Sabtu, 25 April 2015
BID’AH DALAM KITAB QAWAIDUL AHKAM FI MASOLIHIL ANAM, KARANGAN IZZUDDIN IBN ABDISSALAM
A.
PENDAHULUAN
Perbincangan dan permasalahan mengenai seputar bid’ah sebenarnya sudah
banyak di kupas oleh para ulama. Diantara mereka ada yang membukukannya dalam kitab-kitab
karangan mereka. Diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Al-bida’ wa an-Nahyuy
‘Anha, karya al Qurthubiy
2. Al hawadiths wa
al Bida’, karya Ath-Thurutsi.
3. Tables Iblis karya
Ibnul Jauzi
4. Al – I’tishom
karya Asytahibi
Dan masih banyak lagi karangan para ulama yang membahas seputar “bid’ah”,
syaikh abdussalam bali menyebutkan karangan mereka sampai berjumlah 54, dan
bisa jadi lebih banyak dari itu. Hal ini dikarenakan masalah bid’ah ini adalah
permasalahan urgent dan merupakan salah satu dari pokok penyebab perpecahan
ummat, sebagaimana Asyathibi menyebutkan
daam muqodimahnya dalam kitab al I’tishom ketika mengutip ayat al-Qur’an:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا
Artinya : Dan berpegang teguhlah kalian kepada tali
Allah SWT, dan janganlah kalian berpecah belah.
Asyathibi mengatakan bahwa salah satu dari pokok penyebab perpecah belahan
ummat adalah bid’ah. Maka, sejak saat itulah para sahabat sangat berhati-hati
terhadap perkara-perkara bid’ah[1]. Karena itulah perlu kiranya kita
membahas seluk-beluk bid’ah, tentang apa itu bid’ah bagaimana itu bid’ah, dan
lain sebagainya seputar bid’ah. Berikut adalah ulasan ringkas dari pembahasan
mengenai bid’ah menurut Imam Izzudin Ibn Abdissalam dalam kitab Qawaidul Ahkam Fi Masolihil Anam
B. PEMBAHASAN
1. Biografi Imam Izzuddin Ibn Abdissalam
Imam Izzuddin Ibn Abdissalam adalah seorang
alim yang mumpuni keilmuannya. Ia memang tidak setenar Imam mazhab empat, Imam
Nawawi, Imam Ghazali, atau Imam Ibnu Taimiyah. Namun kontribusinya terhadap
dakwah, ilmu, dan jihad tercatat dengan tinta emas sejarah Islam. Ia
adalah Abdul Aziz bin Abdissalam bin Abi Al-Qasim bin Hasan bin Muhammad bin
Muhadzdzab, Ia dilahirkan di Damaskus. Mengenai tahun kelahirannya, para
sejarawan berbeda pendapat. Ada yang mengatakan, ia dilahirkan pada tahun 577
H. Sebagian mencatat bahwa ia lahir tahun 578 H. Namun pendapat pertama lebih
kuat. Imam agung ini wafat pada tahun 660 H di Kairo.
Izzuddin Ibn Abdissalam bergelar Izzuddin
(kemuliaan agama).Masyarakat pada masa itu memanggilnya dengan Abu Muhammad. Gelar
Izzuddin diberikan sesuai dengan adat pada masa itu. Setiap khalifah, sultan,
pejabat, terlebih lagi para ulama diberi tambahan gelar pada namanya. Gelar ini
nantinya lebih melekat dalam dirinya. Sehingga ia lebih dikenal dengan nama
Izzuddin bin Abdussalam atau Al-Izz bin Abdussalam. Di samping itu, ia juga
digelari Sulthan Al-Ulama (raja para ulama) oleh muridnya, Ibnu Daqiq
Al-id. Ini sebagai legitimasi atas kerja keras beliau menjaga reputasi para
ulama pada masanya. Usaha itu diimplementasikan dalam sikap-sikapnya yang tegas
saat melawan tirani dan kediktatoran. Beliaulah yang mengomandani para ulama
dalam beramar ma’ruf nahi mungkar.
Selama
beberapa tahun ia menjabat qadhi di
kota Damaskus. Namun, karena tidak sejalan dengan penguasa di kota itu, beliau
hijrah menuju Mesir. Ia akhirnya bermukim di kota Kairo. Najmuddin Ayyub,
penguasa kota saat itu, menyambut kedatangannya. Ia kemudian ditasbihkan
sebagai khatib masjid Jami’ Amr bin Al-Ash dan Qadhi di Kairo. Karya-karya Izzuddin Ibn Abdissalam Di antaranya
adalah:
- Al-Qawaid Al-Kubro
- Al-Qawaid As-Shughra
- Qawaidhul Ahkam fi Masalihil Anam
- Al-Imamah fi Adillatil Ahkam
- Al-Fatawa Al-Misriyah
- Al-Fatawa Al-Maushuliyah
- Majaz Al-Qur’an
- Syajarah Al-Ma’arif
- At-Tafsir
- Al-Ghayah fi Ikhtishar An-Nihayah
- Mukhtasar Shahih Muslim dan lain-lain
Imam Izzuddin bin
'Abdussalam, seorang ulama bermadzhab Syafi'i yang wafat pada tahun 660 H
menulis sebuah kitab yang diberi judul Qawa'idul Ahkam fii Mashalihil Anam.
Kitab ini menjelaskan berbagai maslahat yang terkandung di dalam amal ibadah,
muamalat, dan berbagai aktivitas seorang hamba. Ia memberikan
penjelasan berkenaan dengan tujuan penulisan kitab
ini, "Tujuan penulisan kitab ini ialah untuk memberikan
penjelasan tentang berbagai maslahat dalam
melakukan ketaatan, mu'amalah, dan tingkah laku
supaya para hamba berupaya mencapainya; memberikan
penjelasan mengenai mudharat menentang ajaran Allah, agar mereka
bisa menghindarinya; memberikan penjelasan mengenai maslahat
berbagai ibadah agar mereka melakukannya; penjelasan
mengenai didahulukannya sebagian
kemaslahatan atas sebagian yang
lain, dan diakhirkannya sebagian mafsadat atas mafsadat
yang lain; serta penjelasan mengenai
perbuatan yang dilakukan oleh manusia yang dia tidak
mempunyai kekuasaan untuk melakukannya.”
Ia melanjutkan,”Syari'ah
agama ini secara keseluruhan mengandung berbagai macam
kemaslahatan; baik berupa penolakan terhadap kerusakan atau
pengambilan kemaslahatan. Jika Anda mendengarkan firman Allah:
"Wahai orang-orang yang beriman," maka perhatikan pesan yang
datang setelah panggilan ini, pasti Anda tidak
akan menemukan kecuali kebaikan yang dianjurkan
olehnya, atau keburukan yang Anda dilarang melakukannya, atau
keduanya sekaligus.
Kelebihan kitab ini terletak
pada kecermatan penulisnya dalam mengklasifikasi maslahat dan mafsadat sesuai
dengan tingkatannya. Selanjutnya ia memaparkan secara lugas alasan-alasan
pengklasifikasian itu berdasarkan nash-nash yang ada. Di sini, tampak sekali
kualitas keilmuan penulis dalam memahami Maqasid As-syari’ah (tujuan
penetapan syariat) secara mendalam dan komprehensif.
Imam
Izzuddin bin Abdussalam termasuk peletak dasar fiqhul Aulawiyat (Fiqih Prioritas) di samping Imam
Al-Ghazali. Demikianlah menurut penuturan Dr. Yusuf Al-Qaradhawi. Ulama
kontemporer ini pun sebelum menulis kitab Fiqhul Aulawiat harus mendalami kitab
karya Imam Al-Izzu ini terlebih dahulu, sebagaimana ia mendalami kitab Ihya
Ulumiddin karya Imam Al-Ghazali.
Membaca kitab Qawa'idul Ahkam fii Mashalihil
Anam, mengajarkan bagaimana kita
memahami posisi Maqasid As-Syariah
terhadap nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kitab ini adalah jawaban bagi
mereka yang mencoba membenturkan antara nash dengan maqasid dan mereka yang
mengabaikan kandungan maqasid di dalam nash. Tampak sekali dalam kitab ini
fleksibelitas syariat Islam berkat orisinalitas pemikiran Imam Izzuddin bin
Abdussalam.
2. Pengertian Bid’ah
Bid’ah (البدعة) berasal dari kata بدع yang dalam fi’il madhinya salah satunya bermakna ابتدع الشيء, وبدع الشيء yang artinya : استنبطه ، وأحدثه mencipta (sesuatu yang belum pernah ada) atau pun
dari الابداع yang salah satu artinya الجديدالمحدث yaitu perkara baru. Ataupun dengan
bentuk kata
بدع الشيء ، یبدعه ، بدعا ، وابتدعه . memiliki makna أنشأه (mengadakan , menjadikan, menciptakan) بدأه (mulai,memulai). Dan
والبدیع والبدع yakni الشيء الذي یکون أولا (Sesuatu yang pertama kali adanya)[2]
بدع الشيء ، یبدعه ، بدعا ، وابتدعه . memiliki makna أنشأه (mengadakan , menjadikan, menciptakan) بدأه (mulai,memulai). Dan
والبدیع والبدع yakni الشيء الذي یکون أولا (Sesuatu yang pertama kali adanya)[2]
Imam ‘Izzuddin bin Abdis Salam
mendefinisikan bid’ah
البدعة فعل ما لم
يعهد في عصر رسول الله صلى الله عليه وسلم.
Artinya: Bid’ah adalah : Mengerjakan sesuatu yang tidak pernah
dikenal (terjadi) pada masa Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam[3]
Imam Nawawi mendefinisikan bid’ah:
هِيَ اِحْدَاثُ مَا لَمْ يَكُنْ فِي عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Artinya: Bid’ah adalah : Mengerjakan sesuatu yang belum ada pada masa
Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam[4]
Definisi bid’ah secara istilah yang dikemukakan oleh Al Imam Asy Syatibi
dalam Al I’tishom. Beliau mengatakan bahwa bid’ah adalah:
عِبَارَةٌ عَنْ طَرِيْقَةٍ فِي الدِّيْنِ مُخْتَرَعَةٍ تُضَاهِي
الشَّرْعِيَّةَ يُقْصَدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا المُبَالَغَةُ فِي التَّعَبُدِ
للهِ سُبْحَانَهُ
Artinya: Suatu istilah untuk suatu jalan dalam agama yang dibuat-buat
(tanpa ada dalil, pen) yang menyerupai syari’at (ajaran Islam), yang
dimaksudkan ketika menempuhnya adalah untuk berlebih-lebihan dalam beribadah
kepada Allah Ta’ala.
Definisi di atas adalah untuk definisi bid’ah yang khusus ibadah dan tidak termasuk di dalamnya adat (tradisi). Adapun yang memasukkan adat (tradisi) dalam makna bid’ah, mereka mendefinisikan bahwa bid’ah adalah
طَرِيْقَةٌ فِي الدِّيْنِ مُخْتَرَعَةٍ تُضَاهِي الشَّرْعِيَّةَ يُقْصَدُ
بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا مَا يُقْصَدُ بِالطَّرِيْقَةِ الشَّرْعِيَّةِ
Artinya: Suatu jalan dalam agama yang dibuat-buat (tanpa ada dalil, pen)
dan menyerupai syari’at (ajaran Islam), yang dimaksudkan ketika melakukan (adat
tersebut) adalah sebagaimana niat ketika menjalani syari’at (yaitu untuk
mendekatkan diri pada Allah).[5]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Beliau mengatakan
وَالْبِدْعَةُ : مَا خَالَفَتْ الْكِتَابَ وَالسُّنَّةَ أَوْ إجْمَاعَ سَلَفِ
الْأُمَّةِ مِنْ الِاعْتِقَادَاتِ وَالْعِبَادَاتِ
Artinya: Bid’ah adalah i’tiqod (keyakinan) dan ibadah
yang menyelishi Al Kitab dan As Sunnah atau ijma’ (kesepakatan) salaf.[6]
Ringkasnya pengertian bid’ah secara istilah adalah suatu hal yang baru dalam masalah agama setelah agama tersebut sempurna.[7] Sebenarnya terjadi perselisihan dalam definisi bid’ah secara istilah. Ada yang memakai definisi bid’ah sebagai lawan dari sunnah (ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), sebagaimana yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Asy Syatibi, Ibnu Hajar Al Atsqolani, Ibnu Hajar Al Haitami, Ibnu Rojab Al Hambali dan Az Zarkasi. Sedangkan pendapat kedua mendefinisikan bid’ah secara umum, mencakup segala sesuatu yang diada-adakan setelah masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam baik yang terpuji dan tercela. Pendapat kedua ini dipilih oleh Imam Asy Syafi’i, Al ‘Izz bin Abdus Salam, Al Ghozali, Al Qorofi dan Ibnul Atsir. Pendapat yang lebih kuat dari dua kubu ini adalah pendapat pertama karena itulah yang mendekati kebenaran berdasarkan keumuman dalil yang melarang bid’ah.
3. Pembagian Bid’ah Menurut Imam
Izzudin Bin Abdissalam
Menurut Imam Izzudin Bin Abdissalam
membagi bid’ah menjadi lima, yaitu:
a.
bid’ah wajib
Contoh bid’ah
wajib diantaranya Sibuk belajar ilmu nahwu untuk tujuan memahami
Al-Qur’an dan Hadits Nabi SAW. Bid’ah tersebut hukumnya wajib, karena
memelihara syari’at juga hukumnya wajib. Tidak mudah memelihara syari’at
terkecuali harus mengetahui ilmu nahwu. Sibuk belajar ilmu nahwu untuk tujuan
memahami Al-Qur’an dan Hadits Nabi saw. Bid’ah tersebut hukumnya wajib, karena
memelihara syari’at juga hukumnya wajib. Tidak mudah memelihara syari’at
terkecuali harus mengetahui ilmu nahwu. Kata kaedah ushul fiqih:
ما لا يتم الواجب إلا
به فهو واجب
Artinya: Sesuatu yang tidak
sempurna kecuali dengannya, maka hukumnya wajib
Memelihara bahasa Al-Qur’an dan Hadits yang memiliki
arti yang asing (perlu penjelasan yang tepat dan benar). Pembukuan Ilmu Ushul
Fiqih. kalam seorang perawi hadits yang menyebabkan periwayatan haditsnya
ditolak atau dilemahkan terhadap suatu hadits dengan tujuan untuk membedakan
hadits yang shahih dari yang tidak shahih.
b. bid’ah
haram
Di antaranya: Golongan Qadariyah, Jabariyah, Murji’ah,
dan Mujassimah. Menolak terhadap mereka termasuk bid’ah yang wajib.
c. bid’ah
sunnah
Di antaranya: Memperbaharui pesantren dan madrasah,
membangun jembatan, mengerjakan perbuatan bagus yang tidak ada di masa
permulaan Islam, mengerjakan shalat tarawih (berjama’ah), ucapan tasawuf yang
mengandung pengertian yang dalam, dan ucapan di dalam perdebatan untuk mencari
dalil dalam menghimpun masalah-masalah hukum dengan tujuan mencari ridha Allah
swt.
d. bid’ah
makruh
Di antaranya
menghiasi masjid, dan menghiasi mashaf. Adapun membaca Al-Qur’an secara “Lahn (keliru dalam
bacaan I’rabnya)” sekira-kira berubah lafadz-lafadznya, maka menurut
pendapat ulama yang benar adalah termasuk bid’ah haram.
e. bid’ah
mubah.
Bersalam-salaman sesudah shalat shubuh dan ‘ashar,
meluaskan yang enak-enak seperti makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal,
memakai pakaian panjang, dan meluaskan lengan baju.
Sebagian bid’ah mubah terjadi perbedaan pendapat di
kalangan ulama. Sebagian ulama menjadikannya bid’ah makruh, dan sebagian yang
lain menjadikannya sunnah-sunnah yang dilakukan di masa Rasulullah saw dan
sesudah masa beliau, seperti membaca “Isti’adzhah (أعوذ بالله من الشيطان الرجيم)” di dalam shalat dan basmalah.
C. PENUTUP
Kesimpulan
1. Bid’ah (البدعة) berasal
dari kata بدع yang dalam fi’il madhinya
salah satunya bermakna ابتدع الشيء, وبدع الشيء yang artinya : استنبطه ، وأحدثه mencipta
(sesuatu yang belum pernah ada) atau pun dari الابداع yang
salah satu artinya الجديدالمحدث
yaitu perkara baru. Ataupun dengan bentuk kata
بدع الشيء ، یبدعه ، بدعا ، وابتدعه . memiliki makna أنشأه (mengadakan , menjadikan, menciptakan) بدأه (mulai,memulai). Dan
والبدیع والبدع yakni الشيء الذي یکون أولا (Sesuatu yang pertama kali adanya)
بدع الشيء ، یبدعه ، بدعا ، وابتدعه . memiliki makna أنشأه (mengadakan , menjadikan, menciptakan) بدأه (mulai,memulai). Dan
والبدیع والبدع yakni الشيء الذي یکون أولا (Sesuatu yang pertama kali adanya)
2. Menurut Imam Izzudin Abdissalam, Bid’ah adalah : Mengerjakan sesuatu yang tidak pernah
dikenal (terjadi) pada masa Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam
3. Menurut Imam
Izzudin Bin Abdissalam membagi bid’ah menjadi lima, yaitu:
a. bid’ah wajib
b. bid’ah haram
c. bid’ah sunnah
d. bid’ah makruh
e. bid’ah mubah.
[2] Ibnu
Manzhur, Lisan al-Arab, (Beirut: Dar Shadir, tt). vol.xi hlm. 32
[3]Izzuddin
bin Abdussalam Qawa’idul Ahkam fi
Mashalihul Anam (Al-Maktabah Al-Husainiyah Mesir 1353 H / 1934 M juz 2) hlm
195
[4] Imam Nawawi
dalam Tahdzibul Asma Wal Lughot, vol. 3, hlm.22
[5] Imam Asy
Syatibi, Al I’tishom (Asy Syamilah,
juz 1) hlm 26
[7] Al Fairuz
Abadiy dalam Basho’iru Dzawit Tamyiz,
2/231, yang dinukil dari Ilmu Ushul Bida’, hal. 26, Dar Ar Royah
Author: Mohammad
Mohammad is the founder of STC Network which offers Web Services and Online Business Solutions to clients around the globe. Read More →
Related Posts:
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar: