Selasa, 14 April 2015
I J T I H A D
I.
Pendahuluan
Perkembangan
hukum dalam prosesnya dibagi menjadi empat periode yaitu periode Nabi, periode Sahabat,
periode ijtihad serta kemajuan dan periode taklid serta kemundurannya. Seperti
diketahui bahwa dimasa Nabi umumnya penyelesaian kasus-kasus hukum pada waktu
diselesaikan oleh nabi melalui wahyu Ilahi.
Dalam kasus yang lain ketika nabi menghadapi berbagai persoalan ummat
yang muncul ketika itu, nabi tidak mendapatkan wahyu sedangkan persoalan
tersebut harus segra diselesaikan, maka ketika itu nabi menyelesaikannya dengan
jalan berijtihad. Ijtihad yang diturunkan nabi, diturunkan kepada
generasi-generasi selanjutnya melalui sunah atau tradisi Nabi.
Ketika rasul meninggal persoalan umat
tidaklah berhenti tetapi terus berkembang sehingga muncullah ijtihad baik bagi kalangan Sahabat, Tabi’in, Tabi’
Tabi’in dan generasi seterusnya sampai kepada ulama-ulama akhir zaman yang
disebut dengan ulama kontemporer. Karna itu ijtihad adalah merupakan solosi
yang paling efektif dan baik untuk dapat menyelesaikan permasalahan ummat.
Dalam perkembangan selanjutnya metode ijtihad terus berkembang sehingga dikenal metode Ijtihad intiqa’i dan ijtihad insya’i. Disamping metode ijtihad, bentuk-bentuk
ijtihadpun mengalami perkembangan hal ini dilakukan dengan tujuan untuk dapat
menyelesaikan persolan ummat sesuai dengan sunnah Allah dan rasulnya, demi untuk
menjaga kenyamanan dan kedamaian dalam beribadah dan bermuamalah.
II.
Pembahasan
A. Pengertian Ijtihad
Secara bahasa, ijtihad اجتهاد berasal dari akar kata jahada. Bentuk kata masdharnya terdiri
dari dua bentuk yang berbeda artinya antara lain :
a. Jahdun
dengan arti kesungguhan atau sepenuh hati
atau serius. Seperti dalam Al-Qur’an surat An- An’am ayat 109.
وَأَقْسَمُوا بِاللَّهِ جَهْدَ أَيْمَانِهِمْ...
Artinya :Mereka bersumpah dengan nama
Allah dengan segala kesungguhan
b. Jahdun
dengan arti kesungguhan atau kemampuan yang didalamnya terkandung arti sulit,
berat dan susah.[1] Seperti
dalam Al-Qur’an surat An- Taubah ayat 79
وَالَّذِينَ لَا يَجِدُونَ إِلَّا
جُهْدَهُمْ فَيَسْخَرُونَ مِنْهُمْ ....
Artinya
: dan mereka (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan)
selain sekedar kesanggupannya, maka orang-orang munafik itu menghina mereka..
Menurut Al-Amidi yang dikutip
oleh Wahbah al-Zuhaili (1978: 480), ijtihad ialah :
إستفرغ الوسع
في طلب الظن بشيء من الأحكام الشرعية بحيث يحسي من نفس العجز عن المزيد فيه
Artinya:
Mencurahkan segala kemampuan untuk menentukan sesuatu yang Zhanni dari hukum-hukum
syara’ dalam batas sampai dirinya merasa tidak mampu melebihi usaha itu.[2]
Menurut al-Imam al-Syaukani Ijtihad
ijtihad adalah :
بذل الوسع في نيل الحكم شرعي عملي بطريق الإستنباط
Artinya: Mengerahkan
kemampuan dalam memperoleh hukum syar’i yang bersifat amali melalui cara
istinbath.[3]
Sedangkan al-Gazali mendepenisikan
ijtihad adalah :
بذل المجتهد
وسعه في طلب العلم بأحكام الشرعية
Artinya:
pengarahan segala kemampuan seorang mujtahid dalam memperoleh hukum-hukum syar’i.[4]
Muhammad
Abu Zahrah, mengartikan bahwa ijtihad ialah pencurahan segenap kemampuan untuk
sampai kepada suatu tujuan atau perbuatan.
Dari uraian tersebut dapat diuraikan bahwasanya ijtihad memiliki garis
besar seperti berikut :
Ijtihad
|
Sasaran/ hasilnya
|
Kegiatan
|
Pengarahan
daya pikir sekuat-kuatnya
|
Pelakunya
|
Ahli
fiqih yang memenuhi persyaratan
|
Lapangannya
|
Suatu
masalah yang tidak terdapat nash dalam
Al-Qur’an.
|
Tujuannya
|
Mendapat/menemukan
hukum tentang suatu masalah
|
Sifat
Hukumnya
|
Zanny, bukan
qhat’i (dugaan kuat, bukan kepastian).
|
Sistem/kaedah
|
Menurut
jalan pikiran, logika dan metode tertentu dan teratur dalam ilmu ushul fiqih, dibantu dengan qowa’idul
ahkam, al-qowaidul fiqhiyah (kaedah-kaedah fiqih dan sebagainya
|
B.
Dasar-Dasar Ijtihad
Adapun yang menjadi dasar ijtihad ialah :
- Al-Qur’an
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ
وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي
شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُول..
Artinya
: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di
antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (Qs. An-nisa : 59).[5]
فَاعْتَبِرُوا يَاأُولِي الْأَبْصَارِ.......
Artinya : Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang
yang mempunyai wawasan”. (QS. Al-Hasyr (59) : 2) [6]
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْءَانَ وَلَوْ كَانَ
مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا
Artinya
: Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? Kalau kiranya Al Quran itu
bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di
dalamnya.
b. Sunnah
Adapun sunnah yang menjadi dasar ijtihad diantaranya
adalah hadits ‘Amr bin al-‘Ash yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim, dan Ahmad yang menyebutkan bahwa Nabi
Muhammad bersabda:
إذا حكم
الحاكم فاجتهد فأصاب فله أجران، وإذا حكم فاجتهد ثم أخطأ فله أجر
Artinya:
apabila seorang hakim menetapkan hukum dengan berijtihad, kemudian benar
maka ia mendapatkan dua pahala. Akan tetapi, jika ia menetapkan hukum dalam
ijtihad itu salah maka ia mendapatkan satu pahala.(HR. Bukhari dan Muslim,dari
Ammar bin al-‘As)[7].
Hadits Rasulullah saw riwayat Ahmad,
Abu Daud dan Tirmidzi
ولما بعث النبي معاذ بن جبل إلى اليمن
قاضيا، قال له: (كيف تقضي إذا عرض لك
قضاء؟) قال: أقضي بكتاب الله تعالى، قال: فإن لم تجد ؟ قال: فبسنة رسول الله صلى
الله عليه وسلم، قال: فإن لم تجد؟ قال: أجتهد رأيي ولا آلو، قال معاذ: فضرب رسول
الله صلى الله عليه وسلم في صدري وقال: الحمد لله الذي وفق رسول رسول الله لما
يرضي رسول الله
Artinya:
Ketika Nabi mengutus Sahabat Muadz bin Jabal ke Yaman sebagai hakim Nabi
bertanya: Bagaimana cara kamu menghukumi suatu masalah hukum? Muadz menjawab:
Saya akan putuskan dengan Quran. Nabi bertanya: Apabila tidak kamu temukan
dalam Quran? Muadz menjawab: Dengan sunnah Rasulullah. Nabi bertanya: Kalau tidak
kamu temukan? Muadz menjawab: Saya akan berijtihad dengan pendapat saya dan
tidak akan melihat ke lainnya. Muadz berkata: Lalu Nabi memukul dadaku dan
bersabda: Segala puji bagi Allah yang telah memberi pertolongan pada utusannya
Rasulullah karena Nabi menyukai sikap Muadz.( HR. Abu Dawud)[8]
Ketika Amr bin As bertugas sebagai pimpinan pasukan dalam suatu
peperangan, disuatu malam Amr bermimpi dan mengeluarkan sperma. Ketika akan
melaksanakan sholat subuh , ia hanya bertayamun , karena udara sangat dingin
dan khawatir terhadap kesehatan tubuhnya apabila terkena air. Hal tersebut
disampaikan kepada Nabi Muhammad dan ternyata Nabi Muhammad saw tidak
mengingkari sebagai hasil ijtuhad. Secara logika dapat ditetapkan sebagai dasar
adanya dan pentingnya ijtihad.[9]
C. Hukum Melaksanakannya
Setiap muslim pada dasarnya diharuskan
untuk berijtihad pada semua bidang hukum dan syari’ah, asalkan dia mempunyai
kriteria dan syarat sebagai seorang mujtahid. Para ulama’ membagi hukum untuk
melakukan ijtihad dengan lima bagian,
yaitu :
1. Wajib ain, yaitu bagi seorang
yang faqih yang mereka yang dimintai fatwa hukum mengenai suatu peristiwa
yang terjadi, sedangkan hanya dia seorang faqih yang dapat
melakukan ijtihad dan ia khawatir
peristiwa itu lenyap tanpa ada kepastian hukumnya, maka hukum berijtihad
baginya adalah wajib ain[10]
2. Wajib
Kifayah, yaitu bagi mereka yang dimintai fatwa hukum mengenai suatu peristiwa,
sedangkan hanya dia seorang faqih yang dapat melakukan ijtihad, yang tidak
dikhawatirkan peristiwa tersebut akan lenyap. atau selain dia masih terdapat faqih-faqih lainnya
yang mampu berijtihad. Maka apabila ada seorang faqih saja yang berijtihad maka
faqih yang lainnya bebas dari kewajiban berijtihad. Akan tetapi jika tidak ada
seorang faqihpun yang berijtihad maka faqih semuanya yang ada disitu semuanya
berdosa karena telah meninggalkan kewajiban
kifayah.
3. Sunnah, yaitu apabila
melakukan ijtihad mengenai masalah-masalah yang belum atau tidak terjadi. Tetapi
umat menghendaki ketetapan hukumnya , untuk mengantisifasinya. Artinya tidak
berdosa seorang faqih tersebut meninggalkan ijtihad , akan tetapi bila dia berijtihad maka dia
mendapatkan pahala.[11]
4. Mubah, yaitu apabila melakukan
ijtihad mengenai masalah-masalah yang belum atau sudah terjadi dalam kenyataan . Tetapi kasus
tersebut belum diatur secara jelas dalam nas al-Qur’an dan hadits. Sedangkan
orang yang faqih tersebut ada bebrapa
orang , maka ia dibolehkan dalam berijtihad.
5. Haram, yaitu apabila melakukan
ijtihad mengenai masalah-masalah yang telah
ada hukumnya dan telah ditetapkan berdasarkan dalil-dalil yang sharih, dan
qath’i. atau bila seorang yang melakukan
ijtihad tersebut belum mencapai tingkat faqih. Karena ijtihad tidak boleh
dilakukan bila telah ada dalil yang sharih dan qath’i, sedangkan dia tidak punya
kemampuan dalam berijtihad[12]
D. Ruang lingkup
Ijtihad
Berkaitan dengan ruang lingkup
ijtihad para ulama ushul sepakat bahwasanya ijtihad ini hanya terjadi pada
ayat-ayat yang bersifat zhanniyah,
karena sebagian dari materi-materi hukum dalam Al-Qur’an dan Sunah, sudah
terbentuk diktum yang odentik, yakni tidak mengandung pengertian lain, atau
sudah diberi interpretasi otentik oleh sunah itu sendiri. Di samping itu, juga
ada sebagian di antaranya yang sudah memperoleh kesepakatan bulat serta
diberlakukan secara umum dan mengikat semua pihak atau berdasarkan ijma’.
Peraturan hukum Islam seperti
kewajiban shalat, zakat, puasa, haji, berbakti kepada orang tua, mengasihi
orang miskin, serta menyantuni anak yatim dan larangan berzina, mencuri,
membunuh tanpa hak dan lain-lain, adalah termasuk kategori hukum Islam yang
sudah diketahui oleh umum dan bersifat mengikat semua pihak, serta tidak
memerlukan interpretasi lain lagi. Pengertiannya sudah begitu jelas dan otentik
dalam teori maupun praktek. Jenis peraturan tersebut disebut dengan mujma’’alaih wa ma’lum min al-din bi
al–dharrah dan bersifat qath’iyyah. Hal
ini diketahui secara terus menerus sejak dari masa Rasulullah SAW hingga saat
ini. Pengetahuan yang demikian memang sudah meyakinkan dan tidak perlu lagi
interpretasi. Hal demikian tidak perlu lagi diijtihadkan, sebagaimana
disebutkan oleh ulama ushul dengan kaidah yang berbunyi:
“Tidak diperkenankan berijtihad ketika sudah
ada ketetapan nash”.
Salah satu contoh suatu
nash yang sudah tegas syarih lagi qath’i wurud dan qath’i dalalahnya ialah
seperti firman Allah S.W.T:
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ
وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَة.....
“Pezina perempuan dan pezina laki-laki,
deralah masing-masing keduanya seratus kali” (Q.2 S.24. An-Nur).
E. Bentuk-bentuk cara berijtihad
Ada beberapa dua bentuk ijtihad, yaitu:
Ijtihad intiqa’i dan ijtihad insya’i Komperatif dan ijtihad
1. Ijtihad intiqa’i adalah ijtihad yang
dilakukan seseorang atau sekelompok orang untuk memilih pendapat para ahli
fikih terdahulu mengenai masalah-masalah tertentu, sebagai mana tertulis dalam
kitab fikih, kemudian menyeleksi mana yang lebih kuat dalilnya dan lebih
relevan dengan kondisi kita sekarang[13]
Kemungkinan besar pendapat para
ahli fiqih terdahulu mengenai masalah yang dipecahkan itu berbeda-beda, dalam
hal ini para ulama bertugas untuk mempertimbangkan dan menyeleksi dalil-dalil
yang mereka pergunakan, kemudian memberikan pendapatnya mengenai suatu permasalahan
yang dianggapnya lebih kuat dan lebih dapat diterima . Mereka itu terdiri dari ahli tarjih dalam klasifikasi mujtahid
yang dikemukan oleh ahli ushul fiqih pada umumnya.
Sebagai contoh dapat dilihat dalam
masalah talak atau perceraian. Menurut mayoritas ulama fiqih terdahulu termasuk
mazhab yang empat, bahwatalak yang yang dinyatakan jatuh apabila diucapkan oleh
suami dalam keadaan sadar dan atas kehendak sendiri tampa harus bergantung pada adanya saksi[14]. Akan tetapi menurut pendapat kalangan fiqih
Syiah, talak baru dianggap terjadi kalau disaksikan oleh dua orang saksi yang
adil. Agaknya pada masa sekarang ini pendapat Syiah ini mungkin lebih dapat
diterima.
Di Indonesia, berdasarkan
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, talak baru dianggap terjadi kalau dilakukan
di depan sidang Pengadilan Agama. Sekirannya talak di syaratkan adnya saksi
sesuai pendapat Syiah, suami dimungkinkan untuk dapat berpikir dengan
baik, sebelum menjatuhkan talak, dengan
demikian suami tidak menjatuhkan talah
kapan dan dimanapun ia berada. Karena
itu dalam dalam melaksananak ijtihad intiqa’i diperlukan analisis yang cermat
dengan memperhatikan faktor sosial budaya, kemajuan iptek yang sesuai dengan perkembangan zaman.
Diperlukan kajian terhadap dalil-dalil yangdigunakan oleh ahli fiqih terdahulu
dan juga relevansinya dimasa sekarang[15]
2. Ijtihad insya’i usaha untuk menetapkan kesimpulan hukum mengenai peristiwa-peristiwa
baru yang belum diselesaikan oleh para ahli fikih terdahulu[16]
Dalam ijtihad ini diperlakukan pemahaman
yang menyeluruh terhadap kasus-kasus baru yang akan ditetapkan hukumnya. Jadi
dalam menghadapi persoalan yang sama sekali baru diperlukan pengetahuan
mengenai maasalah yang sedang dibahas, tampa mengetahui kasus yang baru
tersebut maka kemungkinan besar hasil ijtihadnya akan membawa kepada
kekeliruan.
Sebagai contoh dalam
kasus pencangkokan jaringan atau organ tubuh manusia. Guna menetapkan hukumnya
maka perlu didengar lebih dahulu pendapat para ahli dalam bidang kedokteran,
khususnya ahli bedah, setelah diketahui secara jelas perihal pencangkokan
tersebut kemudian baru dimulai dibahas dalam disiplin ilmu agama Islam, untuk kemudian diambil kesimpulannya.[17]
Dalam Ijtihad Insya’i ini diperlukan pemahaman tentang metode penetapan hukum diantara metode tersebut
adalah qiyas, istihsan, maslahat mursalat, dan saddu al-zari’at.
3. Ijtihad
Muqorin (Komperatif) adalah
menggabungkan kedua bentuk ijtihad diatas (
intiqa’i dan Insya’i ) dengan demikian disamping untuk menguatkan atau
mengkompromikan beberapa pendapat , juga diupayakan adanya pendapat baru
sebagai jalan keluar yang lebih sesuai dengan tuntunan zaman. [18]
Pada dasarnya , hasil ijtihad yang
dihasilkan oleh ulama terdahulu merupakan karya agung yang masih utuh, bukanlah
menjadi patokan mutlak, melainkan masih memerlukan ijtihad baru . Karena itu
diperlukan kemampuan mengutak-atik , mengkaji ulang hasil sebuah ijthad
tersebut, dengan jalan menggabungkan kedua bentuk ijtihad tersebut diatas.
F. Macam – Macam Ijtihad
Menurut Dawalibi, membagi ijtihad menjadi tiga bagian yang
sebagiannya sesuai dengan pendapat al-Syatibi dalam kitab Al-Muwafaqot, yaitu :
a.
Ijtihad
Al-Bayani, yaitu ijtihad untuk menjelaskan hukum-hukum syara’ yang terkandung dalam nash namun sifatnya masih
zhonni baik dari segi penetapannya maupun dari segi penunjukannya.[19]
Ijtihad ini hanya memberikan
penjelasan hukum yang pasti dari dalil nas tersebut. Umpanya menetapkan
keharusan ber’iddah tiga kali suci terhadap isteri yang dicerai dalam keadaan
tidak hamil dan pernah dicampuri.berdasrkan firman Alalh surat al-Baqarah ayat
228
وَالْمُطَلَّقَاتُ
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ ....
Wanita-wanita
yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'
Dalam ayat ini memang dijelaskanbatas waktu
iddah adalah tiga kali quru’ namun tiga
kali quru’ tersebut bisa berarti suci atau haid. Ijtihad menetapkan tiga kali
quru’ dengan memahami petunjuk karinah yang ada disebut disebut ijtihad bayani
.
b. Ijtihad
Al-Qiyasi, yaitu ijtihad untuk menggali dan menetapkan hukum terdapat
permasalahan yang tidak terdapat dalam Al Quran dan sunnah dengan menggunakan
metode qiyas. Dalam ijtihad qiyasi ini hukumnya
memang tidak
tersurat tetapi tersirat dalam
dalil yang ada. Untuk mencari hukum tersebut diperlukan ijtihad qiyasi .
Contoh hukum memukul kedua orang
tua yang dikiaskan dengan mengatakan ucapan “akh.”
فَلَا تَقُلْ
لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا.
Artinya:
Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan “akh” (Q.S
al-Isra’: 23)
‘illatnya
ialah menyakiti hati kedua orang tua, diqiyaskan kepada hukum memukul orang
tua? Dari kedua peristiwa itu nyatalah bahwa hati orang tua lebih sakit bila
dipukul anaknya dibanding dengan ucapan “ah” yang diucapkan anaknya kepadanya.
c.
Ijtihad Isthislahi, Menurut Muhammad
Salam Madkur Ijtihad Istishlahi adalah pengorbanan kemampuan untuk sampai
kepada hokum syara’ (Islam) dengan menggunakan pendekatan kaidah-kaidah umum (kulliyah), yaitu mengenai
masalah yang mungkin digunakan
pendekatan kaidah-kaidah umum tersebut, dan tidak ada nash yang khusus atau
dukungan ijma’ terhadap masalah itu. Selain itu, tidak mungkin pula diterapkan
metode qiyas atau metode istihsan terhadap masalah itu. Ijtihad ini, pada
dasarnya merujuk kepada kaidah jalb al-mashlahah wa daf’ al-mafsadah (menarik
kemaslahatan dan menolak kemafsadatan), sesuai dengan aturan yang telah
ditetapkan untuk kaidah-kaidah syara’.[20]
- Pembagian ijtihad
Ada beberapa pendapat ahli ushul mengenai pembagian
ijtihad di antaranya yaitu : Menurut Mahdi Fadhl membagi ijtihad menjadi dua
bagian:
1. Ijtihad mutlak, yaitu ijtihad yang melengkapi
semua masalah hukum, tidak memilah-milahnya dalam bentuk bagian-bagian masalah
hukum tertentu. Atau biasa di sebut dengan ijtihad paripurna. Ulama yang
mempunyai kemampuan dalam hal ini disebut mujtahid
mutlaq, yaitu seorang faqih yang mempunyai kemampuan ijtihad
meng-istinbath-kan seluruh bidang hukum dari dalil-dalilnya; atau mempunyai
kemampuan meng-istinbath-kan hukum dari sumber-sumber hukum yang diakui secara
syar’i dan ‘aqli.
2. Ijtihad juz-i. karia ijtihad seperti ini
adalah kajian mendalam tentang bagian tertentu dari hukum dan tidak mendalam
bagian yang lain. Pelaku (muhtahid)-nya disebut mujtahid juz-i, yaitu faqih
yang mempunyai kemampuan meng-istinbath-kan sebagian tertentu dari hukum syara’
dari sumbernya yang muktabar tanpa kemampuan meng-istinbath-kan semua hukum.
Imam
mijtahid yang empat(Maliki, Syafi’I, Hambali, dan Ahmad) termasuk kepada bagian
pertama(mujtahid mutlaq) dan kebanyakan mujtahid lainnya termasuk bagian yang kedua(mujtahid juz-i)[21]
- Beberapa Metode Ijtihad
1.
Ijma‟ yaitu kesepakatan para ulama dalam menetapkan masalah hukum yang
tidak diterangkan dalam Al-Qur‟an maupun hadits setelah setelah Rasulullah
wafat . ijma‟ dilakukan dengan cara musyawarah dengan besdasarkan Al-Qur‟an dan
Hadits.
2. Qiyas yaitu menyamakan permasalahan yang tejadi dengan
masalah lain yang sudah ada hukumnya, karena ada kesamaan sifat atau alasan.
Contoh hukum minuman keras dapat diqiyaskan dengan khamar karena keduanya ada
kesamaan sifat yaitu sama-sama memabukkan.
3. Ihtisan yaitu menetapkan suatu
hukum masalah yang tidak dijelaskan secara rinci dalam Al-Qur‟an dan Hadits
yang didasrkan atas kepentingan atau kemaslahatan umat.
4. Ijtihad yaitu meneruskan
keduanya berlakunya suatu hukum pada suatu masalah yang telah ditetapkan karena
adanya suatu dalil sampai adanya dalil lain yang mengubah kedudukan hukum
tersebut
5. Maslahah mursalah yaitu
memutuskan hukum suatu permasalahan dengan pertimbangan kemaslahatan bersama
sesuai dengan maksud syarak yang hukumnya tidak diperoleh dari dalil secara
langsung dan jelas.
- Metode Ijtihad Empat Imam Mazhab
Di samping empat rujukan diatas (al-Qurran,
sunah, ijma’ dan Qiyas) yang disepakati secara prinsip, diantara ulama mujtahid
ada yang menggunakan cara-cara lain secara tersendiri yang antara seorang
mujtahid dengan yang lainnya belum tentu sama. Ide dan cara yang digunakan oleh
seorang mujtahid diluar empat rujukan diatas ada yang diikuti oleh mujtahid
lain dan banyak pula mujtahid lain yang menolaknya. Perbedaan dalam segi yang
disebutkan diatas menyebabkan hasil ijtihad temuan setiap mujtahid pun terdapat
perbedaan dan masing-masing diikuti oleh orang-orang yang menganggapnya benar.
Dalam beberapa literature ushul fiqh,
dirumuskan mengenai metode ijtihad yang ditempuh oleh empat imam madzhab,
yaitu:
1. Metode
ijtihad Imam Abu Hanifah adalah dengan mencarinya dalam al-Qur’an dan sunah
dengan caranya yang ketat dan hati-hati, pendapat shahabat, qiyas dalam
pengunaanya yang luas, istihsan. Tidak disebutkannya ijma’ dalam
rumusan itu bukan berarti Abu Hanifah menolak ijma’ tetapi menggunakan ijma’
Sahabat yang tergambar dalam ucapannya diatas.
2.
Metode ijtihad Imam Malik adalah dengan menggunakan langkah sebagai berikut:
Al-Quran, sunah, amalan ahli Madinah, mashlahat mursalah, qiyas,
dan saddu dzari’ah. Amalan ahli Madinah disini berarti ijma’
dalam arti yang umum.
3. Metode ijtihad Imam Syafii adalah
dengan menggali al-Quran, sunah yang shahih, meskipun lewat periwayatan
perseorangan (ahad), ijma’
seluruh mujtahid umat Islam dan qiyas. al-Quran dan sunah dijadikannya
satu level sedangkan ijma’ shahabat lebih kuat dari pada ijma’ ulama
dalam artian umum. Langkah terakhir yang dilakukan adalah istishab.
4. Metode ijtihad Ahmad bin Hanbal
adalah mula-mula mencarinya dalam al-Qur’an dan sunah, kemudian dalam fatwa
shahabat, kemudian memilih diantara fatwa sahabat bila diantara fatwa tersebut
terdapat beda pendapat, selanjutnya mengambil hadits mursal dan hadits
yang tingkatnya diperkirakan lemah, baru terakhir menempuh jalan qiyas.
E. Langkah-langkah Dalam Melaksanakan Ijtihad
Tentang langkah yang harus dilakukan
oleh seorang mujtahid adalah berdasarkan hadits yang populer tentang dialog
Nabi dengan Muadz bin Jabal ketika diutus Nabi ke Yaman untuk menjadi Hakim, hal
ini merupakan dasar dari ijtihad. Langkah Muadz bin Jabal dalam menghadapi
suatu masalah hukum adalah pertama, mencari dalam al-Quran. Kedua, jika tidak
ditemukan dalam al-Quran, ia mencarinya dalam sunah Nabi. Ketiga, bila dalam
sunah tidak ditemukan, maka ia menggunakan akal (ro’yu).
Kronologis langkah yang dilakukan oleh
Muadz bin Jabal itu diikuti pula oleh ulama yang datang sesudahnya, termasuk
imam madzhab yang populer. Namun mereka berbeda dalam memahami al-Qur’an,
sunah, dan kadar penggunaan akal dalam menetapkan hukum. perbedaan tersebut
menyebabkan perbedaan dalam menetapkan hukum fiqh.
Di
bawah ini akan diuraikan langkah-langkah yang ditempuh oleh seorang mujtahid
dalam istimbath hukum.
1. Langkah
pertama yang harus dilakukan mujtahid adalah merujuk pada al-Qur’an. bila menemukan
dalil atau petunjuk yang umum dan dzahir, maka si mujtahid harus mencari
penjelasannya, baik dalam bentuk lafadz khas yang akan mentakhsiskan,
lafadz muqoyyad yang menjelaskan kemutlakannya, qorinah
(petunjuk) yang akan menjelaskan maksudnya.[22]
2. Kalau
tidak ditemukan dalam hukumnya dalam al-Quran, mujtahid melangkah ke tahap
berikutnya yaitu merujuk kepada sunah Nabi. Mula-mula mujtahid mencarinya dari
sunah yang mutawatir, kemudian dari sunah yang tingkat keshahihannya
berada di bawah mutawatir. Bila
tidak ditemukan dari yang tersurat dalam hadits, mujtahid mencarinya dari apa
yang tersirat di balik lafadz itu.
3. Langkah
selanjutnya, mujtahid mencarinya dari pendapat ijma sahabat. Bila dari sini ia
menemukan hukum, maka ia menetapkan hukum menurut apa yang telah disepakati oleh
para sahabat tersebut. Kesepakatan ulama tersebut dinamai ijma’.
4. Bila
tidak ada kesepakatan ulama sahabat tentang hukum yang dicarinya, maka mujtahid
menggunakan segenap kemampuan daya dan ilmunya untuk menggali dan menemukan hukum
Allah yang ia yakini pasti ada, kemudian merumuskannya dalam formulasi hukum
yang disebut fiqih.[23]
Meskipun secara prinsip ulama mujtahid
sependapat dalam penggunaan empat sumber diatasyaitu al-Qur’an , sunah, ijma’
dan qiyas, namun dalam penempatan urutan penggunaannya terdapat perbedaan
pendapat. Misalnya dalam hal apakah ijma’ harus didahulukan atas hadits
ahad atau sebaliknya dan apakah ijma’ didahulukan dari pada qiyas
atau sebaliknya.
Dari uraian yang telah dikemukakan ini,
dapatlah diambil suatu kesimpulan bahwa Ijthad adalah : pengarahan daya pikir
yang sekuat-kuatnya, yang dilakukan oleh ahli fiqih, yang mempunyai kemampuan
mengggali hukum-hukum syara’ yang tidak
terdapat dalam al-Qur’an hadis. Hukum melaksanakan ijtihad ada 5 yaitu wajib
ain’ , Fardu kifayah, sunat, mubah dan haram. Hukum ini tergantung kepada
pelaku ijtihad tersebut dan hukum yang diijtihadkan.
Bentuk- bentuk Ijtihad tersebut antara
lain dalam bentuk ijtihad intiqa’i, yang dilakukan oleh sekelompok orang untuk
memilih pendapat para ahli terdahulu mengenai masalah tertentu kemudian
diseleksi mana dalil yang kuat yang relevan dengan perkembangan zaman. Bentuk
lain dalam berijtihad adalah melalui ijtihad
insya’i yaitu usaha menetapkan
kesimpulan hukum mengenai peristiwa-peristiwa yang baru yang belum diselesaikan
oleh para ahli fiqih terdahulu, sedangkan bentuk lain adalah melalui ijtihad
komperatif yaitu penggabungan antara
ijtihad intiqa’i dan ijtihad insya’i.
Macam-macam ijtihad yaitu ijtihad
bayani, ijtihad qiyasi dan ijtihad isthilahi. Sedangkan langkah-langkah berijtihad adalah pertama mereka merujuk
kepada al-Qur’an, jika ditemukan dalam al-Qur’an mujtahid merujuk kepada
sunnah, jika tidak ditemukan dalam sunnah mujtahid merujuk kepada sahabat, bila
tidak ada kesepakatan dari para sahabat maka seorang mujtahid harus menggunakan
daya dan ilmunya untuk melakukan ijtihad untuk merumuskan sebuah
hukum.
DAFTAR
BACAAN
Amir Syarifuddin, Ushul
Fiqih , PT. Logos Wacana Ilmu, Ciputat Jakarta, jilid 2, 1997
Al-Amidi, al-Ihkam fi
usul al-ahkam, Dar. Al-Fikri, 1981
Al- Syaukani ,
al-Irsyad al-fuhul, Dar al-Kutub al-il-miyyah, Bairut, 1994
Al- Gazali, al-mustasfa
mim ilmi al- Usul, Kairo, Sayyid al-Husain
H. Achmad Marbaie, SH.,
MS., Hukum Islam Fakultas Hukum UNEJ,
Yusuf Qardawi,
al-ijtihad fi al-Syariat al- Islamiyyah ma’a nazharatin tahliliyyat fi al-
Ijtihad al-Mu’atsir, Kuwait, , Dar al-Qalam, 1985
Sayyid Sabiq, Fiqhul
al-Sunnat, Bairut, Dar al-Fikr, jilid II,
Fathurrahman Djamil,
Metode Ijtihad majlis tarjih Muhammadiyah, Logos Publishing House, Jakarta 1995
Ade Dedi Rohayana, Ilmu
Usul Fiqih, Pekalongan : STAIN Press, 2005
Zuhri, Saifudin, Ushul Fiqh: Akal Sebagai Sumber
Hukum Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009
Umar Shihab, Kontekstualitas al-Qur’an, Penamadani, Jakarta, 2013
[1]
. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih , PT. Logos Wacana Ilmu, Ciputat Jakarta, jilid
2, 1997, h. 223
[2]
. Al-Amidi, al-Ihkam fi usul al-ahkam, Dar. Al-Fikri, 1981 Juz III, h. 204
[3].
Al- Syaukani , al-Irsyad al-fuhul, Dar al-Kutub al-il-miyyah, Bairut, 1994
[4]
. Al- Gazali, al-mustasfa mim ilmi al- Usul, Kairo, Sayyid al-Husain, h.478
[5]
.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan
terjemahannya, Jakarta : CV. Pustaka Agung Harapan h.114
[6]
. Ibid, h.796
[7]
.Imam al-Bukhari, Matan al-Bukhari Masykul bi Hasyiyah as-Sindi, Syirkah
al-Ma’arif, Bandung Juz IV, h. 268
[9]
.Umar Shihab, Kontekstualitas al-Qur’an, Penamadani, Jakarta, 2013 h.258
[10]
. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih ,h.228
[11]
Ibid. 229
[12]
Ibid. 229
[13]
.Yusuf Qardawi, al-ijtihad fi al-Syariat al- Islamiyyah ma’a nazharatin
tahliliyyat fi al- Ijtihad al-Mu’atsir, Kuwait, , Dar al-Qalam, 1985, h.115
[15]
. Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad majlis tarjih Muhammadiyah, Logos Publishing
House, Jakarta 1995, h. 34
[16]
. Yusuf Qardawi, al-ijtihad fi al-Syariat al- Islamiyyah ma’a nazharatin
tahliliyyat fi al- Ijtihad al-Mu’atsir, , h.126
[17],
Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad
majlis tarjih Muhammadiyah, h.35
[18]..Umar
Shihab, Kontekstualitas al-Qur’an, h. 387
[19].
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, jilid 2 h.267.
[20]
. Ade Dedi Rohayana, Ilmu Usul Fiqih, (Pekalongan : STAIN Press, 2005) h.201
[22]
. . Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, h. 283
[23]
. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, h.284
Author: Mohammad
Mohammad is the founder of STC Network which offers Web Services and Online Business Solutions to clients around the globe. Read More →
Related Posts:
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar: