Download this Blogger Template by Clicking Here!

PROFIL

https://web.facebook.com/irwan.a.lovers

Selasa, 07 April 2015

Widgets

PENIMBUNAN BARANG (IHTIKAR) MENURUT HUKUM ISLAM




Perdagangan dalam pandangan Islam  merupakan salah satu dari aspek kehidupan yang bersifat horizontal, yang dikelompokkan ke dalam masalah muamalah, yakni masalah-masalah yang berkenaan dengan hubungan antar manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Sekalipun sifatnya adalah hubungan yang horizontal namun sesuai dengan ajaran Islam, rambu-rambunya tetap mengacu kepada al Qur’an dan hadis.
Dari pespektif agama, aktivitas perdagangan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang digariskan oleh agama akan bernilai ibadah. Artinya, dengan perdagangan itu, selain mendapatkan keuntungan-keuntungan materil guna memenuhi kebutuhan ekonomi, pelakunya sekaligus dapat mendekatkan diri kepada Allah Swt.
Islam berpegang pada asas kebebasan dalam tatanan muamalah. Setiap orang bebas membeli, menjual serta menukar barang dan jasa. Mereka menawarkan dan menjual barang miliknya dan membeli barang-barang yang dibutuhkannya. Ini berbeda dengan paham sosialis yang menolak kebebasan pasar. Kebebasan yang digariskan oleh Islam juga berbeda dengan kebebasan yang diusung oleh ekonomi kapitalis yang menganut pasar bebas sebebas-bebasnya.
Perdagangan yang dijalankan dengan cara yang tidak jujur, mengandung unsur penipuan, yang karena itu ada pihak yang dirugikan, dan praktik-praktik lain yang sejenis merupakan hal-hal yang dilarang dalam Islam.  Melakukan perdagangan dengan cara menimbun barang ( ihtikar ) dengan tujuan agar harga barang tersebut mengalami lonjakan sangat dilarang dalam Islam. Terlebih bila barang tersebut sedang langka, sementara masyarakat sangat membutuhkannya.

   a.    Pengertian Ihtikar
Al Ihtikar الاحتكار berasal dari kata يحكر-حكرا- حكر yang berarti aniaya, sedangkan   الحكر  berarti  ادخار الطعام ( menyimpan makanan, dan kata الحكرة berarti الجمع و الإمساك (mengumpulkan dan menahan). Ihtikar juga berarti penimbunan[1]. Sedang secara istilah ihktikar berarti membeli barang pada saat lapang lalu menimbunnya supaya barang tersebut langka di pasaran dan harganya menjadi naik.[2] Jadi, Ihtikar atau penimbunan barang adalah membeli sesuatu dengan jumlah besar, agar barang tersebut berkurang di pasar sehingga harganya (barang yang ditimbun tersebut) menjadi naik dan pada waktu harga menjadi naik baru kemudian dilepas (dijual) ke pasar, sehingga mendapatkan keuntungan yang berlipat ganda.[3]
Para ulama mendefenisikan ihtikar sebagai berikut  :
1.    Ulama mazhab Maliki mendefenisikan dengan ;
  الإدخار للمبيع   من جميع الأشياء من الطعام و اللباس وكل ما أضر بالسوق 
Penyimpanan barang oleh produsen baik makanan, pakaian dan segala barang yang merusak pasar.
2.    Ulama mazhab Hanafi mendefenisikan dengan;
حبس الأقوات متربصا للغلاء
Menimbun bahan makanan pokok sambil menunggu harganya menjadi  naik
3.    Ulama Syafiiyah sebagaimana yang dijelaskan oleh Wahbah Zuhaili  mendefenisikan
امساك ما اشتراه وقت الغلاء ليبيعه بأكثر  مما اشتراه عند اشتداد الحاجة
Menahan sesuatu yang dibeli pada waktu mahal supaya bisa dijual dengan harga yang lebih dari waktu membeli karena orang sangat membutuhkan. 
4.    Fathi ad Duraini mendefenisikan ihtikar yaitu[4] :
حبس مال أو منفعة أو عمل والإمتناع عن بيعه أو بذله حتى يغلو سعره غلاء فاحشا غير معتاد بسبب قتله أو انعدام وجوده فى مظانه مع شدة حاجة الناس أو الدولة أو الحيوان له.
Tindakan  menyimpan harta, manfaat atau jasa dan enggan menjual dan memberikannya kepada orang lain, yang mengakibatkan melonjaknya harga pasar secara drastis disebabkan persediaan terbatas atau stok barang hilang sama sekali dari pasar, sedangkan masyarakat, Negara atau pun hewan memerlukan produk, manfaat atau jasa tersebut.
Secara esensi definisi di atas sama, dan dapat difahami bahwa iktikar  yaitu:
Membeli barang ketika harga mahal.   menyimpan barang tersebut sehingga kurang persediaannya di pasar.    Kurangnya persediaan barang membuat permintaan naik dan harga juga naik.  Penimbun menjual barang yang di tahannya  ketika harga telah melonjak.   Penimbunan barang menyebabkan rusaknya mekanisme pasar.
Ulama berbeda pendapat mengenai jenis barang yang di timbun, yaitu :
-          Ulama Malikiyah, sebagian ulama Hanabilah, Abu Yusuf dan Ibn Abidin ( pakar fiqh Hanafi) menyatakan bahwa larangan ihtikar tidak terbatas pada makanan, pakaian dan hewan, tetapi meliputi seluruh produk yang diperlukan masyarakat. Menurut mereka, yang menjadi ilat ( motifasi hukum ) dalam larangan melakukan ihtikar itu adalah “ kemudharatan yang menimpa orang banyak”. Oleh sebab itu kemudharatan yang menimpa orang banyak tidak terbatas pada makanan, pakaian dan hewan, tetapi mencakup seluruh produk yang diperlukan orang banyak.
-          Imam asy Syaukani tidak merinci produk apa saja yang disimpan sehingga  seseorang dapat dikatakan sebagai muhtakir jika  barang itu untuk dijual ketika harga melonjak. Bahkan imam Syaukani tidak membedakan apakah penimbunan itu terjadi ketika pasar  berada dalam keadaan normal (pasar stabil), ataupun dalam keadaan pasar tidak stabil.
-          Sebagian ulama Hanabilah dan Imam al Ghazali mengkhususkan keharaman ihtikar pada jenis produk makanan saja. Alasan mereka karena yang dilarang dalam nash hanyalah makanan.
-          Ulama Syafiiyyah dan Hanafiyah membatasi ihtikar pada komoditi yang berupa makanan bagi manusia dan hewan.
Ihtikar menurut Fathi ad Duraini dalam bukunya Al-Fiqhu Al Islami Al-Muawaran Ma’a Al-mazahib, tidak saja menyangkut komoditas, tetapi juga manfaat serta komoditas dan bahkan jasa dari pemberi jasa dengan syarat, embargo yang dilakukan para pedagang dan pemberi jasa ini dapat membuat harga pasar tidak stabil, padahal komoditas manfaat atau jasa tersebut sangat diperlukan oleh masyarakat, Negara dan lain-lain.
Ihtikar adalah tindakan menyimpan harta, manfaat, atau jasa, dan enggan menjual dan memberikannya kepada orang lain yang mengakibatkan melonjaknya harga pasar secara drastis disebabkan persediaan terbatas atau stok barang hilang sama sekali dari pasar, sementara masyarakat, negara maupun hewan amat membutuhkan produk, manfaat, atau jasa tersebut.
Ihtikar tidak saja menyangkut komoditas, tapi juga manfaat suatu komoditas, dan bahkan jasa dari para pemberi jasa; dengan syarat “embargo” yang dilakukan para pedagang atau pemberi jasa itu bisa membuat harga pasar tidak stabil, padahal komoditas, manfaat, dan jasa tersebut dibutuhkan oleh masyarakat, negara, dan lain-lain.
Umpamanya, pedagang gula pasir dan terigu pada awal bulan Ramadhan tidak mau menggelar dagangannya, karena mengetahui minggu terakhir bulan Ramadhan masyarakat sangat membutuhkan gula dan terigu untuk menghadapi lebaran. Dengan menipisnya stok gula pasir dan terigu di pasar, harga jualnya akan naik. Ketika itu para pedagang menjual gula dan terigunya sehingga mereka mendapatkan keuntungan yang berlipat ganda. Demikian juga halnya dengan barang-barang yang lain terutama keperluan Sembilan bahan pokok.
b. Dasar Hukum Pelarangan Ihtikar
Para ulama berbeda pendapat tentang bentuk ihtikar yang diharamkan :[5]
Ulama Mazhab hanadi tidak secara tegas menyatakan hatram dalam menetapkan hukum ihtikar karena dalam masalah ini teradapat dua dalil yang bertentangan yaitu berdasarkan hak milik yang dimiliki pedagang, mereka bebas melakukan jual beli sesuai dengan kehendak mereka, kemudian yang kedua adalah adanya pelarangan berbuat mudharat kepada orang lain dalam bentuk apapun.
Mazhab Maliki mengahramklan ihtikar dan harus dicegah oleh pemerintah dengan segala cara karena perbuatan itu member mudharat yang besar terhadap kehidupan masyarakat, stabilitas ekonomi masyarakat dan Negara. Karena itu, Pemerintah harus turun tangan untuk mengatasinya. Ini sesuai dengan kaidah fiqih “ haqq al-ghair muhaafazun ‘alaihi syar’an ( hak orang lain terpelihara secara syara’). Dalam kasus ihtikar yang paling utama diperlihara adalah hak konsumen, karena menyangkut orang banyak, sedangkan hak orang yang melakukan penimbunan hanya merupakan hak pribadi. Jika kepentingan pribadi bertentangan dengan kepentingan orang banyak, maka yang didahulukan adalah kepentingan orang banyak.
Mazhab Hanbali juga mengharamkan ihtikar karena membawa mudharat yang besar terhadap masyarakat dan Negara. Ibn Qudamah mengemukakan alas an, adalah sebuah hadist Rasulullah yang melarang malakukan ihtikar dalam kebutuhan pokok manusia.
Asy-Syaukani mengatakan bahwa illat hukum ihtikar itu adalah haram apabila perbuatan penimbunan barang itu untuk merugikan kaum muslimin, dan tidak diharamkan apabila tidak untuk merugikan kaum muslimin, tidak ditentukan apakah barang itu kebutuhan pokok atau tidak, yang utamanya adalah tidak menimbulkan kemudharatan bagi kaum muslimin.[6]
Dasar hukum yang digunakan para ulama fiqh yang tidak membolehkan ihtikar adalah kandungan nilai-nilai universal al Qur’an yang menyatakan  bawa setiap perbuatan aniaya, terrnasuk didalamnya ihtikar diharamkan oleh agama Islam.
Diantara ayat-ayat tersebut adalah firman Allah:
¢ (#qçRur$yès?ur n?tã ÎhŽÉ9ø9$# 3uqø)­G9$#ur ( Ÿwur (#qçRur$yès? n?tã ÉOøOM}$# Èbºurôãèø9$#ur
Artinya : ... Dan tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan taqwa dan janganlah tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran…(al Maidah : 2 )

bÎ*sù öN©9 (#qè=yèøÿs? (#qçRsŒù'sù 5>öysÎ/ z`ÏiB «!$# ¾Ï&Î!qßuur ( bÎ)ur óOçFö6è? öNà6n=sù â¨râäâ öNà6Ï9ºuqøBr& Ÿw šcqßJÎ=ôàs? Ÿwur šcqßJn=ôàè? ÇËÐÒÈ  

artinya : Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat, maka bagimu pokok hartamu, kamu tidak menganiaya dan tidak dianiaya. (al Baqarah: 279)
$tBur Ÿ@yèy_ ö/ä3øn=tæ Îû ÈûïÏd9$# ô`ÏB 8ltym 4
artinya : …Dan Dia tidak  sekali-kali menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan… ( al Hajj: 78)
4 $tB ߃̍ムª!$# Ÿ@yèôfuŠÏ9 Nà6øn=tæ ô`ÏiB 8ltym  
Artianya : Allah tidak menginginkan kesulitan apapun bagi kamu… (Al-maidah:6)
Para ulama Syafi’i mengatakan bahwa ihtikar yang diharamkan adalah penimbunan barang-barang pokok tertentu, yaitu membelinya pada saat harga mahal dan menjualnya kembali. Ia tidak menjual saat itu juga, tapi ia simpan sampai harga melonjak naik. Tetapi jika dia mendatangkan barang dari kampungnya atau membelinya pada saat harga murah lalu ia menyimpannya karena kebutuhannya, atau ia menjualnya kembali saat itu juga, maka itu bukan ihtikar dan tidak diharamkan. Adapun selain bahan makanan, tidak diharamkan penimbunan dalam kondisi apapun juga.
Para pelaku monopoli mempermainkan barang yang dibutuhkan oleh umat dan memanfaatkan hartanya untuk membeli barang, kemudian menahannya  sambil menunggu naiknya harga barang itu tanpa memikirkan penderitaan masyarakat karenanya.
Umar bin khatab, pada masa kekhalifahannya sangat mendorong para pedagang untuk mengimpor barang agar terpenuhi kebutuhan pasar umat Islam, sebaliknya sikapnya keras dalam menghadapi para penimbun barang yang buru-buru membeli barang-barang tersebut. Kemudian menimbunnya dari umat Islam, dan mengeluarkan perintahnya untuk melarang para penimbun barang untuk berjual beli di pasar umat Islam.
Diantara perkataan umar dalam hal ini,” barangsiapa yang datang ke tanah kami dengan barang dagangan hendaklah dia menjualnya sebagaimana yang diinginkannya, dia adalah tamuku sampai dia keluar, dia adalah teladan kami, dan janganlah menjual di pasar kami seorang penimbun barang”. Umar juga berkata: “ tidak boleh ada penimbunan barang di pasar kami” dan janganlah dipercaya orang-orang yang ditangannya ada kelebihan harta dari rizki Allah yang turun di tanah kami, maka menimbunnya dari kami, akan tetapi siapa saja yang mengimpor dengan hartanya pada musim dingin dan panas, maka dia adalah tamu Umar, maka silakan dia menjual sebagaimana Allah kehendaki, dan silakan menahan sebagaimana Allah kehendaki.  
c.    Pendapat Ulama Tentang Hukum Ihtikar
Berdasarkan pada ayat-ayat al Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw, para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa ihtikar tergolong ke dalam perbuatan yang dilarang (haram). Seluruh ulama sepakat menyatakan bahwa melakukan ihtikar itu hukumnya haram, meskipun terjadi perbedaan pendapat tentang cara menetapkan hukumnya, sesuai dengan sistem pemahaman hukum.
Pertama : ulama Syafi’iyyah, Hanabillah, Malikiyah, Zaidiyah dan Zahiriyyah. Menurut mereka, melakukan ihtikar hukumnya haram. Alasan yang mereka kemukakan adalah ayat dan hadis-hadis yang telah disebutkan. Menurut Malikiyyah, ihtikar hukumnya haram dan harus dapat dicegah oleh pemerintah dengan segala cara, karena perbuatan itu memberikan mudharat yang besar terhadap kehidupan masyarakat, stabilitas ekonomi masyarakat dan negara.
Dalam masalah ihtikar yang paling utama yang harus diperhatikan adalah hak konsumen, karena menyangkut orang banyak. Sedangkan hak orang yang melakukan ihtikar hanya merupakan hak pribadi. Sekiranya hak pribadi bertentangan dengan hak orang banyak, maka hak orang banyaklah yang harus diutamakan dan didahulukan.
Mazhab Syafiiyah berpendapat , bahwa hadis yang menyatakan ihtikar merupakan suatu pekerjaan yang salah, mengandung pengertian yang dalam. Sebab orang yang melakukan kesalahan dengan sengaja, berarti telah berbuat suatu pengingkaran terhadap ajaran agama, merupakan perbuatan yang diharamkan. Apalagi ancaman dalam hadis itu adalah jadi penghuni  neraka.
Ulama Hanabilah mengatakan, ihtikar merupakan perbuatan yang diharamkan oleh syariat, karena membawa kemudharatan yang besar terhadap masyarakat. Pengharaman terhadap perbuatan ihtikar apabila terdapat tiga unsur, yaitu :
1.         Barang yang ditimbun harus dibeli terlebih dahulu.
2.         Barang yang dibeli merupakan bahan makanan yang dibutuhkan masyarakat.
3.         Adanya kesulitan masyarakat untuk mendapatkan bahan makanan yang dibutuhkan. 
Kedua, Ulama Hanafiyah menyatakan, menurut meraka perbuatan ihtikar hukumnya makruh tahrim (istilah hukum haram dari kalangan fiqh hanafi yang didasarkan kepada dalil zanni). Dalam persoalan ihtikar, menurut mereka larangan secara tegas hanya muncul dari hadis ahad. Sedangkan kehujjahan hadis ahad adalah zanni. Disamping itu sesuai dengan kaidah yang sifatnya qath’i seseorang bebas membeli dan menual barang dagangannya tanpa campur tangan orang lain. Menjual barang atau tidak adalah masalah prinadi seseorang. Ulama Hanafiyah tidak secara tegas menyatakan haram dalam menetapkan hukum ihtikar, karena menurut mereka dalam masalah ini terdapat dua dalil yang bertentangan, yaitu : (a) berdasarkan hak milik yang dimiliki pedagang, mereka bebas melakukan jual beli sesuai dengan kehendak mereka. (b) adanya larangan berbuat mudharat kepada orang lain dalam bentuk apapun. Larangan disini tidak langsung tertuju kepada perbuatan ihtikar melainkan larangan itu muncul disebabkan mudharat yang ditimbulkan tindakan itu. 
Sayyid Sabiq dalam fiqih sunnah menyatakan bahwa para ulama sepakat mengharamkan ihtikar dengan tiga syarat:
1.      Syarat berlakunya penimbunan adalah keberadaannya sampai batas membuat penduduk negeri itu kesulitan untuk membeli barang yang ditimbun, karena realita penimbunan tidak akan terjadi kecuali di dalam kondisi ini. Seandainya belum sampai menyulitkan penduduk negri untuk membeli barang maka tidak akan terjadi penghimpunan  barang dan tidak terjadi dominasi terhadapnya supaya bisa dijual dengan harga tinggi.
2.      Bahwa barang yang ditimbun adalah kelebihan dari kebutuhannya berikut tanggungan untuk persediaan setahun penuh.
3.      Bahwa orang tersebut menunggu saat-saat memuncaknya harga barang agar ia dapat menjualnya dengan harga yang tinggi karena orang sangat membutuhkan barang tersebut.
Syarat yang dikemukakan Sayid Sabiq tersebut menjelaskan bahwa ihtikar tidak hanya terfokus pada barang yang dibeli. Namun semata menghimpun sembari menunggu harganya melambung sehingga bisa menjualnya dengan harga yang tinggi bisa dinilai sebagai penimbunan, baik penghimpunan barang itu dengan cara membelinya atau mengumpulkannya dari tanah pertanian yang luas karena memonopoli kepemilikan areal produksi jenis tersebut atau kelangkaan pertaniannya; atau menghimpun dari pabrik karena memonopoli kepemilikan industry jenis itu atau karena kelangkaan industri. Semua itu merupakan penimbunan.
Akad membeli barang untuk ditimbun merupakan akad yang secara formal adalah sah karena memenuhi seluruh rukun dan syaratnya. Itu seperti jual beli selama azan shalat jum’at, jual beli formalnya sah, tetapi haram karena adanya larangan tegas tentangnya.  
Babilli menyatakan bahwasanya proses penimbunan bukan hanya mengkorupsi komoditas yang ditimbun namun juga kekayaan yang ditimbun. Korupsi kekayaan, menurut Babilli, adalah menyetop keuntungan dari barang dan menghentikan sirkulasinya, dan akan mengakibatkan tersendatnya distribusi kekayaan.
Menurut Maududi, Larangan terhadap penimbunan barang disamping untuk memberikan pelayanan pada tujuan-tujuan tertentu, ia juga bertujuan untuk mengeliminasi kejahatan black market ( pasar gelap) yang biasanya muncul seiring dengan adanya penimbunan barang.
Penimbunan barang adalah halangan terbesar dalam pengaturan persaingan dalam pasar Islam. Hal tersebut dikarenakan pengaruhnya terhadap jumlah barang yang tersedia dari barang yang ditimbun, dimana beberapa pedagang memilih untuk menahan barang dagangannya dan tidak menjualnya karena menunggu naiknya harga. Prilaku ini mempunyai pengaruh negative dalam fluktuasi kemampuan persediaan dan permintaan barang. Penimbunan dapat menyebabkan pergeseran kurva penawaran dan permintaan , yaitu perbuatan yang melanggar hukum dari penjual.
Dalam tingkat international, menimbun barang merupakan penyebab terbesar dari krisis ekonomi yang di alami  oleh manusia sekarang dimana beberapa Negara kaya dan maju secara ekonomi memonopoli produksi dan perdagangan beberapa kebutuhan makanan dan industry dunia dan lain sebagainya. Bahkan Negara-negara tersebut memonopoli pembelian bahan-bahan baku dari Negara terbelakang ekonominya dan memonopoli penjualan barang-barang industry yang dibutuhkan oleh Negara-negara yang terbelakang ekonominya. Hal tersebut membuat bahaya besar pada keadilan distribusi kekayaan dan pendapatan dalam tingkat dunia.
Sementara itu menurut pendapat Yusuf al-Qardawi bahwa penimbunan barang diharamkan jika memiliki keriteria sebagai berikut:
1.      Dilakukan di suatu tempat yang penduduknya akan menderita sebab adanya penimbunan tersebut.
2.      Penimbunan dilakukan untuk menaikkan harga sehingga orang merasa susah dan supaya ia dapat keuntungan yang berlipat ganda.[7]
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum ihtikar, dengan perincian sebagai berikut :
1.      Haram secara mutlak (tidak dikhususkan bahan makanan saja), hal ini berdasarkan sabda Nabi SAW :
مَنِ احْتَكَرَ فَهُوَ خَاطِئٌ
“Barangsiapa menimbun maka dia telah berbuat dosa”. (HR. Muslim 1605)
Menimbun yang diharamkan menurut kebanyakan ulama fikih bila memenuhi tiga kriteria:
a.       Barang yang ditimbun melebihi kebutuhannya dan kebutuhan keluarga untuk masa satu tahun penuh. Kita hanya boleh menyimpan barang untuk keperluan kurang dari satu tahun sebagaimana pernah dilakukan Rasulullah SAW.
b.      Menimbun untuk dijual, kemudian pada waktu harganya membumbung tinggi dan kebutuhan rakyat sudah mendesak baru dijual sehingga terpaksa rakyat membelinya dengan harga mahal.
c.       Yang ditimbun (dimonopoli) ialah kebutuhan pokok rakyat seperti pangan, sandang dan lain-lain. Apabila bahan-bahan lainnya ada di tangan banyak pedagang, tetatpi tidak termasuk bahan pokok kebutuhan rakyat dan tidak merugikan rakyat. maka itu tidak termasuk menimbun.(4)
2.      Makruh secara mutlak, dengan alasan bahwa larangan Nabi SAW berkaitan dengan ihtikar adalah terbatas pada hukum makruh saja, lantaran hanya sebagai pringatan bagi umatnya.
3.      Haram, apabila berupa bahan makanan saja, adapun selain bahan makanan dibolehkan, dengan alas an bahwa boleh ihtikar selaian bahan makanan.
4.      Haram ihtikar disebagian tempat saja, seperti di kota Makkah dan Madinah, sedangkan tempat-tempat lainnya, maka dibolehkan ihtikar di dalamnya, hal ini lantaran Makkah dan Madinah adalah dua kota yang terbatas lingkupnya, sehingga apabila ada yang melakukan ihtikar salah satu barang kebutuhan manusia, maka perekonomian mereka akan terganggu dan mereka akan kesulitan mendapatkan barang yang dibutuhkan, sedangkan tempat-tempat lain yang luas, apabila ada yang menimbun barang dagangannya, maka biasanya tidak mempengaruhi perekonomian manusia, sehingga tidak dilarang ihtikar di dalamnya.
5.      Boleh ihtikar secara mutlak, Mereka menjadikan hadits-hadits Nabi SAW yang memerintahkan orang yang membeli bahan makanan untuk membawanya ke tempat tinggalnya terlebih dahulu sebelum menjualnya kembali sebagai dalil dibolehkahnya ihtikar, seperti dalam hadits:
زَفَةً عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ رَأَيْتُ الَّذِينَ يَشْتَرُونَ الطَّعَامَ مُجَاﻋﻦ
 عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْهَوْنَ أَنْ يَبِيعُوهُ حَتَّى يُؤْوُوهُ إِلَى رِحَالِـهِمْ
Artinya : Dari Ibnu Umar r.a. beliau berkata: “Aku melihat orang-orang yang membeli bahan makanan dengan tanpa ditimbang pada zaman Rosulullah SAW mereka dilarang menjualnya kecuali harus mengangkutnya ke tempat tinggal mereka terlebih dahulu.” (HR. Bukhori 2131, dan Muslim 5/8)
Imam Nawawi menjelaskan hikmah dari larangan ihtikar adalah mencegah hal-hal yang menyulitkan manusia secara umum, oleh karenanya para ulama sepakat apabila ada orang memiliki makanan lebih, sedangkan mausia sedang kelaparan dan tidak ada makanan kecuali yang ada pada orang tadi, maka wajib bagi orang tersebut menjual atau memberikan dengan cuma-cuma makanannya kepada manusia supaya manusia tidak kesulitan. Demikian juga apabila ada yang menimbun selain bahan makanan (seperti pakaian musim dingin dan sebagainya) sehingga manusia kesulitan mendapatkannya, dan membahayakan mereka, maka hal ini dilarang dalam Islam.
Islam mengharamkan orang menimbun dan mencegah harta dari peredaran. Islam mengancam mereka yang menimbunnya dengan siksa yang pedih di hari kiamat. Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman dalm surat At Taubah ayat 34-35:
3 šúïÏ%©!$#ur šcrãÉ\õ3tƒ |=yd©%!$# spžÒÏÿø9$#ur Ÿwur $pktXqà)ÏÿZムÎû È@Î6y «!$# Nèd÷ŽÅe³t7sù A>#xyèÎ/ 5OŠÏ9r& ÇÌÍÈ   tPöqtƒ 4yJøtä $ygøŠn=tæ Îû Í$tR zO¨Zygy_ 2uqõ3çGsù $pkÍ5 öNßgèd$t6Å_ öNåkæ5qãZã_ur öNèdâqßgàßur ( #x»yd $tB öNè?÷t\Ÿ2 ö/ä3Å¡àÿRL{ (#qè%räsù $tB ÷LäêZä. šcrâÏYõ3s? ÇÌÎÈ  

Artinya : “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada  jalan Allah  maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.(34) Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung, dan punggung mereka (lalu dikatakan kepada mereka): “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu”.(35)
Menimbun harta maksudnya membekukannya, menahannya dan menjauhkannya dari peredaran. Padahal, jika harta itu disertakan dalam usaha-usaha produktif seperti dalam perencanaan produksi, maka akan tercipta banyak kesempatan kerja yang baru dan mengurangi pengangguran. Kesempatan-kesempatan baru bagi pekerjaan ini bisa menambah pendapatan dan daya beli masyarakat sehingga bisa mendorong meningkatnya produksi, baik itu dengan membuat rencana-rencana baru maupun dengan memperluas rencana yang telah ada. Dengan demikian, akan tercipta situasi pertumbuhan dan perkembangan ekonomi dalam masyarakat.
Penimbunan barang merupakan halangan terbesar dalam pengaturan persaingan dalam pasar Islam. Dalam tingkat internasional, menimbun barang menjadi penyebab terbesar dari krisis yang dialami oleh manusia sekarang, yang mana beberapa negara kaya dan maju secara ekonomi memonopoli produksi, perdagangan, bahan baku kebutuhan pokok. Bahkan, negara-negara tersebut memonopoli pembelian bahan-bahan baku dari negara yang kurang maju perekonomiannya dan memonopoli penjulan komoditas industri yang dibutuhkan oleh negara-negara tadi. Hal itu menimbulkan bahaya besar terhadap keadilan distribusi kekayaan dan pendapatan dalam tingkat dunia.
III. Penutup
Ihtikar merupakan suatu upaya seseorang atau lembaga untuk menimbun barang, manfaat atau jasa sehingga menjadi langka di pasaran dan dapat diperkirakan harganya melonjak naik. Perbuatan ihtikar merupakan sebuah penganiayaan terhadap orang lain yang dilakukan secara sengaja untuk memperoleh keuntungan pribadi. Namun apabila menimbun barang ( komoditi ) manfaat atau jasa tersebut tidak memberi mudharat, dalam artian tidak menimbulkan keresahan di tengah masyarakat serta tidak untuk tujuan memonopoli dan meraih keuntungan yang besar, maka hal tersebut tidak di larang.
Para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa ihtikar yang menyebabkan kelangkaan barang dan merusak mekanisme pasar hukumnya haram dan untuk mengatasi hal ini  pemerintah harus  campur tangan untuk mengawasi harga dan pengaturan perantara perdagangan.


DAFTAR KEPUSTAKAAN
-             Adiwarman a.Karim, Ekonomi Islam suatu Kajian Kontemporer, Jakarta : Gema Insani, 2001
-             Ibn Manzhur, Lisanul ‘Arab,  Qairo: Dar al Maarif  Maktabah Syamilah, Al Muntaqiy Syarh Al Muawatta’,  Maktabah Syamilah, Inayah Syah Hidayah,  (Fiqh Hanafi)
-             Wahbah Zuhaily, Al Fiq al Islamiy wa Adillatuhu,  Damaskus: dar al Fikr, 1985
-             Fathi ad Duraini, al Fiqh al Islami al Muqarran, Damsyik, ttp,tt
-             Abdul Hafiz Farghaliy, al Buyu’ Fi al Islam, Qairo, Darul Mahwah, tt
-             Imam Abi al Husainy Muslim Ibn al Hajjaj a Qusyairy an Naisyaburiy, Shahih Muslim, Kairo: Dar al Hadis, 1991
-             An Nawawi, Syarh Sahih Muslim,  Kairo: 1996
-             Al hafiz Abi Abdillah Muhamad bin Yusuf al Qazwiniy, Sunan Ibnu Majah, Dar al ihya al Kutub al ‘Arabiah 
-             Nailul Authar, Bab Mā Ja a fī al Ihtikār, Juz 8,
-             Jaribah bin Ahmad al Haritsi, al Fiqh al Iqtishadi Li Amiril Mukminin Umar ibn al Khatab, diterjemah oleh Asmuni solihan Zamakhsyari, Jakarta : Khalifa, 2006
-             Nasrun Harun, Fiqh Muamalah, Jakarta : Gaya Media Pratama, 2000
Ibnu Qudamah al Maqdisi,  al Mughni, ( Maktabah Syamilah )
-             Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Cairo: Juz 3
-             Yusuf Ahmad Mahmud, Bisnis Islami dan Kritik atas Praktik Bisnis Ala Kapitalis, Penerjemah: Yahya Abdurrahman, Bogor : Al Azhar Press, 2009
-             Yusuf Qardhawi, Halal Haram Dalam Islam, (Terj), Surabaya: PT Bina Ilmu, 2000




[1] Kamus Al-Bisyri
[2] Wahbah Zuhaili, Al-Fiqhu Al Islami Wa Adhillatihi, maktabah Syamilah.
[3] Chairuman Pasaribu dan Sahrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Islam, (Jakarta : Sinar Grafika) hal 47
[4] Fathi Ad-Daraini, Al-Fiqhu Al Islami Al_Muawaran Ma’a Al-mazahib, (damaskus : Mathba’ah Ath-Thariyyin, 1979) h. 68
[5] Ensiklopedi , Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah,  Syaikh Salim bin Ied Al-Hilali: Pustaka Imam Syafi’i.
[6] Nailul Authar V , h. 338
[7] Yusuf al-Qardawi, Halal Haram Dalam Islam, (Terj), (Surabaya: PT Bina Ilmu, 2000) h.358

SHARE THIS POST   

  • Facebook
  • Twitter
  • Myspace
  • Google Buzz
  • Reddit
  • Stumnleupon
  • Delicious
  • Digg
  • Technorati
Author: Mohammad
Mohammad is the founder of STC Network which offers Web Services and Online Business Solutions to clients around the globe. Read More →

3 komentar:

  1. Mohon maaf saya ingin memberi tahu bahwa artikel ini belum sempurna karena terdapat ayat quran yang tidak ada hijaiyah nya... terima kasih

    BalasHapus