Download this Blogger Template by Clicking Here!

PROFIL

https://web.facebook.com/irwan.a.lovers

Sabtu, 16 Januari 2016

Widgets

KONSTRUKSI PEMIKIRAN KONTEMPORER TENTANG SYARI’AH-FIQIH-HUKUM ISLAM





Abstract: Islamic terminology, according to contemporary Islamic studies, has led to serious confusion, if Sharia terminology studied in the narrow sense, and the proportion of study Law. Sharia is built in the classical period, even up to the contemporary period substantively unchanged, ie as the basis for determining the rules of Islamic legal norms from authentic sources (al-Quran and as-Sunnah). Norma managed Shariah law has symmetry relations with other Islamic values (ethics and theology), it's all equally reduced from the original sources of the Qur'an and the Sunnah, then externalized in action for religious entities. In this case, the Shariah, Fiqh and Islamic Law is located on the same ordinate point and not on the same precision, because each has been studied and developed by different professions and disciplines, them were the Ulama, Fuqaha, Qad}i and Legal Expert .
Keyword: fiqh, moral, law

Abstraks: Terminologi Syariah, menurut kajian Islam kontemporer, telah menimbulkan kerancuan serius, jika terminologi Syariah dikaji dalam pengertian sempit dan pada proporsi kajian Hukum. Syariah dibangun dalam periode klasik, bahkan hingga periode kontemporer secara substantif tidak mengalami perubahan, yaitu sebagai kaidah-kaidah dasar penentuan norma hukum Islam dari sumber otentik (al-Qur‟an dan as-Sunnah). Norma hukum yang dikelola Syari‟ah memiliki hubungan simetri dengan nilai-nilai Islam lain (etika dan teologi), itu semua sama-sama direduksi dari sumber orisinal al-Qur‟an dan as-Sunnah, selanjutnya untuk dieksternalisasikan dalam perbuatan entitas agama. Dalam hal ini, antara Syari‟ah, Fiqih dan Hukum Islam adalah berada pada titik ordinat serupa dan tidak pada presisi sama, karena masing-masing telah dikaji dan dikembangkan oleh profesi dan disiplin berbeda, mereka adalah para Ulama, Fuqaha, Qad}i dan Ahli Hukum.
Keyword: fiqh, moral, hukum

A.    Pendahuluan
Cendekiawan Muslim dari ahli hukum agama telah mengabdikan diri untuk menemukan kepastian dari arti, ruang lingkup sampai kepada problematika pengembangan Ilmu Syariah. Hukum sebagai cabang dari studi akademis atau sebagai produk dari wacana manusia tidak melebihi dari apa yang disebut disebut Fiqh (secara harfiah, pemahaman). Seorang spesialis bidang ahli hukum atau spesialis dalam bidang Fiqih adalah mereka yang merusaha mendalam dengan potensi pemikiran untuk memahami (Tafaqquh) bagaimana hokum terbentuk – dimana kukum berlaku – kepada siapa hokum diberlakukan – dan bagaimana menetapkan akibat hukum. Tujuan para ahli hukum adalah menentukan kekuatan melekat atau mengikat atas semua peristiwa – perbuatan dan akibat hukum – dan kepastian hukum tetap. Termasuk dalam ruang keahlian mereka adalah memahami seperangkat keadaan terhubung dengan waktu, tempat, identitas pelayan atau pelaksana hukum, dan status hukum dari tindakan tertentu. Menurut dasar-dasar Fiqih ada lima kategori utama untuk penilaian hukum dari tindakan yaitu: terlarang (haram), misalnya, menikahi bibi seseorang; tidak disukai tetapi diperbolehkan (makruh), misalnya, penolakan seorang suami terhadap istrinya tanpa sebab); moderat (mubah}), misalnya, kismis makan); dianjurkan tetapi tidak wajib (mustahab), misalnya, seorang pria yang menikah segera setelah ia mampu untuk melakukannya, dan keharusan (wajib), misalnya, mendukung orang tua seseorang, berpuasa di siang hari di bulan Ramadan).
Penilaian hukum lainnya yang khusus tidak berlaku bagi tindakan, seperti perilaku benar (sahīh}) dan perilaku tidak sah (bātil), tetapi berlaku untuk penetapan atau ketentuan dalam syarat sahnya kontrak-kontrak penjualan atau pernikahan. Hukum Islam juga merupakan sistem moral, dalam hal ini dimaksudkan untuk mempertahankan moralitas dan tidak pada persoalan keadilan (bila ditinjau sescara sosiologis). Hukum Islam diberlakukannya dengan mempertahankan tatanan sosial yang stabil, di mana lima nilai profan dalam masyarakat Muslim, pada kehidupan, pada penguasaan dan pengelolaan kekayaan atau properti, dan rasionalitas dilestarikan. Materi pemikiran demikian disebut demikian itu, menumbuhkan suatu pandangan baru tentang Syariah, dan sering dikonotasikan dengan terminologi Syariah Islamiah. Fiqih dan Hukum Islam memiliki ruang lingkup sebagaimana pada pemikiran tersebut dia tas, namun bagiaimana secara historis kedua terminology itu dapat dipertemukan dengan terminology Syariah Islamiah (Syariat Islam). Hal ini sangat perlu diskusi bertema pada ini kedudukan „Fiqih‟ atau „Hukum Islam‟ dalam Syariat Islam, seperti halnya terminologi “Bagaimana Kedudukan as-Sunnah terhadap al-Qur‟an.” Melalui penelitian dan kajian teoritis dalam naskah paper ini dimaksudkan untuk mencari jejak pertemuan ketiga konsep teoritis dimaksud, baik secara historis atau sosiologis sebagai pendekatan tematik atas persoalan pada pokok permasalahan ini.
B.     Pembahasan
1.      Terminologi Syariah
Syariah (Arab: شريعة ), undang-undang, Syari„ah juga إسلامي قانون (Qānūn Islami)[1] adalah kode moral dan hukum Islam. Syariah berkaitan dengan banyak topik dibanding yang dimuat oleh hukum sekuler, termasuk kejahatan, politik dan ekonomi, serta hal-hal pribadi seperti hubungan seksual, kebersihan, pola makan, ibadah, dan berpuasa. Meskipun interpretasi Syariah bervariasi diantara budaya, dalam definisi itu dinyatakan sebagai hukum Allah yang sempurna dan berbeda dengan interpretasi manusia tentang hukum (Fiqh). Syariah memiliki status resmi, dan ditafsirkan oleh Hakim Islam (Qad}i), berbagai tanggung jawab ada pada para pemimpin agama (Imam). Untuk persoalan yang tidak langsung disebut dalam sumber-sumber primer, penerapan Syariah diperluas melalui konsensus para Ulama disebut ijma‟. Para Ulama dan Fuqaha juga kadang-kadang menggabungkan analogi dari al-Quran dan as-Sunnah melalui model al-Qiyas, meskipun ahli hukum Syiah lebih memilih penalaran ('Aql) analogi.
Para ahli mengungkapkan kata Syariah sebagai kata Arab kuno yang menunjukkan jalan yang harus diikuti, atau bagian menuju lubang air.[2] Definisi yang terakhir berasal dari fakta bahwa jalan menuju air adalah seluruh cara hidup di lingkungan padang pasir gersang.[3]
Etimologi Syariah memiliki arti sebagai „jalan‟ berasal dari ayat al-Qur'an:
¢OèO y7»oYù=yèy_ 4n?tã 7pyèƒÎŽŸ° z`ÏiB ̍øBF{$# $yg÷èÎ7¨?$$sù Ÿwur ôìÎ7®Ks? uä!#uq÷dr& tûïÏ%©!$# Ÿw tbqßJn=ôètƒ
Kemudian kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak Mengetahui.

Abdul Mannan Omar dalam karyanya Dictionary of al-Qur'an, percaya bahwa "Jalan" yang diamaksud pada ayat ini berasal dari kata „Syara'a’ yang berarti "dia ditahbiskan". Bentuk lain juga muncul: „Syara'u’ dalam al-Qur‟an disebutkan :
÷Pr& óOßgs9 (#às¯»Ÿ2uŽà° (#qããuŽŸ° Oßgs9 z`ÏiB ÉúïÏe$!$# $tB öNs9 .bsŒù'tƒ ÏmÎ/ ª!$# 4 Ÿwöqs9ur èpyJÎ=Ÿ2 È@óÁxÿø9$# zÓÅÓà)s9 öNæhuZ÷t/ 3 ¨bÎ)ur šúüÏJÎ=»©à9$# öNßgs9 ë>#xtã ÒOŠÏ9r& ÇËÊÈ
Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. dan Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih.

dan „Syir'atun’ yang berarti "hukum rohani":
!$uZø9tRr&ur y7øs9Î) |=»tGÅ3ø9$# Èd,ysø9$$Î/ $]%Ïd|ÁãB $yJÏj9 šú÷üt/ Ïm÷ƒytƒ z`ÏB É=»tGÅ6ø9$# $·YÏJøygãBur Ïmøn=tã ( Nà6÷n$$sù OßgoY÷t/ !$yJÎ/ tAtRr& ª!$# ( Ÿwur ôìÎ6®Ks? öNèduä!#uq÷dr& $£Jtã x8uä!%y` z`ÏB Èd,ysø9$# 4 9e@ä3Ï9 $oYù=yèy_ öNä3ZÏB Zptã÷ŽÅ° %[`$yg÷YÏBur 4 öqs9ur uä!$x© ª!$# öNà6n=yèyfs9 Zp¨Bé& ZoyÏnºur `Å3»s9ur öNä.uqè=ö7uŠÏj9 Îû !$tB öNä38s?#uä ( (#qà)Î7tFó$$sù ÏNºuŽöyø9$# 4 n<Î) «!$# öNà6ãèÅ_ötB $YèÏJy_ Nä3ã¥Îm6t^ãŠsù $yJÎ/ óOçGYä. ÏmŠÏù tbqàÿÎ=tFøƒrB ÇÍÑÈ
Dan kami Telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang Telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang. sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang Telah kamu perselisihkan itu,

a.      Definisi dan Deskripsi

Syariah dalam definisi terbatas adalah hukum Ilahi seperti yang dinyatakan dalam al-Qur'an dan as-Sunnah. Dengan demikian, Syariah adalah berhubungan dan juga berbeda dengan Fiqih, yang disebut sebagai interpretasi hukum oleh manusia.[4] Banyak sarjana telah menunjukkan bahwa Syariah merupakan norma utama atau prinsip inti atau aturan yang disebut bersifat global (ijmali),[5] didefinisikan sebagai „seperangkat aturan‟.[6] Syariah ditandai sebagai pemahaman tentang agama (tafaqquh fi aldīn) perihal tugas-tugas Muslim, didasarkan pada kedua pendapat dari masyarakat Muslim dan literatur yang luas.[7] Hunt Janin dan Andre Kahlmeyer menyimpulkan bahwa Syariah adalah „lama, beragam, dan rumit.‟[8]
Dari abad ke-9, kekuatan untuk menafsirkan dan memperbaiki hukum di masyarakat Islam tradisional ada di tangan para ulama (fuqaha), ini berfungsi pemisahan kekuasaan untuk membatasi berbagai tindakan yang ada oleh penguasa, dengan keputusan atau penafsiran hukum secara independen dan mengharapkan dukungan dari masyarakat.[9] Melalui keberhasilan berabad-abad dan keberadaan kesultanan, keseimbangan antara Ulama dan penguasa bergeser dan direformasi, tetapi keseimbangan kekuasaan tidak pernah berubah tegas.[10]
Pada awal abad kesembilan belas, Revolusi Industri dan Revolusi Perancis memperkenalkan sebuah era hegemoni dunia Eropa yang meliputi dominasi sebagian besar wilayah Islam.[11] Pada akhir Perang Dunia Kedua, kekuatan Eropa menemukan diri mereka terlalu lemah untuk mempertahankan kerajaan mereka.[12] Berbagai macam bentuk pemerintahan, sistem hukum, sikap terhadap modernitas dan interpretasi Syariah adalah hasil dari mesin penggerak berikutnya untuk kemerdekaan dan modernitas di dunia Muslim.[13]
b.      Sumber Syariah Islam
Ada dua sumber Syariah (dipahami sebagai Hukum Ilahi); al- Qur'an dan as-Sunnah. Menurut Muslim, al-Qur'an adalah firman Allah yang tidak dapat diubah, sebagian besar aturan-aturan nilainilai moral dalam al-Qur'an yang mengharuskan umat Islam untuk mengikuti adalah masih Ijmali, hanya 80 ayat al-Qur'an mengandung konsep Hukum.[14] As-Sunnah adalah kehidupan dan contoh dari Nabi Muhammad (saw), pentingnya as-Sunnah merupakan sumber Syariah, seperti ditegaskan oleh beberapa ayat dari al-Qur'an misalnya (al-Quran 33:21).
ôs)©9 tb%x. öNä3s9 Îû ÉAqßu «!$# îouqóé& ×puZ|¡ym `yJÏj9 tb%x. (#qã_ötƒ ©!$# tPöquø9$#ur tÅzFy$# tx.sŒur ©!$# #ZŽÏVx. ÇËÊÈ
Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.

As-Sunnah terutama terkandung dalam hadits atau periwayatan berisi sabda Nabi Muhammad (saw), tindakan diamdiamnya sebagai sikap persetujuannya. Sementara hanya ada satu al-Quran, ada kompilasi banyak hadis dengan menyusun sistem kompilasi yang paling otentik atau „sahih}‟ selama periode 850-915 Masehi. Enam diakui oleh Sunni sebagai koleksi yang disusun oleh Muhammad al-Bukhari, Muslim bin al-Hajjaj, Abu Dawud, Tirmidzi, Al-Nasa'i, Ibnu Majah (sesuai urutan periodisasi). Koleksi oleh al-Bukhari dan Muslim dianggap paling otentik, masing-masing mengandung sekitar 7.000 hingga 12.000 hadis, meskipun sebagian besar berupa deretan pengulangan. Hadis telah dievaluasi pada keasliannya, dan biasanya dengan menentukan ke-„adalahan (kapabilitas dan kredibilitas) perawi yang disilsilahkan mereka.[15] Sedang bagi Syiah, as-Sunnah juga termasuk bersumber dari dua belas Imam.[16]
Proses menafsirkan dua sumber utama Syariah disebut fiqh (secara harfiah berarti kecerdasan) atau hukum Islam. Sementara dua sumber di atas dianggap sebagai yang lengkap, dan standar Fiqh dapat berubah dalam konteks yang berbeda. Fiqh mencakup semua aspek hukum, termasuk agama, hukum perdata, politik, konstitusi dan prosedur hukum.[17] Syariah berdasar kepada dua sumber, sedang Fiqih tergantung pada 4 sumber :
a.       Interpretasi al-Qur'an
b.      Interpretasi as-Sunnah
c.       Ijma, konsensus di antara ulama (penalaran kolektif)
d.      Qiyas (ijtihad) analogi determinan (penalaran individual)
Di antara sumber-sumber yang unik untuk fiqh, yaitu ijma' dan qiyas (Ijtihad), dalam yurisprudensi Syiah sumber keempat dapat diperluas untuk mencakup logika formal (mantiq).[18] Secara historis Fiqh juga datang termasuk untuk perbandingan hukum,[19] adat istiadat setempat („Urf),[20] dan hukum yang dimotivasi oleh kepentingan umum, selama mereka dibenarkan oleh empat sumber di atas.[21] Karena keterlibatan interpretasi manusia, Fiqh dianggap kurang sempurna, dengan demikian bukan merupakan bagian dari Syariah, meskipun ulama mengkategorikan sebagai hukum Islam.[22]
Ada lima mazhab pemikiran Fiqh, semua didirikan dalam empat abad pertama Islam, empat di antaranya adalah disebut mazhab Sunni yaitu; Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali; dan satu Syiah terdiri dari Ja'fariah dan diikuti oleh kebanyakan Muslim Syiah.[23] Banyak ulama Islam saat ini menganjurkan pendekatan baru untuk Fiqih, dengan tidak harus mengikuti lima mazhab tradisional.[24] Gerakan Salafi menarik pengikut dari berbagai mazhab Fiqh, dan didasarkan pada al-Quran, as-Sunnah dan perilaku atau ucapan dari tiga generasi pertama umat Islam.[25]
c. Negara-negara dengan Pelaksanaan Syariah
Reintroduksi Syariah adalah tujuan lama bagi gerakan Islam di negara-negara Muslim, meskipun upaya untuk menegakkan Syariah telah disertai dengan berbagai kontroversi, kekerasan, dan bahkan peperangan beberapa negera seperti pada Sudan dengan Perang Sipil. Beberapa di Afrika Utara dan negara-negara lain di Asia hanya mempertahankan pengakuan kelembagaan Syariah, dan mempertahankannya untuk mengadili dalam urusan masyarakat muslim. Di negara-negara Barat di mana imigran Muslim yang datang lebih kemudian sebagai minirotas, telah memperkenalkan Syariah tentang hukum keluarga untuk digunakan dalam perselisihan mereka sendiri, seperti Pengadilan Arbitrase Muslim Inggris. Negara-negara Muslim seperti Mali, Kazakhstan dan Turki, berada di bawah tekanan dari partai politik agama, telah menyatakan diri untuk menjadi sekuler. Di sini, campur tangan agama dalam urusan negara, hukum dan politik adalah dilarang.
Di negara-negara muslim sekuler serta negara Barat, peran Syariah terbatas pada hal-hal pribadi dan keluarga. Negara-negara Muslim, termasuk Pakistan, Indonesia, Afghanistan, Mesir, Nigeria, Sudan, Maroko dan Malaysia memiliki sistem hukum sangat dipengaruhi oleh Syariah, tetapi juga menyerahkan wewenang tertinggi konstitusi dan aturan hukum kepada negara. Arab Saudi dan beberapa negara Teluk tidak memiliki konstitusi atau legislatif, Penguasa mereka memiliki kewenangan terbatas untuk mengubah undang-undang, karena mereka didasarkan pada Syariah seperti yang ditafsirkan oleh Ulama mereka. Iran dengan beberapa karakteristik, adalah negara yang memiliki legislasi parlemen, tetapi juga konsisten dengan cara yang disebut oleh Syariah.
2.      Fiqh = فقه (Yurisprudensi Islam)
Fiqh (Arab: فقه = fiqh) adalah hukum Islam, dan Fiqh merupakan perluasan dari kode etik (Syariah) diuraikan dalam al- Quran, dilengkapi oleh as-Sunnah dan dilaksanakan oleh aturan dan interpretasi dari para Fuqaha Islam. Fiqh berkaitan dengan ketaatan beribadah, moral dan aturan-aturan sosial dalam Islam. Ada empat mazhab terkemuka (mazhab fiqh) dalam praktek yaitu; mazhab Sunni dan dua dalam praktek mazhab Syiah, sedang seseorang yang mengkaji dan memahami dalam bidang Fiqh disebut sebagai Faqīh (jamak Fuqaha).[26]
a.       Etimologi – Deskripsi Definisi
Kata Arab فقه = fiqh adalah istilah bahasa Arab yang berarti "pemahaman yang mendalam" atau "pemahaman penuh". Secara teknis mengacu pada institusi hukum Islam diambil dari sumbersumber Islam berdasar perincian (yang dipelajari dalam prinsipprinsip hukum Islam Tafsili), dan proses memperoleh pengetahuan tentang Islam melalui yurisprudensi. Ibn Khaldun mendefinisikan Fiqh sebagai "pengetahuan tentang aturan Allah menyangkut tindakan orang-orang yang memiliki dirinya terikat untuk mematuhi hukum, dan menghormati apa yang diharuskan (wajīb), dilarang (harām), diperbolehkan (mandūb), ditolak (makrūh) atau netral (mubāh})", definisi ini konsisten di kalangan para Fuqaha. Dalam bahasa Arab standar modern, „Fiqh’ berarti „Yurisprudensi’ secara umum, baik itu Islam atau sekuler. Dengan demikian memungkinkan berbicara tentang Hakim Agung John G. Roberts, Jr dari Amerika Serikat dapat dijuluki sebagai ahli dalam fiqh atau hukum umum, atau sebaliknya Sultan Farouk adalah sebagai ahli dalam fiqh atau Hukum Perdata Mesir.
Al-Qur'an memberikan instruksi yang jelas pada banyak isu, seperti bagaimana melakukan bersuci dalam ibadah (bahasa Arab: wudu) sebelum shalat wajib, tetapi pada isu-isu lain, beberapa Muslim percaya al-Qur'an saja tidak cukup untuk membuat halhal dalam praktek itu menjadi yang jelas. Misalnya al-Quran menyatakan salah satu kebutuhan untuk terlibat dalam salat sehari-hari dan puasa (bahasa Arab: s}aum) selama bulan Ramadhan, tetapi beberapa Muslim percaya bahwa mereka membutuhkan petunjuk lebih lanjut tentang cara untuk menjalankan kewajiban-kewajiban seperti itu. Rincian tentang masalah ini dapat ditemukan dalam tradisi Nabi Muhammad (saw) disebut as-Sunnah, sehingga al-Qur'an dan as-Sunnah dalam kebanyakan kasus dasar merupakan dasar perwujudan Syariah.
Dengan memperhatikan beberapa topik al-Qur'an dan as- Sunnah, pada banyak kasus- para Fuqaha mencoba untuk sampai pada kesimpulan dengan analogi lain, yaitu menggunakan istilah Fuqaha Sunni dengan sebutan sumber „Hukum Qiyas‟, dan konsensus masyarakat disebut „Ijma Ulama‟. Kesimpulan dapat diwujudkan dengan bantuan alat-alat tambahan sebagai sistem memiliki keududukan yang lebih luas, daripada berdiri di atas hukum Syariah dan disebut fiqh. Dengan demikian, berbeda dengan Syariah, Fiqh tidak dianggap suci termasuk aliran-aliran pemikiran mazhab, sehingga memiliki perbedaan pandangan tentang Fiqih yang „Tafsili’ (di mana Fiqih berkarakter pada isu-isu berdasar furū’), tanpa melihat kesimpulan lain yang salah.
Pembagian interpretasi dalam isu-isu yang lebih rinci telah mengakibatkan perberbedaan pemikiran oleh mazahab. Oleh karena itu, konsep ini mengandung cakupan lebih luas dari Fiqih yang bersumber berbagai undang-undang, disamping topik yang berbeda pada pengaturan umat Islam dalam segala aspek kehidupan sehari-hari.
b.       Ruang Lingkup Fiqih = Yurisprodensi Islam
Fiqih meliputi dua bidang utama: yaitu aturan kaitannya dengan tindakan, dan aturan kaitannya dengan perbuatan sekitarnya.
1.      Fiqh juga dapat dikelompokkan sebagai:
a)      Ibadah (ubu>diah)
b)      Hubungan dan transaksi pengelolaan aset ekonomi (mua'malat)
2.      Aturan dalam kaitannya dengan tindakan ('amaliyyah) terdiri dari:

a)      Kewajiban (fard})
b)      Dianjurkan (mustah}ab)
c)      Kebolehan (mubāh})
d)     Dihindarkan (makrūh)
e)      Larangan (h}arām)
3.      Aturan dalam kaitannya dengan situasi (wad}’iyyah) terdiri dari:
a)      Pra-kondisi (syart)
b)      Penyebab (sabab)
c)      Pencegahan - larangan (māni’)
d)     Dispensasi, pasti (rukhs}ah, azīmah)
e)      Legalitas = pengesahan - gugur - tidak valid (s}ah}i>h}, fāsid, bāt}il)
f)       Ketentuan waktu - penundaan - pengulangan (adā, qad}ā, i'ādah)
4.  Bidang Yurisprudensi Islam terdiri;
a)      Yurisprudensi Islam tentang ekonomi (  فقه المعاملات)
b)      Yurisprudensi Islam tentang politik ( ( فقه السياسة
c)      Yurisprudensi Islam tentang perkawinan
d)     Yurisprudensi Islam tentang pidana ( ( فقه العقوبات
e)      Yurisprudensi Islam tentang etika-peradaban ( ( الآداب
f)       Yurisprudensi Islam tentang teologis
g)      Yurisprudensi Islam tentang kesehatan dan kebersihan
h)      Yurisprudensi Islam tentang militer ( ( الجهاد
Model pengelolaan Fiqih dengan segala aturannya, oleh Fuqaha dikenalkan suatu model „Tafaqquh‟ sebagai Us}u>l al-Fiqh (pembentukan prinsip hukum), menggunakan pola-pola pendekatan yang berbeda dengan metodologi yang digunakan dalam Fiqh untuk memperoleh ajaran-ajaran Syariah dari sumber-sumber Islam. Metodologi utama telah dibangun dan dikembangkan oleh para mazhab klasik : keempat dari aliran Sunni dalam urutan kronologis, mazhab Hanafi, mazhab Maliki, mazhab Syafi'i dan mazhab Hanbali, mereka mewakili otoritas Sunni untuk hukum Islam yang berlaku umum. Sedang Fiqh Syiah, terdiri dari mazhab-mazhab Ja‟fariah dan aliran kecil lainnya di antaranya; Zaidiah, Zahiriah, Sufyan al-Sauri, Sufyan bin Uyainah, al-Laits bin Sa'ad, di samping aliran mazhab tafsir seperti; al-Tabari dan al-Qurtubi.
Empat aliran fiqih (Mazhab Fiqih) masing-masing diberi sebutan oleh ahli Hukum Islam Modern dengan identitas Muslim Sunni klasik yang mengajarkan Fiqih tradisonal. Pusat-pusat pendidikan telah dibangun untuk diajarkan masing mazhab, dan ditemukan di beberapa negara dan kelompok masyarakat adalah;
a.       Mazhab Hanafi (Irak, Turki, Balkan, Asia Tengah, anak benua India, Iran, Pakistan, Afghanistan, Yordania, Cina, dan Mesir)
b.      Mazhab Maliki (Afrika Utara, wilayah Muslim Afrika Barat, Kuwait, Uni Emirat Arab dan Bahrain)
c.       Mazhab Syafi'i (Yaman, Somalia, Djibouti, Eritrea, Ethiopia, Iran Selatan, Muslim Asia Tenggara, Yordania, Mesir, Swahili Coast, Maladewa, dan bagian selatan India)
d.      Mazhab Hanbali (Arab Saudi dan Qatar).
Keempat mazhab sebagian dari pendapat mazhab mereka terdapat kesamaam, tetapi berbeda pada penentuan otentifikasi hadis-hadis tertentu, mereka menerima sebagai otentik dan memiliki kualitas tidak kuat, sedang pada mazhab lainnya mereka menekankan kepada analogi atau alasan (Qiyas) dalam mengambil keputusan.
e.       Fiqih (Yurisprudensi Islam) Ja'fariah.
Mazhab Ja'fariah (Iran, Irak, Azerbaijan, Lebanon, Afganistan, Bahrain, India dan Arab Saudi) dikaitkan dengan Imam Jafar as-Sadiq. Fatwa atau putusan terikat ruang dan waktu dari ahli hukum sejak awal telah ditetapkan pada mazhab Ja‟fariah, karena Syiah memberlakukan struktur lebih hirarkis dalam Islam atas dasar perintah para Imam. Tapi mereka juga lebih fleksibel, setiap Fuqaha (ahli hukum) memiliki kekuatan yang cukup untuk mengubah keputusan sesuai dengan pendapat mereka. Mazhab Ja‟fariah menggunakan 'aql "kecerdasan" bukan Qiyas sebagaimana padadi mazhab Sunni saat membangunan Mazhab Fiqih.
f.       Fiqih (Yurisprudensi Islam) Ismailiyah Fatimiah.
Al-Islam adalah buku tentang aturan Islam yang diikuti oleh Muslim Ismailiah Fatimiah yang mematuhi fiqh Syiah Ismaili Fatimiyah. Ini menggambarkan sopan santun dan etika, termasuk Ibadat secara terbuka berupa panduan yang diberikan oleh Imam Ismaili. Buku ini menekankan apa yang penting dalam Islam, dan telah diberikan materi pelajaran sopan santun dan etika untuk beribadah kepada Allah, Syiah Ismailiyah Fatimiyah dalam aliran pemikiran mereka mengutip tradisi dari empat pertama Imam.
c.       Argumen terhadap Reformasi Fiqih Imam Mazhab (Yurisprodensi Islam)
Setiap mazhab mencerminkan keunikan „al-urf’ atau budaya, suatu praktek budaya yang dipengaruhi oleh tradisi, bahwa Fuqaha klasik sendiri tinggal dan berada pada suatu tempat dan tradisi ketika pendapat (Qaul Ulama al-Mazhab) Fiqih dibentuk. Beberapa menyarankan bahwa pemeliharaan „isna>d‟ (mata rantai periwayatan), yang dikembangkan untuk memvalidasi hadis membuatnya relatif mudah untuk merekam dan memvalidasi aturan dari Imam mazhab. Pada gilirannya, membuat mereka jauh lebih mudah untuk meniru (taqlid) daripada menyusun tantangan dalam konteks baru. Hal ini menjadi argumen yang menyatakan mazhab-mazhab telah beku selama berabad-abad, dan mencerminkan tidak adanya budaya „Tafaqquh‟ kecuali yang hanya apa yang sudah ada dari Taqli>d. Ulama tradisional meyakini bahwa agama yang ditentukan melalui Syariah adalah untuk mengatur perilaku manusia dan mempersubur sisi moral masyarakat, karena sifat manusia tidak berubah secara mendasar sejak awal Islam, sedang dorongan untuk memodernisasi agama pada dasarnya adalah salah satu untuk mendudukan semua hukum dan institusi.
Syariah secara orisinal memiliki karakter yang jauh lebih fleksibel, beberapa sarjana Muslim modern percaya bahwa itu harus diperbaharui, sehingga para ahli hukum klasik harus kehilangan status khusus mereka sebagai pembangun mazhab. Jika ini sebagai usaha penyusunan pembaharuan, maka akan memerlukan rumusan fiqh baru yang cocok untuk dunia modern, seperti diusulkan oleh para pendukung dari Islamisasi pengetahuan, yang akan berusaha menyusun sinkronisasi dengan konteks modern. Modernisasi ini ditentang oleh ulama paling konservatif, Ulama tradisional percaya bahwa Syariah dan sebagian Fiqih (Yurisprudensi Islam) yang kontekstual dan menganggap keadaan seperti; waktu, tempat dan budaya, prinsip-prinsip bersifat universal yang mereka jadikan dasar seperti keadilan, kesetaraan dan rasa hormat, memiliki hubungan kandungan bersifat kontekstual. Kesmipulannya bahwa meski Cendekiawan Muslim banyak menghendaki perubahan mazhab - dan mau didirikan mazhab apa - dapat diajukan pendapat bahwa meskipun teknologi mungkin telah maju, dimana dasar-dasar kehidupan manusia adalah substantif dengan apa yang disebutkan dalam sumber primer Syariah dan Fiqih, meskipin belum disebutkan secara eksplisit, harus disusun dalam lingkup undang-undang saat ini.
d.      Pertemuan Hubungan dengan Hukum Barat
Periode formatif Yurisprodensi Islam merujuk kembali kepada waktu awal masyarakat Muslim, dalam periode ini, para Fuqaha lebih peduli dengan masalah kewenangan dan pengajaran dibandingkan dengan teori dan metodologi.[27] Kemajuan dalam teori dan metodologi terjadi dengan kedatangan para Mujtahid dari kalangan Tabi‟in, juga dimotori oleh seorang Fuqaha Muhammad ibn Idris asy-Syafi`i (767-820 Masehi), yang mengkodifikasi prinsip-prinsip dasar hukum Islam dalam kitabnya al-Risalah. Kitab ini membangun uraian empat akar hukum (al-Qur'an, Sunnah, ijma, dan qiyas), dengan memutuskan dan menetapkan bahwa teks-teks Islam primer (Al-Quran dan as- Sunnah) harus dipahami menurut aturan tujuan dari penafsiran yang berasal dari penelitian ilmiah berdasar kekuatan Bahasa Arab (penelitian dan penafsiran atas dasar hermeneutika).[28]
Sumber sekunder aturan dan kaidah-kaidah hukum dikembangkan dan disempurnakan selama berabad-abad berikutnya, terutama terdiri dari preferensi hukum (istihsan), hukum para Nabi sebelum syariat Islam (syar’u man qablana), kontinuitas (istishab), analogi kemaslahatan (Maslahah al-Mursalah), mencegah dan menurunkan kerugian (Syad al-Zarī'ah), adat istiadat (al-‘Urf) dan pendapat Sahabah (al-Aqwāl al-Sahābi).[29] Sejumlah lembaga hukum utama yang dikembangkan oleh para Fuqaha, selama periode Islam klasik, yang dikenal sebagai zaman keemasan Islam, salah satu lembaga tersebut adalah Hawala, transfer sistem nilai informal, yang disebutkan dalam teks-teks Fiqih pada awal abad ke-8. Hawala sendiri kemudian mempengaruhi perkembangan institusi (lembaga) dalam hukum umum dan hukum civil seperti „Aval’ dalam hukum Perancis dan „Avallo’ dalam hukum Italia.[30] European commenda (dalam Islam Qirdal-Hasan) yang digunakan dalam hukum perdata Eropa adalah juga berasal dari hukum Islam.[31]
Waqf dalam Islam, yang dikembangkan selama abad 7-9 Masehi, memiliki kemiripan inti bagi Hukum Amanah (bahasa Inggri : Trust).[32] Sebagai contoh, setiap Wakaf diharuskan memiliki Waqif (pemberi wakaf), mutawilli (penerima amanat) , Qadli (hakim) dan penerima manfaat (Nazir).[33] Hukum Amanah yang dikembangkan di Inggris pada saat Perang Salib, selama abad 12 dan 13, diperkenalkan oleh Tentara Salib yang mungkin telah dipengaruhi oleh lembaga Waqf yang mereka peroleh di Jazirah Arab (Tengah Timur).[34]
Al-Lafif dalam sistem Islam adalah Badan/ Lembaga beranggota dua belas yang diambil dari daerah sekitar dan bersumpah untuk mengatakan kebenaran, yang terikat untuk memberikan keputusan bulat tentang hal-hal yang mereka secara pribadi melihat atau mendengar, mengikat pada hakim untuk menyelesaikan kebenaran tentang fakta dalam kasus, antara orang-orang biasa, dan diperoleh sebagai hak oleh penggugat. Satu Karakteristik‟ Juri di Inggris dan di Islam disebut Lafif, kekurangan adalah hukum tertulis mengarahkan Juri yang akan dipanggil dan mengarahkan jurusita untuk mendengar pengakuan. Menurut Profesor John Makdisi, tidak ada lembaga lain di berbagai institusi hukum dipelajari saat ini memberi sumbangan semua karakteristik ini dengan Juri di Inggris.
Dengan demikian kemungkinan bahwa konsep Lafif mungkin telah diperkenalkan ke Inggris oleh Normandia, yang menaklukkan Inggris baik dan Dinasti Sisilia, dan kemudian berkembang menjadi Juri di Inggris modern.[35] Beberapa pemikiran lainnya mendasarkan kepada lembaga hukum umum dan mungkin telah diadaptasi dari lembaga hukum yang sama dalam hukum Islam dan Yurisprudensi Islam, yang diperkenalkan ke Inggris oleh Normandia setelah penaklukan Inggris dan Dinasti Sisilia oleh tentara Salib selama Perang Salib. Secara khusus, Kerajaan Inggris mengatur bahwa „hutang‟ harus dilindungi berdasar kontrak, sementara dalam Islam dikenal dengan sebutan „al-Aqad’. Di Inggris apa yang disebut assize of novel disseisin diidentifikasi sama dengan istilah Islam al-Istih}qa>q, dan para Juri bahasa Inggris diidentifikasi dengan Lafif al-Islam. Lembaga hukum di Inggris seperti metode skolastik, sebagi lembaga pemberi lisensi untuk mengajar hukum, yang dikenal sebagai sekolah hukum Inns of Court di Inggris dan „Madrasah‟ dalam Islam", dan juga istilah Commenda Eropa dalam Islam „Qirad al-Hasan‟ mungkin juga berasal dari hukum Islam.[36] Preseden metodologi hukum dan penalaran dengan analogi „Qiyas‟ juga sama pada kedua sistem hukum Islam dan umum. Pengaruh ini telah menyebabkan beberapa sarjana menunjukkan bahwa hu[37]kum Islam mungkin telah meletakkan fondasi untuk common law sebagai suatu keseluruhan yang terintegrasi.[38]
3.  Hukum Islam - Islamic Law
Hukum Islam adalah hukum dan berada dalam konteks agama, merupakan salah satu wilayah yang paling menarik dari kajian Islam. Banyak praktisi Islam percaya bahwa hidup mereka harus diatur oleh bentuk yang diwahyukan oleh Allah dan sanksi hukum yang mempengaruhi setiap aspek dari rutinitas sehari-hari mereka. Jadi, apakah itu suatu tindakan religius seperti salat, praktek adat seperti perkawinan, atau kegiatan komersial seperti perdagangan, semua kegiatan ditentukan oleh kebenaran hukum mereka dalam hukum Islam.
Hukum Islam telah berkembang selama berabad-abad menjadi usaha hukum, realitas kompleks yang tidak terlihat, dan sangat maju. Dengan demikian, hukum Islam, seperti yang lain, memiliki produk sumber (al-mas}ādir), tetapi juga memiliki produk turunan berupa prinsip (al-us}u>l) yang menentukan sifat pembuktinya (al-adillah); itu sama mengupayakan penggunaan 'hukum maksim' (al-qawā'id) dan memanfaatkan sejumlah aspek yang mendasari 'tujuan' (al-maqās}id) untuk mendukung struktur teori hukumnya. Islam kadang-kadang digambarkan sebagai teologi dalam bentuk hukum. Ini berarti beberapa hal; 1) bahwa kewajiban individu adalah ibadah kepada Allah dan pengabdian kepada manusia; 2) bahwa kebenaran yang terungkap ada di dalam al- Qur`an adalah mutlak dan mengatur serangkaian amal perilaku bagi individu sebagai bentuk kewajiban; 3) etika, moralitas, dan hukum terdiferensiasi. Ada implikasi yang lebih luas: Misalnya, bahwa itu adalah tugas dari penguasa pemerintah untuk melaksanakan Syari'ah (hukum) dalam arti yang luas, dan wahyu akhirnya berwujud bentuk sebagai otoritas tertinggi dari lainnya dan harus didahulukan daripada apapun konstitusi yang berlaku. Ini adalah persoalan internal 'klasik' yang berposisi dan dikembangkan selama 1400 tahun terakhir dengan cara yang kompleks melalui yurisprudensi yang canggih.
Yurisprudensi belum dikembangkan dengan cara yang berimplikasi atau melalui cara kodifikasi tetapi dengan cara swadiri. Tindakan ini sama paralel dengan Tradisi Eropa adalah hukum „Canon’ pada saat Aquinas. Seperti hukum skolastik Islam mulai dari prinsip wahyu yang terkandung dalam teks, dimana pada awalnya diterima secara lisan tetapi kemudian ditulis sebagai wahyu al-Qur‟an. Ini adalah masalah perdebatan apakah komentar ilmiah mengembangkan 'hukum alam' (seperti yang terjadi di Eropa), atau apakah keutamaan wahyu membuat pengertian hanya dalam dirinya sendiri, sehingga mengakibatkan suatu produk hukum yang simpel dari diri wahyu itu sendiri dan hanya untuk menghadapi persoalan diskursus internal wahyu saja.
Apa pun mungkin jawabannya – dan perdebatan pun terus berlanjut – bahwa seluruh pembahasan dalam kajian Syari'ah mengasumsikan pembentukan umat statis, hal mana perbedaan sosial, bahasa dan budaya dapat digolongkan sebagai tanggung jawab ibadah individu dan sosial kepada Allah. Meskipun hal ini sangat ideal dan kenyataan praktis yang ada pada tradisi klasik, selalu digugat oleh sekularis yang berafiliasi pada rasionalis modern. Namun perlu dimengerti bahwa setiap pemerintahan Islam sepanjang sejarah telah mengambil ini sebagai yang diberikan dan diupayakan. Berbeda dengan pengikut sekuler yang berlaku sebaliknya mencoba untuk membenarkan dirinya dalam istilah yang diberikan oleh mereka sendiri. Apabila sekularis menempuh jalan demikian, tentu berbalik dari dalil bahwa alam yang melekat dalam hukum adalah tergantung pada teks wahyu al-Qur'an, dan melalui as-Sunnah sebagai praktek spiritualitas yang terinspirasi dari Nabi Muhammad, di samping konsensus yang diakui ahli hukum sebagai ijma>'. Ini adalah segala jalan harus dilalui melewati kedua teks klasik (al-Qur‟an dan as-Sunnah), mengmabil jalan dari petunjuk kedua sumber itu merupakan hal pasti. Namun, ada jalan lain untuk mengetahui ialah ijtihad, sebuah jalan untuk menelusuri (Tafaqquh) informasi al-Qur`an dan as-Sunnah, meski sebenarnya Ijtihad tidak selalu berarti menolak apa yang disebut dalam teks wahyu, dan jelas tidak memberi mereka keutamaan dalam wilayah tradisional. Batasbatas ijtihad, tentu saja, selalu diperdebatkan, seperti dua monoteisme lainnya (Yahudi dan Kristen), tidak akan pernah melahirkan kesimpulan untuk perdebatan itu, ini adalah situasi dan merupakan posisi yang diterima dalam Teori hukum Islam.
a.      Ijtihad dan Gerakan Reformasi
Seperti yang tergamabar pada bagian tersebut di atas, hukum Islam berkembang dalam lingkungan tersendiri pada jaringan kultural para Fuqaha, sedang para ahli hukum Islam merancang dengan mengawali berbagai macam kerangka untuk menanggapi tantangan hukum dari mereka sendiri, serta dari situasi hukum yang dibentuk para ahli Yurisprudensi Islam klasik dan para ahli hukum moderen. Beberapa sarjana Muslim kontemporer berpendapat bahwa ada kebutuhan untuk mengartikulasikan kegelisahan dan kegalauan apa yang dihadapi para Hakim, apakah itu ada di kawasan negara dengan deklarasi Syariah sebagai dasar penyelenggaran hukum negara. Hal sama juga dialami oleh para Hakim di negara muslim sekuler dan negara mayoritas muslim sebagai „kekhawatiran dan isu-isu kontemporer‟. Jika inikenyataan dini hari dari keseluruhan zaman yang ada, maka bagaimana kekuatan sekarang untuk memahami, mengartikulasi dan mengaktualisasi kedua sumber teks agama.
Tentu jalan utama yang ditempuh dan tetap harus dilalui adalah mengambil spiritualitas dalam kedua sumber agama sebagaimana yang telah dilalui oleh para Fuqaha dan Hakimhakim Islam (para Qadi) masa klasik, masa pertengahan Islam, sebagai upaya pemeliharaan kesinambungan ajaran terkandung dalam kedua sumber agama itu dari keterpusan peristiwa zaman. Pemeliharaan ini, dengan mengasumsikan bahwa tidak ada interpretasi yang sah secara tunggal tentang kandungan al-Qur'an atau Hadis. Ini adalah dalam rangka tetap membangun “Yurisprudensi Islam”, dan menumbuhkan sikap kearifan para Hakim Islam dan Ahli Hukum tradisional membangun reformasi Hukum Islam untuk pemahaman kontekstualisasi dan periodisasi  Yurisprudensi Islam dalam formasi „Hukum Islam Kontemporer‟, sekaligus peran ijtihad dalam memproses reformasi Hukum Islam yang harus dijalankan. Ijtihad adalah proses generatif yang mencoba untuk ekstrapolasi perintah yuridis dari penyataan disebut dalam sumber-sumber orisinal Islam, dan ini selaras dengan terminologi “reformasi Hukum Islam”. Lebih khusus lagi, hal ini dilihat dari sisi seorang ahli hukum, sebagai pengerahan tenaga fakultatif mental untuk sampai pada bukti mutlak didasarkan pada interpretasi dan penerapan Sumber otoritatif Hukum Islam; al- Qur'an, as-Sunnah, dan ijma' (konsensus para Ulama) atau Qiyas. Tujuan dari perluasan Ijtihad adalah untuk sampai pada perintah hukum yang mencerminkan kehendak Syari‟ (Pembentuk Syariah).
Meski banyak Cendekiawan Muslim yang berpendapat perlunya untuk ijtihad baru di zaman sekarang, perlu disadari bahwa Ijtihad para Ahli Hukum dan Hakim kontemporer tidak selalu lepas dari sumber orisinal Agama dan Syariah, serta konsensus Fuqaha. Karena ini tidak lebih dari arus kelanjutan dari proses generatif peristiwa hukum yang terjadi pada setiap zaman, dan diskursus Ijtihad Kontemporer justru menanggung sebagai keharusan berupa keberhasilan “memutus persoalan dan peristiwa” yang menjadi perhatian dan kekhawatiran pada zamannya di era sekarang.
Pada era Ijtihad kontemporer dapat disarankan tidak ada keterlibatan dalam jebakan moderenitas yang berusaha mengesampingkan secara halus atas peristiwa dan kekhawatiran hukum yang realitasnya terjadi pada setiap zaman. Diskurusus Ijtihad kontemporer justru tetap mendominasi atas keberhasilan terbentuknya tatanan hukum yang bebas dari keterputusan ketentuan Hukum yang disebut secara periodeik dari periode klasik, dengan memperlihatkan daya tempuh yang panjang atas peristiwa kukum dan ketetapannya yang dibuat oleh para Fuqaha dan Hakim Islam (Qad}i) sejak masa klasik. Hal ini perlu dimengerti bahwa tindakan dalam Ijtihad Kontemporer merupakan arus transformasi alami atas peristiwa generatif yang diturunkan dari al-Qur‟an dan as-Sunnah kepada penganutnya.
Berawal dari segala aturan teologis (I’tiqādi) dan kode-kode etika disebut dalam isu-isu Syariah meunuju Fiqih (Yurisprudensi Islam), dan selanjutnya berproses secara generatif menuju aturan disebut sebagai al-Qanun Islami (Yurisprudensi Hukum Islam). Dalam peristiwa berproses secara generatif, isu-isu kontemporer yang diahadapi dan dikhawatirkan dalam arus penetapan hukum oleh para ahli Hukum Islam dan Hakim (Qaḍi), dalam upaya mereka mengembalikan kepada Syariah adalah menyerap makna-makna spiritual isu-isu kontemporer itu kepada pararelisme dan sinkronisasi melalui peristiwa Ijtidad pemahaman kedua teks Islam (al-Qur‟an-As-Sunnah), atau Yurispudensi yang disusun Fuqaha dan Hakim Islam sebagai konsensus. Tindakan ini adalah sebagai jalan Ijtihad yang telah dilalui oleh para Hakim di negara-negara di dunia tanpa kecuali, dimana para Hakim dan ahli Hukum selalu mendasarkan keputusan kepada hierarki sumber Hukum yang legalitasnya oleh negara, sampai kepada Yurisprudensi dan kompilasi meskipun peristiwa hukum itu menjadi isu-isu kontemporer yang sedang dialami oleh Ahli Hukum dan Hakim, yang mana ini semua merupakan realitas peristiwa hukum yang tumbuh sejalan dengan proses peristiwa terjadinya zaman. Jika Ahli hukum berpendapat untuk reformulasi hukum Islam, dengan dalih “pemeliharan penafsiran” (maintainable interpretation), sebagai apresiasi perubahan iklim sosial – ekonomi, budaya dan teknologi, maka akan terjaring kepada spesifisitas mereka dari waktu dan tempat. Ahli hukum hanya bisa menyajikan prinsip-prinsip umum, tidak atas putusan yang akan diberlakukan di semua waktu dan tempat. Mereka juga berpendapat bahwa prinsip hermeneutis dalam ijtihad memungkinkan untuk pemahaman berbeda dari pesan Islam.
Untuk reformasi-minded yang dipromosikan oleh ahli hukum produk beasiswa dari dunia Barat adalah penting dilanjutkan, disertai ditumbuhkan kesadaran atas kepentingan paradigma Ijtihad Kontemporer untuk Hukum Islam sebagaimana diuraikan di atas, dengan kepentingan untuk meninjau kembali atau merivisi undang-undang termasuk Hukum Islam sejalan dengan peristiwa hukum dan kekhawatiran kontemporer (manakala itu realitas).
b.      Hukum Islam dalam Perspektif Modern
Muslim telah merespon dalam berbagai cara untuk kekuatan modernitas, respon ini menyeberangi garis tradisi, sekte, dan  mazhab. Mereka mempengaruhi cara Syariah ditafsirkan oleh individu dalam kehidupan pribadi mereka, dan sejauh mana Syariah diimplementasikan di ruang publik oleh negara. Gerakangerakan ini beragam dapat disebut secara kolektif sebagai Syariah Kontemporer.[39]
Sistem hukum di negara-negara mayoritas Muslim abad ke-21 dapat diklasifikasikan; Syariah di negara-negara Muslim sekuler; negara-negara Muslim seperti Mali, Kazakhstan dan Turki telah menyatakan diri untuk menjadi sekuler. Di sini, campur tangan agama dalam urusan negara, hukum dan politik adalah dilarang.[40] Di negara-negara muslim serta non-Muslim di negara-negara aviliasi Barat, peran Syariah hanya terbatas pada hal-hal pribadi dan keluarga.
Sistem hukum Nigeria didasarkan pada hukum umum Inggris dan konstitusi menjamin kebebasan beragama dengan pemisahan antara gereja dan negara. Namun sebelas negara bagian utara telah mengadopsi hukum Syariah bagi mereka yang mempraktekkan agama Islam.[41] Demikian pula di Malaysia, sistem hukum Malaysia didasarkan pada hukum umum Inggris, Hukum Syariah berlaku hanya untuk umat Islam, dan dibatasi pada hukum keluarga dan perayaan keagamaan. Sementara Konstitusi menyatakan Islam sebagai agama resmi, dengan seremonial penguasa sebagai kepala Islam di negara-negara masing-masing, agama-agama lain dapat bebas dipraktekkan, mmeskipun dengan pembatasan terhadap dakwah kepada umat Islam.
Negara-negara Muslim dengan sumber hukum menganut asas percampuran: negara-negara Muslim termasuk Pakistan, Indonesia, Afghanistan, Mesir, Sudan, dan Maroko memiliki sistem hukum sangat dipengaruhi oleh Syariah, tetapi juga menyerahkan wewenang tertinggi kepada konstitusi dan aturan hukum. Negara-negara ini melakukan pemilu yang demokratis, meskipun beberapa juga di bawah pengaruh para pemimpin otoriter. Di negara-negara ini, politisi dan ahli hukum membuat hukum, bukan ahli agama. Sebagian besar negara-negara ini telah dimodernisasi hukum mereka dan sekarang memiliki sistem hukum dengan perbedaan yang signifikan jika dibandingkan dengan Syariah klasik.46
Muslim menyatakan menggunakan Syariah klasik: Arab Saudi dan beberapa negara Teluk tidak memiliki konstitusi atau legislatif. Penguasa mereka memiliki kewenangan terbatas untuk mengubah undang-undang, karena mereka didasarkan pada Syariah seperti yang ditafsirkan oleh ulama mereka. Iran dengan beberapa karakteristik, tetapi juga memiliki parlemen yang legislasif dengan cara yang konsisten dengan Syariah.47
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Peran Hukum Islam
Modern
Dengan latar belakang sekte agama yang berbeda,
pertukaran mahasiswa, pemikiran mazhab klasik, dan
implementasi pemerintah, kekuatan berikut bergerak
mempengaruhi perkembangan masa depan dalam hukum Islam.
1. Proses Pertukaran Budaya dan Ide-ide
Di seluruh dunia, umat Islam menjadi lebih terhubung
oleh komunikasi melalui jaringan teknologi telekomunikasi
modern. Hal ini menyebabkan pertukaran yang lebih luas dari
ide-ide dan budaya. Gerakan reaksioner dan fundamentalis tidak
mungkin untuk menghentikan kecenderungan ini, karena Syariah
itu sendiri membela hak privasi dalam setiap orang.48 Ini tidak
46 Ibid, hlm. 8.
47 Ibid, hlm. 8–9.
48 Ira Lapidus, The Cambridge Illustrated History of the Islamic World, editor Francis
Robinson (Cambridge University Press, 1996), hlm. 293–296
428 Syafaul Mudawam: Syari’ah-Fiqh-Hukum Islam...
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 46 No. II, Juli-Desember 2012
terbatas bada perubahan model-model komunikasi dan interaksi,
lebih dari itu adalah penyebarluasan budaya dan ajaran-ajarannya
secara langsung atau tidak transparan.
2. Mazhab Pemikiran
Modernis, tradisionalis dan fundamentalis semua
memiliki pandangan yang berbeda dari Syariah, seperti halnya
penganut pemikiran mazhab yang berbeda dengan Islam lainnya
dan Akademisi. Pakar hukum L. Ali Khan mengklaim bahwa
"konsep Syariah telah benar-benar bingung dalam literatur
hukum dan bagi umum dari sebagian umat Islam, Syariah terdiri
dari al-Quran dan al-Sunnah, sedang bagi yang lain, hal itu juga
mencakup Fiqh klasik. Kebanyakan Ensiklopedi mendefinisikan
Syariah sebagai hukum berdasarkan al-Quran, as-Sunnah, dan
fiqh klasik yang berasal dari konsensus (ijma>') dan analogi
(Qiya>s). Definisi Syariah modern berusaha menyatukan
mengungkapkan dengan teraktualisasi, ini merupakan elaborasi
dari sumber yang telah menciptakan sebuah asumsi kacau bahwa
interpretasi ilmiah adalah sebagai “Yang Suci” dan melampaui
revisi seperti al-Quran dan as-Sunnah. Keduanya (al-Quran dan
as-Sunnah) merupakan “Norma” yang berubah dari basisnya,
dan harus disimpan terpisah dari interpretasi hukum (Fiqh) yang
pernah berkembang. Pemisahan antara analitis norma dasar dan
Fiqh diperlukan untuk mengusir kebingungan di sekitar istilah
Syariah.
3. Kebangkitan Agama
Bersamaan dengan liberalisasi dan modernisasi kekuatan,
kecenderungan terhadap fundamentalisme dan gerakan untuk
kekuasaan politik Islam juga berlangsung. Telah ada kebangkitan
agama berkembang dalam Islam, dimulai pada abad kedelapan
belas dan berlanjut sampai hari ini. Gerakan ini telah menyatakan
dirinya dalam berbagai bentuk mulai dari perang dengan upaya
untuk memperbaiki pendidikan.49 Kembali ke pandangan Syariah
49 Ira Lapidus, hlm. 292.
Syafaul Mudawam: Syari’ah-Fiqh-Hukum Islam... 429
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 46 No. II, Juli-Desember 2012
tradisional adalah gerakan oleh umat Islam yang sudah berjalan
panjang di seluruh dunia menuju pemahaman yang lebih baik
pada praktek agama mereka. Didorong oleh para sarjana dan
imam, umat Islam sudah pindah dari adat dan budaya lokal, dan
menuju pandangan universal dibanding yang diterima dari Islam.
Gerakan ini terhadap nilai-nilai agama tradisional berfungsi untuk
membantu Muslim mengatasi dampak penjajahan Eropa. Hal ini
juga terinspirasi gerakan modernis dan pembentukan pemerintah
baru.50
Gerakan Islam sejak 1970-an telah menjadi menonjol, tujuan
mereka adalah pembentukan negara Islam, dan Syariah tidak
hanya dalam batas-batas mereka sendiri, berarti mereka bersifat
politis. Basis kekuatan Islam adalah jutaan miskin, gerakan
utamanya adalah miskin perkotaan dari pedesaan. Retorika
mereka menentang budaya dan kekuatan Barat.51 Kelompokkelompok
politik yang ingin kembali ke nilai-nilai Islam yang
lebih tradisional, adalah sumber ancaman terhadap pemerintahan
sekuler Turki.52 Gerakan-gerakan ini dapat dianggap sebagai neo-
Syariaism,53 dan dikategorisasikan antara lain;
a. Gerakan fundamentalis ingin kembali ke nilai-nilai agama dan
dasar hukum, dalam beberapa kasus yang dikenakan
hukuman keras oleh Syariah untuk kejahatan, membatasi hakhak
sipil, dan melanggar hak asasi manusia. Gerakan-gerakan
yang paling aktif di wilayah di dunia di mana ada kontak
dengan kekuatan kolonial Barat.54
b. Ekstremisme: ekstrimis telah menggunakan Quran dan
Syariah versi khusus mereka sendiri,55 untuk membenarkan
tindakan perang dan teror terhadap orang-orang Barat dan
50 Ira Lapidus, hlm. 292–293
51 Ira Lapidus, hlm. 296
52 Ibid.
53 Marshall Hodgson, The Venture of Islam Conscience and History in a World
Civilization, Vol 3 (University of Chicago, 1958), hlm. 386–392.
54 Chris Horrie; Peter Chippindale, What Is Islam? A Comprehensive Introduction
(Virgin Books, 1991), hlm. 4.
55 Ibid., hlm. 100.
430 Syafaul Mudawam: Syari’ah-Fiqh-Hukum Islam...
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 46 No. II, Juli-Desember 2012
pemerintah, dan juga terhadap Muslim lainnya yang diyakini
memiliki simpati Barat.56 Gesekan antara Barat dan Islam,
khususnya berkaitan dengan masalah Palestina, terus
menyulut konflik ini.57
4. Kekekalan dari Kehendak Allah
Meskipun ada banyak interpretasi yang berbeda dari syariah,
dan perspektif yang berbeda pada interpretasi masing-masing,
ada konsensus di kalangan umat Islam bahwa Syariah adalah
refleksi dari kehendak Allah bagi umat manusia. Oleh karena itu
Syariah, dalam arti yang paling murni, harus tetap sempurna dan
tidak berubah. Evolusi atau penyempurnaan Syariah merupakan
upaya untuk mencerminkan kehendak Allah lebih sempurna.
5. Perbedaan antara Hukum Islam dan Hukum Adat
Menurut Jan Michiel Otto, Profesor Hukum dan
Pemerintahan di Negara Berkembang pada Universitas Leiden,
Penelitian antropologis menunjukkan bahwa orang-orang di
komunitas lokal seringkali tidak membedakan dengan jelas
apakah dan sejauh mana norma-norma dan praktek didasarkan
pada tradisi lokal, adat suku, atau agama. Mereka yang menganut
pandangan konfrontatif menyatakan; Syariah cenderung
menganggap banyak praktek yang tidak diinginkan Syariah agama
dan adat budaya, kecuali jika petinggi otoritas keagamaan telah
menyatakan sebaliknya. Analisis Otto muncul dalam sebuah
makalah yang ditugaskan oleh Kementerian Luar Negeri
Belanda.58
Syariah terus mengalami perubahan mendasar, dimulai
dengan pemerintahan khalifah Abu Bakar (632-634 M) dan Umar
(634-644 M), selama periode Sahabat Nabi (saw) dimana mereka
menjadi sumber konsultasi persoalah agama dan masyarakat.59
56 Ira Lapidus, 1996, hlm. 297-298
57 Chris Horrie; Peter Chippindale, 1991, hlm. 96–100.
58 Jan Michiel Otto, 2008, hlm. 30.
59 Mawil Izzi Dien, Islamic Law: From Historical Foundations To Contemporary
Practice (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 2004), hlm.
Syafaul Mudawam: Syari’ah-Fiqh-Hukum Islam... 431
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 46 No. II, Juli-Desember 2012
Selama pemerintahan Muawiya bin Abu Sufyan bin Harb, tahun
662 Masehi, Islam melakukan transformasi perkotaan, dan
menimbulkan persoalan yang belum atau tidak tercakup oleh
hukum Islam.60 Sejak saat itu, perubahan dalam masyarakat Islam
telah memainkan peran yang sedang berlangsung dalam
perkembangan Syariah, yang disebutkan dalam cabang-cabang
Fiqh dan al-Qa>nu>n masing-masing.
Di antara umat Islam, hukum adat perlu disesuaikan dengan
Syariah, karena mereka tidak dapat menjadi bagian dari hukum
adat atau „Uruf suku kecuali mereka berlaku umum seperti
Syariah. Selain itu, Noel James Coulson, dosen dalam hukum
Islam dari Universitas London, menyatakan bahwa suku secara
keseluruhan memiliki kekuasaan untuk menentukan standar yang
dianut oleh pengikut dari anggota masyarakatnya. Hal ini Hukum
Suku („Uruf) dipahami bukan hanya sebagai kelompok perwakilan
yang sekarang, tetapi sebagai entitas sejarah merangkul masa lalu,
sekarang, dan generasi masa depan.61 Jadi, sementara ini, setiap
hukum harus berakar baik dalam al-Quran maupun as-Sunnah
tanpa kontradiksi, kehidupan suku membawa rasa partisipasi.
Partisipasi semacam itu lebih diperkuat oleh sabda Nabi
Muhammad (saw) yang menyatakan, „Komunitas saya tidak akan
pernah setuju dengan kesalahan’.62
Sejarah Perkembangan dan Isu-isu Kontemporer
Peta dunia Muslim dengan keseluruhan aliran hukum Islam
(mazhab) selama abad ke-19, mengambil peran penting karena
adanya tantangan baru yang dihadapi dunia Muslim. Barat telah
meningkat menjadi kekuatan global dan telah menjajah sebagian
besar dunia, termasuk wilayah Muslim. Di dunia Barat,
masyarakat berubah dari pertanian ke tahap industri, ide-ide
sosial dan politik yang baru telah muncul, dan model sosial
60 Mawil Izzi Dien, 2004, hlm.
61 Noel James Coulson, A history of Islamic law (Islamic surveys) (Oxford:
University Press, 1964), hlm.
62 Herbert Berg, Islamic Law. Berkshire Encyclopedia of World History, 3, 2005,
hlm. 1030.
432 Syafaul Mudawam: Syari’ah-Fiqh-Hukum Islam...
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 46 No. II, Juli-Desember 2012
perlahan-lahan bergeser dari hirarkis menuju egaliter. Kekaisaran
Usmani dan seluruh dunia Muslim berada pada kekuasaannya,
dan panggilan untuk reformasi menjadi keras. Di negara-negara
Muslim, hukum negara dikodifikasikan mulai menggantikan
peran pendapat hukum ilmiah. Negara-negara Barat kadang
terinspirasi, terkadang menekan, dan kadang-kadang memaksa
negara-negara Muslim untuk mengubah undang-undang mereka.
Gerakan sekuler mendorong hukum menyimpang dari
pendapat para sarjana hukum Islam. Fuqaha dan Imam tetap
memiliki otoritas tunggal untuk mencipta panduan dalam hal
ritual ibadah, dan spiritualitas, sementara mereka kehilangan daya
untuk mengaplikasikannya karena mereka tidak memiliki
kemampuan otoritas kepada negara. Komunitas Muslim pada
gilirannya menjadi ajang perdebatan dan diskusi tanpa
kesimpulan dari para Cendekiawan Hukum Islam, bahkan
memiliki ekses membentuk pembagian kelompok-kelompok
baru dalam masyarakat Muslim moderen. Divisi satu mendorong
kepada perubahan Hukum Islam, meski tidak memiliki tanggung
jawab orotritas, sedang divisi lainnya tetap bertahan dari
perubahan yang dideklarasikan oleh Cendekiawan Ahli Hukum
Islam modern. Kondisi demikian telah berlanjut hingga hari ini,
dan memiliki suara keras dan menolak untuk diperhalus, terlebih
itu sebagai suara kebutuhan.
Sekularis percaya bahwa hukum negara harus didasarkan
pada prinsip-prinsip sekuler, bukan pada doktrin hukum Islam.
Tradisionalis percaya bahwa hukum negara harus didasarkan
pada mazhab-mazhab hukum Islam tradisional. Namun,
pandangan hukum Islam tradisional dianggap tidak dapat
diterima oleh beberapa Muslim modern, terutama di daerah
seperti hak-hak perempuan atau perbudakan belum memperoleh
tempat proporsional. Reformator percaya bahwa teori hukum
Islam baru dapat menghasilkan hukum Islam modern dan
menyebabkan pendapat dapat diterima di berbagai bidang seperti
hak-hak perempuan. Namun., Tradisionalis percaya bahwa setiap
penyimpangan oleh ajaran hukum dari al-Qur'an seperti yang
dijelaskan oleh Nabi Muhammad dan dipraktikkan oleh
Syafaul Mudawam: Syari’ah-Fiqh-Hukum Islam... 433
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 46 No. II, Juli-Desember 2012
moderenis ahli Hukum Islam adalah sebuah konsep asing yang
tidak dapat benar jika dikaitkan dengan Islam., melainkan lebih
sebagai pendapat ahli Hukum itu sendiri.
a. Praktek Kontemporer
Ada berbagai hal luar biasa dalam penafsiran dan penerapan
hukum Islam di masyarakat Muslim saat ini. Gerakan liberal
dalam Islam telah mempertanyakan relevansi dan penerapan
Syariah dari berbagai perspektif, feminisme Islam membawa
banyak sudut pandang untuk diskusi. Beberapa negara, seperti
Arab Saudi sepenuhnya menggunakan Syariah dan tidak memiliki
konstitusi atau kode hukum. Lainnya, seperti Pakistan dan Iran
memiliki konstitusi, tetapi mereka mencerminkan prinsip-prinsip
Syariah, dan memiliki sistem hukum Syariah dengan hukum
perdata yang sesuai (Qa>nu>n).
Beberapa negara Muslim terbesar, termasuk Indonesia dan
Bangladesh memiliki konstitusi sekuler dan hukum, tetapi dengan
ketentuan hukum Islam ada dalam hukum keluarga. Namun,
sebagian besar undang-undang sekuler mereka masih tidak
bertentangan dengan hukum Syariah. Turki memiliki konstitusi
yang resmi sangat sekuler, dan memiliki hampir tidak ada
kemiripan dengan hukum Syariah. India dan Filipina telah
sepenuhnya memisahkan hukum sipil Muslim, sepenuhnya
didasarkan pada Syariah. Di India, hukum perdata Islam
dibingkai oleh dewan Hukum Privat Muslim. sementara di
Filipina dibingkai oleh Kode Hukum Privat Muslim, namun
hukum pidana di kedua negara adalah seragam.
Pada bulan September 2008, surat kabar di Inggris
menyatakan pemerintah diam-diam telah menerima pengakuan
pengadilan Syariah. Hal ini mengacu pada situasi di mana kedua
belah pihak dalam sengketa hukum secara bebas memilih
pengadilan Syariah sebagai arbiter dan mengikatkan diri kepada
Pengadilan Syariah sebelum pengadilan resmi. Keputusan tidak
melanggar wilayah baru, keputusan serupa terjadi pada Arbitrase
434 Syafaul Mudawam: Syari’ah-Fiqh-Hukum Islam...
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 46 No. II, Juli-Desember 2012
Yahudi pengadilan yang telah diakui di Inggris selama lebih dari
100 tahun.63
Sebagian besar negara di Timur Tengah dan Afrika Utara
mempertahankan sistem ganda pengadilan sekuler dan
pengadilan agama, di mana pengadilan agama terutama mengatur
perkawinan dan warisan. Arab Saudi dan Iran mempertahankan
pengadilan agama untuk semua aspek yang disebut pada
pengetahuan hukum, dan Mut}awwīn (polisi agama) yang
menegaskan kepatuhan sosial. Sementara negara Somalia dan
Maladewa mengadopsi Syariah dalam aspek hukum, tetapi
dengan gaya sistem peradilan Barat (hukum umum atau hukum
perdata). Hukum yang berasal dari Syariah juga diterapkan di
Afghanistan, Libya dan Sudan.
Sementara Hukum berbasis Syariah secara resmi diakui oleh
sistem peradilan di Israel dalam hal status pribadi Muslim jika
mereka memilih pengadilan Syariah (misalnya perkawinan,
perceraian, perwalian), dan gaji hakim dibayar oleh negara.64
Lebanon juga menerapkan hukum Syariah bagi umat Islam dalam
urusan keluarga.65 Beberapa negara di utara Nigeria telah kembali
diperkenalkan oleh pengadilan Syariah.66 Dalam praktek Syariah
pengadilan di Nigeria memiliki paling sering reintroduksi
hukuman keras tanpa menghormati aturan lebih ketat tentang
bukti dan kesaksian. Hukuman termasuk amputasi salah satu atau
kedua tangan untuk pencurian dan rajam bagi pelaku perzinahan.
Banyak orang Barat menganggap hukuman yang ditentukan oleh
interpretasi beberapa negara terhadap 'hukum Islam‟ menjadi
barbar dan kejam. Ulama berpendapat bahwa, jika diterapkan
dengan benar, hukuman berfungsi sebagai pencegah kejahatan.67
63 Revealed, UK's First Official Sharia Courts. The Times on Line.
64 Anshel Pfeffer, "Why Islamic Law Is Official in Israel". The Jewish Chronicle.
diperoleh September 15, 2011.
65 Joshua Rozenberg, "Law Lords Say Sharia Is 'Arbitrary and
Discriminatory". The Daily Telegraph, Oktober 22, 2008.
66 The Judiciary, Online Nigeria. May 1, 2007. diperoleh May 1, 2007.
67 Jane Little (June 11, 2003), Debate Rages over Women and Sharia. BBC News.
diperoleh May 1, 2007.
Syafaul Mudawam: Syari’ah-Fiqh-Hukum Islam... 435
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 46 No. II, Juli-Desember 2012
Hal ini terutama terjadi ketika kalimat yang diberlakukan
dipandang sangat miring dan jauh dari standar yang ditetapkan
hak asasi manusia internasional.
b. Isu-isu Kontemporer
1) Demokrasi
Hukum Syariah melibatkan unsur-unsur dari sistem
demokrasi, yaitu prosedur pemilihan, meskipun sintaksis
"demokrasi" merupakan bingkai dalam bentuk pertanyaan. Pakar
hukum L. Ali Khan berpendapat bahwa "perintah konstitusional
didasarkan pada prinsip-prinsip Syariah sepenuhnya kompatibel
dengan demokrasi, asalkan agama minoritas dilindungi dan
kepemimpinan Islam berkuasa tetap berkomitmen untuk
memperhatikannya.68 Namun, pengadilan Eropa dan Amerika
umumnya memutuskan terhadap penerapan hukum Syariah, baik
dalam yurisprudensi dan dalam konteks masyarakat, berdasarkan
latar belakang agama Syariah. Sedangkan kelompok dalam
sejumlah negara secara aktif berusaha untuk menerapkan hukum
Syariah, pada tahun 1998 Mahkamah Konstitusi Turki dilarang
dan dibubarkan Partai Refah Turki dengan alasan bahwa
demokrasi adalah antitesis dari Syariah, yang terakhir Refah
berusaha untuk menyampaikan.
Pada banding oleh Refah ke Pengadilan HAM Eropa
memutuskan bahwa Syariah tidak sesuai dengan prinsip-prinsip
dasar demokrasi.69 Menurut pengertian Refah yang didasarkan
atas Syariah bahwa pluralitas sistem hukum adalah didasarkan
pada perintah agama, namun diperintah untuk tidak bertentangan
dengan Konvensi Eropa untuk Perlindungan Hak Asasi Manusia
68 L. Ali. Khan, A Theory of Universal Democracy: Beyond the End of History,
Wisconsin International Law Journal, Vol. 16, No. 1, (Washburn University -
School of Law 1997).
69 Pengadilan dalam kasus Partai Refah dan Lainnya dengan Perdana Menteri
Turki , dari Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa, February 13, 2003; Refah
Revisited: Konstruksi Strasbourg tentang Islam, oleh Christian Moe,
Norwegian Institute of Human Rights, yang diterbitkan di situs Konferensi
Strasbourg.
436 Syafaul Mudawam: Syari’ah-Fiqh-Hukum Islam...
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 46 No. II, Juli-Desember 2012
dan Kebebasan Fundamental. Menurut Partai Refah bahwa
ketentuan itu seperti negara melakukan praktek jauh dengan
peran sebagai penjamin hak-hak individu dan kebebasan, dan
melanggar prinsip non-diskriminasi antar individu dalam hal
kehendak kebebasan publik, yang merupakan salah satu prinsip
dasar demokrasi.70
2) Hak asasi manusia.
Beberapa negara besar, mayoritas Muslim mengkritik
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) untuk
kegagalan yang dirasakan dengan memperhitungkan konteks
budaya dan agama dari negara non-Barat. Iran mengklaim bahwa
UDHR adalah "pemahaman sekular dari tradisi Yahudi-Kristen",
yang tidak dapat diterapkan oleh umat Islam tanpa melanggar
hukum Islam. Oleh karena itu pada tahun 1990 Organisasi
Konferensi Islam, sebuah kelompok yang mewakili semua
bangsa mayoritas Muslim, mengadopsi Deklarasi Kairo tentang
Hak Asasi Manusia dalam Islam.
Ann Elizabeth Mayer memandang penting Deklarasi Kairo:
ketentuan prinsip-prinsip demokrasi, perlindungan terhadap
kebebasan beragama, kebebasan berserikat dan kebebasan pers,
serta kesetaraan dalam hak dan perlindungan yang sama di bawah
hukum. Pasal 24 dari deklarasi Kairo menyatakan bahwa "semua
hak dan kebebasan yang diatur dalam Deklarasi ini tunduk pada
Syariah Islam71.
Profesor H. Patrick Glenn menegaskan bahwa konsep hak
asasi manusia Eropa dikembangkan dalam reaksi terhadap
sebuah hirarki kelas yang telah mengakar dan bertentangan hak
istimewa, ini ditolak oleh Islam. Seperti yang diterapkan dalam
hukum Syariah, perlindungan bagi individu didefinisikan dalam
70 Revisi oleh Refah: Konstruksi Strasbourg tentang Islam, oleh Christian
Moe, Norwegian Institute of Human Rights, yang diterbitkan di situs
Konferensi Strasbourg.
71 Ann Elizabeth Mayer, Islamic Law and Human Rights: Conundrums and
Equivocations, Bab 14 di Carrie Gustafson, Peter H. Juviler (eds.), Religion and
human rights: competing claims? (Columbia University seminar series, M.E.
Sharpe, 1999).
Syafaul Mudawam: Syari’ah-Fiqh-Hukum Islam... 437
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 46 No. II, Juli-Desember 2012
hal kewajiban bersama dan bukan hak asasi manusia. Konsep hak
asasi manusia, seperti yang diterapkan dalam kerangka Eropa,
karena itu tidak perlu dijadikan kompilasi untuk diberlakukan dan
berpotensi merusak masyarakat Islam.72
Pihak sekularis untuk peduli hak asasi manusia, dan
organisasi terkemuka mengkritik sikap negara-negara Islam
tentang hak asasi manusia. Pada tahun 2009, penyelidikan jurnal
membuat ringkasan kritik dalam editorialnya; "Kami sangat
prihatin dengan perubahan Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia oleh koalisi negara-negara Islam dalam Perserikatan
Bangsa-Bangsa yang ingin melarang setiap kritik terhadap agama
dan dengan demikian akan melindungi pandangan sempit Islam
tentang hak asasi manusia. Mengingat kondisi di dalam Republik
Islam Iran, Mesir, Pakistan, Arab Saudi, Sudan, Suriah,
Bangdalesh, Irak, dan Afghanistan, harus berharap bahwa
mereka harus membuat agenda atas hak asasi mereka berisi
perbaikan atas ketimpangan hukum perempuan, penindasan
terhada perbedaan pendapat politik, pembatasan kebebasan
berekspresi, penganiayaan terhadap etnis minoritas dan
pembangkang agama. Singkatnya, melindungi warga negara
mereka dari pelanggaran hak asasi manusia mengerikan,
sementara mereka memiliki kekhawatiran bila Islam tidak
mampu memberi perlindungan penganutnya.73
3) Kebebasan berbicara
Kebebasan berekspresi, Jyllands-Posten tentang kontroversi
kartun Nabi Muhammad, dimana hukum Republik Islam Iran,
dan hukum Penghujatan di Pakistan, oleh Qadhi Iyad
disampaikan pendapat bahwa menghinaan Nabi Muhammad
(saw) adalah dilarang. Kritik tersebut adalah penghujatan dan
dijatuhi hukuman mati. Fitnah dan gosip, atau "ghiba" dianggap
sebagai dosa besar dalam hukum Syariah.74
72 H. Patrick Glenn, 2007, hlm. 194.
73 Paul Kurtz, Austin Dacey, dan Tom Flynn. Defaming Human Rights. Free
Inquiry Februari/ Maret 2009, Vol. 29, No. 2.
74 The Quran- An Encyclopedia. Books.google.com. diperoleh 2012-04-04.
438 Syafaul Mudawam: Syari’ah-Fiqh-Hukum Islam...
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 46 No. II, Juli-Desember 2012
4) Homoseksual dalam Islam
Seks homoseksual adalah ilegal di bawah interpretasi
sebagian hukum Syariah, meskipun hukuman yang ditentukan
berbeda dari satu mazhab hukum dengan yang lain. Sebagai
contoh, negara mayoritas Muslim dapat menjatuhkan hukuman
mati untuk tindakan yang dianggap sebagai kegiatan sodomi dan
homoseksual seperti di Iran,75 Nigeria,76 Saudi Arabia,77
Somalia.78 Sebaliknya, di beberapa negara mayoritas Muslim
seperti Indonesia (luar Aceh),79 Mesir dan Irak, sesama jenis
tindakan seksual adalah ilegal, tetapi tidak ada hukuman khusus.80
Di Turki dan Yordania, homoseksual tindakan itu diposisikan
sebagai hukum privat atau perorangan.
5) Wanita dalam Islam
Syariah tidak memberikan hak sama bagi perempuan
sebagaimana untuk pria dalam kasus penting, termasuk hukum
perkawinan dan warisan. Dalam hal kewajiban agama, seperti
unsur-unsur tertentu dari ibadah, keaharusan pembayaran zakat
untuk orang-orang miskin, puasa Ramadhan, dan haji, wanita
diperlakukan tidak berbeda dari laki-laki. Namun demikian,
beberapa pengecualian dibuat dalam kasus ibadah dan puasa,
karena perempuan dibebaskan dari tugas shalat lima waktu atau
berpuasa selama menstruasi mereka.
Tidak ada imam atau pendeta yang dibutuhkan untuk
melakukan ritual dan sakramen dalam Islam. Pemimpin shalat
dikenal sebagai seorang imam. Pria dapat menjalankan sebgai
imam laki-laki dan perempuan dalam shalat, tetapi dalam Islam
tradisional perempuan tidak boleh memimpin orang laki-laki
75 Laws: Iran, GayLawNet. Gaylawnet.com. diperoleh 2012-04-04.
76 Laws: Nigeria, GayLaw Net 04.
77 Laws: Saudi Arabia, GayLawNet. Gaylawnet.com. 2010-11-08. diperoleh
2012-04-04.
78 Laws: Somalia, GayLawNet". Gaylawnet.com. 1964-04-03. diperoleh 2012-
04-04.
79 Aceh Passes Stoning Law. The Straits Times. September 14, 2009. Diperoleh
Desember 22, 2009.
80 Rough Guide to South East Asia: Third Edition. Rough Guides. August 2005,
hlm. 74.
Syafaul Mudawam: Syari’ah-Fiqh-Hukum Islam... 439
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 46 No. II, Juli-Desember 2012
dalam shalat.81 Dalam prakteknya, hal ini jauh lebih terbuka bagi
pria untuk menjadi sarjana daripada wanita, namun pada masa
awal Islam, ulama perempuan yang jauh lebih terbuka.82 Islam
tidak melarang perempuan bekerja, seperti yang dikatakan;
karena wanita harus diperlakukan dengan baik, mereka adalah
mitra yang membantu pria dalam membuat komitmen pada
umumnya. Wanita yang menikah memiliki hak untuk
memperoleh pekerjaan, meskipun sering dianggap dalam
masyarakat patriarkal bahwa peran wanita sebagai istri dan ibu
harus memiliki prioritas pertama.
Islam menyatakan dengan tegas memungkinkan perempuan
baik lajang dan sudah menikah untuk memiliki kekayaan dari
usaha mereka sendiri.83 Wanita dalam Islam memiliki hak untuk
mewarisi harta dari anggota keluarga lainnya, dan hak-hak ini
disebut dengan rinci dalam al-Quran. Warisan seorang wanita
berbeda dari pria, baik dalam jumlah dan kewajiban.84 Misalnya,
warisan anak perempuan biasanya setengah dari saudara lakilaki.
85 Hukum Syariah mewajibkan anggota keluarga perempuan
atau laki-laki untuk saling mendukung sesuai kebutuhan. Pria
sepenuhnya wajib secara finansial untuk mempertahankan rumah
tangga mereka sedangkan perempuan tidak. Namun, sering
disampaikan dalam hukum Islam bahwa meskipun wanita
tersebut seorang jutawan atau dia miskin, dia masih berhak untuk
mendapatkan nafkah untuk kebutuhan dirinya. Dia tidak
berkewajiban untuk berbagi kekayaan dengan suaminya kecuali ia
melakukan tindakan di luar dari kebaikan. Ahli hukum Islam
tradisional berpendapat bahwa perempuan Muslimah dapat
81 Ahmad ibn Naqib al-Misri, editorial dan terjemahan dari bahasa Arab dan
komentar, oleh Nuh Ha Mim Keller, 1994, edisi revisi, hlm. 183.
82 Marshall Hodgson, The Venture of Islam Conscience and History in a World
Civilization, Vol 1 (University of Chicago, 1958), hlm. 238.
83 Chris Horrie; Peter Chippindale, 1991, hlm. 49.
84 Al-Quran (4:12)
85 Al-Quran (4:11)
440 Syafaul Mudawam: Syari’ah-Fiqh-Hukum Islam...
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 46 No. II, Juli-Desember 2012
menunaikan pernikahan hanya dengan pria Muslim,86 meskipun
beberapa ahli hukum kontemporer mempertanyakan dasar
pembatasan ini.87 Di sisi lain, al-Qur'an memungkinkan seorang
Muslim pria untuk menikahi seorang wanita suci dari Ahli Kitab,
sebuah istilah yang mencakup orang Yahudi, Sabaian, dan
Kristen didasarkan pada al-Qur‟an:
              
          
          
         88
Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan)
orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu
halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini) wanita yang
menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanitawanita
yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al
Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan
maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula)
menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman
(Tidak menerima hukum-hukum Islam). Maka hapuslah amalannya dan
ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.
Namun, Fiqh telah menyatakan bahwa itu adalah makruh
(tercela) untuk seorang pria Muslim untuk menikahi seorang
wanita non-Muslim di negara non-Muslim. Pada tahun 2003,
pengadilan Malaysia memutuskan bahwa, di bawah hukum
Syariah, seorang pria bisa menceraikan istrinya melalui pesan teks
86 Khaled Abou El Fadl, On Christian Men Marrying Muslim
men. scholarofthehouse.com. diperoleh September 19, 2011.
87 Imam Khaleel Mohammed's Defense of Inter-Faith Marriage. Staff (July 23,
2003). Malaysia permits Text Message Divorce. BBC News. diperoleh September
18, 2011.
88 al-Qur‟an (5:5)
Syafaul Mudawam: Syari’ah-Fiqh-Hukum Islam... 441
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 46 No. II, Juli-Desember 2012
selama pesan itu jelas dan tegas.89 Istri yang sudah bercerai tetap
menjadi pemilik sah atas mahar (maskawin) yang telah diterima
ketika dia menikah, dan diberi beban asuh anak sampai usia
penyapihan. Sang ibu biasanya diberikan hak asuh anak.90 Jika
pasangan telah bercerai lebih sedikit dari tiga kali (t}ala>q raj’i),
berarti bukan perceraian final, maka istri juga berhak menerima
perlindungan nafkah suami selama tiga siklus haid setelah
perceraian, sampai dapat ditentukan apakah dia hamil.91
Secara historis, hukum Islam memberikan hak-hak
perempuan hukum tertentu bahwa sistem hukum Barat tidak
memberikan wanita sampai abad ke-20.92 Nuh Feldman, seorang
profesor hukum Universitas Harvard, telah mencatat; adapun
seksisme, hukum adat itu tak mengakui setiap hak milik
perempuan yang sudah menikah, atau dalam hal ini hukum
terpisah dari kepribadian suami mereka. Ketika Inggris
menerapkan hukum Syariah bagi penganutnya, seperti yang
mereka lakukan di beberapa koloni, hasilnya adalah setiap wanita
menikah hak nafkah dan kekayaan tetap diberikan sesuai hukum
Islam, karena sesuai dengan kesetaraan gender.93 Sedangkan sejak
abad ke-20, sistem hukum Barat umumnya diperbolehkan untuk
„hak-hak perempuan lebih besar‟ daripada hukum Islam.94
6) Dhimmi
Berdasarkan ayat-ayat al-Quran dan as-Sunnah, Syariah
Islam klasik membedakan antara Muslim, pengikut agama-agama
Ibrahim monoteistik lainnya, dan orang-orang kafir atau orangorang
milik agama politeistik lainnya. Sebagai monoteis, Yahudi
dan Kristen secara tradisional dianggap Ahli Kitab dan diberikan
89 Staff (July 23, 2003). Malaysia Permits Text Message Divorce. BBC News.
diperoleh September 18, 2011.
90 Who has more right to custody in Islam?. Islam-qa.com. diperoleh, 2012-04-04.
91 Ahmad ibn Naqib al-Misri, 1994, hlm. 546 .
92 Jamal A. Badawi, (September 1971). "The Status of Women in Islam". Al-
Ittihad Journal of Islamic Studies 8 (2)
93 Noah Feldman, "Why Shariah?" The New York Times. diterima September
17, 2011.
94 Mohammed Hafez, "Why Muslims Rebel." Al-Ittihad Journal of Islamic Studies,
Vol. 1 No. 2, September, 2006.
442 Syafaul Mudawam: Syari’ah-Fiqh-Hukum Islam...
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 46 No. II, Juli-Desember 2012
status khusus yang dikenal sebagai z\immi berasal dari kontrak
(teoritis–z\immah) atau sebagai imbalan atas pajak tinggal
sementara atau berdomisli". Ada persamaan untuk ini dalam
hukum Romawi dan Yahudi.95 Hindu pada awalnya dianggap
kafir dan diberi pilihan antara masuk Islam dan perang (atau
perbudakan), karena orang-orang kafir tidak diberikan hak dan
perlindungan dari kontrak z\immah.96 Muslim di lembah Indus
memberi kemudahan perpanjangan status tinggal bagi dhimmi
berasal umat Hindu dan Buddha dari India.97 Akhirnya, mazhab
keilmuan Islam terbesar menerapkan istilah ini untuk semua non-
Muslim yang tinggal di luar wilayah Islam di sekitar kota suci
Mekkah, Arab Saudi.98
Sebuah pengunjuk rasa yang menentang proyek Park51,
membawa tanda anti-Syariah, di mana mazhab Fiqh klasik
menyebutkan dalam praktek bahwa hak hukum dan kewajiban
berbeda atas kelompok agama lain, ini terdiri dari pembatasan
pada hak-hak dan kebebasan non-Muslim.99 Namun, kontrak
dzimmah dalam bentukan mazhab klasik tidak lagi diberlakukan.
Pengaruh Barat telah berperan dalam menghilangkan
pembatasan dan perlindungan dari kontrak dzimmah, sehingga
berkontribusi untuk kondisi saat ini hubungan antara Muslim dan
non-Muslim yang tinggal di wilayah Islam.100 Menurut profesor
hukum H. Patrick Glenn dari Universitas McGill Kanada,
dikatakan bahwa dzimmi yang 'dikecualikan dari hak khusus
muslim, di sisi lain mereka dikecualikan sementara dari tugas
khusus Muslim atau lainnya, Muslim dan dhimmi adalah sama di
95 H. Patrick Glenn, 2007, hlm. 217–219.
96 Lewis, 1984, hlm. 18
97 Marshall Hodgson, The Venture of Islam Conscience and History in a World
Civilization, Vol 2, (University of Chicago, 1958), hlm. 278.
98 Ahmad ibn Naqib al-Misri (editor dan diterjemahkan oleh Nuh Ha Mim
Keller), 1994, hlm. 603.
99 Bernard Lewis, The Jews of Islam (Princeton University Press, 1984), hlm. 62
100 Ibid., hlm. 184.
Syafaul Mudawam: Syari’ah-Fiqh-Hukum Islam... 443
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 46 No. II, Juli-Desember 2012
hampir seluruh hukum dan kewajiban atas kekayaan dan
kontrak.101
Fiqih klasik memasukkan hukum agama dan pengadilan
Kristen, Yahudi dan Hindu, seperti yang terlihat dalam
kekhalifahan awal, al-Andalus, anak benua India, dan sistem
Dinasti Usmani.102 Dalam masyarakat Islam abad pertengahan,
Qadli (hakim Islam) biasanya tidak bisa ikut campur dalam halhal
non-Muslim, kecuali para pihak secara sukarela memilih
untuk diputus oleh hakim menurut hukum Islam, sehingga
masyarakat dhimmi yang tinggal di negara-negara Islam biasanya
memiliki undang-undang mereka sendiri terpisah dari hukum
Islam, seperti orang-orang Yahudi yang akan memiliki pengadilan
sendiri Halakha.103 Pengadilan ini tidak melibatkan kasus
kelompok-kelompok agama lain, atau pelanggaran moral atau
ancaman terhadap ketertiban umum. Pada abad ke-18,
bagaimanapun, z\immi sering menghadiri pengadilan Muslim
Usmani, di mana kasus yang diambil terhadap mereka oleh umat
Islam, atau dengan sukarela mereka mengambil keputusan kasus
hukum sama terhadap muslim atau z\immi lainnya. Sumpah yang
dilakukan atau diambil oleh dhimmi dalam pengadilan
disesuaikan dengan keyakinan mereka.104
Non-Muslim diizinkan untuk terlibat dalam praktek-praktek
tertentu seperti konsumsi alkohol dan babi yang biasanya
dilarang oleh hukum Islam. Zoroastrian „menikahkan diri sendiri‟
(pernikahan tanpa wali) yang dianggap bertentangan dengan
Syariah, juga ditoleransi. Ibnu Qayyim (1292-1350) berpendapat
bahwa non-Muslim berhak untuk praktek seperti apa yang
diajarkan oleh tradisi agama mereka, karena mereka tidak dapat
101 H. Patrick Glenn, 2007, hlm. 219.
102 Weeramantry, Justice Without Frontiers: Furthering Human Rights (Brill
Publishers, 1997), hlm. 138
103 Mark R. Cohen, Under Crescent and Cross: The Jews in the Middle
Ages. Princeton University Press, 1995, hlm. 74
104 Najwa al-Qattan, Dhimmis in the Muslim Court: Legal Autonomy and
Religious Discrimination. International Journal of Middle East Studies, Volume (3),
University of Cambridge, 1999. hlm. 31
444 Syafaul Mudawam: Syari’ah-Fiqh-Hukum Islam...
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 46 No. II, Juli-Desember 2012
disampaikan kepada pengadilan Syariah, sedang agama minorotas
tetap boleh menjalankan tradisi ajaran agama mereka. Putusan ini
didasarkan pada preseden bahwa Nabi Muhammad tidak
melarang seperti pernikahan tanpa wali yang dilakukan di antara
orang-orang Sabaiah (Zoroastrian), meskipun terjadi kontak
dengan Zoroastrianisme dan mengetahui tentang praktek ini.105
Minoritas agama juga bebas untuk melakukan apapun yang
mereka inginkan di rumah mereka sendiri, asalkan mereka tidak
secara terbuka terlibat dalam aktivitas seksual terlarang dalam
cara-cara yang bisa mengancam moral masyarakat.106
6. Pendidikan Hukum
Asal-usul Ijazah kembali ke lembaga Ija>zat al-Tadri>s wa al-
Ifta>(lisensi untuk mengajar dan mengeluarkan pendapat hukum)
dalam sistem pendidikan hukum Islam abad pertengahan, yang
setara dengan Doktor kualifikasi Hukum dan dikembangkan
selama 9 abad setelah pembentukan sekolah Mazhab Hukum.
Untuk mendapatkan gelar doktor, mahasiswa harus belajar di
sekolah hukum, biasanya empat tahun untuk program sarjana
dasar dan sepuluh tahun atau lebih untuk program pasca-sarjana.
Doktor diperoleh setelah ujian lisan untuk menentukan keaslian
theses candidate's, dan untuk menguji kemampuan untuk membela
mereka terhadap semua keberatan, dalam perdebatan seputar
dibentuknya tujuan, siswa yang meningkatkan kemahiran ilmiah
dipraktekkan di seluruh siswa sebagai karir seorang mahasiswa
pascasarjana hukum. Setelah siswa menyelesaikan pendidikan
pasca-sarjana, mereka dianugerahi gelar doktor dan memberi
mereka status Faqih (berarti master hukum), Mufti (artinya
profesor pendapat hukum) dan Mudarris (berarti guru), yang
kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Latin masing-masing
sebagai magister, profesor dan doktor.107
105 Sherman A Jackson, Islam and the Problem of Black Suffering, Oxford
University Press, 2005, hlm. 144.
106 Ibid, hlm. 145.
107 Hassan Salih Khalilieh, Islamic Maritime Law –An Introduction,
(Leiden, Netherlands: Brill Publishers, 1998), hlm. 38.
Syafaul Mudawam: Syari’ah-Fiqh-Hukum Islam... 445
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 46 No. II, Juli-Desember 2012
Penutup
Kegelisahan dan kekacauan dalam kajian Hukum Islam
kontemporer telah teridentifikasi dan diuraikan dalam
pembahasan di atas, dimana dalam aspek kesejarahan telah
memberi fitur lembaga hukum untuk masing-masing institusi
Hukum antara Syariah, Fiqih dan Hukum secara jelas dalam
konteks masing-masing. Fitur Hukum Islam yang terkandung
masing-masing lembaga hukum itu tidak berbeda dengan sebutan
herarkhi hukum (tertib hukum), dan Syariah menjadi sumber
tertinggi dan utama. Fiqih yang disebut Yurisprodensi Islam
mengandung uraian kontekstualisasi dari ajaran dan kasus hukum
yang disebut dalam Syariah, dan selanjutnya disebut secara
populer sebagai Yurisprudensi Hukum Islam. Sementara Hukum
Islam merupakan prinsip sama dengan Fiqih dan Syariah, dalam
hirarkhi ini Hukum Islam sebagai kompilasi ajaran dan praktek
hukum yang diajarakan dari Fiqih dikenal dengan sebutan
Kompilasi Hukum Islam.
Meskipun masing masing sebagai sistem hukum, namun tidak
dapat diberikan status yang sama pada tingkat praktek hukum.
Ini dengan alasan bahwa kekuatan mengikat yang disebutkan
pada masing-masing ajaran hukum dan prinsip sangat terletak
pada kekuatan budaya lokal dan teritorial, politik negara,
kekuatan pengaruh dan manfaat ekonomi dan teknologi dalam
menyumbangkan perilaku dan peristiwa hukum. Oleh karena
pada prinsip masing-masing terminologi, Syariah, Fiqih dan
Hukum Islam telah menetapkan pembatasan ajaran hukum dan
prinsip. Syariah tidak memberi vonis hukuman atas peristiwa
hukum, melainkan Fiqih berdasar praktek perilaku dapat
mempertimbangkan kepastian hukum untuk ditetapkan kepastian
hukum. Tentunya berbeda dengan Hukum Islam yang banyak
menekankan kepada aspek keputusan untuk suatu praktek
lembaga hukum, sehingga ajaran hukum dan prinsip yang
dijelaskan dalam Syariah dan Fiqih dapat diwujudkan melalui
keputusan hukum oleh pemegang otoritas penegakan hukum
Islam dijalankan oleh para ahli Hukum Islam dan Hakim.
446 Syafaul Mudawam: Syari’ah-Fiqh-Hukum Islam...
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 46 No. II, Juli-Desember 2012
Selain kondisi itu, masing-masing memiliki ruang lingkup dan
obyektivitas secara terminologis dan sosial berbeda dalam
membangun model-model ajaran hukum dan prinsip. Ini sangat
dipengaruhi oleh kekuatan isu-isu yang menjadi faktor pengubah
para ahli dan peristiwa di setiap generasi. Sehingga mengandung
representasi berpengaruh kepada nilai „profan‟ masing-masing
untuk masyarakat Muslim. Kepatuhan menyeluruh terhadap
prinsip dan ajaran hukum yang dibangun di dalamnya oleh para
Ulama, Fuqaha, Qad}i, Ahli Hukum Islam, dan para sarjana.
Tentunya setiap isu-isu dan peristiwa yang timbul, baik dari
internal atau eksternal (kontekstual) memiliki tingkat
subyektivitas tinggi dalam memberi kekuatan pengaruh terhadap
kelompok mazhab, aliran dalam pemikiran, atau politik
masyarakat Muslim. Namun hal yang harus disikapi adalah
menjunjung suatu kehormatan spiritualitas akademik
sebagaimana yang diturunkan oleh para Ulama, Fuqaha, dan
Qad}i masa Islam klasik dalam mensikapi isu-isu yang ditemukan,
seperti yang tergambar pada diskusi tentang isu-isu toleransi
beragama, kebabasan menentukan kepastian hukum, dan isu-isu
dalam hukum kekeluargaan dan privat. Semua itu konsisten
dengan paradigma pembelajaran dan pembangunan hukum yang
mereka temukan dalam sumber-sumber yang mereka nilai
otentik, meskipun harus melahirkan perbedaan dengan tokoh
Ulama, Fuqaha, dan ahli Hukum selain mereka sebagaimana
lahirnya perbedaan dalam bermazhab.
Daftar Pustaka.
al-Misri, Ahmad ibn Naqib (editor dan penerjemah dari Arab)
oleh Nuh Ha Mim Keller. Reliance of the Traveller – A Classic
Manual of Islamic Sacred Law, edisi revisi ( Amana
Publications 1994).
ash-Shafi'i, Muhammad ibn Idris, Risala: Treatise on the Foundations
of Islamic Jurisprudence. (Islamic Texts Society, 1993).
al-Qattan, Najwa (1999). "Dhimmis in the Muslim Court: Legal
Autonomy and Religious Discrimination". International
Syafaul Mudawam: Syari’ah-Fiqh-Hukum Islam... 447
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 46 No. II, Juli-Desember 2012
Journal of Middle East Studies (University of
Cambridge) 31 (3): 429–444.
Ayaz, Maryam, "Sharia'h and Profits". Apvision Revolutionary
Islamic Profitability Models, (Apvision Private Limited, 2007),
tt.
Abdal-Haqq, Irshad, Understanding Islamic Law – From
Classical to Contemporary, editor Aminah Beverly
McCloud, Islamic Law – An Overview of its Origin and
Elements. (AltaMira Press, 2006).
Badr, Gamal Moursi; Mayer, Ann Elizabeth, "Islamic Criminal
Justice".American Journal of Comparative Law, Vol. 32, No.
1, (1984), 167–169.
Badawi, Jamal A. "The Status of Women in Islam". Al-Ittihad
Journal of Islamic Studies, edisi 8 (2) (September 1971).
Bakhtiar, Laleh; Reinhart, Kevin, Encyclopedia of Islamic Law: A
Compendium of the Major Schools. (Kazi Publications, 1996).
Basim Musallam, The Cambridge Illustrated History of the Islamic
World edited by Francis Robinson. (Cambridge University
Press, 1996).
Berg, Herbert "Islamic Law." Berkshire Encyclopedia of World
History, edisi 3. In History Reference Center (Available
from Snowden Library, 2005).
Brown, Daniel W., Rethinking Traditions in Modern Islamic Thought.
(Cambridge : Cambridge University Press, 1996).
Cohen, Mark R. Under Crescent and Cross: The Jews in the Middle
Ages, (Princeton University Press, 1995).
Coulson, Noel James, A History of Islamic Law (Islamic Surveys).
(Oxford: Oxford University Press, 1964).
Darwish, Nonie, Cruel and Usual Punishment: The Terrifying Global
Implications of Islamic Law. (Thomas Nelson, 2008).
Dien, Mawil Izzi, Islamic Law: From Historical Foundations to
Contemporary Practice. (Notre Dame, Illinois: University of
Notre Dame Press, 2004).
Doi, Abd ar-Rahman I, Clarke, Abdassamad (2008). Shari'ah:
Islamic Law. Ta-Ha Publishers Ltd. ISBN 978-1-84200-085-
3 (paperback); ISBN 978-1-84200-087-8(hardback).
448 Syafaul Mudawam: Syari’ah-Fiqh-Hukum Islam...
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 46 No. II, Juli-Desember 2012
El-Fadl, Khaled Abou (2003). Reasoning with God: Rationality and
Thought in Islam. Oneworld. ISBN 1-85168-306-2.
El-Gamal, Mahmoud A. (2006). Islamic Finance: Law, Economics,
and Practice.Cambridge University Press. ISBN 0-521-
86414-3.
Esposito, John (2004). The Oxford dictionary of Islam. Oxford
University Press.
Glasse, Cyril, The New Encyclopedia of Islam, (Altamira, 2001).
Gibb, Hamilton Alexander Rosskeen, Mohammedanism – An
Historical Survey. (Oxford University Press, 1970).
Glenn, H. Patrick, Legal Traditions of the World – Sustainable
Diversity in Law, edisi, 3, (New York City; Oxford: Oxford
University Press, 2007).
Hunt Janin and Andre Kahlmeyer in Islamic Law: the Sharia from
Muhammad's Time to the Present oleh Hunt Janin and Andre
Kahlmeyer, (McFarland and Co. Publishers, 2007)
Harnischfeger, Johannes (2008). Democratization and Islamic Law –
The Sharia Conflict in Nigeria. Frankfurt; New York
City: Campus Verlag and Chicago: University of Chicago
Press(distributor). ISBN 978-3-593-38256-2.
Hudson, A. (2003). Equity and Trusts (3rd ed.).
London: Cavendish Publishing. ISBN 1-85941-729-9.
Horrie, Chris; Chippindale, Peter (1991). What Is Islam? A
Comprehensive Introduction. Virgin Books. ISBN 0-7535-0827-
3.
Jackson, Sherman A. (2005). Islam and the Blackamerican – Looking
Toward the Third Resurrection. New York City;
Oxford: Oxford University Press. ISBN 978-0-19-518081-
7.
Kafadar, Cemal (1996). Between Two Worlds: The Construction of the
Ottoman State.University of California Press. ISBN 0-520-
20600-2.
Khalilieh, Hassan Salih, Islamic Maritime Law – An
Introduction. (Leiden, Netherlands:Brill
Publishers,1998), ISBN 978-90-04-10955-1.
Syafaul Mudawam: Syari’ah-Fiqh-Hukum Islam... 449
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 46 No. II, Juli-Desember 2012
Kuran, Timur "The Logic of Financial Westernization in the
Middle East". Journal of Economic Behavior and Organization.
Vol. 56. (2005).
Lewis, Bernard, The Jews of Islam. (Princeton University Press,
1984). . ISBN 978-0-691-00807-3.
Liebesny, Majid &, and Herbert J. (editor) Khadduri. Law in the
Middle East: Volume I: Origin and Development of Islamic Law,
(Washington D.C.: Middle East Institute,1955).
Makdisi, John A. "The Islamic Origins of the Common
Law". North Carolina Law Review 77 (5): (June 1999). 1,635–
1,739.
Makdisi, John Islamic Property Law: Cases and Materials for
Comparative Analysis with the Common Law. (Carolina
Academic Press, 2005).
Hodgson, Marshall, The Venture of Islam Conscience and History in a
World Civilization, Vol 3, (University of Chicago, 1958).
Mumisa, Michael, Islamic Law: Theory & Interpretation, (Amana
Publications, 2002).
Musa, A. Y, Hadith as Scripture: Discussions on The Authority Of
Prophetic Traditions in Islam, (New York: Palgrave, 2008).
Otto, Jan Michiel, Sharia and National Law in Muslim Countries –
Tensions and Opportunities for Dutch and EU Foreign Policy –
Law, Governance, and Development. (E-book:Amsterdam
University Press, 2008).
Patrick, H. Glenn, Legal Traditions of the World, (USA Oxford
University Press, 2007).
Tariq Ramadan, In the Footsteps of the Prophet: Lessons from the Life of
Muhammad, (USA: Oxford University Press, 2007).
Ritter, R.M. (editor). New Oxford Dictionary for Writers and Editors –
The Essential A-Z Guide to the Written Word.
(Oxford: Oxford University Press, 2005).
Safi, Omid, Progressive Muslims: On Justice, Gender, and
Pluralism. Oneworld Publications, 2003).
Sarah Ansari, The Cambridge Illustrated History of the Islamic World
edited by Francis Robinson. (Cambridge University Press,
1996).
450 Syafaul Mudawam: Syari’ah-Fiqh-Hukum Islam...
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 46 No. II, Juli-Desember 2012
Schacht, Joseph, Introduction to Islamic Law. (Oxford: Clarendon,
1964).
Shahin, Omar, The Muslim Family in Western Society: A Study in
Islamic Law, (Cloverdale Corporation, (2007).
Standke, Corinna, Sharia - The Islamic Law, (GRIN Verlag, 2008).
Hallaq, Wael B. A History of Islamic Legal Theories: An Introduction to
Sunni Usul al-Fiqh. (Cambridge, U.K.: Cambridge
University Press, 1997).
Weeramantry, Christopher, Justice Without Frontiers: Furthering
Human Rights. (Brill Publishers, 1997).
Weiss, Bernard G, Studies in Islamic Legal Theory. (Leiden;
Boston: Brill Publishers, 2002).


[1] 1 R.M. Ritter (editor) New Oxford Dictionary for Writers and Editors – The Essential A-Z Guide to the Written Word (Oxford: Oxford University Press, 2005), hlm. 349.
[2] 2Irshad Abdal-Haqq, editor Hisham M. Ramadan Understanding Islamic Law: From Classical to Contemporary (Contemporary Issues in Islam), Alta Mira Press, 2006, hlm. 4
[3] 3 Weiss, Bernard G. The Spirit of Islamic Law. Athens, Georgia: University of Georgia Press, 1998, hlm. 17.
[4] 8 N. Calder, "Sharīa." Encyclopaedia of Islam. " Dalam wacana Islam , Syariah menetapkan aturan dan peraturan yang mengatur kehidupan umat Islam, pada prinsipnya berasal dari al-Qur‟an dan Hadits. Dalam pengertian ini , kata tersebut terkait erat dengan fikih, yang berarti pemahaman tentang Hukum Ilahi.
[5] 9 Hamilton Alexander Rosskeen Gibb, Mohammedanism – An Historical Survey (Oxford University Press, 1970), hlm. 68.
[6] Ibid.
[7] 11 The Sharia and The Nation State: Who Can Codify the Divine Law? Accessed 20 September 2005, hlm. 2.
[8] 12 Hunt Janin and Andre Kahlmeyer, Islamic Law: the Sharia from Muhammad's Time to the Present (McFarland and Co. Publishers, 2007), hlm. 3.
[9] 13 Basim Musallam, The Cambridge Illustrated History of the Islamic World edited by Francis Robinson (Cambridge University Press, 1996), hlm. 176.
[10] Marshall Hodgson, The Venture of Islam Conscience and History in a World Civilization, Vol. 3 (University of Chicago, 1958), hlm. 105–108.
[11] 15 Ibid, hlm. 176–177.
[12] 16 Sarah Ansari, The Cambridge Illustrated History of the Islamic World edited by Francis Robinson (Cambridge University Press, 1996), hlm. 90.
[13] 17 Ibid., hlm. 103– 111.
[14] 18 Corinna Standke, Sharia - The Islamic Law (GRIN Verlag, 2008), hlm. 3
[15] 19 Tariq Ramadan, In the Footsteps of the Prophet: Lessons from the Life of Muhammad (USA: Oxford University Press, 2007), hlm. 4.
[16] 20 Ibid., hlm.12-13
[17] 21 Ibid., hlm.5-7
[18] 22 H. Patrick Glenn, Legal Traditions of the World (Oxford University Press, 2007), hlm. 199.
[19] 23 Glenn, H. Patrick, 2007, hlm. 199.
[20] 24 Ibid., hlm. 201.
[21] 25 Ibid., hlm. 201.
[22] 26 Ramadan, In the Footsteps... hlm.5-7
[23] 27 Wael B Hallaq, A History of Islamic Legal Theories: An Introduction to Sunni Usul al-Fiqh (Cambridge, U.K.: Cambridge University Press, 1997), hlm. 27
[24] 28 Ramadan (2006), hlm.5-7
[25] 29 John L.Esposito, The Future of Islam (Oxford University Press, 2010), hlm. 74–77.
[26] 30 Cyril Glasse, The New Encyclopedia of Islam (Altamira, 2001), hlm. 141
[27] 31 Bernard G. Weiss, (2002). Studies in Islamic Legal Theory, (Leiden : Brill Publishers), hlm. 161.
[28] 32 Ibid., hlm.162.
[29] 33 Imran Ahsan Khan Nyazee, Islamic Jurisprudence: Us} ūl al-Fiqh (International Institute of Islamic Thought, 2000), hlm. 37.
33 Imran Ahsan Khan Nyazee, Islamic Jurisprudence: Us} ūl al-Fiqh (International Institute of Islamic Thought, 2000), hlm. 37.
[30] 34 Gamal Moursi Badr, "Islamic Law: Its Relation to Other Legal Systems." The American Journal of Comparative Law (American Society of Comparative Law, 1978), hlm. 26
[31] 35 John A. Makdisi, The Islamic Origins of the Common Law. North Carolina Law Review, 1999, hlm. 77.
[32] 36 Monica M Gaudiosi, "The Influence of the Islamic Law of Waqf on the Development of the Trust in England: The Case of Merton College". University of Pennsylvania Law Review, Vol. No. 4 (University of Pennsylvania Law Review, April 1988), hlm. 136
[33] 37 Ibid., hlm. 40
[34] 38 Barbara Hudson, Understanding Justice (Philadelphia, PA: Buckingham Open University Press, 2003), hlm. 32
[35] 39 Makdisi 1999, hlm. 79.
[36] 40 Makdisi 1999, hlm. 82
[37] 41Mahmoud A. El-Gamal, Islamic Finance: Law, Economics, and Practice (Cambridge University Press, 2006), hlm. 16
[38] 42 Makdisi 1999, hlm. 83-84
[39] 43 Jan Michiel Otto, Sharia and National Law in Muslim Countries – Tensions and Opportunities for Dutch and EU Foreign Policy – Law, Governance, and Development (Amsterdam: Amsterdam University Press, 2008), hlm. 10.
[40] 44 Ibid., hlm. 9.
[41] 45 Chioma Daisy Ebeniro, The Problems of Administration of Justice on Female Offenders in Nigeria. African Journal of Criminology and Justice Studies, April 2011, (2), hlm. 4

SHARE THIS POST   

  • Facebook
  • Twitter
  • Myspace
  • Google Buzz
  • Reddit
  • Stumnleupon
  • Delicious
  • Digg
  • Technorati
Author: Mohammad
Mohammad is the founder of STC Network which offers Web Services and Online Business Solutions to clients around the globe. Read More →

0 komentar: