Download this Blogger Template by Clicking Here!

PROFIL

https://web.facebook.com/irwan.a.lovers

Selasa, 14 April 2015

Widgets

SYI’AH (ZAIDIYAH, IMAMIYAH, DAN GHULAT)


)
A.  Pendahuluan 
            Syi’ah dalam sejarah pemikiran Islam merupakan sebuah aliran yang muncul dikarenakan politik dan seterusnya berkembang menjadi aliran teologi dalam Islam. Sebagai salah satu aliran politik, bibitnya sudah ada sejak timbulnya persoalan siapa yang berhak menjadi khalifah sepeninggal Rasulullah. Dalam persoalan ini Syi’ah berpendapat bahwa yang berhak menjadi khalifah sepeninggal Rasulullah adalah keluarga sedarah yang dekat dengan Nabi, yaitu Ali bin Abi Thalib dan harus dilanjutkan oleh anaknya, Hasan dan Husen, serta keturunan-keturunannya. Syi’ah muncul sebagai salah satu aliran politik dalam Islam baru dikenal sejak timbulnya peristiwa tahkim (arbitrase). Sementara Syi’ah dikenal sebagai sebuah aliran teologi dalam Islam, yaitu ketika mereka mencoba mengkaitkan iman dan kafir dengan Imam, atau dengan kata lain ketaatan pada seorang Imam merupakan tolak ukur beriman tidaknya seseorang, di samping paham mereka bahwa Imam merupakan wakil Tuhan serta mempunyai sifat ketuhanan.
Apa itu Syi’ah dan bagaimana asal-usulnya serta apa saja pokok-pokok ajarannya? Insya Allah akan kami ketengahkan dalam makalah ini. Makalah ini juga memuat pembahasan tentang beberapa sekte dalam Syi’ah yang muncul akibat ketidak sepahaman mereka dalam menafsirkan ajaran-ajaran pokok Syi’ah.
B. PEMBAHASAN
 1. Asal-Usul Lahirnya Syi’ah.
Secara bahasa, Syi’ah berarti pengikut, golongan, sahabat dan penolong. Istilah Syi’ah, selanjutnya berkembang dengan arti khusus, yaitu nama bagi sekelompok orang yang menjadi partisan atau pengikut Ali bin Abi Thalib dan keturunan-keturunannya.[1]
Untuk merumuskan pengertian Syi’ah secara sempurna memang sangat sulit, karena Syi’ah telah melalui proses sejarah yang panjang dengan segala peristiwa yang ikut mempengaruhi ajarannya. Namun al-Syahrastani mendefinisikan Syi’ah sebagai istilah khusus yang dipakai untuk pendukung atau pengikut Ali Bin Abi Thalib yang berpendirian bahwa pengangkatan Ali sebagai imam atau khalifah berdasarkan kepada nash dan wasiat, serta mereka berkeyakinan bahwa keimaman tersebut tidak terlepas dan terus berlanjut pada keturunan-keturunannya.
Secara historis, akar aliran Syi’ah terbentuk segera setelah kematian Nabi Muhammad, yakni ketika Abu Bakar terpilih sebagai khalifah pertama pada pertemuan Tsaqifah yang diselenggarakan di Dar al-Nadwa, di Madinah. Pemilihan tersebut dilaksanakan secara tergesa-gesa sebagai wujud persaingan antara kelompok Anshar dan Muhajirin yang sempat mengancam perpecahan Islam. Dalam pertemuan itu Ali tidak hadir karena sibuk mengurus jenazah Nabi. Pada waktu itu usia Ali 30 tahun, di mana bangsa Arab menjadikan usia sebagai syarat penting kecakapan dalam kepemimpinan, meskipun secara historis terdapat sejumlah pengecualian akan hal tersebut. Tetapi pengikut Ali, pada saat itu, merasa bahwa klaim mereka telah direbut secara tidak adil.
Selanjutnya Umar ditunjuk oleh Abu Bakar sebagai penggantinya, menjadi khalifah kedua yang kemudian dilanjutkan oleh Usman. Setelah Usman terbunuh oleh pemberontak yang mengatasnamakan diri mereka sebagai anti depotisme keluarga Umayah, Ali kemudian diangkat menjadi khalifah keempat pada tahun 35H/656M.
Perjalanan sejarah menunjukkan bahwa peristiwa pembunuhan khalifah ke-3 Usman Bin Affan, telah melahirkan rentetan sejarah yang sangat panjang dan membawa dampak pada khalifah setelahnya, Ali bin Abi Thalib. Di antaranya adalah penolakan Muawiyah, gubernur Damaskus atas Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, dengan alasan bahwa Ali tidak melakukan pengusutan terhadap pembunuhan Usman. Ketegangan antara Ali dan Muawiyah ini berbuntut dengan terjadinya perang Siffin yang berakhir dengan peristiwa arbitrase (tahkim), yang dianggap sebagai titik temu penyelesaian persengketaan yang terjadi antara khalifah (Ali Bin Abi Thalib) dengan Muawiyah.[2] Namun peristiwa itu justru melahirkan berbagai reaksi dan aksi, seiring dengan tidak bisanya menyatukan pemikiran dan pendapat dari masing-masing kelompok. Pada akhirnya membuat umat menjadi bagian-bagian (firqah-firqah). Sejarah mencatat, bermula dari perpecahan politik ini, pada kelanjutannya melahirkan aliran-aliran teologi dalam Islam.
Aliran yang paling terkenal dengan peristiwa ini adalah Khawarij yang muncul sebagai pasukan yang keluar dari barisan Ali atau memisahkan diri sebagai bentuk protes terhadap keputusan Ali dan pada saat yang bersamaan juga muncul satu golongan yang tetap setia mendukung Ali bin Abi Thalib, yang pada berikutnya terkenal dengan nama Syi’ah, yang dalam perekembangnya hadir sebagai sebuah aliran yang memiliki konsep dan ajaran tersendiri.
Syi’ah memiliki ajaran dan konsep berupa kecintaan kepada Ali dan Ahlul Bait. ajaran itu kemudian berkembang setahap demi setahap, dan pada akhirnya menjadikan Syi’ah sebagai sebuah mazhab atau aliran yang memiliki ajaran-ajaran tersendiri dalam bidang politik, teologi, fiqih, dan bidang lainnya.
Teologi Syi’ah mengandung prinsip ajaran yang dikenal dengan lima rukun, yaitu prinsip Tauhid (Keesaan Tuhan), Nubuwwat (kenabian), Maad (kebangkitan jiwa dan tubuh pada hari kiamat), Imamah serta prinsip al-‘Adl. Imamah merupakan esensi ajaran Syi’ah. Sehingga kita bisa temukan ajaran-ajaran Syi’ah di bidang politik dan teologi pada umumnya berkisar pada persoalan Imamah dan iman serta hubungan yang erat antara keduanya.
Dalam perkembangannya, Syi’ah dapat diterima oleh banyak kalangan namun dengan banyak perbedaan dan perpecahan yang melahirkan sekte yang tidak sedikit dalam Syi’ah itu sendiri. Tetapi sekalipun Syi’ah terpecah kepada beragam sekte, namun  mereka mempunyai keyakinan yang sama pada umumnya, yang merupakan ciri Syi’ah secara menyeluruh.[3]
2. Imamah dan Ajaran Syi’ah lainya.
    1). Imamah.
             Imamah adalah keyakinan bahwa setelah Nabi Saw wafat harus ada pemimpin-pemimpin Islam yang melanjutkan misi atau risalah Nabi.[4] Atau, dalam pengertian Ali Syari’ati adalah kepemimpinan progresif dan revolusioner yang bertentangan dengan rezim-rezim politik lainnya guna membimbing manusia serta membangun masyarakat di atas fondasi yang benar dan kuat, yang bakal mengarahkan menuju kesadaran, pertumbuhan, dan kemandirian dalam mengambil keputusan.[5]
            Mengenai masalah imamah, kaum Syiah berpandangan bahwa imamah bukanlah masalah kemaslahatan umum, melainkan merupakan suatu rukun agama dan pokok agama Islam yang tidak boleh dilalaikan oleh Nabi atau diserahkan oleh rakyat, artinya rakyat tidak mempunyai hak untuk memberikan pertimbangan dan menunjuk seorang imam melainkan hanya Nabi yang berkewajiban menunjuk imam yang akan memimpin rakyat sepeninggal beliau. Dan setiap imam wajib pula menunjuk imam yang akan menggantikannya.[6] Kaum Syiah berpandangan bahwa dalam agama Islam tidak ada sesuatu yang lebih penting dari pada masalah penunjukan imam, apabila imam tersebut telah menunjuk penggantinya maka ia akan dapat meninggal dunia dengan perasaan lega dan tidak merasa kuatir atas kepentingan rakyat.
             Oleh karena Nabi mempunyai kewajiban untuk menunjuk imam yang akan mengurus kepentingan kaum muslimin sesudah beliau wafat, maka beliau telah melaksanakan kewajiban itu yaitu telah menunjuk Ali, dan penunjukannya dilakukan dengan nash yang jelas bukan secara sindiran. Peristiwa ini terjadi di suatu tempat yang disebut Ghadir khum. Sabda Nabi yang dimaksud berbunyi : “ Ali adalah teman bagi orang yang saya menjadi temannya. Ya Allah tolonglah siapa yang menolongnya, dan musuhilah siapa yang memusuhi, menangkanlah siapa yang memenangkannya, dan kalahkanlah siapa yang mngalahkannya. Jadikanlah kebenaran itu besertanya selama-lamanya semoga aku telah menyampaikan apa yang wajib kusampaikan” Dan penunjukan itu terjadi setelah turunnya firman Allah:                                                                                           
$pkšr'¯»tƒ ãAqߧ9$# õ÷Ïk=t/ !$tB tAÌRé& šøs9Î) `ÏB y7Îi/¢ ( bÎ)ur óO©9 ö@yèøÿs? $yJsù |Møó¯=t/ ¼çmtGs9$yÍ 4 ª!$#ur šßJÅÁ÷ètƒ z`ÏB Ĩ$¨Z9$# 3 ¨bÎ) ©!$# Ÿw Ïöku tPöqs)ø9$# tûï͍Ïÿ»s3ø9$# ÇÏÐÈ  
Artinya: Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir. (Qs. Al-Maidah : 67)[7]
            Yang disuruh menyampaikannya dalam ayat itu, menurut tafsiran kaum Syiah adalah penunjukan Ali sebagai imam. Oleh sebab itu setelah penunjukan itu selesai turunlah firman Allah :
4 tPöquø9$# àMù=yJø.r& öNä3s9 öNä3oYƒÏŠ àMôJoÿøCr&ur öNä3øn=tæ ÓÉLyJ÷èÏR àMŠÅÊuur ãNä3s9 zN»n=óM}$# $YYƒÏŠ 4
Artinya: pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu.(Qs. Al-Maidah : 3) [8]
Bahwa imamah itu adalah khusus untuk Ali dan anak cucunya dari isterinya yaitu Fatimah. Mereka adalah ahlulbait, dan pohon rindang yang beroleh berkah, yang karenanya Allah senang kepada seluruh manusia. Orang selain mereka tidak berhak untuk menduduki jabatan imamah itu sampai Allah mewarisi bumi ini dan semua orang yang berada diatasnya. Dan selain itu, mereka itu adalah ma’shum yakni terhindar dari perbuatan dosa dan tidak pernah salah ataupun lupa.
    2). Tauhid/ketuhanan.
Kaum Syiah, khususnya aliran Istna Asyariyyah yang dipelopori Hisyam bin al-Hakam memandang bahwa eksistensi Allah dapat dijelaskan melalui keberadaan manusia beserta sifat yang ada dalam diri manusia itu, pandangan ini dikenal dengan paham al Tajsim dan Tasybih ( meng antromorfis kan Allah ), namun pada generasi berikutnya paham tersebut ditinggalkan dan menganut paham al Tanzih wa al Tajrid yaitu me Maha suci-kan dan me Maha abstrakkan Allah, paham dari generasi ini dipelopori al Syeikh al-Mufid.[9] Paham yang pertama yaitu al Tajsim wa Tasybih digunakan kaum Syiah untuk menentang kaum Mu’tazilah yang menentang dan menolak teori imamah versi Syiah, namun akhirnya atas prakarsa Bani Buwaihi, kedua kaum ini dipersatukan dengan menganut paham kedua yaitu al Tanzih dan al Tajrid.
            Adapun teolog Syiah dari aliran ini selain al Syeikh al-Mufid adalah Nashir al-Din al-Tusi, al Syeikh al-Amali yang mana keduanya dikenal sebagai pengulang pemikiran Mu’tazilah yakni dengan pendapatnya bahwa sifat (Allah) adalah ‘ain al Zat (Zat Allah itu sendiri) dan bahwa Al-Quran adalah makhluk. Sebaliknya mereka menolak teori al Kalam al Nafsi (sifat berbicara yang merupakan bagian dari Zat).
            Berbeda dengan aliran Istna Asyariyyah, aliran Ismailiyyah, filsafat ketuhanannya berlandaskan pada prinsip bahwa akal manusia tidak mampu mempersepsi zat ilahi, zat ini mempunyai sifat-sifat dan sifat-sifat itu hanya dituangkan pada akal pertama yang diciptakan Allah. Artinya kita hanya mengetahui al Aql al-Mubtada’ (akal yang dicipta) tetapi tidak bisa mengetahui al Bari al Mubdi (pencipta yaitu Allah).[10] Dalam teori emanasi (al Faid wa al Sudur), kaum ini menjelaskan bahwa bermula dari akal beremanasi al Nafs al kulliyyah (jiwa universal), dari jiwa itu beremanasilah materi ini. Dari persatuan akal, jiwa materi, waktu dan ruang beremanasilah gerakan segala falak dan alam.[11] Begitu pun dengan wahyu, bahwa ia tidak terputus karena wahyu merupakan pancaran dari al Natiq kepada al Was-yu dan para imam.
            Mengenai masalah yang berhubungan dengan ketuhanan, kaum Zaidiyah pada awalnya lebih dekat kepada kaum salaf, walaupun imam mereka berguru pada Washil bin Atha’. Mereka berpandangan bahwa Allah SWT adalah sesuatu yang tidak seperti sesuatu yang lain, tidak serupa dengan segala sesuatu yang ada. Ia Maha mengetahui, Maha kuasa, karena sifat Maha mengetahui dan Maha Kuasa bukanlah ia juga bukan selain ia.[12]
    3). Nubuwwat (kenabian),
Kaum Syi’ah meyakini bahwa semua Nabi yang disebutkan dalam Al-Qur’an adalah utusan Allah dan hamba-hambaNya yang mulia. Mereka ditugaskan untuk mengajak manusia kepada yang Al Haq atau Allah. Nabi Muhammad SAW adalah Nabi terakhir dan pemimpin para Rasul. Hal terpenting dalam keyakinan mereka tentang kenabian adalah permasalahan ‘Ishamah (ma’shum). Mereka meyakini tentang kesempurnaan sifat-sifat Nabi. Kitab-kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi adalah mukjizat, begitupun juga dengan hal-hal yang berkaitan dengan kenabian dan al-Qur’an adalah mukjizat Nabi Muhammad dan kitab suci umat Islam.[13]
    4). Maad (kebangkitan jiwa dan tubuh pada hari kiamat)
Dalam pandangan kaum Syiah, Ma’ad yang dimaksud setara dengan doktrin Raj’ah. Kata Raj’ah berasal dari kata raja’a yang artinya pulang atau kembali. Raj’ah adalah keyakinan akan dihidupkannya kembali sejumlah hamba Allah Swt yang paling saleh dan sejumlah hamba Allah yang paling durhaka untuk membuktikan kebesaran dan kekuasaan Allah Swt di muka bumi, bersamaan dengan munculnya Imam Mahdi.[14] Sementara Syaikh Abdul Mun’eim al-Nemr mendefinisikan raj’ah sebagai suatu prinsip atau akidah Syi’ah, yang maksudnya ialah bahwa sebagian manusia akan dihidupkan kembali setelah mati karena itulah kehendak dan hikmat Allah, setelah itu dimatikan kembali. Kemudian di hari kebangkitan kembali bersama makhluk lain seluruhnya. Tujuan dari prinsip Syi’ah seperti ini adalah untuk memenuhi selera dan keinginan memerintah. Lalu kemudian untuk membalas dendam kepada orang-orang yang merebut kepemimpinan ‘Ali.[15]
            Keyakinan ini didasarkan pada al Qur’an surat al Mumin ayat 11:
(#qä9$s% !$uZ­/u $oY­FtBr& Èû÷ütFt^øO$# $uZtG÷uômr&ur Èû÷ütFt^øO$# $oYøùuŽtIôã$$sù $oYÎ/qçRäÎ/ ö@ygsù 4n<Î) 8lrãäz `ÏiB 9@ŠÎ6y ÇÊÊÈ  
Artinya: mereka menjawab: "Ya Tuhan Kami Engkau telah mematikan Kami dua kali dan telah menghidupkan Kami dua kali (pula), lalu Kami mengakui dosa-dosa kami. Maka Adakah sesuatu jalan (bagi Kami) untuk keluar (dari neraka)?"(Qs. Al-Mu’min : 11).[16]
Yang mana menurut mereka dalam ayat tersebut tercantum makna ar raj’ah yang berarti pulang atau kembali, artinya bahwa dalam hidup ini terdapat kehidupan setelah mati sebelum menuju kepada kehidupan akhirat.
    5). Al-Adl
Adl maksudnya adalah bahwa Allah tidak berbuat dzalim kepada seseorang dan tidak melakukan sesuatu yang buruk menurut akal sehat. Akal yang mengatakan bahwa buruk bagi Allah itu mustahil maka kaum Syiah menetapkan sifat Al adl hanya pantas dipunyai atau bagi Allah sedangkan Syara’ hanya memperkuat dan memberi tanda-tandanya saja, bahkan akal tanpa bantuan syara’ tidak dapat menentukan baik buruk.[17]
Kaum Syi’ah memiliki keyakinan bahwa Allah memiliki sifat Maha Adil. Allah tidak pernah melakukan perbuatan zalim ataupun perbuatan buruk yang lainnya. Allah tidak melakukan sesuatu kecuali atas dasar kemaslahatan dan kebaikan umat manusia. Menurut kaum Syi’ah semua perbuatan yang dilakukan Allah pasti ada tujuan dan maksud tertentu yang akan dicapai, sehingga segala perbuatan yang dilakukan Allah Swt adalah baik. Jadi dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konsep keadilan Tuhan yaitu Tuhan selalu melakukan perbuatan yang baik dan tidak melakukan apapun yang buruk.Tuhan juga tidak meninggalkan sesuatu yang wajib dikerjakanNya.
3. Sekte-Sekte Syiah.
 1). Syiah Zaidiyah.
            Dinamakan Syi’ah Zaidiyah, karena kelompok itu pengikut Imam Zaid bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib, yaitu saudara kandungnya Abu Ja’far Muhammad Al-Baqir bin bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib. Syi’ah Zaidiyah adalah golongan yang lebih moderat dari semua golongan Syi’ah yang ada. Menurut mereka, Rasulullah tidak pernah menunjukkan Ali sebagai khalifah secara langsung dengan menyebut namanya. Beliau hanya menunjukkan secara isyarat (deskripsi) saja.[18]
Syi’ah Zaidiyah ini adalah Syi’ah yang sederhana, bukan ghullat. Mereka tidak mengkafirkan Saidina Abu Bakar, Umar dan Utsman, tetapi mereka berkeyakinan bahwa Saidina Ali lebih mulia dari Abu Bakar. Syi’ah Zaidiyah beri’tiqad bahwa orang Muslim yang mengerjakan dosa besar, kalau meninggal sebelum taubat maka ia kafir, kekal dalam neraka. Tersebut dalam kitab Dzuhrul Islam karangan Ahmad Amin, pada juzu’ ke 4, pagina 136-137 yaitu : “Imam kaum Zaidiyah Zaid bin ‘Ali adalah murid Washil bin ‘Atha’, pemimpin Kaum mu’tazilah dalam ushuluddin.[19] Dalam masalah fiqih mereka lebih mirip dengan Mazhab Syafi’i.[20]
Menurut keyakinan mazhab Zaidiyah, setiap orang yang berasal dari keturunan Fathimah adalah orang yang alim, zahid, dermawan dan pemberani untuk menentang segala manifetasi kelaliman, bisa menjadi imam. Syi’ah Zaidiyah menggabungkan dua ajaran dalam mazhabnya. Dalam bidang ushuluddin ia menganut paham Mu’tazilah dan dalam bidang furu’uddin ia menganut paham Hanafiah.[21]
Pandangan Syi’ah Zaidiyah tentang imamah dan ajaran lainya, yaitu:
a.  Imamah.
            Imamah merupakan doktrin fundamental tipikal yang terdapat dalam Syi’ah secara umum. Kaum Syi’ah Zaidiyah menolak  pandangan yang menyatakan bahwa seorang imam yang mewarisi sifat kepemimpinan Rasulullah telah di tentukan nama dan orang orangnya secara jelas, tetapi hanya ditentukan sifat-sifatnya saja. Ini jelas berbeda dengan sekte Syi’ah yang lainnya yang menganggap bahwa Rasulullah menunjuk langsung Ali sebagai pengganti beliau untuk memimpin umat manusia karena ai memiliki sifat yang tidak dimiliki oleh orang lain seperti keeturunan Bani Hasyim, wara’ (shaleh, menjauhkan diri dari segala dosa), bertaqwa, baik dan membaur dengan rakyat untuk mengajak mereka hingga mengakui beliau sebagai imam.
            Selanjutnya, menurut Zaidiyah seorang imam harus memiliki ciri-ciri minimal sebagai berikut:
  1. Seorang imam tersebut merupakan keturunan ahlu bait, baik dari garis keturunan Hasan maupun Husein. Hal ini mengimplikasikan penolakan kelompok ini atas sistem pewarisan dan nash kepemimpinan. Artinya kelompok ini akan menolak orang-orang yang selain keturunan Hasan dan Husein untuk menjadi pemimpin agar sistem pewarisannya pun menjadi jelas.
  2. Memiliki kemampuan mengangkat senjata sebagai upaya mempertahankan diri dan menyerang. Atas dasar ini mereka menolak mahdiisme yang merupakan ciri dari sekte Syi’ah yang lainnya baik yang ghaib maupun yang masih di bawah umur. Bagi mereka pemimpin yang menegakkan keadilan adalah pemimpin yang Mahdi.
  3. Memiliki kecenderungan intelektualisme yang dapat dibuktikan baik dalam karya dan bidang keagamaan. Mereka menolak kema’suman seorang imam dan mengembangkan doktrin imamat al-mafdul yang berarti seseorang dapat dipilih jadi imam meskipun ia mafdul (bukan yang terbaik) meskipun di saat itu ada yang lebih afdal.[22]
            Dengan doktrin imamah seperti itu, tidak heran jika Syi’ah Zaidiyah sering mengalami krisis dalam hal keimaman. Hal ini dikarenakan terbukanya kesempatan bagi setiap keturunan ahlu al bait untuk menobatkan dirinya sebagai imam. Dalam sejarahnya krisis keimanan dalam Syi’ah Zaidiyah ini disebabkan oleh dua hal yaitu:
  1. Terdapat beberapa pemimpin yang memmproklamirkan dirinya sebagai imam dan,
  2. Tidak seorang pun yang pantas menjadi imam.
            Dalam menghadapi krisis ini Zaidiyah mengembangkan beberapa pemecahannya, diantaranya yaitu membagi tugas imam kepada dua individu, dalam bidang politik dan bidang ilmu serta keagamaan.
            Syi’ah memang bercita-cita untuk menciptakan seorang imam yang aktif dan bukan pasif seperti imam Mahdi yang ghaib. Menurut mereka imam bukan hanya saja memiliki kekuatan rohani yang diperlukan  bagi seorang pemimpin keagamaan, tetapi juga bersedia melakukan perlawanan demi cita-cita suci demi dihormati umatnya. Selain menolak berbagai dongeng tentang kekuatan adikodrati para imam, mereka juga mengingkari sifat keilahian para imam. Imam bagi mereka adalah seorang guru dan pemimpin bagi orang muslin yang aktif dalam masyarakat serta berjuang secara terang-terangan demi mencapai cita-citanya. Dengan demikian para imam dapat berfungsi sebagai pemimpin politik dan keagamaan yang secara konkret berjuang demi umat daripada sebagai tokoh adikodrati yang suci dan tak berdosa.
Urutan imam mereka yaitu:
a.       Ali bin Abi Thalib                               d. Ali bin Husain
b.      Hasan bin Ali                                      e. Zaid bin Ali.[23]
c.       Husein bin Ali
            Jadi dapat disimpulkan bahwa seorang imam dalam pandangan Syi’ah Zaidiyah yaitu pemimpin yang mampu membimbing mereka dalam berbagai hal baik itu dalam hal keagamaan maupun dalam hal politik.

b. Ismah (Ma’sum).
            Zaidiyah menolak prinsip tentang kesucian imam dari dosa yang besar dan dosa kecil, bagi mereka imam itu hanya orang biasa yang mungkin melakukan kesalahan. Namun sebagian kaum zaidiyah ada yang mensucikan empat orang dari keluarga ahlul bait, yaitu Ali bin Abi Thalib, Fatimah, Hasan dan Husain.
c. Raj’ah (kehadiran Imam).
            Syi’ah zaidiyah menolak ketidakhadiran Imam, karena ahlul hal wa al-aqd hanya dapat memilih imam kalau seandainya calon imam itu ada di tengah mereka, atau menurut mereka kehadiran imam merupakan syarat utama. Oleh karena itu Zaidiyah tidak mengakui tentang keberadaan imam Mahdi yang akan keluar di akhir zaman nanti.
            Penganut Syi’ah Zaidiyah percaya bahwa orang yang melakukan dosa besar akan kekal dalam neraka jika dia belum bertaubat dengan taubat yang sesungguhnya. Dalam hal ini Syi’ah Zaidiyah memang dekat dengan Mu’tazilah. Ini bukan sesuatu yang aneh mengingat Wasil bin Atha’, salah seorang pemimpin Mu’tazilah mempunyai hubungan dengan Zaid. Bahkan ada yang berpendapat bahwa Zaid pernah berguru kepada Wasil bin Atha’. Organisasi tarekat dilarang dalam pemerintahan Zaidiyah.
            Berbeda dengan Syi’ah lain, Zaidiyah menolak nikah mut’ah. Tampaknya ini merupakan implikasi dari pengakuan mereka atas kekhalifahan Umar Bin Khattab. Seperti diketahui sebelumnya bahwa nikah mut’ah merupakan salah satu jenis pernikahan yang dihapuskan oleh khalifah Umar Bin Khattab. Penghapusan ini jelas ditolak olek sekte selain Zaidiyah. Oleh karena itu sampai sekarang (kecuali kalangan Zaidiyah) kaum Syi’ah tetap mempraktekkan nikah mut’ah. Selanjutnya Zaidiyah juga menolak doktrin taqiyah yaitu sikap berhati-hati demi menjaga keselamatan jiwa karena khawatir akan bahaya yang dapat menimpa dirinya. Dalam kehati-hatian ini terkandung sikap penyembunyian identitas dan ketidakterusterangan.[24]  padahal menurut Thabathaba, taqiyah merupakan salah satu doktrin yang sangat penting dalam Syi’ah. Meskipun demikian dalam hal ibadah, Zaidiyah tetap menunjukkan simbol dan amalan-amalan Syi’ah kebanyakan.
  2).  Syiah Imamiyah.
Dinamakan Syi’ah Imamiyah karena yang menjadi dasar akidahnya adalah persoalan imam dalam arti pemimpin religio politik. Yakni Ali berhak menjadi khalifah bukan hanya karena kecakapanya / kemulyaan akhlaqnya, tapi karena ia pantas menjadi Khalifah pewaris Nabi Muhammad SAW.[25]

Syi’ah Itsna Asyariah sepakat bahwa Ali adalah penerima wasiat Nabi Muhammad seperti yang ditunjukkan nash. Adapun al-Ausiya setelah Ali bin Abi Thalib adalah keturuna dari garis fatimah, yaitu Hasan bin Ali kemudian Husein bin Ali, setelah itu Ali zaenal Abidin, kemudian berturut-turut :
Muhammad Al Baqir, Abdullah Ja’far As-shadiq, Musa Al-khazim, Ali Ar-Ridho,
Muhammad Al-Jawwad, Ali-Al-Hadi, Hasan al Askari, dan yang terakhir yaitu
Muhammad Al-Mahdi. Karena mereka berbaiat dibawah dua belas imam, mereka
dikenal dengan sebutan Syi’ah itsna Asyariah.[26]

            Simbol Syi’ah Imamiyah sangat identik dengan imam yang keenam, yakni
Ja’far As-Shadiq. Imam Ja’far terkenal dengan kealiman, kezuhudan, keberanian,
kepintaranya dalam berbagai bidang ilmu. Dalam hal ini, mengetahui sistematika
sumber istidhal Syi’ah, tidak terlepaskan dari peran Imam Ja’far As-Shadiq. Pengikut sekte ini beranggapan bahwa imam yang kedua belas, Muhammad Al-Mahdi bersembunyi diruang bawah tanah Ayahnya di Samarradan tidak kembali. Itulah sebabnya kembalinya imam Al-Mahdi selalu ditunggu pengikut sekte itsna Asyariyah. Ciri khas kehadiranya adalah sebagai ratu adil yang akan turun di akhir zaman. Sebab itulah Imam Al-Mahdi disebut Imam Mahdi Al-Munthazar (yang ditunggu).[27]
 Pandangan Syiah Imamiyah tentang Imamah dan Ajaran lainnya yaitu:
a.  Imamah
            Mereka meyakini bahwa yang berhak memimpin umat Islam hanyalah imam yang sudah ditunjuk dan namanya mereka kenali. Para Imam terpilih ini menjalankan fungsi spiritual dan politik yang tinggi dan memiliki berkah yang khusus, kemampuan yang luar biasa (mu’jizat), dan pengetahuan rahasia (alim bi al-gahib) yang tidak dimiliki manusia pada umumnya. Masih menurut mereka, jabatan keimaman haruslah dipegang oleh keturunan Fatimah. Syi’ah Imamiyah mempercayai adanya 12 imam, yaitu :
1. Ali bin Abi Thalib (W. 40 H)
2. Hasan bin Ali bin Abi Thalib (W. 50 H)
3. Husain bin Ali bin Abi Thalib (W. 61 H)
4. Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib (W. 94 h)
5. Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin (W. 112 H)
6. Ja’far al-Shadiq bin Muhammad al-Baqir (W. 148 H)
7. Musa al-Kazhim (W .183 H)
8. Ali ar-Ridha Bin Musa al Kazhim (W. 202 H)
9. Muhammad Al-Jawwad bin Ali al-Ridha (W. 202 H)
10. Ali bin Muhammad bin al-Ridha (W. 254 H)
11. Hasan bin Ali bin Muhammad al Kasri (W.260 H)
12. Muhammad bin Hasan Al-Mahdi al-Muntazhar.
            Pada Muhammad Al Muntazar terhenti rangkaian Imam-imam nyata, karena ia tidak meninggalkan keturunan. Dan sewaktu kecil, ia hilang dalam gua yang terletak di Masjid Samarra Irak sehingga diyakini oleh kaum Syiah bahwa Imam ke dua belas ini menghilang untuk sementara waktu dan akan kembali lagi sebagai Al Mahdi (yang dinanti) untuk langsung memimpin umat manusia.[28]
            Syi’ah Imamiyah tidak mengakui kekhalifahan Abu Bakar, Umar, dan Usman, karena menganggap ketiga khalifah ini telah berbuat curang kepada Ali bin Abi Thalib dengan menyisihkan hak Ali menjadi Khalifah setelah Rasul wafat. Abu Bakar dan Umar dicap sebagai orang yang telah mengesampingkan al-Quran dan Hadis, yang menurut interprestasi mereka telah menunjuk Ali sebagai Khalifah.
      b. Wishayah
            Menurut Syi’ah Imamiyah, Ali telah ditunjuk sebagai imam atau pemimpin masyarakat oleh Nabi Muhammad SAW. Penunjukan tersebut menurut mereka terjadi di Ghadir Khum.
    c. Ishmah(ma’sum)
            Mereka mengatakan bahwa imam seperti halnya Nabi adalah ma’shum. Semua imam yang dua belas ini suci dari kesalahan, kealfaan dan juga dari dosa besar dan dosa kecil.
     d. Raj’ah
            Mereka meyakini al-raj’ah yaitu kembalinya imam ke tengah masyarakat setelah lewat masa gaib atau masa bersembunyi dari pandangan pengikutnya. Dalam keyakinan Syi’ah Imamiyah, imam al-Hasan al Askari meninggalkan seorang putra yang berusia sekitar 4 atau 6 tahun, yang bergelar Imam Mahdi. Riwayat lain menyatakan bahwa al-Mahdi telah lahir sebelum ayahnya wafat, dan dinobatkan oleh ayahnya sebagai imam ke-12, dan dalam usia yang sangat belia, ia lari dan bersembunyi dalam lubang (Sardab) di rumah ayahnya di Irak. Persembunyian (ghaib) ini menurut pengikutnya berlangsung selama 65 tahun. Dalam masa ini, seorang Syi’ah dapat berhubungan dengan imamnya melalui empat orang wakil khas, yang selama masa ini disebut dengan ghaib kecil (al-ghaibah al-shugra’)
            Setelah meninggalnya empat orang wakil ini, maka dimulailah gaib besar (al-ghaib al-kubra), karena hubungan dengan imam terputus sama sekali dan imam baru akan menampakkan diri lagi saat kiamat sudah semakin dekat. Pada masa ini kepemimpinan Syi’ah dipegang dan dikendalkan oleh wilayah al-Fakih, yaitu para ulama shalih yang dipercaya oleh masyarakat Syi’ah.
     e. Taqiyah
            Taqiyah yaitu menyembunyikan identitas aqidah sebagai penjagaan diri dari musuh. Taqiyah ini menurut mereka (Imamiyah) merupakan salah satu prinsip utama agama yang tidak boleh ditinggalkan, bahkan mereka memandang wajib melakukan taqiyah, karena seseorang yang tidak melakukan taqiyah jika meninggal, maka kematiannya tidak akan berfaidah.
Dalam urusan fiqh atau syari’ah, Imamiyah dan syafi’iyah sama-sama melakukan qunut dalam shalat. Imamiyah melakukan qunut tiap selesai membaca surat Al-Quran sebelum ruku’ tiap rakaat kedua dan ditetapkan pada semua shalat wajib.
Golongan ini tidak mengakui ijma’ dan qiyas. Berdusta terhadap Rasul termasuk membatalkan puasa, mewajibkan qadha dan kaffarah terhadap orang yang sengaja membatalkan puasa. Akad nikah harus dengan bahasa Arab, talak tidak sah jika tidak disaksikan oleh tiga orang saksi. Tidak boleh mengawini wanita kitabiyah. dll[29]
Dalil tasyri yang digunakan golongan ini Al Kitab, As Sunah, dan ijma’ yaitu persetujuan ulama yang dibenarkan oleh imam-imam yang ma’shum, bukan semata-semata persetujuan pendapat ulama. Dalam masalah furu’ pendapat mereka hampir sama dengan madzab Syafi’i.  Imamiyah merujuk pada pendapat yang diriwayatkan para imam mereka sendiri dan ijtihad para ulama Syi’ah. Mujtahid yang termasyhur ada dua yaitu, Ja’far As Shadiq dan Zurarah Ibnu A’yun.
Madzab Syiah Imamiyah adalah madzab negara Iran sejak negeri itu diperintah oleh Dinasti Shafawiyah, yaitu keluarga Ismail Ash Shafawy. Pembangun madzab ini di Iran ialah Abu Ja’far Muhammad ibnu Hasan ibnu Farukh Al Qummy. Kemudian ibnu Ya’cub ibnu Ishak Al Kulaily.
Dalam ibadah sosial imamiyah tidak hanya membahas fiqih zakat tetapi membahas khumus(1/5 yang harus dikeluarkan oleh umat islam). Golongan ini tidak mengartikan harta rampasan itu sebagai harta yang diperoleh muslim dari harta orang-orang non muslim, tapi justru dimaknai lebih umum.[30]
Fatwa mengenai fiqih dalam syiah Imamiyah berasal dari Imam Ja’far As Shadiq dan puteranya Imam Musa Al Qassim yang dikenal sebagai imam Syiah Imamiyah yang berhasil menyusun kitab fiqih Al Halal wa Al Haram.
3). Syiah Ghulat.
            Selain dari golongan di atas, di dalam tubuh Syi’ah juga terdapat golongan-golongan ekstrim dan dianggap telah keluar dari jalur Islam, yang dalam bentuk ajarannya sering dikaitkan dengan Abdullah bin Saba’. Golongan ekstrim inilah yang kemudian disebut dengan Syi’ah Ghulat (berasal dari kata ghuluw yang berarti berlebih-lebihan). Sebagian dari golongan ini ada yang menempatkan Ali dan imam-imam Syi’ah lainnya pada derajat ketuhanan, dan ada yang mengangkatnya pada derajat kenabian, bahkan lebih tingi dari Muhammad.
            Banyak sekte yang dipandang memiliki sikap ekstrim dalam aliran Syi’ah, yang bila ditinjau dari sikap dan ajaran-ajarannya cenderung dikatakan menyesatkan. Sekte ini disebut dengan Ghulat, yaitu golongan ekstrim di kalangan Syi’ah yang terlalu berlebih-lebihan dalam menentukan hak imam.

Ajaran-ajaran syiah ghulat yaitu:
a.       Tanasukh, keluarnya roh dari satu jasat dan mengambil tempat pada jasat yang lain. Faham ini diambil dari falsafah hindu. Penganut agama hindu berkeyakinan bahwa roh disiksa dengan cara berpindah ke tubuh hewan yang lebih rendah dan diberi pahala dengan cara berpindah dari satu kehidupan ke kehidupan yang lebih tinggi.[31] Syiah ghulat menerapkan faham ini dalam konsep imamahnya, sehingga ada yang mengatakan seperti Abdullah bin Muawiyah bin Abdullah bin Ja’far- bahwa roh Allah berpindah kepada adam seterusnya kepada imam-imam secara turun-temurun.
b.      Bada’, adalah keyakinan Allah mengubah kehendaknya sejalan dengan perubahan ilmunya serta dapat memerintahkan suatu perbuatan kemudian memerintahkan sebaliknya.[32] Syahrastani menjelaskan lebih lanjut bahwa bada’ dalam pandangan Syiah Ghulat mempuyai beberapa arti. Bila berkaitan dengan ilmu artinya menampakkan sesuatu yang bertentangan dengan yang dikuasai Allah. bila berkaitan dengan kehendak, artinya memperlihatkan yang benar dengan menyalahi yang dikehendaki dan hukum yang diterapkannya. Bila berkaitan dengan perintah, artinya memerintahkan hal lain yang bertentangan dengan perintah sebelumnya.[33]
c.       Raj’ah, ada hubungannya dengan Mahdiyah, Syiah Ghulat mempercayai bahwa imam Mahdi al-Muntazhar akan datang ke bumi, Namun mereka berbeda pendapat tentang siapa yang akan kembali. Sebagian mengatakan bahwa yang akan kembali itu adalah Ali dan sebagian lagi megatakan bahwa yang akan kembali adalah Ja’far As-Shaddiq,
 d. Tasybih artinya menyerupakan, mempersamakan. Syiah Ghulat menyerupakan salah seorang imam mereka dengan tuhan atau menyerupakan tuhan dengan makhluknya.[34]
e.   Hulul artinya Tuhan berada pada setiap tempat, berbicara dengan semua bahasa, dan ada pada setiap individu manusia.[35]Hulul bagi Syiah Ghulat berarti Tuhan menjelma pada diri imam sehingga imam harus disembah.
f.     Ghayba, artinya menghilangnya imam Mahdi. Ghayba merupakan kepercayaan Syiah bahwa imam Mahdi itu ada di dalam negeri ini dan tidak dapat dilihat oleh mata biasa.[36]
Perbedaan dari ketiga sekte Syiah diatas adalah:
masalah
Syiah Imamiyah
Syiah Zaidiyah
Syiah Ghulat
Kekhalifahan abu bakar, umar dan usman.
Tidak mengakui kekhalifahan Abu bakar, Usman dan Umar.
mengakui kekhalifahan Abu bakar, Usman dan Umar.
Tidak mengakui kekhalifahan Abu bakar, Usman dan Umar.
Imamah
-Imam telah ditentukan nama dan orangnya secara jelas.
- 12 imam
- imam tidak boleh disembah
- Imam hanya ditentukan sifat-sifatnya saja.

-                     6 imam
-                    Imam tidak boleh disembah





-imam boleh disembah.
Ismah (ma’sum)
Imam adalah orang yang ma’sum, semua imam suci dari kesalahan, kealfaan dan dosa.
Imam tidak ma’sum, Imam adalah orang biasa yang mungkin melakukan kesalahan.

Kehadiran imam Mahdi
Mempercayai bahwa pada akhir zaman akan muncul imam mahdi
Tidak Mempercayai bahwa pada akhir zaman akan muncul imam mahdi
Mempercayai bahwa pada akhir zaman akan muncul imam mahdi
Simbol sekte
Identik dengan imam mereka yang ke 6 yaitu Ja’far al-Shadiq bin Muhammad al-Baqir
Identik dengan imam mereka yang ke 5 yaitu Zaid bin Ali
Identik dengan Abdullah bin Saba'.

C. PENUTUP.                                              
1. kesimpulan.
a. Secara bahasa, Syi’ah berarti pengikut, golongan, sahabat dan penolong . Istilah Syi’ah, selanjutnya berkembang dengan arti khusus, yaitu nama bagi sekelompok orang yang menjadi partisan atau pengikut Ali bin Abi Thalib dan keturunan-keturunannya.
b. Kaum Syi’ah memiliki 5 pokok pikiran utama yang harus dianut oleh para pengikutnya diantaranya yaitu at tauhid, al ‘adl, an nubuwah, al imamah dan al ma’ad.
c.  Sekte  Syi’ah pengikut Zaid Bin Ali Zaenal Abidin Bin Husein Bin Ali Bin Abi Thalib yaitu saudara kandungnya Abu Ja’far Muhammad Al Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Abi Thalib   yang berkembang di daerah Yaman. Syi’ah ini lebih moderat dibandingkan dengan syi’ah yang lainnya. Menurut kelompok ini Nabi Muhammad tidak menunjuk secara Ali secara tegas dengan menyebut namanya, tapi hanya memberikan deskripsi atau isyarat yang umum. Karena itu kelompok ini tidak menganggap Sayyidina Abu Bakar, Sayyidina Umar, Sayyidina Utsman sebagai orang yang zalim dan telah merebut hak kekhalifahan Ali Bin Abi Thalib. Meskipun demikian mereka menganggap Ali tetap lebih utama.
d.  Menurut Zaidiyah seorang imam harus memilki ciri-ciri minimal sebagai   berikut:
·       Seorang imam tersebut merupakan keturunan ahlu bait, baik dari garis keturunan Hasan maupun Husein.
·       Memiliki kemampuan mengangkat senjata sebagai upaya mempertahankan diri dan menyerang.
·       Memiliki kecenderungan intelektualisme yang dapat dibuktikan baik dalam karya dan bidang keagamaan.
e.  Berikut doktrin-doktrin yang diajarkan oleh Syi’ah zaidiyah yakni:
·       Condong kepada aqidah Mu’tazilah dalam masalah yang berkaitan dengan Zat Allah dan pilihan dalam amalan serta hukum yang berkenaan pelaku dosa besar dan mereka menyamai pendapat Mu’tazilah dalam masalah manzilah bain ala manzilatain.
·       Mereka membolehkan Al Imamah pada semua anak-anak Fatimah sama daripada keturunan Al Imam Al Hasan atau Al Hussein.
·       Kebanyakan mereka mengakui akan keimanan Abu Bakar, Umar dan Usman mereka juga tidak melaknat keduanya sebagaimana yang dilakukan oleh Rafidhah.
·       Mereka tidak membenarkan nikah Mut’ah dan dengan demikian mereka itu mengingkarinya.
·    Mereka berpandangan sama dengan Syi’ah Imamiyah dalam zakat Al Khumus dan bolehnya Taqiyyah dalam keadaan terpaksa.
·    Mereka tidak mengimani aqidah Mahdi Al Muntazar.
·     Meereka berpandangan bahwa wajibnya keluar memberontak atas imam yang dzalim dan tidak wajib taat atasnya.
f.  Golongan ekstrim dan dianggap telah keluar dari jalur Islam, yang dalam bentuk ajarannya sering dikaitkan dengan Abdullah bin Saba’. Golongan ekstrim inilah yang kemudian disebut dengan Syi’ah Ghulat (berasal dari kata ghuluw yang berarti berlebih-lebihan).
g.  Menurut Syahrastani ada enam doktrin yang  membuat mereka ektrem yaitu Tanasukh, Bada’, Raj’ah, Tasbih, Hulul, Ghayba.
 2. kritik dan saran.
Makalah yang disajikan hari ini tentunya masih jauh dari kesempurnaan, disamping bahan bacaan yang kurang, waktu prentasi yang diberikan juga terbatas, sehingga tidak semua materi yang semestinya mengapung bisa dibincangkan. Untuk itu kepada peserta diskusi penulis menyarankan untuk selalu meningkatkan motivasi berdiskusi, yang dengan itu diharapkan menambah khasanah pengetahuan kita, termasuk dibidang sejarah pemikiran islam dalam rangka peningkatan keyakinan dan ketaqwaan.






DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Sahidin. Aliran-Aliran dalam Islam. Bandung: Kawah Media. 2009
Anwar ,Rosihon, Ilmu Kalam, Cet.II, Bandung:Pustaka Setia, 2003.
Al Musawi, Ayatullah Sayyid Muhammad, Madzab Syi’ah, Bandung, Mutahhari   Pers, 2005.
Al-Nemr, Abdul Mun’eim. Sejarah dan Dokumen-dokumen Syi’ah. T.tp.:   Yayasan Alumni Timur Tengah, 1988.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: PT Asy-Syifa, 1998.      
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam Jilid 5. Jakarta: Ichtiar Baru             Van Hoeve,     1997, cet. ke-4.
Huzaemah. Perbandingan Madzhab.Jakarta : Logos, 1997
Ja’fari, Fadil Su’ud, Islam Syi’ah, 2010, UIN Maliki Press: Malang
Khaldun, Ibnu, Muqaddimah dalam A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam.    Jakarta: Al Husna 1995.
Kirmani, Rahah al Aql. Kairo, 1952.
Madkour, Ibrahim, Aliran Dan Teori Filsafat Islam,terj.Yudian Wahyudi Asmin     Fi al Falsafah al Islamiyyah. Jakarta: Bumi Aksara, 2004.
Mulyono dan Bashori. Studi Ilmu Tauhid atau Kalam. Malang: UIN Maliki            Press.2010.
Nazar Bakary, Fiqih dan Ushul Fiqih. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2003.
Rozak Abdul, Anwar Rosihon, Ilmu Kalam,2011, CV Pustaka Setia:Bandung
Siradjuddin Abbas, I’tiqad Ahlussunnah wal Jama’ah, Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 2006.
Shadiq, Ja’far, Musnad al Imam Ja’far al Shadiq. Beirut: tp, 1955.
Sou’yb, Joesoef. Pertumbuhan dan Perkembangan Aliran-aliran Sekta Syi’ah.       Jakarta: Pustaka Alhusna, 1982, cet. ke-1.
Syari’ati, Ali. Islam Mazhab Pemikiran dan Aksi, terj. M.S. Nasrulloh dan Afif      Muhammad.    Bandung: Mizan Pustaka, 1995, cet. ke-2.
Syiraji, Nasyir Makarim, Inilah Aqidah Syiah. Jakarta: Al Huda, 1423 H.
Teungku Muhammad Ilmu Fiqih. Semarang : PT Pustaka Rizki Putra.1999
Z.A. Syihab, Akidah Ahlus Sunnah Versi Salaf-Khalaf dan Posisi Asya’irah di        Antara Keduanya,       Jakarta: Bumi Aksara,1998

Zahrah, Abu, Tarikh al Madzahib al Islamiyah fi al Siyasah wa al Aqa’id, Sejarah   Aliran-aliran    dalam Islam; Bidang Politik dan Aqidah, alih bahasa: Drs.             Shobahussurur, Gontor, Ponorogo, Pusat Studi Ilmu dan Amal, 1991.





            [1] Fadil Su’ud Ja’fari,  islam syiah (Malang: UIN Maliki Press, 2010) Hal. 24
                [2] Joesoef Sou’yb, Pertumbuhan dan Perkembangan Aliran-aliran Sekta Syi’ah (Jakarta: Pustaka Alhusna, 1982), cet. ke-1, h. 11.
                [3] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam Jilid 5 (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), cet. ke-4, h 5
                [4] ibid, h.11
                [5] Ali Syari’ati, Islam Mazhab Pemikiran dan Aksi, terj. M.S. Nasrulloh dan Afif Muhammad  (Bandung: Mizan Pustaka, 1995), cet. ke-2, h. 65.
[6] Ibnu Khaldun, Muqaddimah dalam A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, jilid 2 (Al Husna, Jakarta, 1995) cet III. h.225
[7] Departemen Agama RI, Al Quran dan terjemahnya, h. 172
[8] Ibid. h.157
[9] Ja’far al Shadiq, Musnad al Imam Ja’far al Shadiq (Beirut: 1955,I), h. 36 - 47
[10] Al Kirmani, Rahah al Aql (Kairo, 1952)h.46 - 52.
[11] Ibrahim Madkour, Aliran Dan Teori Filsafat Islam,terj.Yudian Wahyudi Asmin Fi al Falsafah al Islamiyyah (Jakarta, Bumi Aksara) cet.II 2004 h.99
[12] Ibid.h.91
[13] Nasyir Makarim Syiraji, Inilah Aqidah Syiah, (Jakarta, Al Huda, 1423 H), hal. 23.
                [14] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Log,Cit, h. 12.
                [15] Abdul Mun’eim al-Nemr, Sejarah dan Dokumen-dokumen Syi’ah (T.tp.: Yayasan Alumni Timur Tengah, 1988), h.146
[16] Departemen Agama RI, Log,Cit, h.760
                        [17] Ayatullah Sayyid Muhammad Al Musawi, Madzab Syiah (Bandung: Mutahhari Pers, 2005), h. 94.
[18] Z.A. Syihab, Akidah Ahlus Sunnah Versi Salaf-Khalaf dan Posisi Asya’irah di Antara Keduanya, (Jakarta: Bumi Aksara,1998), hal. 62.
       [19] Siradjuddin Abbas, I’tiqad Ahlussunnah wal Jama’ah, (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 2006), hal. 122.
            [20] Z.A. Syihab, Op,Cit hal. 63.

                [22] Anwar ,Rosihon, Ilmu Kalam, Cet.II, Bandung:Pustaka Setia, 2003. Hal 60
                [23] Mulyono dan Bashori. Studi Ilmu Tauhid atau Kalam. hlm114
                        [24] Syari’ati, Log,Cit, h  67.
                [25] Dr. Abdul Rozak dan Drs . (Bandung : CV Pustaka Setia.2003), 93
                [26] Teungku Muhammad, Ilmu Fiqih. (Semarang : PT Pustaka Rizki Putra.1999)135
                [27] Huzaemah.  Perbandingan Madzhab.(Jakarta : Logos, 1997), 152
                [28] Allamah Syyid Muhammad Husein Thabbathaba’I, Inilah Islam, ( Bandung, Pustaka Hidayah, 1989, Cet pertama) h. 139
                        [29] Nazar Bakry. Fiqh dan Ushul Fiqh. hlm 114
                        [30] Ahmad Sahidin. Aliran-Aliran dalam Islam. hlm 21
                [31] Abu Zahrah, Tarikh al Madzahib al Islamiyah fi al Siyasah wa al Aqa’id, Sejarah Aliran-aliran dalam Islam; Bidang Politik dan Aqidah, alih bahasa: Drs. Shobahussurur. (Gontor, Ponorogo: Pusat Studi Ilmu dan Amal, 1991), h.45
                [32] ibid. h. 44
                        [33]  Syahri’ati, logcit . 148-149
                        [34] Ibid, h. 173.
                [35] Ibid, h.  175
                        [36] Abdorahim gavani, islamic revolution of iran, upsala university press. Sweden, 1988 hal 283

SHARE THIS POST   

  • Facebook
  • Twitter
  • Myspace
  • Google Buzz
  • Reddit
  • Stumnleupon
  • Delicious
  • Digg
  • Technorati
Author: Mohammad
Mohammad is the founder of STC Network which offers Web Services and Online Business Solutions to clients around the globe. Read More →

0 komentar: