Download this Blogger Template by Clicking Here!

PROFIL

https://web.facebook.com/irwan.a.lovers

Rabu, 28 Oktober 2015

Widgets

IBNU ARABI DAN AL-JILLI






I.                   Pendahuluan
Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional penggagasnya. Berbeda dengan tasawuf akhlaki, tasawuf falsafi menggunakan terminologi filosofis dalam pengungkapannya serta berasal dari bermacam-macam ajaran filsafat yang telah mempengaruhi para tokohnya. Menurut At-Taftazani, tasawuf falsafi muncul dengan jelas dalam khazanah Islam sejak abad keenam hijriah meskipun para tokohnya baru dikenal seabad kemudian. Sejak saat itu, tasawuf jenis ini hidup dan berkembang, terutama di kalangan para sufi yang juga filosof, sampai menjelang akhir-akhir ini. Adanya pemaduan antara tasawuf dan filsafat dalam ajaran tasawuf falsafi menyebabkan ajaran-ajaran tasawuf jenis ini bercampur dengan sejumlah ajaran filsafat di luar Islam, seperti yunani, Persia, India, dan agama Nasrani. Akan tetapi, orisinalitasnya sebagai tetap tidak hilang.[1]
Meskipun mempunyai latar belakang kebudayaan dan pengetahuan yang berbeda dan beraneka ragam, seiring dengan perkembangan  Islam yang telah meluas pada waktu itu, para tokohnya tetap berusaha menjaga kemandirian ajaran aliran mereka, terutama bila dikaitkan dengan kedudukannya sebagai umat Islam. Sikap ini dengan sendirinya dapat menjelaskan kepada kita bahwa para tokoh tasawuf jenis ini begitu gigih mengompromikan ajaran-ajaran filsafat yang berasal dari luar Islam tersebut ke dalam tasawuf mereka, serta menggunakan terminologi-terminologi filsafat, tetapi tetap menyesuaikan maknanya dengan ajaran tasawuf yang mereka anut.  Para sufi yang juga filosof pendiri aliran tasawuf ini mengenal dengan filsafat Yunani serta berbagai alirannya, seperti Socrates, Plato, Aristoteles, aliran Stoa, dan aliran Neo-Platonisme dengan filsafatnya tentang emanasi. [2]
Di antara tokoh-tokoh tasawuf falsafi ini adalah Ibn Arabi, Al-Jilli, Ibn Sab’in dan Ibn Masarrah. Tetapi penulis hanya membahas tentang tasawuf falsafi Ibn Arabi dan Al-Jilli.
II.                Pembahassan
A.     al-Jili
1.  Rwayat Hidup al-Jilli
            Abdul Karim al-Jili atau al-Jailani dilahirkan di suatu daerah bernama Jili atau Jailan, termasuk wilayah Selatan Laut Kaspia di Asia Tengah pada tahun 767 H / 1365 M dan meninggal pada tahun 811 H / 1409 M. Beliau terkadang disebut al-Jailani karena dianggap masih ada hubungan deng Syekh Abdul Qadir Jailani (wafat 561 H / 1166 M) yang termasyhur itu.[3]
            Setelah ia belajar agama di daerahnya dan setelah dirasakan cukup ia mulai mengembara mencari ilmu dan pengalaman keagamaan, dalam pengembaraan itu ia pernah tinggal di Zabid, sebuah kota di Yaman dan disini  belajar pada Syekh Syarifuddin Ismail bin Ibrahim al-Jabarti. Juga dalam pengembaraannya ke berbagai negeri itu beliau juga pernah tinggal di India untuk beberapa waktu lamanya.
            Dengan ilmu dan pengalaman yang luas, ia akhirnya dalam bidang tasawuf  banyak memiliki kesamaan pengalaman denga Ibnu Arabi (wafat 638 H / 1240 M) dan akhirnya menjadi pendukung ajaran tasawufnya. Abdul Karim adalah seorang ulama yang kreatif dan produktif, dalam bidang tasawuf ia menulis buku dan makalah tidak kurang dari dua puluh buah, sayangnya tidak semua karya itu sampai pada kita. Diantara karya-karyanya itu yang paling terkenal dan mencerminkan pandangan-pandangan tasawufnya adalah kitab al-Insan al-Kamil fi Ma’rifat al-awakhir wa al-awali. Kitab ini mengandung enam puluh dua bab terbagi kedalam dua jilid, disusun dengan ringkas, mendalam dan penuh dengan kata hikmah.[4]
            Murtadha Mutahhari mengemukakan bahwa Abdul karim Jilani, dia penulis kitab terkenal Insan Kamil (manusia sempurna) ialah sebuah pokok bahasan yang pertama timbul di dalam bentuk teoritis dan Ibnu arabi, dan anak didik Ibnu Arabi, Sadradin Qunawi telah menguraikan secara rinci di dalam karyanya Miftah al-Gaib dan sejauh pengetahuan kami paling tidak dua mistis yang telah menulis kitab-kitab secara sempurna tentang masalah itu. Satu dari keduanya ialah Aziruddin Nasafi, seorang Mistik paruh terakhir abad ke-7 H / ke-13 m, dan yang lain adalah Abdul Karim Jilani.[5]
2.  konsep al-Jili tentang Insan Kamil
            Insan Kamil (manusia sempurna berasal dari kata al-Insan = manusia, dan al-Kamil = yang sempurna). Konsepsi filosofis yang pertama sekali muncul dari gagasan seorang sufi besar Ibnu Arabi. Oleh Abdul Karim bin Ibrahim al-Jili (1365 – 1428) seorang pengikutnya, gagasan itu dikembangkan menjadi bagian dari renungan mistis yang bercorak tasawuf filosofis.[6]
Yunasril Ali Mendefenisikan Insan Kamil adalah:
Insan kamil ialah manusia yang sempurna dari segi wujud dan pengetahuannya. Kesempurnaan dari segi wujudnya ialah karena dia merupakan manifestasi sempurna dari citra Tuhan, yang pada dirinya tercermin nama-nama dan sifat Tuhan secara utuh. Adapun kesempurnaan dari segi pengetahuannya ialah karena dia telah mencapai tingkat kesadaran tertinggi, yakni menyadari kesatuan esensinya dengan Tuhan, yang disebut makrifat.[7]
            Al-Jili merumuskan, insan kamil itu dengan merujuk pada diri Nabi Muhammad SAW sebagai sebuah contoh manusia ideal. Jati diri Nabi Muhammad SAW (al-Haqiqah al-Muhammdiyah) yang demikian itu tidak semata-mata difahami dalam pengertian Muhammad SAW sebagai Rasul (utusan Tuhan), tetapi juga sebagai Nur (Cahaya Roh) Ilahi yang menjadi pangkal dan poros kehidupan di dalam jagad raya. nur Ilahi yang kemudian lebih dikenal dengan istilah “Nur Muhammad” oleh kalangan sufi, disamping terdapat dalam diri Muhammad SAW, juga telah dipancarkan Tuhan ke dalam diri Adam As.[8]
            Al-Jili dengan karya monumentalnya yang berjudul al-Insan al-Kamil fi Ma’rifah al-Awakhir wa al-Awail (manusia sempurna dalam konsep pengetahuan tentang misteri yang Pertama dan yang terakhir), mengawali pembicaraannya dengan mengidentifikasi insane kamil dalam dua pengertian.[9]
a.       Insan Kamil dalam pengertian pengetahuan mengenai manusia yang sempurna. Dalam pengertian yang demikian, insan kamil  terkait dengan pandangan mengenai sesuatu yang dianggap mutlak, yaitu Tuhan. Yang Mutlak tersebut dianggap mempunyai sifat-sifat tertentu, yakni yang baik dan yang sempurna. Sifat sempurna inilah yang patut ditiru oleh manusia. Seseorang yang makin memiripkan diri pada sifat sempurna dari Yang Mutlak tersebut, maka semakin sempurnalah dirinya.
b.      Insan Kamil terkait dengan jati diri yang mengidealkan kesatuan nama serta sifat-sifat Tuhan kedalam hakikat atau esensi dirinya.
Menurut al-Jili, dalam pengertian yang kedua itulah, nama, esensial dan sifat-sifat Ilahi tersebut pada dasarnya juga menjadi milik manusia sempurna oleh adanya hak fundamental, yakni sebagai suatu keniscayaan yang inhern dalam esensi dirinya. Hal ini dinyatakan dalam ungkapan yang sering terdengar, yakni Tuhan berfungsi sebagai cermin bagi manusia dan manusia menjadi cermin bagi Tuhan untuk melihat diri-Nya. Seperti cermin dipakai seorang untuk melihat bentuk dirinya dan tidak bisa melihat dirinya itu tanpa adanya cermin tersebut, maka demikian pula hubungan yang berlangsung antara Tuhan dan manusia sempurna.
Bagi al-Jili, manusia dapat mencapai jati diri yang sempurna melalui latihan rohani dan pendakian mistik, bersamaan dengan turunnya yang mutlak ke dalam diri manusia melalui berbagai tingkat. Latihan rohani itu diawali dengan manusia bermeditasi tentang nama dan sifat-sifat Tuhan.
Pada tingkatan kedua, ia melangkah masuk kedalam suasana sifat-sifat Tuhan, dan disini ia mulai mengampil bagian dalam sifat-sifat Ilahi serta mendapat kekuasaan yang luar biasa.
Pada tingkat ketiga, ia melintasi daerah nama dan sifat Tuhan, masuk kedalam suasana hakikat Mutlak, dan kemudian menjadi “manusia Tuhan” atau Insan Kamil. Matanya menjadi mata Tuhan, kata-katanya menjadi kata-kata Tuhan, dan hidupnya menjadi hidup Tuhan (Nur Muhammad).
Sebagaiman Ibnu Arabi, maka al-Jili juga berkeyakinan bahwa esensi dari wujud ini adalah Tuhan. Hal itu karena Tuhan menghendaki agar rahasia ke-Ilahian-Nya dapat terungkap oleh terbentangnya wujud ini. Dengan memberikan sifat penciptaan yang ditimpakan kepada wujud, maka segalanya memiliki sifat-sifat Ilahi dan dengan ini tersingkaplah rahasia penciptaan itu, dan wujud ini pun tidak akan muncul tanpa wujud Tuhan itu. Itulah sebabnya maka wujud ini merupakan panggung peribadatan kepada-Nya, baik manusia maupun alam dengan cara yang tepat dan berkesinambungan.[10]

B.    Al-Arabi

1.  Biografi Ibnu ‘Arabi

Ibnu Arabi lahir di Murcia, Andalusia, Spanyol, 17 Ramadan 560 H/28 Juli 1165 M dan beliau wafat di Damaskus, 28 Rabiulawal 638 H/16 November 1240 M. Ibnu Arabi adalah seorang sufi dan pemikir mistik terbesar dunia islam. Nama lengkapnya adalah Muhiddin Abu Abdullah Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Abdullah Hatimi at-ta’i.[11] Nama ini dibubuhkan oleh Ibn ‘Arabi dalam Fihrist (katalog karya-karyanya). Orang-orang sezamannya, khususnya Ṣadr al-Din al-Qunawi memanggilnya Abu ‘Abd Allah. Banyak penulis pada umumnya menyebut dia rebagai Ibn ‘Arabi.
Nama singkat ini telah lama dipakai oleh para penulis Barat, sebagian mungkin meniru gaya pengarang Turki dan Iran, namun singkatan ini juga berfungsi untuk membedakan dirinya dengan salah seorang tokoh Andalusia lain yang terkenal, yakni Abu Bakr Muḥammad Ibn ‘Arabi (1076-1148), kepala hakim Sevilla.[12]
Sejak menetap di Sevilla ketika berusia delapan tahun, Ibn ‘Arabi memulai pendidikan formalnya. Di kota pusat ilmu pengetahuan itu, di bawah bimbingan sarjana-sarjana terkenal mempelajari al-Qur’ān  dan tafsirnya, Ḥadits, fiqh, Teologi dan Filsafat Skolastik. Sevilla adalah suatu pusat sufisme yang penting pula, dengan sejumlah guru sufi terkemuka yang tinggal di sana.[13]
Pada usia relatif muda, mungkin 16 tahun, Ibn ’Arabī menjalani pengasingan diri (khalwat). Menurut kisah yang ditulis lebih dari 150 tahun setelah wafatnya, diceritakan bahwa Ibn ’Arabīpada suatu ketika mengikuti pesta makan bersama teman-temannya dan sebagaimana kebiasaan di Andalusia, setelah hidangan daging lalu disajikan anggur. Saat dia hendak mulai minum segelas anggur, tiba-tiba dia mendengar seruan, “Wahai Muḥammad, bukan untuk ini engkau diciptakan!” karena ketakutan mendengar suara yang tegas ini, dia lari ke sebuah pemakaman di luar kota Sevilla. Di sana dia menjumpai reruntuhan yang mirip sebuah gua. Selama empat hari ia tetap tinggal di sana sendirian melakukan khalwat, berzikir dan hanya keluar saat shalat.[14]
Dengan begitu dapat dikatakan bahwa pemikiran Ibn ‘Arabī dapat dilihat dari dua sudut pandang, yakni tasawuf dan filsafat, meskipun tidak secara murni. Jika dalam membahasnya kita menggunakan kacamata tasawuf, maka pemikirannya dapat dikategorikan sebagai tasawuf filosofis. Jika menggunakan kacamata filsafat, maka pemikirannya dikategorikan filsafat mistis.
Kita dapat melihat dari segi tasawuf karena ia menjalani laku kehidupan rohani seperti sufi pada umumnya dan kehidupannya dipenuhi pengalaman spriritual yang agung dan secara epistemologis ia mendapatkan pengetahuan dari intuisi, kasyf (penyingkapan) dan dżauq (rasa). Sedangkan dari sudut pandang filsafat, Ibn ‘Arabī  dapat disebut seorang filosof, karena selain dia faham betul dengan teori-teori filsafat dari berbagai unsur sehingga bahasa yang digunakan adalah bahasa filsafat, tetapi juga pemikirannya menambah pada obyek-obyek kajian filsafat, yaitu problem metafisika.[15]
2.    Pengertian dan tujuan wahdat al-wujud Ibn Arabi
      Wahdat al-wujud adalah ungkapan yang terdiri dari dua kata yaitu wahdat dan al-wujud. Wahdat artinya sendiri, tunggal atau kesatuan sedang al-wujud artinya ada.[16] Dengan demikian wahdat al-wujud berarti kesatuan wujud.
                        Harun nasution lebih lanjut menjelaskan paham ini dengan mengatakan bahwa paham wahdat al-wujud nasut yang sudah ada dalam hulul diubah menjadi khalq (makhluk) dan lahut menjadi haqq (Tuhan).Aspek yang sebelah luar disebut khalq dan aspek yang di sebelah dalam disebut haqq.[17]
            Paham ini selanjutnya membawa kepada timbulnya paham bahwa diantara makhluk dan Tuhan sebenarnya satu kesatuan dari wujud Tuhan dan yang sebenarnya ada adalah wujud Tuhan itu, sedangkan wujud makhluk hanya bayang atau fotocopy dari wujud Tuhan. Dengan demikian alam ini  merupakan cermin dari Allah. Pada saat Dia ingin melihat diri-Nya, Ia cukup melihat alam ini.
  Dalam fushush al-hikam sebagai dijelaskan oleh Al-Qashini dan di kutip Harun Nasution, fana wahdul wujud ini antara lain terlihat dalam ungkapan. Wajah sebenarnya satu tetapi jika engkau perbanyak cermin ia menjadi banyak.[18] Tuhanlah sebenarnya yang mempunyai wujud hakiki atau wajibul wujud. Sementara itu makhluk sebagai yang di ciptakan-Nya hanya mempunyai wujud yang bergantung kepada wujud yang berada dirinya yaitu Tuhan. Yang mempunyai wujud sesungguhnya hanyalah Allah.
Dengan demikian yang sebenarnya hanya satu wujud yaitu wujud Tuhan. Hal yang demikian itu lebih lanjut dikatakan Ibn Arabi sebagai berikut.“sudah menjadi kenyataan bahwa makhluk adalah dijadikan dan bahwa ia berharap kepada khalik yang menjadikannya karena ia hanya mempunyai sifat mungkin dan dengan demikian wujudnya bergantung pada sesuatu yang lain. [19]
                        Paham tersebut mengisyaratkan bahwa pada manusia ada unsur lahir dan batin, dan pada Tuhan pun ada unsur lahir dan batin. Unsur lahir manusia adalah fisiknya, sedangkan batinnya adalah roh atau jiwa yang hal ini merupakan pancaran, bayangan atau fotocopy Tuhan. Kemudian unsur lahir-lahir pada Tuhan adalah sifat-sifat keTuhanannya yang tampak dialam ini dan unsur batinnya adalah dzat Tuhan.Bersatunya unsur lahut yang ada pada manusia dengan unsur nasut yang ada pada Tuhan.
      Selanjutnya dalam Al-Qur’an akan kita jumpai ayat-ayat yang memberikan petunjuk bahwa Tuhan memiliki unsur lahir dan batin sebagaimana dalam faham wahdat al-wujud Sebagaimana firman Allah:
óOs9r& (#÷rts? ¨br& ©!$# t¤y Nä3s9 $¨B Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# $tBur Îû ÇÚöF{$# x÷t7ór&ur öNä3øn=tæ ¼çmyJyèÏR ZotÎg»sß ZpuZÏÛ$t/ur 3 z`ÏBur Ĩ$¨Z9$# `tB ãAÏ»pgä Îû «!$# ÎŽötóÎ/ 5Où=Ïæ Ÿwur Wèd Ÿwur 5=»tGÏ. 9ŽÏZB ÇËÉÈ  
Artinya: tidakkah kamu perhatikan Sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. dan di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa kitab yang memberi penerangan. (Qs, Luqman, 31;20)[20]

Dalam kalimat yang terkandung pada ayat di atas “Dengan menyempurnakan untukmu niatnya lahir dan batin "menurut para sufi yang dimaksud zahir adalah sifat-sifat Allah yang tampak, sedang batin adalah dzat-dzatnya. Manusia dianggap mempunyai kedua unsur tersebut karena manusia berasal dari pancaran Tuhan. Sehingga antara manusia dengan Tuhan pada hakekatnya satu wujud.[21]
3.     Ajaran-ajaran tasawuf
  Ajaran sentral ibn arabi adalah tentang wahdatul Al-wujud yang istilahnya bukan berasal dari ibn arabi sendiri melainkan berasal dari ibnu taimiyah tokoh yang paling keras dalam mengecam dan mengkritik ajaran sentralnya tersebut. Ibnu taimiyah telah berjasa dalam mempopulerkan wahdatul al-wujud ke dalam masyarakat Islam meskipun tujuannya negatif.[22]
      Kaum atheis dan golongan madzhab wahdatul wujud mengemukakan fana wujud selain Allah dalam kitab “Fushushul Hikam” dan orang-orang yang sepadan dengannya mengatakan bahwa wujud khalik adalah wujud makhluk. Dipahami dari ucapan mereka itu bahwa mereka tidak mengakui adanya wujud selain Allah. Ucapan ini hanya lahir dari mulut orang kafir seperti yahudi, nasarani, dan penyembah berhala, orang yang mengatakan bahwa sesungguhnya Tuhan dan hamba jua dan tidak ada perbedaan antara keduanya, ucapan ini sebenarnya menunjukan kekafiran yang nyata terutama apabila yang dimaksudkan seluruh makhluk meskipun yang dimaksud adalah para wali Allah yang beriman dan bertaqwa, kita tidak bisa langsung memfonis ibnu arabi dan orang-orang sehaluannya adalah kafir, namun bukan berarti kita harus menerima mentah-mentah hasil ijtihad mereka dibidangnya masing-masing khusunya tasawuf ini karena kita yakin bahwa mereka umumnya adalah terdiri dari mutjahid Islam di bidangnya. Dari hasil pengkajian ijtihad dan maka ajaran tasawuf seperti ittihad, hulul, wahdtul wujud dan sejenisnya perlu di kaji ulang.[23]
           Ibn arabi menyebut wujud, maksudnya adalah wujud yang mutlak yaitu wujud Tuhan, satu-satunya wujud menurut ibn arabi adalah wujud Tuhan, tidak ada wujud selain wujudNya. Kesimpulannya kata wujud tidak diberikan kepada selain Tuhan. Dalam bentuk lain dapat dijelaskan bahwa makhluk diciptakan oleh Tuhan dan wujudnya bergantung pada wujud Tuhan.
                        Dengan demikian, ibn arabi menolak ajaran yang mengatakan bahwa alam semesta ini diciptakan dari tiada. Ia mengatakan bahwa nur Muhammad itu qodim dan merupakan sumber emanasi dengan berbagai kesempurnaan ilmiah dan alamiah yang terealisasikan pada dari pada nabi adam sampai nabi Muhammad dan dari nabi Muhammad pada diri pengikutnya yaitu para wali.
                        Dari konsep-konsep wahdatuj al-wujud ibn Arabi ini muncul dua konsep yang sekaligus merupakan lanjutan atau cabang  dari konsep dari wahdatul al-wujud itu, yaitu konsep al-hakikat al-muhammadiyah dan konsep wahdat al-adyan (kesamaan agama).
            Dalam menjelaskan konsep wahdatul wujud ibn Arabi mengungkapkan bahwa wujud ini satu,namun dia memiliki penampakan yang disebut dengan alam dan ketersembunyiannya yang dikenal dengan asma yang memiliki pemisah yang disebut dengan barzah atau menghimpun dan memisahkan antara batin dan lahir itulah yang di sebut dengan insan kamil.
                        Ia juga menjelaskan bahwa Tuhan segala Tuhan adalah Allah SWT. Sebagai nama yang teragung dan sebagai ta’ayun (pernyataan) yang pertama. Ia merupakan sumber segala nama dan tujuan akhir dari segala tujuan dan arah dari segala keinginan serta mencakup segala tuntutan, kepadaNyalah isyarat yang difirmankan Allah kepada Rasulnya, bahwa kepada Tuhanmulah tujuan akhir karena Muhammad adalah mazhar dari pernyataan yang pertama, dan Tuhan yang khusus baginya adalah keTuhanan yang agung ini. Ketahuilah bahwa segala nama-nama Allah merupakan gambaran dalam ilmu Allah. Sedangkan hakikat muhammadiyah merupakan gambaran dari nama Allah yang menghimpun segala nama keTuhanan yang darinya muncul limpahan atas segala yang ada dan Allah sebagai Tuhannya. Perlu diketahui bahwa yang dimaksud dengan hakikat muhammadiyah disini bukanlauh nabi Muhammad sebagai manusianya, namun hakikat muhammadiyah adalah asma dan sifat Allah serta akhlaknya. Nabi Muhammad disebut dengan Muhammad karena beliau mampu berakhlak dengan seluruh akhlak keTuhanan tersebut.
4.   Analisis wahdatul al-wujud
                        Wahdatul al-wujud adalah bahwa wujud yang sejati adalah satu. Bukan berarti alam adalah Allah dan Allah adalah alam. Kenyataannya bahwa dia adalah satu kesatuan wujud ini juga dapat dipahami dari sebuah hadits yang sering dikutip ibn Arabi dalam menerangkan masalah wahdat al-wujud yaitu; kanallahu wala syai’a ma’ahu artinya dahulu Allah tiada sesuatu apapun besertanya. Maksud dari pernyatan ini tidak ada sesuatu apapun yang menyertai Allah selamanya dan segalanya pada sisinya adalah tiada. “tiada Tuhan selain Allah” artinya segala sesuatu berupa alam gaib dan nyata adalah bayangan Allah yang pada hakikatnya tiada. Dapat disimpulkan dari penjelasan diatas adalah alam bisa dikatakan yang merupakan khayal semata maka alam bukanlah Allah. Namun jika di lihat alam tidak akan muncul dengan sendirinya dan mustahil ada wujud di samping Allah atau di dalamnya atau di luarnya maka alam adalah penampakan Allah. Penampakan itu tiada lain Allah jua adanya.
                        Karena yang mempunyai wujud hanyalah Tuhan. Dengan demikian wujud itu hanya satu yakni wujud Tuhan Ia jua memberikan  sifat-sifat keTuhanan pada segala sesuatu. Alam ini seperti cermin yang buram dan juga seperti badan yang tidak bernyawa. Allah menciptakan manusia untuk memperjelas cermin itu, dengan kata lain alam ini merupakan penampakan dari asma dan sifat Allah yang terus menerus. Tanpa alam sifat dan asma-Nya itu akan kehilangan maknanya dan senantiasa dalam bentuk dzat yang tinggal dalam kesendiriannya yang tidak dikenal oleh siapapun.

III.        Penutup
A. Kesimpulan
            Dari uaraian dalam makalah ini, maka dapat ditarik suatu kesimpulan sebagai berikut :
1.   Al-Jili merumuskan Insan Kamil itu dengan merujuk pada diri Nabi Muhammad SAW sebagai sebuah contoh manusia ideal, jati diri Nabi Muhammad SAW (al-Haqiqah al-Muhammadiyah) yang demikian tidak semata-mata dipahami dalam pengertian Muhammad SAW sebagai Rasul (utusan Tuhan), tetapi juga sebagai Nur (cahaya Roh) Ilahi yang menjadi pangkal dan poros kehidupan di dalam jagad raya.
2.   Nur Ilahi yang kemudian lebih dikenal dengan istilah Nur Muhammad oleh kalangan sufi, disamping terdapat dalam diri Muhammad SAW, juga telah dipancarkan Tuhan ke dalam diri Adam AS,
3.   Bagi al-Jili, manusia dapat mencapai jati diri yang sempurna melaui latihan rohani dan pendakian mistik, bersamaan dengan turunnya yang Mutlak ke dalam manusia melaui berbagai tingkat. Latihan rohani itu diawali dengan manusia bermeditasi tentang nama dan sifat-sifat Tuhan.


















DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agama RI, (1989), Alqur’an dan terjemahnya, Semarang: CV, Thoha Putra

Rosihan, Anwar, (2004), dkk. Ilmu Tasawuf, Bandung : Pustaka Setia

H. M. Laily Mansyur, (1999), Ajaran dan Teladan para Sufi, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada

Murtadha Mutahhari, Pengantar Ilmu-ilmu Islam, Jakarta : Pustaka Zahra, 2003

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, (1997), Ensiklopedi Islam Jilid 2, Cet .IV; Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve

IAIN Syarif Hidayatullah, (1992), Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan

Stephen Hirtenstein, (2001), Dari Keragaman ke Kesatuan Wujud; Ajaran dan Kehidupan Spiritual Syaikh al-Akbar Ibn ‘Arabī , terj. Tri Wibowo Jakarta: Muria Kencana

Kautsar Azhari Noer, (1995), Ibn Al-‘Arabi; Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan Jakarta: Paramadina,
Mahmud Yunus, (1990), kamus arab indo Jakarta: Hidakarya agung

Harun Nasution, (1993), Falsafah dan Mistisisme dalam Islam , Jakarta: Bulan Bintang, cet III
H.Abuddin Nata, (1996), akhlak tasawuf  Jakarta, Graindo persada

Rosihan Anwar MAg. (2000),  Ilmu tasawuf ,mukhtar sholehan Bandung, Pustaka Setia.

Moh. Saifullah Al-Aziz, (1998),  Risalah memahami ilmu Tasawuf  Surabaya, Terbit Terang

Yunasril Ali, (1997), Manusia Citra Ilahi, Jakarta: Paramadina,








[1] Rosihan, Anwar, dkk. Ilmu Tasawuf, (Bandung : Pustaka Setia,2004), h 143-144.

[2] Rosihan, Anwar, Ibid.  h, 143-144.
[3] H. M. Laily Mansyur, Ajaran dan Teladan para Sufi, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,1999), h. 234.
[4] Ibid. h. 235
[5] Murtadha Mutahhari, Pengantar Ilmu-ilmu Islam, Jakarta : Pustaka Zahra, 2003, h. 327
[6] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam Jilid 2, Cet .IV; Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997, h. 227
[7] Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi, (Jakarta: Paramadina, 1997), h. 60
[8] Murtadha Mutahhari, Op,Cit
[9]Murtadha Mutahhari Ibid, h.228
[10] H. M. Laily Mansur, Op. Cit. h. 236-237
[11] IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan,1992), h. 66
[12] Stephen Hirtenstein, Dari Keragaman ke Kesatuan Wujud; Ajaran dan Kehidupan Spiritual Syaikh al-Akbar Ibn ‘Arabī , terj. Tri Wibowo (Jakarta: Muria Kencana, 2001), h.43
[13] Kautsar Azhari Noer, Ibn Al-‘Arabi; Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan (Jakarta: Paramadina, 1995), h.18
[14] Stephen Hirtenstein, Op. Cit, h. 67
[15] Ibid, h. 28
[16] Mahmud Yunus, kamus arab indo (Jakarta: Hidakarya agung, 1990), h 492 dan 494.
[17] Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), cet III, h 92
[18] Harun Nasution Ibid, h. 93.
[19] Harun Nasution, Ibid, h. 94-95
[20] Departemen Agama RI, Alqur’an dan terjemahnya, (Semarang: CV, Thoha Putra,1989), h. 655
[21] H.Abuddin Nata, akhlak tasawuf (Jakarta, Graindo persada, 1996), h 252
[22] Rosihan Anwar MAg. Ilmu tasawuf ,mukhtar sholehan (Bandung, Pustaka Setia. 2000) h 145
[23] Moh. Saifullah Al-Aziz, Risalah memahami ilmu Tasawuf  (Surabaya, Terbit Terang,1998) ,h. 223.

SHARE THIS POST   

  • Facebook
  • Twitter
  • Myspace
  • Google Buzz
  • Reddit
  • Stumnleupon
  • Delicious
  • Digg
  • Technorati
Author: Mohammad
Mohammad is the founder of STC Network which offers Web Services and Online Business Solutions to clients around the globe. Read More →

0 komentar: