Download this Blogger Template by Clicking Here!

PROFIL

https://web.facebook.com/irwan.a.lovers

Sabtu, 25 Mei 2019

Widgets

AKAD WADIAH DI BANK SYARIAH


Oleh: IRWANTO, S.Sy., M.A
1.     Pengertian Akad Wadi’ah
Barang titipan dikenal dalam bahasa fiqh dengan al-wadi’ah, menurut bahasa al-wadi’ah ialah sesuatu yang ditempatkan bukan pada pemiliknya supaya dijaganya,[1] berarti bahwa al-wadi’ah ialah menitipkan. Makna yang kedua al-wadi’ah dari segi bahasa ialah menerima, seperti seseorang berkata, “awda’tuhu” artinya aku menerima harta tersebut darinya. Secara bahasa al-wadi’ah memiliki dua makna, yaitu memberikan harta untuk dijaganya dan pada penerimaannya.[2]
Menurut Syafiiyah dan Malikiyyah, wadi’ah adalah pemberian mandat untuk menjaga sebuah barang yang dimiliki atau barang yang secara khusus dimiliki seseorang dengan cara-cara tertentu. Untuk itu diperbolehkan menitipkan kulit bangkai yang telah disucikan, atau juga seekor anjing yang telah dilatih untuk berburu atau berjaga-jaga. Tidak boleh menitipkan baju yang sedang terbang ditiup angin, karena ini termasuk dalam kategori harta yang sia-sia (tidak ada kekhususan untuk dimiliki), yang bertentangan dengan prinsip wadi’ah.[3] Ketika kontrak wadi’ah telah disepakati kedua pihak, pemilik aset memiliki hak penjagaan aset yang dititipkan, sedangkan penerima titipan berkewajiban untuk menjaganya. Jikalau ada dua orang menitipkan asetnya kepada seseorang, kemudian datang salah satu dari mereka dan meminta aset mereka kembali, maka aset itu tidak boleh dikembalikan, sehingga pihak kedua datang menemui mereka.[4]
Wadi’ah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik individu ataupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendakinya. Wadi’ah juga dapat diartikan akad seseorang kepada pihak lain dengan menitipkan suatu barang untuk dijaga secara layak (menurut kebiasaan). Dari pengertian ini, dapat dipahami bahwa apabila ada kerusakan pada benda titipan, padahal benda tersebut sudah dijaga sebagaimana layaknya, maka si penerima titipan tidak wajib menggantinya, tetapi apabila kerusakan itu disebabkan karena kelalainnya, maka ia wajib menggantinya. Dengan demikian, akad wadi’ah ini mengandung unsur amanah, kepercayaan.[5] Jadi, wadi’ah atau titipan yaitu sesuatu yang dititipkan seseorang kepada orang lain untuk menjaga dan memelihara barang titipan tersebut sebagaimana dia menjaga miliknya sendiri.
2.     Dasar Hukum Akad Wadi’ah
Secara umum, dasar hukum wadi’ah lebih mencerminkan anjuran untuk melakukan simpanan. Hal ini tampak dalam ayat-ayat Al-Qur’an, Hadits, ijma’, hukum menerima benda titipan, rusaknya dan hilangnya benda titipan sebagai berikut :
* bÎ)ur óOçFZä. 4n?tã 9xÿy öNs9ur (#rßÉfs? $Y6Ï?%x. Ö`»yd̍sù ×p|Êqç7ø)¨B ( ÷bÎ*sù z`ÏBr& Nä3àÒ÷èt/ $VÒ÷èt/ ÏjŠxsãù=sù Ï%©!$# z`ÏJè?øt$# ¼çmtFuZ»tBr& È,­Guø9ur ©!$# ¼çm­/u 3 Ÿwur (#qßJçGõ3s? noy»yg¤±9$# 4 `tBur $ygôJçGò6tƒ ÿ¼çm¯RÎ*sù ÖNÏO#uä ¼çmç6ù=s% 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ÒOŠÎ=tæ ÇËÑÌÈ
Artinya: Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. dan barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.[6] (Q.S. Al-Baqarah: 283).

Dari ayat di atas menjelaskan bahwa apabila kamu dipercayai oleh seseorang untuk menjaga suatu barang milik orang lain, maka hendaknya kamu menunaikan amanah dan menjaga barang titipan tersebut. Dan menjaga sampai pemilik barang tersebut mengambilnya. Dan Allah Swt tidak menyukai orang-orang yang menyembunyikan persaksian, karena Allah Swt mengetahui yang kamu kerjakan.
Dalam surat lain juga menjelaskan tentang menunaikan amanah yaitu dalam surat an-Nisa ayat 58 Allah Swt berfirman:
* ¨bÎ) ©!$# öNä.ããBù'tƒ br& (#rŠxsè? ÏM»uZ»tBF{$# #n<Î) $ygÎ=÷dr& #sŒÎ)ur OçFôJs3ym tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# br& (#qßJä3øtrB ÉAôyèø9$$Î/ 4 ¨bÎ) ©!$# $­KÏèÏR /ä3ÝàÏètƒ ÿ¾ÏmÎ/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $JèÏÿxœ #ZŽÅÁt/ ÇÎÑÈ
Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat.[7](Q.S. an-Nisa’: 58).

Dari ayat di atas menjelaskan, bahwa pentingnya menyampaikan amanah kepada orang yang berhak menerimanya. Dengan demikian, orang yang menerima titipan haruslah orang yang berakal dan orang yang dapat dipercaya untuk dititipi amanah. Dan Allah Swt memerintahkan kepada orang yang menitipkan barang titipan dan orang yang menerima barang titipan harus bersikap adil, karena Allah Swt menyukai orang yang bersikap adil dan dapat menyampaikan amanah dengan baik.
Sedangkan dalam hadits menjelaskan tentang akad wadi’ah, Nabi Muhammad Saw bersabda:
اَدَّ اْلأَمَانَةَ اِلَى مَنِ اْئتَمَنَكَ وَلَا تَخُنْ مَنْ خَنَكَ (رواه أبو داود والتر ميذى)
Artinya: Tunaikanlah amanah kepada orang yang menyerahkannya kepadamu dan janganlah engkau mengkhianati orang yang mengkhianatimu.[8] (H.R. Abu Dawud dan at-Tirmidzi)

Dari hadis di atas menerangkan bahwa apabila kamu dititipi orang lain suatu barang, maka kamu harus memelihara, menjaga dan merawatnya dengan sebaik baiknya seperti kamu menjaga barang milik kamu sendiri. Meskipun orang yang meminta kamu untuk menjaga dan memelihara barang miliknya pernah mengkhianati kamu tetapi kamu jangan sekali kali membalas dengan mengkhianati orang tersebut.
3.     Rukun dan Syarat Akad Wadi’ah
Rukun merupakan hal yang sangat penting yang harus dilakukan, jika rukun tersebut tidak ada salah satu, maka akad wadi’ah tidak sah. wadi’ah mempunyai tiga rukun yang harus dilaksanakan. Adapun rukun yang harus dipenuhi dalam transaksi dengan prinsip wadi’ah menurut jumhur ulama adalah sebagai berikut:
a.       Orang yang menitipkan barang (muwaddi’ ).
b.      Orang yang dititip barang (wadi’).
c.       Barang yang dititipkan (Wadi’ah).
d.      Ijab qabul (sighat).[9]
Menurut ulama Mazhab Hanafi menyatakan bahwa rukun wadi’ah hanya satu, yaitu ijab dan qabul, sedangkan yang lainnya termasuk syarat bukan rukun.
Dalam akad wadi’ah memiliki dua syarat, yaitu:
a.       Ijab dari penitip dan qabul dari penjaga, baik dengan ucapan maupun perbuatan. Lebih dari sekali telah kami jelaskan bahwa ijabdan qabul termasuk rukun. Sekedar izin dari pemilik untuk menjaga hartanya itu tidaklah cukup. Untuk itu, harus terdapat kesepakatan antara kehendaknya dan kehendak penjaga untuk menjaga harta akad akan terjadi.
b.      Kedua belah pihak harus memiliki kelayakan untuk melakukan akad-akad yang berkaitan dengan harta. Jika seseorang yang balig dan berakal menerima titipan dari anak kecil atau orang gila maka dia harus menjamin barang tersebut meskipun bukan karena kesalahan atau kelalaiannya.
Menurut para ulama Hanafi. Dua orang yang melakukan akad wadi’ah disyaratkan harus berakal, sehingga tidak sah penitipan anak kecil yang tidak berakal dan orang gila. Sebagaimana tidak sah juga menerima titipan dari orang gila dan anak kecil yang tidak berakal. Tidak disyaratkan sifat bilang dalam hal ini, sehingga sah penitipan dari anak kecil yang dibolehkan untuk berjualan, karena penitipan ini termasuk yang diperlukan oleh seorang penjual. Sebagaimana sah juga penitipan kepada anak kecil yang telah diperbolehkan melakukan jual beli, karena ia termasuk yang biasa melakukan penjagaan.
Adapun anak kecil yang mahjur dihalangi untuk membelanjakan harta, maka tidak sah menerima titipan darinya, karena umumnya anak kecil tersebut tidak mampu menjaga harta. Menurut jumhur ulama, dalam akad wadi’ah disyaratkan pula hal-hal yang disyaratkan dalam wakalah, seprti balig, berakal, dan bisa mengatur pembelanjaan harta.
Dalam akad wadi’ah sesuatu yang dititipkan disyaratkan dapat diterima, sehingga jika seorang menitipkan budak yang sedang melarikan diri untuk burung yang sedang terbang di udara atau harta yang jatuh di dalam laut maka orang yang dititipi tidak wajib memberikan gnati jika terjadi hal-hal yang tidak dinginkan pada titipan itu.
4.     Macam-Macam Wadi’ah
Ada dua tipe wadi’ah, yaitu wadi’ah yad amanah dan wadi’ah yad dhamanah.
a.       Wadi’ah Yad Amanah
Wadi’ah yad amanah adalah akad titipan di mana penerima titipan (custodian) adalah penerima kepercayaan (trustee), artinya ia tidak diharuskan mengganti segala resiko kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada aset titipan, kecuali bila hal itu terjadi pada asset titipan, karena akibat kelalaian atau kecerobohan yang bersangkutan atau bila status titipan telah berubah menjadi wadi’ah yad dhamanah.[10] Wadi’ah jenis ini memiliki karakteristik sebagai berikut:
1)      Harta atau barang yang dititipkan tidak boleh dimanfaatkan dan digunakan oleh penerima titipan.
2)      Penerima titipan hanya berfungsi sebagai penerima amanah yang bertugas dan berkewajiban untuk menjaga barang yang dititipkan tanpa boleh memanfaatkannya.
3)      Sebagai konpensasi, penerima titipan diperkenankan untuk membebankan biaya kepada yang menitipkan.
4)      Oleh penerima titipan atau harta yang dititipkan tidak boleh dimanfaatkan oleh penerima titipan, aplikasi perbankan yang memungkinkan untuk jenis ini adalah jasa penitipan atau safe deposit box.[11]
b.      Wadi’ah Yad Dhamanah
Wadi’ah yad dhamanah adalah akad titipan dimana penerima titipan (custodian) adalah trustee yang sekaligus penjamin (guarantor) keamanan asset yang dititipkan. Penerima simpanan bertanggung jawab penuh atas segala kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada asset titipan tersebut.[12]  Wadi’ah jenis ini memiliki karakteristik berikut ini :
1)      Harta dan barang yang dititipkan boleh dan dapat dimanfaatkan oleh yang menerima titipan.
2)      Karena, dimanfaatkan, barang dan harta yang dititipkan tersebut tentu dapat menghasilkan manfaat. Sekalipun demikian, tidak ada keharusan bagi penerima titipan untuk memberikan hasil pemanfaatan kepada si penitip.
3)      Produk perbankan yang sesuai dengan akad ini yaitu giro dan tabungan.
4)      Bank konvensional memberikan jasa giro sebagai imbalan yang dihitung berdasarkan persentase yang telah ditetapkan. Adapun pada bank syariah, pemberian bonus tidak boleh disebutkan dalam kontrak ataupun dijanjikan dalam akad, tetapi benar-benar pemberian sepihak sebagai tanda terima kasih dari pihak bank.
5)      Jumlah pemberian bonus sepenuhnya merupakan kewenang manajemen bank syariah karena pada prinsipnya dalam akad ini penekanannya adalah titipan.
6)      Produk tabungan juga dapat menggunakan akad wadi’ah karena pada prinsipnya tabungan mirip dengan giro, yaitu simpanan yang bisa diambil setiap saat. Perbedaanya, tabungan tidak dapat ditarik dengan cek atau alat lain yang dipersamakan.
5.  Giro Wadiah dan Giro Mudharabah
a.    Giro wadiah adalah simpanan dana yang bersifat titipan yang penarikannya dapat di lakukan sestiap saat dengan mengunakan cek, bilyet giro, sarana pemerintah pembayaran lainnya, atau dengan pemindah bukuan dan terhadap titipan tersebut tidak di persyaratkan imbalan kecuali dalam bentuk pemberian sukarela. Dalam kaitannya dengan produk giro, Bank Syariah menerapkan dua prinsip wadi’ah, yaitu Wadiah Yad al amanah dan Wadiah Yad al-Dhamanah.[13]
b.    Giro Mudharabah yakni giro yang dijalankan berdasarkan akan mudharabah. Seperti yang sudah kita ketahui, mudharabah mempunyai 2 bentuk, yakni mudharabah mutlaqoh dan mudharabah muqayyadah, yang menjadi perbedaan diantara keduanya adalah terletak pada ada atau tidaknya persyaratan yang diberikan pemilik dana kepada bank dalam mengelola hartanya, baik dari sisi tempat, waktu maupun objek investasinya.
Dalam transaksi ini, nasabah bertindak sebagai shahibul maal atau pemilik dana, dan bank bertindak sebagai mudharib/pengelola dana. Dalam kapasitasnya sebagai mudharib, bank dapat melakukan berbagai macam usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan mengembangkannya.[14] Dari hasil pengelolaan mudharabah, Bank Syariah akan memberi bagi hasil kepada pemilik dana sesuai dengan nisbah yang telah disepakati dan dituangkan dalam akad pembuatan rekening.[15] Dalam mengelola dana tersebut, bank tidak bertanggung jawab terhadap kerugian yang bukan disebabkan oleh kelalaiannya.


[1] Imron Abu Amar, Fathul Qorib, (Kudus; Menara Kudus, 1983), h. 330
[2] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h. 179
[3] Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h. 175
[4] Dimyauddin Djuwaini, Op.Cit, h. 175
[5] Nurul Huda, Lembaga Keuangan Islam: Tinjauan Teori dan Praktis,...h. 85
[6] Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemah, Tafsir Perkata, (Bandung: PT. Sygma Examedia Arkenleema, 2010) h. 49
[7] Ibid  h. 87
[8] Mardani, Ayat-Ayat Dan Hadis Ekonomi Syariah, (Raja Grafindo: Jakarta, 2011), h. 195
[9] Dimyauddin Djuwaini, Op.Cit,  h. 174
[10] Ibid, h. 32
[11] Muhammad Syafi’i Antonio, Op.Cit,  h. 148
[12] Zainul Arifin, Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah, (Jakarta : Azkia Publisher, April 2009), h. 32
[13] Wiroso, Penghimpunan Dana dan Distribusi Hasil Usaha Bank Syariah, (Jakarta: PT Grasindo, 2005), h. 22
[14] Ibid, h. 43
[15] Adiwarman A.Karim, Bank Islam (Analisis Fiqih dan Keuangan), (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2004), h. 272

SHARE THIS POST   

  • Facebook
  • Twitter
  • Myspace
  • Google Buzz
  • Reddit
  • Stumnleupon
  • Delicious
  • Digg
  • Technorati
Author: Mohammad
Mohammad is the founder of STC Network which offers Web Services and Online Business Solutions to clients around the globe. Read More →

0 komentar: