Rabu, 15 April 2015
RIWAYAT BI AL-LAFZH WA BI AL-MA’NA DAN SEBAB-SEBAB KEBERVARIASIAN RIWAYAT
A. PENDAHULUAN.
Hadits merupakan sumber hukum yang secara otentik telah
memberikan pengaruh signifikan dalam konstruksi hukum Islam. Hadits muncul dari
peristiwa dalam bentuk dialog atau monolog, perbuatan, dan persetujuan Nabi SAW
yang terjadi antara Nabi SAW dengan masyarakat pada eranya[1].
Dengan demikian menempatkan posisi yang perlu pengkajian secara komfrehensif
untuk menjamin keasliannya.
Dalam kontek historis, periwayatan hadits telah
menempuh rentang waktu yang amat panjang. Bahkan menurut Muhammad ‘Ajjaj
al-Khatib dalam bukunya yang berjudul al-sunnah Qabl al-Tadwin
sebagaimana yang dikutip oleh Buchari dalam Kaidah Keshahihan Matn hadits
mengungkapkan bahwa kodifikasi hadits (tadwin) hadits secara resmi dan
massal dalam arti sebagai kebijakan pemerintah, barulah terjadi atas perintah
Khalifah Umar ibn Abd al-Aziz dengan tenggang waktu sekitar 90 tahun sesudah
Nabi SAW wafat.[2]
Dengan rentang waktu yang relatif panjang tersebut
periwayatan hadits secara lafas dan makna tidak dapat terhindarkan. Hal ini
sesuai dengan kondisi yang ada pada masa tersebut.
Dengan demikian periwayatan hadis
menjadi problematic dan banyak mengundang kritik dari para orientalis yang
cukup tajam dan bahkan memandang apriori terhadap otentisitasnya. sebab
studi periwayatan hadis, persoalan bentuk periwayatan juga menjadi isu yang
krusial. Hal ini karena perdebatan masalah tersebut juga berimplikasi terhadap
keautentikan suatu hadis. Dengan demikian apakah periwayatan suatu hadis harus
dengan lafadz (riwayat bi al-lafzh) yang persis disampaikan Nabi SAW ataukah
cukup dengan maknanya saja (riwayat bi al-ma’na), menjadi isu penting
dikalangan ulama hadis.
Berangkat dari permasalahan di atas menarik untuk
dikaji seputar periwayatan hadits secara lafas dan makna dalam rangka
memberikan kontribusi untuk melakukan pelacakan hadits dan memberikan
pengkayaan akademis.
B. PENGERTIAN RIWAYAT BI AL-LAFZH WA BI AL MA’NA.
Sebelum
terhimpun dalam kitab-kitab hadis, hadis Nabi terlebih dahulu telah melalui
proses kegiatan yang dinamai dengan riwayatul hadis atau al-riwayah,
yang dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan dengan periwayatan.[3] kata
al-riwayah adalah masdar dari kata
kerja rawa dan dapat berarti al-naql
(penukilan), al-zikr
(penyebutan), al-fatl (pemintalan)
dan al-istoqa’ (pemberian minum
sampai puas).[4] Sementara
sesuatu yang diriwayatkan, secara umum juga biasa disebut dengan riwayat.
Sementara secara istilah ilmu
hadis, menurut M. Syuhudi Ismail yang dimaksud dengan al-riwayah adalah “Kegiatan penerimaan dan penyampaian hadis, serta
penyandaran hadis itu kepada rangkaian para periwayatnya dengan bentuk-bentuk
tertentu.[5] Orang
yang telah menerima hadis dari seorang periwayat, tetapi dia tidak menyampaikan
hadis itu kepada orang lain, maka dia tidak dapat disebut sebagai orang yang
telah melakukan periwayatan hadis. Sekiranya orang tersebut menyampaiakan hadis
yang diterimanya kepada orang lain, tetapi ketika menyampaikan hadis itu tidak
menyebutkan rangkaian para periwayatnya, maka orang tersebut juga tidak dapat
dinyatakan sebagai orang yang telah melakukan periwayatan hadis.
Menurut Muhammad Ajjaj Al-Khatib
dalam Ushul Hadits ulumuhu wa Mustalahuhu menegaskan bahwa
periwayatan hadis adalah menyampaikan atau meriwayatkan suatu hadis kepada
orang lain.
Dari definisi di atas, dapat
ditarik beberapa point penting yang harus ada dalam periwayatan hadis Nabi,
yaitu;
(1). orang yang melakukan periwayatan hadis yang kemudian
dikenal dengan ar-rawiy
(periwayat), seperti
Bukhari, Muslim.
(2).
apa yang diriwayatkan (al-marwiy), keseluruhan hadis yang diriwayatkan
(3).
susunan rangkaian para periwayat (sanad/isnad),
sejak mulai dari periwayat pertama yang menerima langsung dari nabi hingga
periwayat terakhir.
(4). kalimat yang disebutkan sesudah sanad yang kemudian
dikenal dengan matan.
(5). kegiatan yang berkenaan dengan proses
penerimaan dan penyampaian hadis (at-tahamul wa ada al- Hadis).
Berdasarkan definisi yang diuraikan
diatas maka secara spesifik pengertian periwayatan hadits secara lafas dan
makna selanjutnya akan dibahas dalam sub bagian dibawah ini.
1.
Pengertian Riwayat
Bi Al-Lafzh.
riwayat bi al-lafzh
dimaksudkan adalah periwayatan hadist dengan
menggunakan lafadz sebagaimana Rasulullah SAW tanpa ada penukaran kata,
penambahan dan pengurangan sedikitpun walaupun hanya satu kata. riwayat bi al-lafzh sering juga
disebut dengan periwayatan secara lafzhi[6]. Munzier Suparta
memberikan terminologi periwayatan lafzhi
adalah periwayatan hadis yang redaksinya atau matannya sama persis seperti yang
diwurudkan Rasul SAW dan hanya bisa dilakukan apabila di hafal benar apa yang
disabdakan Rasul SAW.[7]
Dari beberapa pengertian diatas,
dapat penulis simpulkan bahwa pengertian tentang riwayat
bi al-lafzh yaitu
redaki suatu hadits yang diriwayatkan tersebut sama persis seperti yang
disampaikan rasulullah.
4.
contoh hadis
yang diriwayatkan dengan lafaz (riwayat bi al-lafz)
- Riwayat Abu Daud
حدثنا أبو بكر بن ابي شيبة حدثنا أبو خالد وأبن نمير عن الأجلح عن أبي اسحق عن البراء قال قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم ما من مسلمين يلتقيان فيتصافحان الّا غفر لهما قبل أن يفترق
“ Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Saibah, menceritakan
kepada kami Abu Khalid dan Ibnu Numair dari al-Ajlah dari Abu Ishaq dari
al-Bara’, ia berkata Rasulullah SAW. bersabda : Tidaklah dua orang muslim
bertemu lalu berjabat tangan kecuali Allah akan memberi ampunan kepada keduanya
sebelum mereka berpisah” (HR. Abu Daud)
- Riwayat Ahmad
حدثنا أبن نمير أخبرنا الأجلح عن أبي اسحق عن البراء قال قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم ما من مسلمين يلتقيان فيتصافحان الّا غفر لهما قبل أن يفترقا
- Riwayat Ibnu Majah
حدثنا أبو بكر بن ابي شيبة حدثنا أبو خالد الأحمر و عبدالله بن نمير عن الأجلح عن أبي اسحق عن البراء قال قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم ما من مسلمين يلتقيان فيتصافحان الّا غفر لهما قبل أن يفترقا
- Riwayat al-Tirmidhi
حدثنا سفيان بن وكيع و أسحق بن منصور قال حدثنا عبدالله بن نمير عن الأجلح عن أبي اسحق عن البراء بن عازيب قال قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم ما من مسلمين يلتقيان فيتصافحان الّا غفر لهما قبل أن يفترقا
Dari lima buah hadis tersebut, bisa dilihat sahabat Rasulullah yang menjadi perawi pertama untuk seluruh sanad hadis tersebut adalah al-Barra’bin ‘Azib. Nama-nama perawi dalam sanad hadis tersebut adalah orang yang sama pada tingkatan (tabaqat) pertama sampai dengan ketiga, yaitu :
1.
Al-Barra bin ‘Azib
2.
Abu Ishaq
3.
‘Ajlah bin ‘Abdullah
Akan tetapi terdapat perbedaan perawi pada tingkatan keempat ,
yaitu:
1. Ibnu Numair
1. Ibnu Numair
2.
Abu Khalid
Pada tingkatan selanjutnya juga terjadi perbedaan. Imam Ahmad
langsung sebagai mukharrij, sedangkan imam Ibnu Majah, Abu Daud dan al-Timidhi
masih memiliki rangkaian rawi, yaitu :
1.
Sufyan bin Waqi’
2.
Ishaq bin Mansur
3.
Abu Bakar
Kelima hadis di atas dapat dikategorikan ke dalam hadis-hadis yang
diriwayatkan secara lafal, karena kelimanya tidak memiliki perbedaan secara
harfiyah.[8]
2. Pengertian Riwayat
Bi Al-Ma’na.
riwayat bi al-ma’na yaitu meriwayatkan hadist dengan lafadz yang disusun perawi sendiri sesuai
dengan makna yang dicakup oleh ucapan, perbuatan dan takrir ataupun sifat Nabi. riwayat bi al-ma’na merupakan sebuah proses periwayatan dengan redaksi yang
sedikit berbeda dengan yang didengar dari Rasul SAW namun dengan substansi
makna yang tetap sesuai dengan maksud yang disampaikan oleh Rasul SAW. Hal ini
sebagaimana yang diungkapkan oleh Munzier Suparta bahwa riwayat bi al-ma’na adalah periwayatan hadis yang matannya tidak persis sama
dengan yang didengarnya dari Rasul SAW, akan tetapi isi atau maknanya tetap
terjaga secara utuh sesuai dengan yang dimaksud oleh Rasul SAW tanpa ada
perubahan sedikitpun.[9]
Dari ilustrasi tersebut maka kata
kunci terminologi riwayat
bi al-ma’na adalah proses
penyampaian dan penerimaan hadis dengan redaksi yang berbeda akan tetapi tetap
pada substansi makna dan maksud yang sama.
C.
KONTROVERSI PENDAPAT PARA ULAMA TENTANG KEBOLEHAN DAN KETIDAKBOLEHAN RIWAYAT BI AL-MA’NA.
1. Pendapat
Yang Membolehkan, Alasan Dan Syarat-Syaratnya.
Hampir semua ulama hadis memperbolehkan riwayat bi al-ma’na, mereka beralasan
bahwa
hadits itu tidak hanya berupa ucapan, tetapi terkadang berupa tingkah laku
nabi. Dalam mendeskripsikan tingkah laku nabi yang disaksikan oleh para
sahabat, boleh jadi akan muncul redaksi yang berbeda kendati maksudnya sama.
Bahkan, karena kemampuan daya tangkap masing-masing sahabat berbeda, maka boleh
jadi kesimpulannya juga berbeda. Abdullah ibn Sulaiman al-laits menyampaikan
keterbatasan kemampuannya menerima hadits secara utuh. Artinya ia mengaku tidak
mampu menangkap hadits persis seperti apa yang didengarnya. Hurufnya terkadang
bertambah, terkadang juga berkurang.[10]
Disamping itu, adanya larangan dari nabi untuk tidak menuliskan selain
alqur’an juga menyebabkan riwayat bi
al-ma’na, Karena tidak semua ingatan sahabat kuat sehingga hanya berupa
makna dari hadis tersebut yang disampaikan.
Abu Bakar ibn al Arabi (w. 573 H/1148) berpendapat
bahwa selain sahabat Rasulullah SAW tidak diperkenankan
meriwayatkan hadis secara makna. Lebih jauh, Abu Bakar mengemukakan
alasan yang mendukung pendapatnya tersebut. Pertama, sahabat memiliki pengetahuan
bahasa Arab yang tinggi dan kedua, sahabat menyaksikan langsung keadaan perbuatan Nabi SAW.[11]
Para
sahabat lainnya berpendapat bahwa dalam keadaan darurat karena tidak
hafal persis seperti yang di wurud-kan Rasulullah SAW, dibolehkan meriwayatkan hadis
secara maknawi (riwayat bi
al-ma’na). Periwayatan maknawi
artinya periwayatan hadis yang matannya tidak sama
dengan yang didengarnya dari Rasulullah SAW, tetapi isi atau maknanya
tetap terjaga secara utuh sesuai dengan yang dimaksudkan oleh
Rasulullah SAW.[12]
Dari beberapa alasan para sahabat
dan ulama hadis diatas, penulis simpulkan bahwa alasan para sahabat dan ulama
hadis membolehkan riwayat bi al-ma’na adalah:
a. Adanya hadis-hadis yang memang
tidak mungkin diriwayatkan secara lafaz, karena tidak adanya redaksi langsung
dari nabi Muhammad SAW, seperti hadis fi’liyah,
hadis taqririyah, hadis mauquf dan hadis maqthu’. Periwayatan hadis-hadis tersebut adalah secara makna
dengan menggunakan redaksi perawi sendiri.
b. Adanya larangan nabi untuk menuliskan
selain Alquran. Larangan ini membuat sahabat harus menghilangkan
tulisan-tulisan hadis. Di samping larangan, ada pemberitahuan dari nabi tentang
kebolehan menulis hadis
c. Sifat dasar manusia yang
pelupa dan senang kepada kemudahan, menyampaikan sesuatu yang dipahami lebih
mudah dari pada mengingat susunan kata-katanya.
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang perawi
hadis dalam meriwayatkan hadis secara makna (riwayat bi al-ma’na) adalah:
1). Memiliki
pengetahuan bahasa Arab. Dengan demikian periwayatan matan hadis akan terhindar dari kekeliruan.
2). Periwayatan
dengan makna dilakukan bila sangat terpaksa misalnya karena
lupa susunan secara lafaz atau harfiah.
3). Yang
diriwayatkan dengan makna bukan merupakan bentuk bacaan bacaan yang
sifatnya ta’abbudi, seperti
zikir, doa, azan, takbir dan syahadat, serta bukan pula merupakan ajaran yang prinsipil (jawami’
al-kalim)
4). Periwayat hadis secara makna atau mengalami keraguan
akan susunan matan hadis yang diriwayatkannya agar menambah
kata او
كما قا ل atau او نحو هذا atau yang semakna dengannya
setelah menyatakan matan hadis yang bersangkutan.
5).Kebolehan
riwayat bi al-ma’na hanya terbatas pada masa sebelum
dibukukannya hadis secara resmi. Sesudah masa pembukuan
(kodifikasi) hadis, periwayatan hadis harus secara lafaz.[13]
Adapaun
yang membolehkan riwayat bi al-ma’na memberikan persyaratan khusus, yaitu :
1).Para perawi harus mengetahui
secara baik kosa kata bahasa Arab sehingga dapat membedakan mana lafazh yang mendukung makna hadis yang diriwayatkan dan mana yang
tidak, dan bahkan dapat membedakan secara cermat diantar lafazh-lafazh yang hampir
sama dalalahnya.
Abu
Bakar ibn al-‘Arabi (w. 54411) sebagaimana dikutip Shubhi al-Shalih,
menambahkan persyaratan, bahwa yang dibolehkan meriwayatkan hadis dengan makna
tersebut hanyalah para sahabat, sedangkan selain sahabat dilarang meriwayatkan
hadis bi al-makna tersebut. Di boleh
meriwayatkan hadis dengan makna karena di menguasai bahasa Arab dengan baik,
baik fashahah maupun balaghahnya, selain itu di juga menyaksikan
langsung ucapan, perbuatan dan taqrir nabi
sehingga dengan demikian di sangat paham maksud ucapan, perbuatan, dan takrir nabi tersebut. [14]
2).
perawi benar-benar lupa lafazh-nya dan ingat maknanya sedang dia harus
menyampaikan hukum yang dikandungnya.[15]
Alasan yang di kemukakan untuk membolehkan periwayatan hadis bi al-makna adalah hadis yang
diriwayatkan al-Thabrani dari Sulaiman ibn Uyaimah al-Laits yang bertanya
kepada Rosulullah Saw. “Saya apabila mendengar hadis darimu ya Rasul, tidak
sanggup menyampaikannya sebagaimana yang saya dengar darimu, bertambah satu
huruf atau berkurang, Rasul menjawab: “Selama kamu tidak mengharamkan yang
halal dan menghalalkan yang haram, tidak masalah kamu menyampaikan maknanya”
3). lafazh hadis itu bukan lafazh
yang bernilai ibadah seperti adzan,
iqamah, tasyahud dan lain-lain, dan bukan pula merupakan ajaran yang
prinsipil (jawami’ al-Kalim).
4). memang dimugkinkan untuk
mengganti lafazh dengan padanannya (sinonim) yang tidak akan membawa perbedaan
pengertian dari maksud lafazh semula.[16]
Dari
uraian tersebut di atas, dapat dipahami bahwa periwayatan hadis secara makna
memiliki persyaratan yang ketat sehingga tidak jauh dari substansi hadis yang
dimaksud.
2.
Pendapat yang melarang dan alasannya.
Sebagian
sahabat melarang riwayat bi al-ma’na seperti: Umar bin Al-khattab,
Abdullah bin Umar bin al-Khattab dan Zaid bin Arqam.[17]
sebagian
ahli hadis, ahli fiqh, dan ahli ushul mengharuskan para rawi meriwayatkan hadis
dengan lafalnya yang didengar, tidak boleh dia meriwayatkan dengan maknanya
sekali-kali. Demikian juga yang dinukilkan oleh Ibnush Shalah dan An Nawawi,
Ibnu Sirien, Tsailab, dan Abu Bakar Ar Razi. mereka berpendapat bahwa
perawi-perawi harus meriwayatkan persis sebagai lafadz yang ia dengar.
Mereka yang menolak periwayatan
hadits bi al ma’na beralasan bahwa, riwayat
bil ma’na dapat merubah makna hadits. Sebab perawi berusaha
mencari lafazh-lafazh yang semakna dengan lafazh hadits, sedangkan makna
lafazh-lafazh itu dapat berbeda-beda. Mungkin saja perawi lupa akan sebagian
makna yang samar serta terkadang menambah redaksi matan dan terjerumus pada
kesalahan. Alasan mereka adalah :
a) Perkataan nabi mengandung fashohah dan balagah yang tinggi, dan hadits-haditsnya merupakan ajaran yang
bersumber dari wahyu Allah.
b) Nabi pernah mengkritik sahabat yang
mengganti lafal hadits.
Pendapat mereka diperkuat dengan mengajukan beberapa faktor
sebagai berikut:
a) Daya hafalan yang sangat kuat.
b) Pencatatan hadits oleh sebagian
sahabat sangat membantu periwayatan secara lafal.
c) Adanya majlis yang sering digunakan
untuk menerima dan meriwayatkan hadits sangat membantu mereka untuk mengishlah
bila terjadi kesalahan.[18]
C. SEBAB-SEBAB
KEBERVARIASIAN RIWAYAT.
Sebab-sebab kebervariasian riwayat adalah sebagai berikut,
di antaranya: 1. Berbilang/bermacam-macamnya
kejadian
Berbeda-bedanya redaksi dalam satu hadits bukanlah suatu aib/cela dalam
sebuah hadits apabila maknanya satu, karena telah shahih riwayat dari Nabi SAW bahwa
apabila beliau berbicara beliau mengulang-ulang tiga kali. Maka masing-masing
orang (Sahabat) yang mendengar hadits itu menyampaikan kepada orang lain sesuai
dengan apa yang dia dengar. Maka perbedaan dalam riwayat seperti ini tidak
melemahkan hadits, apabila maknanya satu.
2. Riwayat
dengan makna bukan dengan lafazhnya
Dan hal ini
adalah sebab yang paling sering menjadikan perbedaan riwayat dalam satu hadits.
Karena sesungguhnya yang paling penting dalam menyampaikan haidts adalah
menyampaikan kandungan dan isinya, adapun lafazh atau redaksinya tidak ta’abudi
(membacanya bukanlah ibadah, maksudnya tidak memiliki pahala khusus dengan
membacanya), sebagaimana al-Qur’an yang ta’abudi.
Contohnya
adalah hadits:
-
Riwayat Imam Muslim
حدثني
أبو غسّان المسمعيّ حدثنا عثمن بن عمر حدثنا أبو عامر يعني الخزّاز عن أبي عمران
عن عبدالله بن الصّامت الجوني عن أبي ذرّ قال قال لي النبي صلى الله عليه وسلّم لا
تحقرنّ من المعروف شيأولو أن تلقي أخاك بوجه طلق
“ Telah menceritakan kepadaku Abu Gassan al-Misma’i, telah menceritakan
kepada kami Uthman bin ‘umar, menceritakan kepada kami Abu ‘Amit, meriwayatkan
kepada Abu ‘Imran lalu meriwayatkan kepada Abu ‘Amir al-Khazzaz. Pada tingkatan
selanjutnya kemudian ada perbedaan, yaitu Rauh yang langsung kepada Imam Ahmad
dan Usman bin ‘Umar kemudian Abu Ghassan pada Imam Muslim.
- Jalur riwayat
Imam Ahmad
حدثنا اسحق بن عيسى حدثنا المنكدر بن محمد بن المنكدر عن أبيه عن حابر بن عبدالله قال قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم كلّ معرف صدقة ومن المعرف أن تلقى أخاك بوخه طلق وأن تفرغ من دلوك في انائه
حدثنا قتيبه بن سعيد حدثنا المنكدر بن محمد بن المنكدر عن أبيه عن جابر بن عبدالله قال أخيك قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم كلّ معرف صدقة وانّ المعرف أن تلقى أخاك بوخه طلق وأن تفرغ من دلوك في انائه
- Jalur Riwayat al-Tirmidhi
حدثنا قتيبه بن سعيد حدثنا المنكدر بن محمد بن المنكدر عن أبيه عن جابر بن عبدالله قال قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم كلّ معرف صدقة وانّ المعرف أن تلقى أخاك بوخه طلق وأن تفرغ من دلوك في انائه
وفي الباب عن أبي ذرّ قال أبو عيس هذا حديث صحيح
perbedaan lafazh/redaksi ini sebabnya
adalah meriwayatkan hadits dengan makna, karena sesungguhnya perawi hadits ini
satu, yaitu: Yahya bin Sa’id dari Muhammad bin Ibrahim at-Taimi dari ‘Alqamah
dari ‘Umar radhiyallahu 'anhu. Dan yang diperhatikan di sini adalah
bahwa makna yang dipahami dari kalimat-kalimat di atas adalah satu, maka
kerusakan apa yang timbul dari banyaknya riwayat yang seperti ini?[19]
supaya
para Ulama lebih tenang bahwasanya perawi (orang yang menukil hadits) telah
menukil makna shahih (yang benar) dari sebuah hadits, maka mereka tidak
menerima hadits yang diriwayatkan dengan makna kecuali dari orang yang paham
dengan bahasa Arab, kemudian membandingkan riwayatnya dengan riwayat selainnya
dari kalangan perawi yang tsiqah
(terpercaya). Maka
jelaslah bagi mereka kesalahan dalam menukilnya, seandainya ada.
3. Meringkas hadits
ada seorang perawi yang hafal hadits
secara sempuran, akan tetapi dia mencukupkan dengan menyebutkan sepotong dari
hadits tersebut pada suatu kesempatan, dan menyebutkannya secara lengkap pada
kesempatan yang lain. Contohnya adalah riwayat hadits Abu Hurairah ra tentang kisah lupanya Nabi SAW dua raka’at dalam shalat
Dzuhur, dan semuanya (riwayat-riwayat itu) datang dari Abu Hurairah, dan itu
adalah satu kisah. Hal itu menunjukkan bahwa perbedaan riwayat-riwayat itu,
sebabnya adalah sebagian perawi yang meringkas hadits.
4. Kesalahan
seorang perawi kadang salah, lalu dia
meriwayatkan hadits tidak sesuai dengan apa yang diriwayatkan oleh perawi lain.
Dan mungkin untuk mengetahui kesalahan ini adalah dengan saling membandingkan
di antara riwayat-riwayat tersebut. Dan itulah yang dilakukan oleh kalangan
Ulama di dalam kitab-kitab Sunan dan kitab Takhrij.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam kitab ”al-Jawab ash-Shahih”
(3/39):”Dan akan tetapi ummat ini Allah Subhanahu wa Ta'ala menjaga untuk
mereka apa yang Dia turunkan, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ (الحجر/9 )
Artinya: Sesungguhnya
Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an, dan pasti Kami (pula) yang menjaganya.(QS. Al-Hijr: 9)
Maka apa
saja kekeliruan yang ada dalam tafsir al-Quran dan penukilan hadits, maka Allah
Subhanahu wa Ta'ala akan membangkitkan dari kalangan ummat ini orang yang akan
menjelaskannya (kekeliruan itu), dan menyebutkan bukti akan kekeliruan
pelakunya dan kedustaan para pendustanya. Karena umat ini tidak akan bersepakat
di atas kesesatan, dan senantiasa di antara mereka ada sekelompok orang yang
berada jelas di atas kebenaran sampai datang hari kiamat, karena mereka adalah
ummat terakhir, tidak ada Nabi lagi setelah Nabi mereka, tidak ada kitab lagi
setelah kitab Nabi mereka. Dan adalah umat-umat sebelum mereka, apabila mereka
mengganti dan merubah (kitab mereka) Allah SWT akan mengutus Nabi-Nya yang
menjelaskan kepada mereka, memerintah mereka dan melarang mereka. Dan tidak ada
setelah Muhammad SAW Nabi lagi.Allah SWT telah menjamin bahwa Dia akan menjaga
apa yang Dia turunkan berupa Dzikir (al-Qur’an dan Hadits). selesai perkataan Ibnu Taimiyah rahimahullah.
Dan Sunnah -sesuai dengan bentuk
yang saya sebutkan di awal, yaitu sebagai wahyu dari Allah- menjelaskan
(memperinci) kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka di dalam
al-Qur’an, dan mengajari mereka hukum-hukum yang mereka butuhkan dalan Agama mereka.
Dan seandainya perinciannya atau asalnya ada dalam al-Qur’an, maka kita katakan
bahwa Sunnah dalam bentuk yang seperti ini adalah kekhususan Nubuwah, dan ini adalah salah satu tugas
dari Nabi SAW. Maka manusia
senantiasa memandang Sunnah dalam bentuk seperti ini, dengan apa yang
terkandung dalam kitab-kitab Hadits, atau riwayat-riwayat secara lisan berupa
perbedaan sebagian lafazh (redaksi). Dan hal tersebut tidak membuat mereka
(kaum muslimin) ragu terhadap kedudukannya, atau mereka merasa pusing dalam
menghafalnya, atau ragu-ragu terhadap kehujahaanya (kedudukannya sebagai
dalil), atau membuat mereka ragu terhadap kebutuhan manusia terhadapnya.[20]
D. KESIMPULAN
Maksud dari periwayat hadis dengan lafal adalah
dimana dalam meriwayatkan hadis tersebut isi hadis atau matannya sama persis
dengan apa yang disampaikannya oleh Rasulullah. sedangkan maksud dari riwayah
bil-mak’na adalah periwayatan hadis yang isi atau matannya berbeda secara
bahasa dari yang disampaikan oleh Rasulullah, namun subtansi hadis tersebut
tetap sama.
Meskipun dalam sejarah hadis riwayah bil-ma’na
telah diakui terjadi secara besar-besarana, diantara para ulama masih terjadi
perbedaan boleh atau tidaknya riwayh bil-ma’na dilakukan. Bagi sebagian
ulama yang menolaknya adalah seperti ulama fiqh dan ulama ushul fiqh (Ibnu
Sirin dan Abu bakar al-Razi), Abu Rayyah yang menolak riwayah bil-ma’na,
dengan argumentasi bahwa riwayah bil-ma’na jurtru akan merusak maksud dari
matan hadis dan juga seorang perawi bukanlah sekelompok eksklusif yang tidak
menutup kemungkinan mengurangi atau menanmbahi, lupa, lemah ingatanya dalam
meriwayatkan hadis. Sedangkan ulama yang membolahkan seperti Ibnu Mas’ud, boleh
apabila dalam keadaan darurat karena tidak hafal persis seperti yang diwurutkan
Rasulullah, dan harus dengan hati-hati. Sebagian ulama yang lain adalah ulama
salaf, ulama khalaf di bidang hadis, fiqh dan ushul fiqh seperti imam empat
dengan ketentuanya:pertama, bahwa seorang perawi harus memiliki
pengetahuan bahasa arab secara mendalam. Kedua, seorang perawi harus
mengetahui perubahan makna bila terjadi perubahan lafal.
DAFTAR PUSTAKA
Ajjaj
Al-Khatib, Muhammad, Ushul Hadits ulumuhu wa Mustalahuhu, Beirut: Darul Fikr, 1963.
Al-MAliki,
Muhammad Alawi. Ilmu Ushul Hadis. Yogyakarta: Pustaka pelajar.2006
Ismail, M.Syuhudi, Kaedah Kesahihan Hadis Nabi, Jakarta:
Bulan Bintang, 1988
Ismail, M.Syuhudi, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis,
Jakarta: Bulan Bintang, 2005.
Butrus al- Bustaniy,
Kitab al-Quthr al-Muhith, (Ttp: Maktabah Libnan, tt),
M.,
Buchari., Kaidah Keshahih-an Matn Hadits, Padang, Penerbit Azka, 2004.
Mudasir,
Ilmu Hadis, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999)
Suparta, Munzier Ilmu hadis, Jakarta,
PT. Raja Grafindo Persada, 2006.
Periwayatan
hadis Nabi Dalam Lintasan Sejarah” http://agusnotes.blogspot.com
http://ibnupublishing.blogspot.com/2012/01/periwayatan-hadis-dengan-lafal-dan.html
[1]
Buchari.M., Kaidah Keshahih-an Matn Hadits, ed.I, (Padang:Penerbit Azka,
2004), h. 1
[3] M.Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Hadis Nabi,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h. 21
[4] Butrus al-Bustaniy, Kitab al-Quthr al-Muhith, (Ttp:
Maktabah Libnan, tt), dan Luis Ma’luf, Al-Munjid fi al-Lughah,
(Beirut: Dar al-Masyriq, 1973), h.289. dalam “Periwayatan hadis
Nabi Dalam Lintasan Sejarah” http://agusnotes.blogspot.com.
[9] ibid.,
h. 84
[11] Ahmad Syuhudi Ismail, Kaedah
Kesahihan Sanad Hadis,
Bulan Bintang, Jakarta, 1995h. 70
[12] Mudasir, Ilmu Hadis, Pustaka Setia, Jakarta, 1999. h. 99
Author: Mohammad
Mohammad is the founder of STC Network which offers Web Services and Online Business Solutions to clients around the globe. Read More →
Related Posts:
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar: