pelana sebagai bantal. Pelana ini disebut suffah. Meskipun miskin, ahl suffah berhati mulia, tidak mementingkan keduniaan, itu merupakan sifat-sifat kaum sufi.[1]
 Ada yang bependapat bahwa tasawuf  berasal dari kata shaf pertama dalam shalat. Sebagaimana halnya orang yang shalat di shaf pertama akan mendapat kemuliaan dan pahala, maka demikian juga kaum sufi dimuliakan Allah dan diberi pahala. Dan ada yang berpendapat bahwa tasawuf  berasal dari kata al-Shafa’ yang berarti suci. Seorang sufi adalah orang yang mensucikan dirinya melalui latihan-latihan yang lama.[2]
Sophos kata Yunani yang berarti hikmah merupakan asal kata tasawuf. Di dalam transliterisasi huruf s yang terdapat di dalam kata sophos ke dalam Bahasa Arab menjadi (sin) dan bukan (shod), sebagaimana halnya kata falsafat dari kata philosophia. Dengan demikian kata sufi ditulis dengan (sufi) dan bukan (shufi).[3]
 Selain itu ada yang menisbahkannya kepada kata shuf  yang berarti wol kasar. Kain yang terbuat dari wol kasar merupakan simbol kesederhanaan dan kemiskinan. walaupun hidup penuh kesederhanaan dan miskin, mereka berhati suci, tekun beribadah.[4]
Pendapat yang paling banyak dipakai dan megacu kepada makna sufi itu sendiri menurut para ahli adalah pendapat yang terakhir. Wol merupakan simbol kesederhanaan yang melambangkan kehidupan para sufi itu sendiri. Memberikan suatu definisi yang definitif terhadap tasawuf tidaklah mudah, karena esensi tasawuf sebagai pengalaman rohaniah yang sulit untuk dijelaskan melalui bahasa lisan. Tasawuf  bersifat subyektif kerena pengalaman para sufi berbeda satu sama lain. Walaupun demikian para ulama berusaha memberikan definisi tasawuf sejauh pantauan mereka terhadapnya.  
Tasawuf menurut Junaid al-Bagdadi (W.297 H/910 M) adalah membersihkan hati dari sifat-sifat yang menyamai binatang, menekan sifat basyariyah, menjauhi hawa nafsu, memberikan tempat bagi sifat kerohanian, berpegang pada ilmu kebenaran, mengamalkan sesuatu yang lebih utama atas dasar keabadiannya, menepati janji kepada Allah dan mengikuti syari’at Rasulullah.[5]
Tasawuf menurut Husni adalah kesucian hati dari pencemaran ketidakselarasan. Maksudnya bahwa seorang sufi harus menjaga hatinya dari ketidakselarasan dengan Tuhan, karena cinta adalah keselarasan dan pencinta hanya punya satu kewajiban di dunia, yaitu menjaga atau melaksanakan perintah sang kekasih.[6]
Menurut Abu Yazid al-Bustami (261 H/875 M) tasawuf mencakup tiga aspek, yaitu: Kha’, maksudnya takhalli, berarti mengosongkan diri dari perangai yang tercela, Ha’, maksudnya tahalli, yang berarti menghiasi diri dengan akhlak terpuji, dan Jim, maksudnya tajalli, yang berarti mengalami kenyataan ketuhanaan.[7] Maksudnya Allah menampakkan dirinya kepada sufi tersebut.    Ibrahim Basuni mengkategorikan pengertian tasawuf kepada tiga hal, yaitu al-bidâyah, al-mujâhadah, al-mudzâqah. [8]  Definisi berdasarkan al-bidâyah bahwa prinsip awal tumbuhnya tasawuf sebagi manisfestasi dari kesadaran spiritual manusia tentang dirinya sebagai makhluk Tuhan. Kategori ini menekankan kecenderungan jiwa dan kerinduannya secara fitrah kepada yang Maha Mutlak, sehingga orang senantiasa berusaha mendekatkan diri kepada Allah. Definisi berdasarkan al-mujâhadah yaitu pengertian yang membatasi tasawuf pada pengamalan yang lebih menonjolkan akhlak dan amal dalam mendekatkan diri kepada Allah- yang didasarkan atas kesungguhan. Definisi berdasarkan kategori al-madzâqah adalah pengertian yang cenderung membatasi tasawuf pada pengalaman batin dan perasaan keagamaan, terutama dalam mendekati zat yang mutlak.
Abu Bakr Muhammad al-Kattani memberikan pengertian yang singkat dan padat bahwa tasawuf adalah kejernihan dan penyaksian.[9] Pengertian ini mencakup dua segi, keduanya membentuk satu kesatuan yang saling menunjang. Pertama adalah cara yaitu kejernihan hati. Cara yang dilakukan adalah melakukan mujâhadah, menghapus sifat-sifat tercela, memutus hubungan dengan kesenangan duniawi dan berkonsentrasi penuh ke hadirat Allah.
Kedua adalah tujuan yaitu penyaksian adalah derajat ma’rifah yang paling tinggi yang merupakan tujuan akhir bagi orang-orang yang memiliki perasan halus dan berkepribadian mulia. Dari beberapa pengertian di atas, disimpulkan bahwa tasawuf adalah suatu cara untuk mendekatkan diri kepada Allah sedekat mungkin bahkan menunggal dengan Allah SWT.
C. Sejarah Perkembangan Tasawuf
 Pola perkembangan tasawuf tidak jarang mendapat kritikan dan kecaman yang tajam, sehingga sering pula menimbulkan ketegangan dalam dunia pemikiran Islam, permasalahan yang muncul adalah apakah tasawuf benar-benar berasal dari ajaran Islam atau merupakan ajaran-ajaran agama lain yang dianut oleh umat Islam itu sendiri.
Tasawuf oleh kaum orientalis disebut dengan sufisme. Sufisme dipakai untuk mistisisme Islam dan tidak dipakai untuk mistisisme agama-agama lain. Orang yang pertama kali memakai kata sufi adalah Abu Hasyim al-kufi di Irak (150 H).[10]
Menurut Harun Nasution[11] ada beberapa pendapat yang menyatakan asal usul ajaran tasawuf, di antaranya berasal dari ajaran Budha dengan paham nirwananya, bahwa untuk mencapai nirwana seseorang terlebih dahulu harus meninggalkan dunia dan memasuki hidup kontemplasi. Paham fanâ yang terdapat dalam sufisme hampir sama dengan paham nirwana. Dan pendapat yang mengatakan bahwa itu berasal dari ajaran Hindunisme, yang juga mendorong manusia untuk meninggalkan dunia dan mendekati Tuhan untuk mencapai persatuan Atman dan Brahman.
 Ignaz Goldziher orientalis dari Austria, Asin Palacios orientalis dari Spanyol, Alfred Von Kremer dari Jerman dan R.A. Nicholson orientalis dari Inggris memandang bahwa tasawuf Islam berasal dari asketisme Kristen, karena kependetaan Kristen cukup dikenal oleh orang-orang Arab di sepanjang gurun Suriah dan Sinai. Para pendeta Kristen yang berdiam di gurun-gurn itu sedikit banyaknya telah memberikan inspirasi kepada sejumlah zahid[12] muslim generasi pertama.
 Di samping itu kegemaran kaum sufi dalam menghayati kehidupan kesunyian menampakkan adanya pengaruh mistisisme Kristen.[13] Orientalis lain berpendapat bahwa tasawuf  merupakan suatu bagian yang asing dalam Islam dan berkemungkinan berasal dari pendeta-pendeta di Syam, atau dari ajaran Plato, dari ajaran Zoroaster di Persia, dari ajaran Weda dalam agama Hindu. Namun tidak semua orientalis ini yang konsisten dengan pendapat mereka. Ada di antara mereka yang kemudian mengubah pendapat mereka, seperti yang dilakukan Nicholson “Selama ini timbulnya tasawuf  Islam telah dibahas dengan cara yang salah, akibatnya banyak peneliti yang mengatakan bahwa hidup dan kekuatannya berasal dari semua bangsa dan golongan yang membentuk suatu kerajaan Islam yang memungkinkan penafsiran pertumbuhannya dengan penfsiran ilmiah dengan menggembalikannya pada satu asal, seperti Wedanata Hindu atau Neo-platonisme.[14]
Louis Masigmon menjelaskan pendapat Nicholson ini, sebenarnya Nocholson menjelaskan bahwa penetapan tasawuf sebagai suatu ajaran asing dalam Islam tidak dapat diterima adapun yang benar adalah sejak lahirnya Islam. Ini didapati dari pendapat para sufi dan telah timbul dalam hati umat Islam itu sendiri disaat umat Islam gemar dan tekun membaca dan mempelajari al-Qur`an dan hadis.[15]
Pendapat yang mengatakan bahwa tasawuf berasal dari luar Islam-dari Persia, Hindu, Nasrani dan lain-lain- hanya mendasarkan pendapatnya kepada kesamaan tipologi saja. Untuk dapat membenarkan adanya interaksi histories antara sumber-sumber di atas dengan tasawuf, harus dapat dibuktikan secara faktual. Jelasnya, akar histories dari tasawuf dan sumber tasawuf itu sendiri adalah berasal dari respon umat Islam terhadap situasi dan kondisi serta ajaran Islam itu sendiri. Tasawuf digali dari al-Qur`an dan hadis yang dikembangkan berdasarkan kehidupan Nabi dan para sahabat. Walaupun dalam perkembangannya terdapat unsur-unsur tertentu yang ada kemiripannya dengan karakteristik mistisisme pada umumnya, tetapi kemiripan itu terjadi karena berakar dari universalitas hakekat manusia.
 Pada hakikatnya timbulnya tasawuf dalam Islam bersamaan dengan kelahiran Islam itu sendiri, yaitu semenjak Muhammad diutus menjadi Rasul. Fakta sejarah menunjukan bahwa pribadi Nabi sebelum diangkat menjadi Rasul berulang kali melakukan tahanuts dan khalwat di Gua Hira`. Di samping untuk ber-uzlah dari masyarakat yang memperturutkan hawa nafsu keduniaan, juga berusaha mencari jalan untuk membersihkan hati dan mensucikan jiwa dari noda-noda yang ada pada masyarakat saat itu.
Tahanuts yang dilakukan oleh Nabi tersebut bertujuan untuk mencari ketenangan jiwa dan kebersihan hati dalam menempuh liku-liku kehidupan dan menempuh untuk mendapat hidayah dari Pencipta alam semesta. Dengan mengkonsentrasikan pikiran dan perasaan dalam merenungkan alam yang terbentang luas di tempat yang luas dan bebas, lebih menggugah hati Rasul untuk merasakan kebesaran dan keagungan Allah. Tahanuts ini merupakan cahaya pertama dan utama bagi tasawuf atau benih pertama bagi kehidupan rohaniyah yang disebut dengan ilham atau renungan rohaniyah. Segala pola tingkah laku, amal perbuatan dan sifat-sifat Rasul sebelum diangkat menjadi Rasul merupakan manisfestasi dari kebersihan hati dan kesucian jiwanya yang sudah menjadi pembawaan sejak kecil.[16]
Prihidup Rasul tersebut merupakan pola dasar dan gambaran lengkap bagi para sufi dalam pengamalan ajaran tasawuf.
Ayat-ayat yang menjadi sumber ajaran tasawuf dan sebagai pendorong untuk mengikatkan dan mendekatkan diri kepada Allah, di antaranya adalah sebagai berikut:
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä `tB £s?ötƒ öNä3YÏB `tã ¾ÏmÏZƒÏŠ t$öq|¡sù ÎAù'tƒ ª!$# 5Qöqs)Î/ öNåk:Ïtä ÿ¼çmtRq6Ïtäur
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, Barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya... [17]

¬!ur ä-̍ô±pRùQ$# Ü>̍øópRùQ$#ur 4 $yJuZ÷ƒr'sù (#q9uqè? §NsVsù çmô_ur «!$# 4 žcÎ) ©!$# ììźur ÒOŠÎ=tæ  
Artinya : Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha mengetahui. [18]
öNn=sù öNèdqè=çFø)s?  ÆÅ3»s9ur ©!$# óOßgn=tGs% 4 $tBur |MøtBu øŒÎ) |MøtBu  ÆÅ3»s9ur ©!$# 4tGu 4 uÍ?ö7ãŠÏ9ur šúüÏZÏB÷sßJø9$# çm÷ZÏB ¹äIxt/ $·Z|¡ym 4 žcÎ) ©!$# ììÏJy ÒOŠÎ=tæ
Artinya : Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui. [19]
D. Maqâmât dan Ahwâl
 Secara umum, tujuan terpenting dari sufi adalah berada sedekat mungkin dengan Allah. Akan tetapi apabila diperhatikan karakteristik tasawuf secara umum, terlihat adanya tiga sasaran dari tasawuf[20], yaitu pertama, tasawuf yang bertujuan untuk pembinaan aspek moral. Aspek ini meliputi mewujudkan kestabilan jiwa yang berkeseimbangan, penguasaan dan pengendalian hawa nafsu sehingga manusia konsisten dan komitmen hanya kepada keluhuran moral. Tasawuf semacam ini bersifat praktis. Kedua, tasawuf yang bertujuan untuk ma’rifatullah melalui penyingkapan langsung (kasyf al-hijab). Tasawuf ini bersifat teoritis dengan seperangkat ketentuan khusus yang diformulasikan secara sistematis analitis. Ketiga, tasawuf yang bertujuan untuk membahas bagaimana sistem pengenalan dan pendekatan diri kepada Allah secara mistis filosofis.
Arti dekat dengan Tuhan terdapat tiga simbolis, yaitu dekat dalam arti melihat dan merasakan kehadiran Tuhan dalam hati, dekat dalam arti berjumpa dengan Tuhan sehingga terjadi dialog antara manusia dengan Tuhan dan arti dekat dengan Tuhan adalah penyatuan manusia dengan Tuhan sehingga yang terjadi adalah monolog antara manusia yang telah menyatu dengan iradat Tuhan.
Orang-orang sufi mempunyai jalan rohani untuk mencapai tujuannya yang menjadi tempat mereka berjalan. Thariqat (jalan) ini berdasarkan pada asas dan petunjuk serta berpatokan kepada al-Qur`an dan Hadis. Prinsip jalan sufi ini dinamakan al-maqâmât wa al-ahwâl.[21]
 Maqâmât merupakan istilah kaum sufi yang menunjukan arti nilai etika yang akan diperjuangkan dan diwujudkan oleh seorang salik melalui beberapa tingkatan mujâhadah secara berangsur-angsur, yaitu dari suatu tingkatan prilaku batin menuju pencapaian tingkatan (maqâm) berikutnya dengan bentuk amalan mujâhadah tertentu. Ini merupakan pencapaian kesejatian hidup dengan pencarian yang tidak kenal lelah, beratnya syarat, dan beban kewajiban yang harus dipenuhi. Ketika seorang yang sedang menduduki atau berjuang untuk menduduki sebuah maqâm harus menegakkan nilai-nilai yang terkandung dalam maqâm yang sedang dikuasainya. Oleh karena itu, dia akan selalu sibuk dengan berbagai riyâdah (latihan). Maqâm merupakan tingkatan rohani yang dapat dilalui orang yang berjalan menuju Allah dan akan berhenti pada saat tertentu. Orang yang menempuh jalan kebenaran (salik) berjuang hingga Allah memudahkannya untuk menempuh jalan menuju tingkatan kedua. Hal ini misalnya dari tingkatan taubat menuju tingkatan wara`, dari tingkatan wara` menuju tingkatan zuhud. Demikian jalannya hingga mencapai tingkatan mahabbah dan ridha. Kaum sufi berbeda di dalam merinci maqâm yang harus dilalui oleh seorang salik untuk menuju tujuannya. Imam Abu Nashr al-Sarraj al-Tusi membicarakan maqâm pada taubat, al-wara`, zuhud, al-faqr, al-shabr, al-ridha, tawakal dan lain-lain.[22]
Menurut Abu Bakr al-Kalabi dalam bukunya al-ta’aruf li mazhab ahl tasawuf, yaitu taubat, zuhud, sabar, fakir, rendah hati, taqwa, tawakal, kerelaan, cinta, ma’rifah,. Abu Hasan al-Qusyairi membaginya kepada taubat, wara`, zuhud, tawakal, sabar dan kerelaan.[23] Untuk lebih jelasnya akan dijelaskan maksud dari beberapa maqâm yang harus dilalui oleh seorang sufi.
Maqâm pertama, taubat, taubat merupakan batu pertama jalan menuju Allah dan merupakan penyerahan diri kepada-Nya. Taubat adalah mensucikan manusia dari maksiat dan menghapus kesalahan (dosa-dosa) sebelumnya.[24]
Taubat orang sufi adalah taubat dari lalai beribadah. Mereka menganggap dosa kecil seperti dosa besar. Taubat semacam ini mempunyai syarat sehingga dapat menyiapkan manusia menempuh tujuannya dengan satu kesiapan yang sempurna. Syarat-syarat tersebut meliputi, pertama agar manusia meninggalkan maksiat, kedua agar manusia menyesali perbuatannya dan ketiga agar dirinya bertekad untuk tidak mengulangi kesalahan untuk selama-lamanya.
Jika salah satu syarat tidak terpenuhi tidak sah taubatnya. Apabila perbuatannya ada kaitannya dengan manusia, syaratnya ada empat, yaitu tiga syarat yang di atas dan yang keempat adalah membersihkan diri dari hak orang lain.
Maqâm kedua adalah wara`. Wara` adalah meninggalkan segala sesuatu yang mengandung syubhat (kesamaran) di dalamnya. Menurut Abdul Halim wara` adalah kehatian-hatian dalam perkataan, hati nurani dan perbuatan.[25]
 Dalam perkataan adalah menahan dari ucapan sia-sia yang tidak bermanfaat dan membuang waktu, berbuat wara` dalam perkataan bukanlah suatu yang sangat mudah. Wara` dalam hati sanubari adalah mencegah manusia agar tidak lengah dalam hal-hal remeh. Wara` dalam perbuatan meliputi kewaspadaan dalam hal-hal yang berkaitan dengan makanan dan pakaian, semuanya harus berasal dari hasil yang halal.
Maqâm ketiga adalah zuhud. Secara umum zuhud diartikan sebagai suatu sikap melepaskan diri dari rasa ketergantungan terhadap kehidupan duniawi dengan mengutamakan kehidupan akhirat. Zuhud berarti mengasingkan diri dari kehidupan duniawi untuk tekun beribadah dan menjalankan latihan rohani, memerangi keinginan hawa nafsu di dalam pengasingannya dan dalam pengembaraan.[26]
 Walaupun terdapat keanekaragaman penafsiran zuhud, namun tetap sama dalam tujuan, yaitu agar manusia tidak menjadikan kehidupan dunia sebagi tujuan
akhir. Dunia harus ditempatkan sebagai sarana dan dimanfaatkan secara terbatas dan terkendali, jangan sampai kenikmatan duniawi menyebabkan susutnya waktu dan perhatian kepada tujuan sebenarnya, yaitu kebahagiaan yang abadi di “hadirat” ilahi. Dengan demikian zuhud merupakan sikap hidup dengan mempergunakan dunia seperlunya. Dunia hanya dijadikan sebagai jembatan untuk
mencapai tujuan akhir, yaitu kebahagiaan yang abadi di “hadirat’ ilahi.
Maqâm keempat adalah faqr. Faqr tidak diartikan dengan hidup dalam kemiskinan tanpa ada usaha untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Akan tetapi faqr dalam konteks sufi adalah hidup bagaikan orang fakir. Faqr tidak membutuhkan lebih banyak dari apa yang yang telah dimiliki, merasa puas dan bahagia dengan apa yang sudah dimiliki, sehingga tidak meminta sesuatu yang lain secara berlebihan. Sikap mental faqr ini merupakan benteng pertahanan yang kuat dalam menghadapi pengaruh kehidupan materi. Dengan tertanamnya sikap rohaniyah faqr ini, maka dalam menerima atau memanfaatkan segala sesuatu bersikap wara`.
Maqâm kelima adalah sabar. Sabar salah satu sikap mental yang fundamental bagi sufi dalam usahanya mencapai sasaran. Sabar diartikan sebagai suatu keadaan jiwa yang kokoh, stabil dan konsekwen dalam pendirian. Jiwanya tidak tergoyahkan, pendiriannya tidak labil walau bagaimanapun beratnya tantangan yang dihadapi, pantang mundur dan tak kenal menyerah, karena seorang sufi beranggapan bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah iradah Allah yang mengandung ujian.[27]        
Maqâm keenam adalah tawakal. Tawakal bukan berarti menyerahkan seluruh urusan kepada Allah tanpa dibarengi perencaan yang matang dan tanpa usaha. Akan tetapi tawakal secara umum berarti pasrah secara bulat kepada Allah setelah melaksanakan sesuatu sesuai rencana dan usaha. Tawakal tidak bisa lepas dari rencana dan usaha. Apabila rencana sudah matang dan usaha dijalankan dengan sungguh-sungguh sesuai dengan rencana, hasilnya diserahkan kepada Allah.                                                                                                                                                                                 
 Maqâm ketujuh adalah mahabbah. Harun Nasution[28] mengatakan bahwa pengertian yang diberikan kepada mahabbah antara lain; pertama memeluk kepatuhan kepada Tuhan dan membenci sikap melawan kepada-Nya, kedua menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi, ketiga mengosongkan hati dari segala sesuatu kecuali dari diri yang dikasihi. Maqâm mahabbah dialami oleh Rabi’ah al-Adawiyah. Rasa cinta kepada Allah begitu bergelora, siang malam bermunajat kepada Allah. Cinta memenuhi kalbunya sehingga tidak ada ruang walaupun kecil untuk rasa benci.
 Maqâm kedelapan adalah ridha. Sikap mental ridha merupakan kelanjutan dari rasa cinta atau perpaduan dari mahabbah dan sabar. Term ini mengandung arti menerima dengan lapang dada dan hati terbuka apa saja yang menimpa dirinya dan tidak berburuk sangka kepada Allah. Dengan timbulnya rasa cinta yang diperkuat dengan ketabahan, maka terbina pula kelapangan hati dan kesediaan yang tulus untuk berkorban berbuat apa saja yang diperintahkan sang kekasih. Rela menuruti apa yang dikendaki Allah tanpa ada rasa keterpaksaan. Ia merasa puas terhadap pemberian dari Allah walaupun sedikit bila dibandingkan dengan yang diterima orang lain.[29]
Di samping istilah maqâmât terdapat pula dalam literature tasawuf  istilah ahwâl. Maqâmât diperoleh manusia dengan usaha manusia itu sendiri yang tidak berobah, sedangkan ahwâl tidak diperoleh dari usaha manusia tetapi merupakan anugrah Allah yang berobah Ahwâl merupakan keadaan mental yang hadir secara otomatis tanpa unsur kesengajaan, upaya, latihan dan pemaksaan, seperti perasaan senang, sedih, perasaan takut dan lain-lain. Ahwâl yang biasa terdapat dalam tasawuf adalah takut, tawadu’, taqwa, ikhlas, rasa berteman, gembira dan syukur.[30]









E. Penutup
Dari uraian di atas disimpulkan bahwa prinsip-prinsip ajaran tasawuf telah ada dalam Islam semenjak Nabi Muhammad diutus menjadi Rasul, bahkan kehidupan rohani Rasul dan para sahabat menjadi salah satu panutan di dalam melakukan amalan-amalannya. Ini merupakan sangkalan terhadap pendapat yang mengatakan bahwa tasawuf merupakan produk asing yang dianut oleh umat Islam.
Tasawuf dan ajaran mistisisme agama lain hanya persamaan tipologi dan berbeda dalam isinya. Tujuan tertinggi dari seorang sufi adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah atau kalau bisa menunggal dengan Allah. Untuk mencapai tujuan tersebut seorang sufi harus melalui cara tersendiri atau tingkatan-tingkatan yang dikenal dengan istilah maqâm. Di samping istilah maqâm kaum sufi juga menganal istilah ahwâl yaitu keadaan seseorang yang merupakan anugrah Allah. Kedua-duanya tidak dapat dipisahkan.
















F.    DAFTAR KEPUSTAKAAN.
1.    Departemen Agama RI, (1983/1984), Al qur’an dan Terjemahnya, Jakarta : Proyek Pengadaan Kitab Suci Al qur’an
2.    Harun Nasution, (1973), Falsafat Islam dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta : Bulan Bintang
3.    Tim Penyusun (1982), Pengantar Ilmu Tasauf, Medan : Proyek PPTA Sumatera Utara
4.    Taufik Abdullah, (tth), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam; Pemikiran dan peradaban, Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van Hoeven
5.    Ali Ibn Usman Al Hujwiri, (1994), Kasyful Mahjub, (The Oldest Persian Tematis On Sufism), Bandung : Alih Bahasa Suwardjo Muthori, Abdul Hadi WM
6.    Ibrahim Basyuni,(tth) Nasy’ah Al Tasauf Al Islam, Mesir : Daar Ma’arif
7.    Abdul Halim Mahmud, (2002), Tasauf di Dunia Islam, Alih Bahasa Abdullah Zaky Al Kaf,  Bandung : CV Pustaka
8.    A. Rivai Siregar , (1999), Tasauf dan Sufismi Klasik ke Neo Klasik Jakarta : PT Rajawali Grafindo Persada
9.    Simun, (1996), Tasauf dan Perkembangan dalam Islam, Jakarta : PT Rajawali Pers









[1] Harun Nasution, Falsafat Islam dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1973, h.57
[2] Tim Penyusun, Pengantar Ilmu Tasawuf,  Medan: Proyek PPTA Sumut, 1982, h.9
[3] Harun, loc.cit.
[4] Ibid
[5] Taufik Abdullah, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam; Pemikiran dan Peradaban, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeven, tth, h.139
[6] Ali Ibn Usman al-Hujwiri, Kasyful Mahjub (the oldest Persian Treatis on Sufism), Alih
Bahasa: Suwardjo Muthori, Abdul Hadi WM, Bandung: Mizan, 1994, h.47.
[7] Taufik, loc.cit.
[8] Ibrahim Basuni, Nasy`ah al-Tasawuf al-Islâm, Mesir: Dâr Ma’ârif, tth, h.17
[9] Abdul Halim Mahmud, , Tasawuf di Dunia Islam, Alih Bahasa Abdullah Zaky al-Kaaf, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2002, h.26
[10] Harun, op.cit., h.56
[11] Ibid., h.59
[12] Abdul Halim, op. cit., h.24
[13] Taufik, op.cit., h.143
[14] Abdul Halim, op.cit., h.118
[15] Ibid., h.119
[16] Tim Penyusun, op.cit., h.37
[17] Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 1995), hal.  169
[18] Ibid  hal.  31
[19] Departemen Agama Opcit  hal.  263
[20] A. Rivay Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, Jakarta: PT.Rajawali grafindo Persada,1999, h. 57
[21] Abdul Halim, op.cit., h.38
[22] Ibid., h.39
[23] Harun, op.cit., h.62-63
[24] Abdul Halim, op.cit., h.55
[25] Ibid., h.61
[26] Simun, Tasawuf dan perkembangan dalam Islam, Jakarta: PT. rajawali Pers. 1996, h.60.
[27] Tim penyusun, op.cit., h.106
[28] Harun, op.cit., h.70
[29] Ibrahim Basuni, op.cit., h.139
[30] Harun, op.cit., h.63

SHARE THIS POST   

  • Facebook
  • Twitter
  • Myspace
  • Google Buzz
  • Reddit
  • Stumnleupon
  • Delicious
  • Digg
  • Technorati
Author: Mohammad
Mohammad is the founder of STC Network which offers Web Services and Online Business Solutions to clients around the globe. Read More →

6 komentar: