Sabtu, 12 September 2015
ABORSI DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM (SUATU KAJIAN KOMPARATIF)
A. Pendahuluan
Islam menyatakan bahwa kehidupan janin adalah
kehidupan yang harus dihormati. Oleh sebab itu menjadi sebuah pelanggaran jika
melakukan pengguguran terhadap janin yang sedang dikandung, dalam hal ini
adalah melakukan aborsi, apalagi aborsi tersebut tanpa alasan yang sah atau
dikuatkan oleh tim medis.
Dalam studi hukum Islam terdapat perbedaan pendapat
tentang aborsi di dalam empat fiqih mazhab. Imam Hanafi misalnya yang menjadi
mazhab yang paling fleksibel memandang bahwa, sebelum empat bulan masa
kehamilan, aborsi bisa dilakukan apabila mengancam kehidupan si perempuan yang
sedang mengandung; Mazhab Maliki melarang aborsi setelah terjadinya pembuahan;
Mazhab Syâfi‘î memandang bahwa apabila setelah terjadi vertilasi zygote tidak
boleh diganggu, dan intervensi terhadapnya adalah sebagai kejahatan; sedangkan
Mazhab Hanbali menegaskan dengan keras bahwa aborsi adalah dosa, dengan adanya
pendarahan yang menyebabkan miskram sebagai petunjuk bahwa aborsi itu haram.
Masalah aborsi[1] adalah isu kontroversial,
karena aborsi tidak hanya terkait dengan masalah kesehatan, tetapi juga erat
dengan etika moral, agama, dan hukum.[2] Adanya kontroversi yang
terjadi di kalangan ulama erat kaitannya dengan masalah aborsi yang non
therapeuticus pada usia sebelum 120 hari. Sebagian mereka ada yang membolehkan,
memakruhkan, bahkan sebagian lagi mengharamkan.
Sebab itulah penulis tertarik untuk menjawab
permasalahan tersebut berkaitan dengan konsep serta pemikiran para fukahâ
secara komprehensif tentang aborsi. Maka analisis yang akan dipakai adalah
analisis sintesis, yaitu untuk menelaah secara kritis, meneliti ungkapan atau
istilah, pengertian yang dikemukakan oleh para fukahâ maupun pihak medis
kedokteran, sehingga dapat diketahui kelebihan dan kekurangan masingmasing
pandangan mereka, untuk kemudian menemukan pengertian baru yang lebih sempurna.
Dengan sintesis dimaksudkan untuk menemukan satu kesatuan pemikiran yang utuh
dalam rangka memecahkan permasalahan. Dan terakhir adalah melalui metode
komparatif, yaitu digunakan untuk mengetahui dan membandingkan pendapat
masing-masing tokoh fukahâ sehingga diketahui argumentasi serta faktor apa yang
menjadikan mereka berbeda dalam menentukan pendapatnya.
B.
Pembahasan
1.
Aborsi dalam Pandangan
Medis
Aborsi menurut etimologi berasal dari bahasa Inggris abortion:
miscarriage, yang berarti pengguguran kandungan. Abortus artinya keguguran.
Aborsi menurut terminologi adalah abortion (n): expultion of foetus from
tlie womb during the first 28 weeks ofpregnance.[3]
Aborsi atau abortus adalah pengakhiran kehamilan baik
belum cukup waktu, yaitu di bawah usia 20 sampai 28 minggu, mau pun belum cukup berat, yaitu di bawah 400 gr
sampai 1000 gr. Anak baru mungkin hidup di dunia luar kalau berat nya mencapai 1000 gr atau usia kehamilan 28
minggu. Ada juga yang mengambil sebagai batas untuk abortus berat anak antara
500 gr sampai 999 gr, disebut partus immaturus.[4] Hubungannya dengan
abortus, tentang usia belum mencapai 28 minggu, mempunyai makna hukum, karena
akhir dari 28 minggu merupakan akhir kelangsungan hidup fetus dalam
hukum Inggris. Ada kemungkinan berubah karena perkembangan teknologi kedokteran
masih tetap merupakan kelangsungan hidup secara hukum.[5]
Dalam ilmu medis kedokteran, aborsi dapat digolongkan
kepada dua kategori yaitu abortus spontan dan abortus provokartus. Abortus
spontan(terjadi dengan sendiri, keguguran), insiden abortus ini pada umum nya tercatat sebesar 10%-20%. Sedang kan
abortus provokartus (sengaja digugurkan), merupakan 80% dari semua abortus.
Abortus provokartus ada yang berdasarkan diagnosis pihak medis yang
mengharuskan ibu di aborsi. Dan ada juga tanpa diagnosis pihak medis, yakni
atas kehendak ibu karena berbagai alasan seperti ekonomi sulit, terlalu banyak
anak, terjadi hubungan di luar nikah, perkosaan dan lain-lain, inilah disebut
aborsi non therapeuticus. Abortus provocatuster bagi dua yakni artificialis
atau therapeu ticus (abortus semacam ini ialah penguguran kehamilan
dengan alasan membahayakan jiwa ibu, misalnya karena ibu berpenyakit berat),
dan abortus provockatus kriminalis, adalah pengguguran kehamilan tanpa
alasan medis yang sah dan dilarang oleh hukum.[6]
2.
Aborsi Menurut Hukum
Positif
Aborsi atau abortusmenurut hukum
pidana, yaitu kejahatan yang dilakukan dengan suatu perbuatan yang
mengakibatkan kandungan lahir sebelum waktunya melahirkan menurut alam. Pada
tindak kejahatan terhadap pengguguran kandungan ini diartikan juga sebagai pembunuhan
anak yang berencana, di mana pada pengguguran kandungan harus ada kandungan (vrucht)
atau bayi (kidn) yang hidup yang
kemudian dimatikan. Persamaan inilah yang juga menyebabkan tindak pidana
penguguran (abortus)dimasukkan ke dalam titel buku II KUHP tentang kejahatan
terhadap nyawa orang.
Dasar-dasar hukum (pasal-pasal) yang
mengatur tentang abortus,diantaranya: KUHP BAB XIV, kejahatan terhadap
kesusilaan, pasal 281 ayat (1). Pada ayat (2) diancam dengan pidana penjara
paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak Rp 9000,-, barang
siapa menawarkan, memberikan untuk terus maupun untuk sementara waktu,
menyerahkan atau mem perlihatkan tulisan, gambaran atau benda yang melanggar
kesusilaan, maupun alat untuk mencegah atau menggugur kan kehamilan kepada
seorang yang belum dewasa, dan yang diketahui sepatutnya harus diduga bahwa
umurnya belum 17 tahun, jika isi tulisan, gambaran, benda atau alat itu telah
diketahuinya. Kemudian pada ayat (3) diancam dengan pidana penjara paling lama
empat bulan atau pidana penjara paling lama empat bulan atau pidana kurungan
paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak Rp 9000, barang siapa
menawarkan,” memberikan untuk terus maupun untuk sementara waktu, menyerahkan
atau mem per lihatkan tulisan, gambaran
atau benda yang melanggar kesusilaan, maupun alat untuk mencegah atau
mengugurkan kehamilan kepada seorang yang belum dewasa sebagaimana dimaksud
dalam ayat pertama jika ada alasan kuat baginya untuk menduga, bahwa tulisan,
gambaran atau benda yang melanggar kesusilaan atau alat itu adalah alat untuk
mencegah atau menggugurkan kehamilan.
3.
Aborsi Non Therapeuticus
dalam Perspektif Hukum Islam
Bila ditinjau dari segi linguistik,
dalam perspektif syara’, kata “abortus” atau “aborsi” dikenal dengan ungkapan al-Ijhadh
atau Ishqat al-Haml, yang berarti
men jauhkan, mencegah,[7] atau dengan kata lain
didefinisikan sebagai keluarnya atau gugur
nya kandungan dari seorang ibu yang usia kandungannya belum mencapai 20
minggu. Dalam konteks Islam menyatakan bahwa kehidupan janin (anak dalam
kandungan) adalah kehidupan yang harus dihormati.[8] Oleh sebab itu, adalah
suatu pelanggaran jika melakukan pengguguran terhadap janin yang sedang
dikandung (aborsi), apalagiaborsi tersebut tanpa alasan yang sah atau dikuatkan
oleh tim medis.
Perbedaan pendapat dikalangan ulama
didasarkan dari sejarah pada masa Rasulullah, telah terjadi suatu pertengkaran
atau perkelahi an antara dua orang wanita dari suku Huzail. Salah satunya yang
tengah hamil dilempar batu dan mengenai perut nya. Akibatnya, janin atau bayi
dalam kandungannya itu meninggal. Ketika persoalan tersebut diadukan kepada
Rasulullah, pembuat jarîmah tersebut (yang melempar) dikenakan sanksi
hukum ghurrah, yaitu seperdua puluh diyat.[9]
Ketetapan inilah yang kemudian diadopsi
oleh para fukaha untuk menetapkan sanksi hukum terhadap orang yang melakukan
aborsi tanpa alasan yang sah atau tindak pidana terhadap pengguguran kehamilan.
Kemudian mengenai abortus non thempeuticus pada usia janin sebelum 120
hari, pendapat para ulama terbagi dalam tiga aliran, yaitu boleh, makruh dan
haram. Menurut mayoritas fukaha, melakukan aborsi bagi janin yang telah berusia
120 hari hukumnya haram. Sedang usia sebelum 120 hari terjadi khilâfiyah. Ada
yang berpendapat boleh, makrûh, dan haram. Alasan yang mengharamkan usia 120
hari dan membolehkan sebelum 120 hari adalah hadis yang diriwayatkan oleh
Muslim dan Ibn Mas’ud yang menyatakan tentang penciptaan janin, dari nuthfah
ke ‘alaqah, ke mudghah dan sampai ditiupkannya ruh pada usia ke 40 hari.[10]
Menurut Imam al-Ramli dari kelompok pengikut Imam
Syâfi’i, melakukan aborsi bagi janin yang sudah berusia 120 hari, haram
hukumnya. Karena diperkirakan bahwa janin sudah bernyawa. Bagi yang
melakukannya maka sangsinya adalah ghurrah,[11] yakni diyat yang
harus dipenuhi oleh orang yang melakukan pembunuhan janin, berupa membayar
seorang budak laki-laki atau perempuan kepada keluarga si janin atau membayar kafarat
senilai dengan seperdua puluh diyat biasa, yaitu lima ekor unta.
Sedangkan pengguguran sebelum 120 hari hukumnya boleh.
Ibn Hazm juga berpendapat bahwa pembunuhan janin
setelah ditiupkannya ruh dan usianya mencapai 120 hari dianggap sebagai
tindakan kejahatan pembunuhan dengan sengaja dan dijatuhkan hukuman qishâs,
kecuali dimaafkan oleh si korban. Tindakan tersebut wajib ghurrah dan tidak
wajib membayar kafarat karena dianggap sebagai pembunuhan sengaja.[12]
Ibn Qudâmah berpendapat bahwa jika ternyata janin itu
mati akibat dari suatu pemukulan pada perut ibunya, maka pelakunya diberi
ganjaran berupa kafarat, di samping diyat dan ghurrah, yaitu
memerdekakan seorang budak yang beriman. Jika tidak dapat melakukannya, maka ia
harus berpuasa selama dua bulan berturut-turut. Bahkan, hal itu diwajibkan
atasnya baik janin itu hidup atau mati. Dasarnya adalah surat al- Nisâ’ [4]:
29, tentang sanksi hukum terhadap si pembunuh karena tersalah.[13]
Kemudian dari fukaha Syafî’iyah
(kecuali al-Ghâzali), dan mayoritas fukaha Hanâbilah (kecuali Ibn Rajab) serta
mayoritas fuqahâ Hanâfiyah, berpendapat bahwa penguguran kandungan (aborsi)
yang di lakukan atas persetujuan suamiistri dan tidak menggunakan alat yang
membahayakan serta janin yang digugurkan tersebut belum berusia40 hari, maka
hukumnya makrûh. Alasan dari mahzab Hanâfi adalah karena janin itu belum
berbentuk.[14]
Dari apa yang dikemukakan ulama (kelompok mazhab)
tentang aborsi, terutama masalah usia janin yang haram dan yang boleh untuk
dilakukannya aborsi, ternyata berbeda dengan persepsi yang dipaparkan oleh
dunia medis kedokteran. Secara medis, janin menjelang minggu keenam sampai
ketujuh sudah memperlihatkan adanya denyut jantung. Oleh sebab itu, Hassan
Hathoud, seorang guru besar bidang Obstetri dan Ginekologi Fakultas
Kedokteraan Universitas Quwait, menganggap para ulama saat itu menanggapi hadis
tersebut masih terbatas. Itu disebabkan keterbatasan perkembangan sains dan
teknologi, terutama tentang embriologi, pada saat mereka memberi makna yang
sama antara “asal mula kehidupan janin” dengan “ditiupkannya ruh”.[15]
Al-Ghazali berpendapat bahwa pengguguran dan pembunuhan
terselubung merupakan tindakan kejahatan terhadap suatu wujud yang telah ada.
Wujud itu mempunyai beberapa tingkatan. Tingkat pertama ialah masuknya nuthfah
(sperma) ke dalam rahim dan bercampur dengan air mani perempuan (ovum) serta siap
untuk menerima kehidupan.[16] Hal ini senada dengan
pendapat Mahmûd Syalthûth.[17]
a. Aliran yang membolehkannya
Imâm al-Subki berpendapat bahwa pengguguran kandungan
dari hasil perbuatan zina, dibolehkan asal masih berupa nuthfah atau ‘alaqoh,
yaitu sebelum delapan puluh hari. Demikian juga pendapat Imâm alRamli dari
kelompok mahzab Syâfi’i. Alasan mereka adalah hadis yang diriwayatkan oleh
Bukhâri dan Muslim tentang penciptaan janin yang berusia 40 hari baru kemudian
ditiupkan ruh. Sedangkan Abû Ishâq alMarwaei berpendapat bahwa seseorang yang
minum obat untuk menggugurkan kandungannya selama berbentuk ‘alaqah atau
mudghah, maka hal itu dibolehkan. Demikian pula pendapat kelompok
Hanâfiyah yang membolehkannya secara mutlak.[18] Hal sama juga dikemukakan
oleh Abû Bakar Ibn Sa’id al-Furati dan al-Qalyubi bahwa minum obat untuk
menggugur kan kandungan saat janin masih berbentuk nuthfah atau ‘alaqah, maka
hal itu dibolehkan.
b. Aliran yang berpendapat makrûh
Menurut pendapat Ibn Rusyd, dari kelompok mahzab
Maliki, jika terjadi pemukulan terhadap wanita yang sedang hamil dan
menyebabkan kematian janinnya, maka sanksi nya adalah tidak wajib kafarat tapi
sebaiknya kafarat. Alasannya seperti apa yang telah dilakukan pada kasus
perkelahian dua orang wanita suku Huzail di atas. Ibn Wahban berpendapat bahwa
pengguguran kandungan dibolehkan jika karena uzur. Jika tidak, maka hukumnya
makrûh.
Sedangkan Muhammad Said Ramadhan al-Bûti menilai
pengguguran kan dungan dibolehkan asal ada kesepakatan antara ayah dan ibu si
janin. Karena menurut hukum syara’, seorang ayah bisa sah jika dia mempunyai
anak yang dilahirkan dari istri yang sah. Sedangkan zina tidak mutlak
diperlukan (ayah). Dalam kasus seperti ini, hakim dapat men duduki sebagai ayah
untuk mem beriizin dan pertimbangan. Tapi ia tidak bisa memaafkan dalam masalah
qishas meskipun itu anak zina. Karena ia ber tentangan dengan mashlahah. Tetapi
hakim bisa menggantikan dalam keadaan darurat.
Alasannya karena air sperma setelah
ke rahim belumlah hidup, tapi mempunyai hukum sebagai manusia hidup, seperti
halnya telur binatang buruan pada waktu Ihrâm. Oleh sebab itu, ahli tahqîq berkata,
“maka kebolehan mengugurkan kandungan itu harus diartikan karena dalam keadaan
uzur, atau dengan pengertian bahwa ia tidak berdosa seperti dosanya membunuh”.[19]
c. Aliran yang berpendapat haram
Imâm al-Ghazâli berpendapat bahwa hukum pengguguran
kandungan haram secara mutlak, bahkan sejak bertemu nya sperma laki-laki dan
ovum wanita. Pendapat ini didukung Mahmûd Syaltût dan Yûsuf Qaradhawi.[20]
Menurut pendapat ‘Abd alRahmân al-Baghdâdi, jika
pengguguran itu dilakukan setelah 40 hari masa kehamilan, yaitu saat mulai
terbentuk nya janin, maka hukum
pengguguran adalah haram. Sama halnya pengguguran janin setelah ditiupkan ruh.
Sebab, janin yang sedang dalam proses pembentukan organorgannya dapat
dipastikan sebagai janin yang sedang mengalami proses terbentuknya manusia
sempurna. Alasannya adalah surat al-Mukminûn [23]: 14 yang berbunyi:
¢OèO $uZø)n=yz spxÿôÜZ9$# Zps)n=tæ $uZø)n=ysù sps)n=yèø9$# ZptóôÒãB $uZø)n=ysù sptóôÒßJø9$# $VJ»sàÏã $tRöq|¡s3sù zO»sàÏèø9$# $VJøtm: ¢OèO çm»tRù't±Sr& $¸)ù=yz tyz#uä 4 x8u$t7tFsù ª!$# ß`|¡ômr& tûüÉ)Î=»sø:$#
Artinya: Kemudian air mani itu Kami jadikan
segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan
segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami
bungkus dengan daging. kemudian Kami jadikan Dia makhluk yang (berbentuk) lain.
Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik. (Qs. al-Mukminûn :
14)
Dalam
ayat di atas, terutama tentang kata-kata “Khalqan Âkhar” yang ditakwil dan
ditafsirkan bahwa sebelum membentuk “mahluk lain” memang ada fase-fase tertentu
yang secara bertahap sudah dianggap mempunyai ruh atau suatu kehidupan, yaitu rûhhayawâni
dan rûhinsâniyah. Rûhhayawâni telah dimiliki sejak pembuahan terjadi,
sedangkan rûhinsâni berada ketika janin sudah berbentuk lengkap seperti yang
dilakukan oleh Sayyid Quthub.[21]
Kemudian
selanjutnya mereka beralasan pada surat Nuh [71]: 14 yang berbunyi:
ôs%ur
ö/ä3s)n=s{
#·#uqôÛr&
ÇÊÍÈ
Artinya: Padahal Dia Sesungguhnya telah
menciptakan kamu dalam beberapa tingkatan kejadian. (Qs. Nuh : 14)
Kemudian surat al-Mukminun [23]: 12, 13 dan 14:
ôs)s9ur $oYø)n=yz z`»|¡SM}$# `ÏB 7's#»n=ß `ÏiB &ûüÏÛ ÇÊËÈ §NèO çm»oYù=yèy_ ZpxÿôÜçR Îû 9#ts% &ûüÅ3¨B ÇÊÌÈ ¢OèO $uZø)n=yz spxÿôÜZ9$# Zps)n=tæ $uZø)n=ysù sps)n=yèø9$# ZptóôÒãB $uZø)n=ysù sptóôÒßJø9$# $VJ»sàÏã $tRöq|¡s3sù zO»sàÏèø9$# $VJøtm: ¢OèO çm»tRù't±Sr& $¸)ù=yz tyz#uä 4 x8u$t7tFsù ª!$# ß`|¡ômr& tûüÉ)Î=»sø:$# ÇÊÍÈ
Artinya: Dan Sesungguhnya Kami telah
menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami
jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian
air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan
segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu
tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. kemudian Kami jadikan Dia
makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling
baik. (Qs. al-Mukminun : 12, 13,14)
Serta surat al-Isrâ : 31 yang berbunyi:
wur (#þqè=çGø)s? öNä.y»s9÷rr& spuô±yz 9,»n=øBÎ) ( ß`øtªU öNßgè%ãötR ö/ä.$Î)ur 4 ¨bÎ) öNßgn=÷Fs% tb%2 $\«ôÜÅz #ZÎ6x.
Artinya: Dan janganlah kamu membunuh
anak-anakmu karena takut kemiskinan. kamilah yang akan memberi rezki kepada
mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang
besar. (Qs. al-Isrâ : 31)
C. Penutup
Ada tiga
pokok dalam kajian ini yakni abortus therapeuticus, aborsi setelah ditiupkan
ruh, abortus nontherapeuticus sebelum
ditiupkan ruh dan Abortus
nontherapeuticus merupakan hal paling esensial sebelum ditiupkan ruh atau sebelum
usia 120 hari. Karena kasus inilah yang banyak menimbulkan perbedaan pendapat
di kalangan para fukaha. Aborsi yang dilakukan setelah berusia 120 hari dan
sudah ditiupkan ruh, fukaha bersepakat haram hukumnya. Karena hal itu dianggap
sama dengan membunuh nyawa manusia yang sudah berwujud. Sebaliknya, pengguguran
kandungan yang dilakukan atas dasar diagnosis dokter, atau disebut juga abortus
therapeuticus, para fukaha telah sepakat menyatakannya boleh. Alasannya
adalah untuk menyelamatkan jiwa si ibu dari bahaya yang mengancamnya tanpa
melihat usia kandungan atau janin.Mengenai abortus nontherapeuticus sebelum
ditiupkan ruh, pendapat fukahaterbagi menjadi tiga aliran. Pertama,
menyatakannya boleh. Alasannya adalah hadis Bukhâri dan Muslim tentang “penciptaan
janin”. Aliran kedua me nyatakannya makrûh. Alasannya, mereka meng-qiyâs-kan kepada
“telur binatang buruan pada waktu ihram”. Aliran ketiga menyatakan haram.
Alasannya adalah surat al-Mukminun [23]: 4, terutama kata-kata “khalqan âkhar”
yang ditakwil dan ditafsir bahwa sebelum mernbentuk “mahluk lain”, memang ada
fase-fase tertentu suatu kehidupan manusia (ada dua tahap).
Akhirnya,
dalam upaya untuk mengantisipasi segala sesuatunya, terutama dalam masalah
aborsi serta dampak dan implikasi sosialnya, maka pendapat aliran yang ketiga
merupakan pendapat yang paling relevan dengan tuntutan perkembangan zaman.
Apalagi, pendapat ini didukung oleh teori-teori embriologi yang bisa
dipertanggungjawabkan secara akurat dan objektif. Dengan kata lain, aborsi tidak
boleh dilakukan kecuali dengan alasan syar’i, yaitu benar-benar dalam kondisi
sangat darurat.
[1]
Yang dimaksud aborsi ialah pengakhiran kehamilan sebelum janin mencapai berat
1000 gram atau kurang dari 28 minggu. Atau pengeluaran hasil konsepsi sebelum
janin dapat hidup di luar kandungan mempunyai berat badan 297 gram. Sarwono
Prawirnodijo, Ilmu Kebidanan, (Jakarta: Yayasan Bina Pustaka, 1981), h.
258.
[2] Kontroversi
dibalik upaya penghentian kehamilan, dalam Medika Jurnal Kedokteran dan
Farmasi, No. 2 Tahun XXIII, Februari 1957, h. 158-163.
[3]
AS. Harley, AP Cowie, Ac Ginson Oxford Advenced Teories Dictionary of Corent
English, (New York: Toronto Oxford University, 1987), h. 2.
[4]
Fakultas Kedokteran UNPAD, Obstetri
Patologi, (Bandung: UNPAD, Elstrar, 1984), h. 7.
[5]
R.F. Maulany, Obstetri dan Ginekologi Praktis, (Jakarta: Widya Medika,
1994), h. 189
[6] Fak.
Kedokteran, UNPAD, Obstetri Patologi, (Bandung: Elstar. 1984), h. 7.
[7]
Louis Makiuf, al-Munjid fi al-Lughah wa al-I’lan, cet. 21, (Bayrut: Dâr
al-Masyariq, 1973), h. 108.
[8]
Yûsuf Qaradhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, jilid II, (Jakarta: Gema
Insani Pres, 1995), h. 70.
[9]
Imâm al-Faraj Jamâl al-Din ‘Abd al-Rahmân bin Muhammad al-Jauzi al-Qurasy
al-Baghdâdi, ditahqiq oleh Ziyad Hamdan, Kitâb al-Ahkâm al-Nisa,
(Bayrut: Dâr al-Fikr, 1989), h. 185
[10]
Hassan Hathaoud, Revolusi Seksual Perempuan, (Bandung: Mizan, 1995),
h.167.
[11] Syihâbuddin
al-Ramli, Nihâyat al-Mukhtaj, Syarh alMinhaj fî al-Fiqh’ alâ Madzhab al lmâm
Syâfi’i, jilid VII, (alHalabi, 1357 H), h. 416.
[12]
Ibn Hazm, al-Muhallâ, jilid XI, (Kairo: al-Muniria, 1352 H), h. 234.
[13]
Ibn Qudâmah, al-Mughnî, Juz VI, (Mesir: Dâr al-Fikr, 1992).
[14] Ibn
Najian, al-Bahr al-Rayh, Juz VIII, (Bayrut: Dâr alMa’rifah, t.t). h.
233.
[15]
Hassan Hothout, Revolusi Seksesual Perempuan,(Bandung: Mizan, 1995),
h.167. Lihat pula Mahmûd Syaltût, Islam Aqîdah wa Syarî’ah, (Kairo: Dâr
al-Kalam, 1966), h. 212.
[16]
Al-Ghâzali, Ihyâ ‘Ulûm al-Din, Juz II, (Kairo: Dâr Ihya’ al-Kutub
al-Arabiyah, t.t.), h. 53
[17] Mahmûd
Syaltût, Islam Aqîdah wa Syarî’ah, h. 212.
[18]
Muhammad bin ‘Arafah al-Dasuqi, Hâsiyyah al-Dasuki alâ al-Syarah al-Kabir,Juz
II, (Bayrût: Dâr al-Fikr, t.t.), h. 266-267.
[19]
‘Abd al-Rahmân al-Baghdâdi, Emansipasi Adakah Dalam Islam, (Jakarta:
Gema Insani Press, 1988), h. 129.
[20]
Yûsuf Qaradhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer, Jilid II,(Jakarta: Gema Insani
Press, 1995), h. 778 .
[21]
Sayyid Quthb, Tafsir fi Zhilal al-Qur’an, Juz, XVI11,(Ttp.: Isa Halabi,
t.t.), h. 17.
Author: Mohammad
Mohammad is the founder of STC Network which offers Web Services and Online Business Solutions to clients around the globe. Read More →
Related Posts:
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar: