Selasa, 05 Januari 2016
SEJARAH PERADABAN ISLAM PADA MASA NABI MUHAMMAD DAN KHULAFAH RASYIDIN
Oleh: IRWANTO, S.Sy.,M.A
A.
PENDAHULUAN
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan
bimbingan kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini.
Sholawat serta salam semoga tercurah kepada Rasulullah SAW, manusia sempurna
yang senantiasa kita harapkan syafaatnya, dan yang telah membimbing umatnya
dengan penuh kesabaran ke jalan yang benar.
Sejarah pertumbuhan dan perkembangan peradapan islam
dimulai pada masa nabi Muhammad SAW sampai dengan masa Bani Umayyah. Nabi
Muhammad SAW sebagai manusia teladan yang yang memiliki kepribadian luhur dan
pantang mundur dalam perjuangan menegakkan syariat islam meskipun banyak
mendapat cobaan dan rintangan.
Dalam sejarah Peradapan Islam, sejarah hidup Nabi
Muhammad SAW biasanya dibedakan menjadi dua, yaitu ketika Nabi Muhammad
menjalani hidup di Makkah dan di Madinah. Sejarah masa hidup Nabi ini selain
dikaji dalam bidang sejarah, kerap kali pula mendapatkan perhatian dibidang
disiplin seperti studi Al-Qur’an. Situasi dan kondisi yang dihadapi Nabi
Muhammad menjadikan perbedaan tema-tema sentral dalam ajaran Islam melalui
wahyu yang diterima Rasulullah.
Demikian juga yang terjadi dalam sejarah Islam, karena
perbedaan dan tantangan yang dihadapi Nabi Muhammad berbeda di dua tempat
tersebut para ahli sejarah Islam membagi sejarah hidup rasul tersebut ke dalam
dua babak, yaitu sejarah ketika rasul di Makkah dan sejarah ketika rasul di
Madinah. Dan tentang sejarah hidup rasul di Makkah dan Madinah.
Begitu juga dengan sejarah peradaban islam setelah
nabi Muhammad wafat yang merupakan masa Khalifah Rasyidin, semua ini akan kita
bahas dalam pembahasan makalah ini.
B.
PEMBAHASAN
1.
Islam Pada Masa
Nabi Muhammad.
Kondisi bangsa arab sebelum kedatangan islam, terutama
di sekitar Mekah masih diwarnai dengan penyembahan berhala sebagai Tuhan. Yang
dikenal dengan istilah paganisme. Selain menyembah berhala, di kalangan bangsa
Arab ada pula yang menyembah agama Masehi(Nasrani), agama ini dipeluk oleh
penduduk Yaman, Najran, dan Syam. Di samping itu juga agama Yahudi yang dipeluk
oleh penduduk Yahudi imigran di Yaman dan Madinah, serta agama Majusi, yaitu
agama orang-orang persia.
Nabi
Muhammad SAW lahir pada tanggal 12 Rabiul Awwal atau 20 April 571 M. Ketika itu
Raja Yaman Abrahah dengan gajahnya menyerbu Mekah untuk menghancurkan Ka’bah.
Sehingga tahun itu dinamakan Tahun Gajah. Beliau telah menjadi yatim piatu
ketika berumur delapan tahun, dan beliau diasuh oleh kakek dan pamannya, Abdul
Muthalib dan Abu Thalib. Pada umur 12 tahun Nabi Muhammad sudah mengenal
perdagangan, sebeb pada saat itu beliau telah diajak berdagang oleh paman
beliau, Abu Thalib ke Negeri Syam. Dari pengalamannya berdagang, maka setelah
beranjak dewasa, beliau ingin berusaha berdagang dengan membawa barang dagangan
Khadijah, seorang saudagar wanita yang pada akhirnya menjadi istri beliau.
Fase
kenabian Nabi Muhammad dimulai ketika beliau bertahannus atau menyepi di Gua
Hira, sebagai imbas keprihatinan beliau melihat keadaan bangsa Arab yang
menyembah berhala. Di tempat inilah beliau menerima wahyu yang pertama, yang
berupa surat Al-‘Alaq 1-5. Dengan wahyu yang pertama ini, maka beliau telah
diangkat menjadi Nabi, utusan Allah. Pada saat itu, Nabi Muhammad belum
diperintahkan untuk menyeru kepada umatnya, namun setelah turun wahyu kedua,
yaitu surat Al-Mudatsir ayat 1-7, Nabi Muhammad saw diangkat menjadi Rasul yang
harus berdakwah. Dalam hal ini dakwah Nabi Muhammad dibagi menjadi dua periode,
yaitu :
a.
Periode Mekah, ciri pokok dari
periode ini adalah pembinaan dan pendidikan tauhid(dalam arti luas)
b.
Periode Madinah, ciri pokok dari
periode ini adalah pendidikan sosial dan politik(dalam arti luas)
a.
Periode Mekah
Pada periode ini, tiga tahun pertama dakwah islam
dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Nabi Muhammad mulai melaksanakan dakwah
islam di lingkungan keluarga, mula-mula istri beliau sendiri, yaitu Khadijah,
yang menerima dakwah beliau, kemudian Ali bin Abi Thalib, Abu Bakar sahabat
beliau, lalu Zaid bekas budak beliau. Di samping itu, juga banyak orang
yang masuk islam dengan perantaraan Abu Bakar yang terkenal dengan julukan
Assabiqunal Awwalun(orang-orang yang lebih dahulu masuk islam), mereka adalah
Utsman bin Affan, Zubair bin Awwan, Sa’ad bin Abi Waqqash, Abdur Rahmanbin
‘Auf, Thalhah bin ‘Ubaidillah, Abu Ubaidah bin Jarhah, dan Al-Arqam bin Abil
Arqam, yang rumahnya dijadikan markas untuk berdakwah(rumah Arqam). Kemudian
setelah turun ayat 94 Surah Al-Hijr, nabi Muhammad saw memulai dakwah
secara-terang-terangan.[1]
Dalam menyebarkan agama islam, Nabi Muhammad
melakukannya dengan tiga cara, yaitu:
a. Rahasia. Pada
tahapan ini Nabi menyempaikannya hanya pada kalangan keluarganya sendiri dan
teman dekatnya.
b. Semi Rahasia.
Beliau menyebarkan Agama Islam dalam ryang lingkup yang lebih luas, termasuk
Bani Muthalib dan Bani Hasyim.
c. Terang-Terangan(Demonstratif).
Nabi dalam berdakwah secara terang-terangan ke segenap lapisan masyarakat, baik
kaum bangsawan maupun hamba sahaya.
Dakwah yang disampaikan Nabi ini mendapatkan penolakan
masyarakat Quraisy dalam berbagai cara. Penolakan tersebut diantaranya:
a. Lunak. Cara ini
dilakukan dengan menyebar propaganda. Bahwa Nabi Muhammad adalah seorang
pembohong, penjahat, dan juga pembuat perpecahan di kalangan bangsa arab dan
lainnya
b. Semi Lunak.
Yaitu dengan membujuk Nabi Muhammad untuk menghentikan dakwah islamiyah
c. Kasar/Keji.
Yaitu dengan melakukan penyiksaan atau penganiayaan baik secara fisik maupun
nonfisik
Dakwah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw tidak
mudah karena mendapat tantangan dari kaum kafir Quraisy. Hal tersebut timbul
karena beberapa faktor, yaitu sebagai berikut :
1. Bidang Politik Kekuasaan.
Mereka tidak dapat membedakan antara kenabian dan kekuasaan. Mereka mengira
bahwa tunduk kepada seruan Nabi Muhammad berarti tunduk kepada kepemimpinan
Bani Abdul Muthalib
2. Sosial
(persamaan derajat sosial). Nabi muhammad menyerukan persamaan hak antara
bangsawan dan hamba sahaya
3. Agama dan
Keyakinan. Para pemimpin Quraisy tidak mau percaya ataupun mengakui serta tidak
menerima ajaran tentang kebangkitan kembali dan pembalasan di akhirat
4. Budaya. Taklid
kepada nenek moyang adalah kebiasaan yang berurat akar pada bangsa Arab,
sehingga sangat berat bagi mereka untuk meninggalkan agama nenek moyang dan
mengikuti agama islam
b.
Periode Madinah
Sebab utama Rasulullah bersama para sahabat melakukan
hijrah ke Madinah, yaitu :
1. Perbedaan iklim di kedua kota
mempercepat dilakukannya hijrah. Iklim Madinah lembut dan watak rakyatnya yang
tenang sangat mendorong penyebaran dan pengembangan agama islam. Sedangkan kota
Mekah sebaliknya.
2. Nabi-Nabi umumnya tidak dihormati di
negara-negaranya sehingga Nabi Muhammadpun tidak diterima oleh kaumnya sendiri
Dalam periode ini, pengembangan islam lebih ditekankan
pada dasar-dasar pendidikan masyarakat islam dan pendidikan sosial
kemasyarakatan. Oleh karena itu, Nabi kemudian meletakkan dasar-dasar
masyarakat islam di Madinah, sebagai berikut:
a. Mendirikan Masjid
Tujuan Rasulullah mendirikan masjid ialah untuk
mempersatukan umat islam dalam satu majelis, sehingga di majelis ini umat islam
bisa bersama-sama melaksanakan shalat berjamaah secara teratur, mengadili
perkara-perkara dan musyawarah. Masjid ini memegang peranan penting untuk
mempersatukan kaum muslimin dan mempererat tali ukhuwah islamiyah.
b. Mempersatukan dan mempersaudarakan
antara kaum Anshar dan Muhajirin
Rasulullah saw mempersatukan keluarga-keluarga islam
yang terdiri dari Muhajirin dan Anshar. Dengan cara mempersaudarakan kedua
golongan ini, Rasulullah saw telah menciptakan suatu pertalian yang berdasarkan
agama pengganti persaudaraan yang berdasar kesukuan seperti sebelumnya.
c. Perjanjian saling membantu antara
sesama kaum muslimin dan bukan muslimin
Nabi Muhammad saw hendak menciptakan toleransi
antargolongan yang ada di madinah, oleh karena itu Nabi membuat perjanjian
antara kaum mus;limin dan nonmuslimin.
Menurut Ibnu Hisyam, isi perjanjian tersebut antara
lain sebagai berikut :
1. Pengakuan atas hak pribadi keagamaan
dan politik
2. Kebebasan beragama terjamin untuk
semua umat
3. Adalah kewajiban penduduk Madinah,
baik muslim maupun nonmuslim, dalam hal moril maupun materiil. Mereka harus
bahu membahu menangkis semua serangan terhadap kota mereka(Madinah)
4. Rasulullah adalah pemimpin umum bagi
penduduk Madinah. Kepada beliaulah dibawa segala perkara dan perselisihan yang
besar untuk diselesaikan
d. Meletakkan dasar-dasar politik,
ekonomi dan sosial untuk masyarakat baru
Ketika masyarakat islam terbentuk maka diperlukan
dasar-dasar yang kuat bagi masyarakat yang baru terbentuk tersebut. Oleh
karena itu, ayat-ayat Al-Quran yang diturunkan dalam periode ini terutama
ditujukan kepada pembninaan hukum. Ayat-ayat ini kemudian diberi penjelasan
oleh Rasulullah, baik dengan lisan maupun dengan perbuatan beliau sehingga
terdapat dua sumber hukum dalam islam, yaitu Al-Quran dan hadis.
Dari kedua sumber hukum islam tersebut didapat suatu
sistem untuk bidang politik, yaitu sistem musyawarah. Dan untuk bidang ekonomi
dititikberatkan pada jaminan keadilan sosial, serta dalam bidang
kemasyarakatan, diletakkan pula dasar-dasar persamaan derajat antara masyarakat
atau manusia, dengan penekanan bahwa yang menentukan derajat manusia adalah
ketakwaan.[4]
e. Mengadakan perjanjian dengan seluruh penduduk Madinah, baik yang sudah
masuk islam maupun yang belum masuk islam. Perjanjian ini dikenal dengan
“Piagam Madinah”, yang berisi undang-undang dikenal dengan konstitusi Madinah.
Konstitusi ini secara garis besar menyangkuit masalah-masalah yang berkaitan
dengan seluruh aspek kehidupan manusia, yaitu:
1. Bidang Politik. Dalam piagam Madinah menerapkan sistem Musyawarah
2. Bidang Keamanan. Seluruh warga negara berhak mendapat keamanan dan
kemerdekaan
3. Bidang Sosial. Nabi meletakkan dasar persamaan di antara manusia
4. Bidang ekonomi. Nabi saw menerapkan sistem yang dapat menjamin keadilan
sosial
5. Bidang keagamaan. Hak beragama dijamin, namun harus memiliki sikap
toleransi terhadap kegiatan-kegiatan keagamaan yang diselenggarakan oleh
masyarakat atau penduduk kota madinah.
Adapun
penjabaran dari piagam ini yang dijadikan sebagai dasar dalam membina
masyarakat islam yang baru dibentuk Rasulullah saw, meliputi beberapa prinsip,
yaitu:
a. Al-Ukhuwah. Ukhuwah ini meliputi
Ukhuwah Basyariyah, Ukhuwah Wathaniyah dan Ukhuwah Islamiyah
b. Al-Musawa.
Semua penduduk memiliki kedudukan yang sama dan setiap warga masyarakat
memuliki hak kemerdekaan, kebebasan, dan yang membedakan hanyalah ketakwaannya
c. At-Tasamuh. Umat Islam siap berdamping secara baik dengan semua penduduk
termasuk Yahudi serta bebas melaksanakan ajaran agama dan harus memiliki sikap
toleransi
d. Al-Ta’awun. Semua penduduk harus saling tolong menolong dalam hal kebaikan.
e. Al-Tasyawur. Jika ada persoalan dalam Negara, harus melakukan musyawarah
f. Al-‘Adalah. Berkaitan erat dengan hak dan kewajiban setiap individu dalam
kehidupan bermasyarakat(Adil).[5]
1.
Islam
Pada Masa Khalifah Rasyidin
a.
Masa
Abu Bakar
1. Peristiwa Tsaqifah
Bani Sa’idah
Setelah
Rasulullah SAW wafat, para sahabat segera berkumpul untuk bermusyawarah di
suatu tempat yaitu Tsaqifah Bani Sa’idah (semacam MPR dulu dikenal
dengan Nadi al-Qoum) guna memilih pengganti Rasulullah (Khalifah)
memimpin ummat Islam. Musyawarah itu secara spontanitas diprakarsai oleh kaum
Anshor. Sikap mereka itu menunjukkan bahwa mereka lebih memiliki kesadaran
politik dari pada yang lain, dalam memikirkan siapa pengganti Rasulullah dalam
memimpin umat Islam. Pihak Anshar mencalonkan Sa’ad bin Ubaidah.
Hingga
peristiwa tersebut diketahui Umar, ia kemudian pergi ke kediaman Nabi dan
mengutus seseorang untuk menemui Abu Bakar. Kemudian keduanya berangkat dan
diperjalanan bertemu dengan Ubaidah bin Jarroh. Setibanya di balai Bani
Sa’idah, mereka mendapatkan dua golongan besar kaum Anshor dan Muhajirin
bersitegang. Dengan tenang Abu Bakar berdiri di tengah-tengah mereka, kemudian
berpidato yang isinya merinci kembali jasa kaum Anshor bagi tujuan Islam. Di
sisi lain ia menekankan pula anugrah dari Allah yang memberi keistimewaan
kepada kaum Muhajirin yang telah mengikuti Muhammad sebagai Nabi dan menerima
Islam lebih awal dan rela hidup menderita bersama Nabi. Abu bakar juga
berpidato di hadapan para sahabat yang ada disana dengan alasan hadits Nabi: al-Aimmatu
min Quraiys (kepemimpinan dalam Islam adalah dari golongan Quraisy).
Akhirnya Abu Bakar terpilih sebagai Khalifah ar-Rasul (pengganti Rasul)[6].
Abu Bakar terpilih menjadi khalifah dengan alasan utamanya adalah
senioritas karena sejak mula pertama Islam diturunkan menjadi pendamping Nabi,
dialah sahabat yang paling memahami risalah Rasul. Abu Bakar merupakan tokoh
tua yang sangat dihormati serta orang yang pertama kali masuk Islam dari
golongan tua. Setelah mereka sepakat dengan gagasan Umar, sekelompok demi
sekelompok maju ke depan dan bersama-sama membaiat Abu Bakar sebagai Khalifah.
Baiat tersebut dinamakan baiat Tsaqifah karena bertempat di balai
Tsaqifah Bani Sa’idah. Pertemuan politik itu berlangsung hangat, terbuka,
demokratis dan berdaulat. Pertemua politik itu merupakan peristiwa sejarah yang
penting bagi umat Islam. Sesuatu yang mengikat mereka tetap dalam satu
kepemimpinan pemerintahan. Terpilihnya Abu Bakar menjadi Khalifah Pertama,
menjadi dasar terbentuknya sistem pemerintahan Khalifah dalam Islam.
2. Sistem Politik
Islam Masa Khalifah Abu Bakar
Pengangkatan
Abu Bakar sebagai Khalifah merupakan bukti bahwa Abu Bakar menjadi Khalifah
bukan atas kehendaknya sendiri, tetapi hasil dari musyawarah mufakat umat
Islam. Dengan terpilihnya Abu Bakar menjadi Khalifah, maka mulailah Abu Bakar
menjalankan kekhalifahannya, baik sebagai pemimpin umat maupun sebagai
pemimpin pemerintahan, dan juga di sinilah prinsip demokrasi tertanam sejak
awal perkembangan Islam. Adapun sistem politik Islam pada masa Abu Bakar
bersifat sentralistis sebagaimana yang diterapkan Nabi berdasarkan al-Qur’an
Hadits, jadi kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif terpusat ditangan
Khalifah, meskipun demikian dalam memutuskan suatu masalah, Abu Bakar selalu
mengajak para sahabat untuk bermusyawarah. Kebijaksanaan politik yang dilakukan
Abu Bakar dalam mengemban kekhalifahannya yaitu:
1.
mengirim pasukan di bawah pimpinan Usamah bin Zaid, untuk memerangi kaum Romawi
sebagai realisasi dari rencana Rasulullah, ketika Nabi masih hidup.
2.
timbulnya kemunafikan dan kemurtadan. Hal ini disebabkan adanya anggapan bahwa
setelah Nabi Muhammad SAW wafat, maka segala perjanjian dengan Nabi menjadi
terputus.
3.
khalifah di sisi lain juga serentak ekpedisi ke 12 front di bawah
jenderal-jenderal di masing-masing batalyon, maka ketika para pembangkang kalah
perang di salah satu front,lari ke wilayah lain pun tidak bertaan dan berkutik
melawannya.[7]
Adapun
kebijakan di bidang pemerintahan yang dilakukan oleh Abu Bakar adalah:
1.
Pemerintahan Berdasarkan Musyawarah.
2.
Amanat Baitul Mal.
Para sahabat Nabi beranggapan
bahwa Baitul Mal adalah amanat Allah dan masyarakat kaum muslimin. Karena itu
mereka tidak mengizinkan pemasukan sesuatu kedalamnya dan pengeluaran sesuatu
darinya yang berlawanan dengan apa yang telah ditetapkan oleh syari’at. Mereka
mengharamkan tindakan penguasa yang menggunakan Baitul Mal untuk mencapai
tujuan-tujuan pribadi.
3.
Konsep Pemerintahan. Politik dalam pemerintahan Abu Bakar dengan corak
pemerintahan yang bersifat senteralistis dan sangat merakyat.
4.
Kekuasaan Undang-undang. Abu Bakar tidak pernah menempatkan dirinya diatas
undang-undang. Dia juga tidak pernah memberi sanak kerabatnya suatu kekuasaan
yang lebih tinggi dari undang-undang. Mereka semua dihadapan undang-undang
adalah sama seperti rakyat yang lain, baik kaum Muslim maupun non Muslim.
2.
Masa
Umar Bin Khattab
Menjelang
wafat, Abu Bakar menunjuk Umar bin Khattab sebagai penggantinya. Disinilah
tanpak perbedaan, di mana Abu Bakar yang diangkat dan di akui oleh mayoritas
umat, sedangkan Umar diangkat dan ditunjuk oleh seorang saja. Hal tersebut
dilakukan supaya tidak muncul permasalaan seperti ketika Nabi meninggalkan umat
Islam untuk memilih penggantinya timbul perselisihan yang nyaris membawa umat
Islam ke gerbang kehancuran.
a. Ahlul Hall Wal
‘Aqdi
Dalam
masa pemerintahannya, Umar telah membentuk lembaga-lembaga yang disebut juga
dengan ahlul hall wal aqdi, di antaranya adalah:
1. Majelis Syura (Diwan
Penasihat), ada tiga bentuk :
a.
Dewan Penasihat Tinggi, yang terdiri dari para pemuka sahabat yang terkenal,
antara lain Ali, Utsman, Abdurrahman bin Auf, Muadz bin Jabbal, Ubay bin Kaab,
Zaid bin Tsabit, Tolhah dan Zubair.
b.
Dewan Penasihat Umum, terdiri dari banyak sahabat (Anshar dan Muhajirin) dan
pemuka berbagai suku, bertugas membahas masalah-masalah yang menyangkut
kepentingan umum.
c.
Dewan antara Penasihat Tinggi dan Umum. Beranggotakan para sahabat (Anshar dan
Muhajirin) yang dipilih, hanya membahas masalah-masalah khusus.
2.
Al-Katib (Sekretaris Negara), di antaranya adalah Abdullah bin Arqam.
3.
Nidzamul Maly (Departemen Keuangan) mengatur masalah keuangan dengan
pemasukan dari pajak bumi, ghanimah, jizyah, fai’ dan
lain-lain.
4.
Nidzamul Idary (Departemen Administrasi), bertujuan untuk memudahkan
pelayanan kepada masyarakat, di antaranya adalah diwanul jund yang
bertugas menggaji pasukan perang dan pegawai pemerintahan.
5.
Departemen Kepolisian dan Penjaga yang bertugas memelihara keamanan dalam
negara.
6.
Departemen Pendidikan dan lain-lain.
Pada
masa Umar, badan-badan tersebut belumlah terbentuk secara resmi, dalam arti
secara de jure belum terbentuk, tapi secara de facto telah
dijalankan tugas-tugas badan tersebut. Meskipun demikian, dalam menjalankan
roda pemerintahannya, Umar senantiasa mengajak musyawarah para sahabatnya.[8]
b. Perluasan Wilayah
Ketika
para pembangkang di dalam negeri telah dikikis habis oleh Khalifah Abu Bakar
dan era penaklukan militer telah dimulai, maka Umar menganggap bahwa tugas
utamanya adalah mensukseskan ekspedisi yang dirintis oleh pendahulunya. Belum
lagi genap satu tahun memerintah, Umar telah menorehkan tinta emas dalam
sejarah perluasan wilayah kekuasaan Islam. Pada tahun 635 M, Damaskus, Ibu kota
Syuriah, telah ia tundukkan. Setahun kemudian seluruh wilayah Syuriah jatuh ke
tangan kaum muslimin, setelah pertempuran hebat di lembah Yarmuk di sebelah
timur anak sungai Yordania. Keberhasilan pasukan Islam dalam penaklukan Syuriah
di masa Khalifah Umar tidak lepas dari rentetan penaklukan pada masa
sebelumnya.
Khalifah
Abu Bakar telah mengirim pasukan besar dibawah pimpinan Abu Ubaidah Ibn
al-Jarrah ke front Syuriah. Ketika pasukan itu terdesak, Abu Bakar
memerintahkan Khalid Ibn al-Walid yang sedang dikirim untuk memimpin pasukan ke
front Irak, untuk membantu pasukan di Syuriah. Dengan gerakan cepat,
Khalid bersama pasukannya menyeberangi gurun pasir luas ke arah Syuriah. Ia
bersama Abu Ubaidah mendesak pasukan Romawi. Dalam keadaan genting itu,
wafatlah Abu Bakar dan diganti oleh Umar bin al-Khattab. Khalifah yang baru itu
mempunyai kebijaksanaan lain. Khalid yang dipercaya untuk memimpin pasukan di
masa Abu Bakar, diberhentikan oleh Umar dan diganti oleh Abu Ubaidah Ibn
al-Jarrah. Hal itu tidak diberitahukan kepada pasukan hingga selesai perang,
dengan maksud supaya tidak merusak konsentrasi dalam menghadapi musuh. Damascus
jatuh ke tangan kaum muslimin setelah dikepung selama tujuh hari. Pasukan
Muslim yang dipimpin oleh Abu Ubaidah itu melanjutkan penaklukan ke Hamah,
Qinisrun, Laziqiyah dan Aleppo. Surahbil dan ‘Amr bersama pasukannya meneruskan
penaklukan atas Baysan dan Jerussalem di Palestina. Kota suci dan kiblat
pertama bagi umat Islam itu dikepung oleh pasukan Muslim selama empat bulan.
Akhirnya kota itu dapat ditaklukkan dengan syarat harus Khalifah Umar sendiri
yang menerima “kunci kota” itu dari Uskup Agung Shoporonius, karena
kekhawatiran mereka terhadap pasukan Muslim yang akan menghancurkan
gereja-gereja.
Dari
Syuriah, laskar kaum muslimin melanjutkan langkah ke Mesir dan membuat
kemenangan-kemenangan di wilayah Afrika Utara. Bangsa Romawi telah menguasai Mesir
sejak tahun 30 SM. Dan menjadikan wilayah subur itu sebagai sumber pemasok
gandum terpenting bagi Romawi. Berbagai macam pajak naik sehingga menimbulkan
kekacauan di negeri yang pernah diperintah oleh raja Fir’aun itu. ‘Amr bin Ash
meminta izin Khalifah Umar untuk menyerang wilayah itu, tetapi Khalifah masih
ragu-ragu karena pasukan Islam masih terpencar dibeberapa front pertempuran.
Akhirnya, permintaan itu dikabulkan juga oleh Khalifah dengan mengirim 4000
tentara ke Mesir untuk membantu ekspedisi itu. Tahun 18 H, pasukan muslimin
mencapai kota Aris dan mendudukinya tanpa perlawanan. Kemudian menundukkan
Poelisium (al-Farama), pelabuhan di pantai Laut Tengah yang merupakan pintu
gerbang ke Mesir. Demikian juga dengan serangan-serangan terhadap Asia kecil
yang dilakukan selama bertahun-tahun. Seperti halnya perang Yarmuk yang
menentukan nasib Syuriah, perang Qadisia pada tahun 637 M, menentukan masa
depan Persia. Pada tahun itu pula, seluruh Persia sempurna berada dalam
kekuasaan Islam, sesudah pertempuran sengit di Nahawan. Isfahan juga
ditaklukan. Demikian juga dengan Jurjan (Georgia) dan Tabristan, Azerbaijan.
Orang-orang Persia yang jumlahnya jauh lebih besar dari pada tentara Islam,
yaitu 6 dibanding 1, menderita kerugian besar. Kaum muslimin menyebut sukses
ini dengan kemenangan dari segala kemenangan (fathul futuh). Dari uraian
di atas, dapat disimpulkan bahwa kekuasaan Islam pada masa itu meliputi Jazirah
Arabia, Palestina, Syiria, Mesir dan sebagian besar Persia
C. Pengembangan Islam
Sebagai Kekuatan Politik
Periode
kekhalifahan Umar tidak diragukan lagi merupakan abad emas Islam dalam segala
zaman. Periodenya terkenal dengan pembangunan Islam dan perubahan-perubahannya.
Khalifah Umar bin Khattab mengikuti langkah-langkah Rasulullah dengan segenap kemampuannya,
terutama pengembangan Islam. Ia bukan sekedar seorang pemimpin biasa, tetapi
seorang pemimpin pemerintahan yang professional. Ia adalah pendiri sesungguhnya
dari sistem politik Islam. Ia melaksanakan hukum-hukum Ilahiyah (syariat)
sebagai code (kitab undang-undang) suatu masyarakat Islam yang baru
dibentuk. Maka tidak heran jika ada yang mengatakan bahwa Umar lah pendiri daulah
islamiyah (tanpa mengabaikan jasa-jasa Khalifah sebelumnya). Banyak metode
yang digunakan Umar dalam melakukan perluasan wilayah, sehingga musuh mau
menerima Islam karena perlakuan adil kaum Muslim. Di situlah letak kekuatan
politik terjadi. Dari usahanya, pasukan kaum Muslim mendapatkan gaji dari hasil
rampasan sesuai dengan hukum Islam. Untuk mengurusi masalah ini, telah dibentuk
Diwanul Jund. Sedangkan untuk pegawai biasa, di samping menerima gaji
tetap (rawatib), juga menerima tunjangan (al-itha’). Khusus untuk
Amr bin Ash, Umar menggajinya sebesar 200 dinar mengingat jasanya yang besar
dalam ekspansi. Dan untuk Imar bin Yasar, diberi 60 dinar disamping tunjangan (al-jizyaat)
karena hanya sebagai kepala daerah (al-amil). Dalam rangka
desentralisasi kekuasaan, pemimpin pemerintahan pusat tetap dipegang oleh
Khalifah Umar bin Khattab. Sedangkan di propinsi, ditunjuk Gubernur (orang
Islam) sebagai pembantu Khalifah untuk menjalankan roda pemerintahan. Dalam
pemerintahannya, terdapat Majlis Syura’, bagi umar tanpa musyawarah,
maka pemerintahannya tidak bisa berjalan, selain itu membentuk departemen dan
membagi daerah kekuasaan Islam menjadi delapan provinsi, membentuk kepala
distrik yang disebut ‘amil, pada masanya juga terdapat kebijakan yang
fenomenal dalam kebijakan ekonomi di Sawad (daerah subur), ia
mengeluarkan dekrit bahwa orang Arab termasuk tentara dilarang transaksi jual
beli tanah di luar Arab dengan alasan; mutu tentara Arab menurun, produksi
menurun, negera rugi 80% dari pendapatan, dan rakyat akan kehilangan mata
pencaharian yang menyebabkan mereka mudah memberontak terhadap negaga.
Kebijakannya yang lain adalah menerapkan pajak perdagangan (bea cukai), dan
lain-lain.
Pada
akhir kepemimpinannya, Umar dibunuh oleh Abu Lu’lu (orang Persia). Hal ini
dilatar belakangi oleh pemecatan Umar terhadap Mughirah Ibnu Syu’ba sebagai
Gubernur Kuffah, karena Mughirah melakukan pembocoran rahasia Negara dan
penghianatan. Menjelang wafat Umar membentuk tim formatur untuk musyawarah
menentukan penggantinya, tim formatur terdiri dari enam orang sahabat yaitu
Abdurrahman bin Auf, Thalhah, Zubair, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Talib, dan
Saad ibn Waqas.
3. Masa Usman Bin Affan
A. Proses
Kekhalifahan Ustman bin Affan
Tim
formatur yang telah dibentuk Umar di akhir masa kepemimpinannya tersebut
dikenal dengan sebutan Ahlul Halli wal Aqdi dengan tugas pokok
menentukan siapa yang layak menjadi penerus Khalifah Umar bin Khattab dalam
memerintah umat Islam. Suksesi pemilihan Khalifah ini dimaksudkan untuk
menyatukan kembali kesatuan umat Islam yang pada saat itu menunjukkan adanya
indikasi disintegrasi. Sahabat-sahabat yang tergabung dalam dewan, posisinya
seimbang tidak ada yang lebih menonjol sehingga cukup sulit untuk menetapkan
salah seorang dari mereka sebagai pengganti Umar. Walau pada akhirnya, mereka
memutuskan Ustman bin Affan sebagai Khalifah setelah Umar bin Khattab. Di
antara kelima calon hanya Tholhah yang sedang tidak berada di Madinah ketika
terjadi pemilihan. Abdurahman Ibn Auf mengambil inisiatif untuk
menyelenggarakan musyawarah pemilihan Khalifah pengganti Umar. Ia meminta pendapat
masing-masing nominasi. Saat itu, Zubair dan Ali mendukung Ustman. Ustman
sendiri mendukung Ali, tetapi Ali menyatakan dukungannya terhadap Ustman.
Kemudian Abdurahman bin Auf mengumpulkan pendapat-pendapat sahabat besar
lainnya. Akhirnya suara mayoritas menghendaki dan mendukung Ustman. Lalu ia
dinyatakan resmi sebagai Khalifah melalui sumpah, dan baiat seluruh umat Islam.
Pemilihan itu berlangsung pada bulan Dzul Hijjah tahun 23 H atau 644 M dan
dilantik pada awal Muharram 24 H atau 644 M. Ketika Tholhah kembali ke Madinah
Ustman memintanya menduduki jabatannya, tetapi Tholhah menolaknya seraya
menyampaikan baiatnya. Demikian proses pemilihan Khalifah Ustman bin Affan
berdasarkan suara mayoritas.
B. Perluasan Wilayah
Khalifah
Utsman mengutus Sa’ad bin al-Ash bersama Khuzaifah Ibnu al-Yamaan serta
beberapa sahabat Nabi lainnya pergi ke negeri Khurosan dan sampai di Thabristan
dan terjadi peperangan hebat, sehingga penduduk mengaku kalah dan meminta
damai. Tahun 30 H/ 650 M pasukan Muslim berhasil menguasai Khurazan. Adapun
tentang Iskandariyah, bermula dari kedatangan Kaisar Konstantinopel II dari
Romawi Timur atau Bizantium yang menyerang Iskandariyah dengan mendadak,
sehingga pasukan Islam tidak dapat menguasai serangan. Panglima Abdullah bin
Saad bin Abi Sarah yang menjadi wali di daerah tersebut meminta pada Khalifah
Utsman untuk mengangkat kembali panglima Amru bin ‘Ash yang telah diberhentikan
untuk menangani masalah di Iskandariyah. Abdullah bin Abi Sarah memandang
panglima Amru bin ‘Ash lebih cakap dalam memimpin perang dan namanya sangat
disegani oleh pikak lawan. Permohonan tersebut dikabulkan, setelah itu
terjadilah perpecahan dan menyebabkan tewasnya panglima di pihak lawan. Selain
itu, Khalifah Ustman bin Affan juga mengutus Salman Robiah al-Baini untuk
berdakwah ke Armenia. Ia berhasil mengajak kerjasama penduduk Armenia, bagi
yang menentang dan memerangi terpaksa dipatahkan dan kaum muslimin dapat
menguasai Armenia.
Perluasan
Islam memasuki Tunisia (Afrika Utara) dipimpin oleh Abdullah bin Sa‘ad bin Abi
Sarah. Tunisia sebelum kedatangan pasukan Islam sudah lama dikuasai Romawi.
Tidak hanya itu saja pada saat Syiria bergubernurkan Muawiyah, ia berhasil
menguasai Asia kecil dan Cyprus. Dimasa pemerintahan Utsman, negeri-negeri yang
telah masuk ke dalam kekuasaan Islam antara lain: Barqah, Tripoli Barat,
sebagian Selatan negeri Nub’ah, Armenia, dan beberapa bagian Thabaristan bahkan
tentara Islam telah melampaui sungai Jihun (Amu Daria), negeri Balkh (Baktria),
Hera, Kabul dan Gzaznah di Turkistan. Jadi Enam tahun pertama pemerintahan
Ustman bin Affan ditandai dengan perluasan kekuasaan Islam. Perluasan dan
perkembangan Islam pada masa pemerintahannya telah sampai pada seluruh daerah
Persia, Tebristan, Azerbizan dan Armenia selanjutnya meluas pada Asia kecil dan
negeri Cyprus. Atas perlindungan pasukan Islam, masyarakat Asia kecil dan
Cyprus bersedia menyerahkan upeti sebagaimana yang mereka lakukan sebelumnya
pada masa kekuasaan Romawi atas wilayah tersebut.
C. Konflik dan
Kemelut Politik Islam Masa Utsman bin Affan
Selama
pemerintahan Utsman di bagi menjadi dua periode, yaitu periode kemajuan dan
periode kemunduran. Pada periode kemajuan pemerintahan Utsman mengalami
kemajuan yang sangat luar biasa. Peta Islam semakin meluas hingga perbatasan al-Jazair
(Barqah dan Tripoli, Syprus di front barat). Di bagian Utara sampai Aleppo dan
sebagian Asia kecil, Transoxiana, adapun di bagian Timur seluruh Persia bakan
sampai wilayah Balucistan. Selain itu Utsman berhasil membentuk armada
laut dengan kapalnya yang kokoh dan mengalau serangan-serangan di Laut Tengah
yang dilancarkan oleh tentara Bizantium. Namun, priode kemunduran kekuasaannya
identik dengan kemunduran dengan huru-hara dan kekacauan yang luar biasa sampai
akhir hayatnya.
Sebagian
ahli sejarah menilai, bahwa Utsman melakukan nepotisme. Hal ini terlihat dari
pengangkatan sanak saudaranya dalam jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan,
hampir semua pejabat Negara dan panglima pada masa Umar dipecat olehnya
kemudian mengangkat pengganti mereka dari keluarga yang tidak mampu dan tidak
cakap untuk menjadi pengganti.
Beberapa
tuduhan nepotisme/KKN yang tujukan pada Utsman antara lain; Muawiyyah ibn Abi
Sufyan yang merupakan masih satu suku dan keluarga dekat dengan Utsman
mengganti Gubernur Syam, di Bashrah Abdullah ibn Amir yang merupakan sepupu
Utsman menggantikan Musa al-Asy’ari, di Kuffah Utsman memecat Mughirah ibn
Syu’bah yang pada saat masa Umar ampir di pecat tetapi baru terlaksana pada
masa Utsman, di Kuffah Gubernurnya diganti sebanyak enam kali, selain dari
Mughirah yaitu Saad ibn Abi Waqas, kemudian Saad ibn Abi Waqas, seseorang
pilihan rakyat Bashrah namun hanya memimpin selama beberapa bulan kemudian
dilanjutkan dengan Walid ibn Uqbah yang merupakan saudara susuan Utsman,
selanjutnya Said ibn al-Ash yang merupakan keponakan Khalid, terakhir adalah
Musa al-Asy’ari yang merupakan mantan Gubernur Bashrah dan bukan merupakan
famili Utsman. Adapun di Mesir Amr bin ash yang merupakan Amir seluruh Mesir
dan Abdullah ibn Saad amil di Nubai yang diangkat pada masa Umar, namun saat
khalifah meminta laporan tahunan keduanya terdapat ketimpangan yaitu gagal
mengumpulkan pajak, pada saat itu Abdullah mengumpulkan pajak dua kali lipat
dari Amr. Khalifah meminta mlaporan keduanya karena khalifah butuh biaya banyak
untuk membangun armada, Utsman ingin Amr tetap menjadi panglima dan gubernur
seluruh Mesir dan menjadikan Abdullah ‘amil. Namun kemudian Amr
memperotes khalifah dengan keras, akhirnya ia dipecat dan menjadikan Abdullah
sebagai gubernur. Menurut M. Abdul Karim (2012:97-98) pemecatan Amr dari
jabatannya sebagai gubernur adalah untuk mengambil hati rakyat Mesir dengan
memungut pajak sesedikit mungkin membuat situasi kacau antara Mesir Selatan (di
mana Abdullah sebagai ‘amil yang memungut pajak dua kali lipat dari pada
Mesir di Utara) dengan Mesir Utara. Selisih kebijakan ekonomi ini juga
menimbulkan keresahan di kalangan rakyat Nubia.
Perlu
diketahui terdapat fakta lain di balik tuduhan nepotisme/KKN yang ditujukan
pada Utsman antara lain: a) pengangkatan Muawiyah ibn Abi Sufyan yang mengganti
Gubernur Syam adalah karena kecakapan dan kemampuannya, terutama waktu
menghadapi Bizantium, ia menunjukkan keberhasil yang sangat luar biasa. b) di
Bashrah Abdullah ibn Amir yang merupakan sepupu Utsman, ia merupakan orang yang
menaklukkan Persia yang menggantikan Musa al-Asy’ari, padahal ia banyak
mengumpulkan hadits akan tetapi ia tidak disukai rakyat, Musa merupakan
panglima ke Kurd, pidatonya memerintahkan agar berhemat, tetapi malah ia
sendiri memakai jubah yang mahal serta menggunakan kuda yang mahal, ia juga
terkenal kikir. c) di Kuffah Utsman memecat Mughirah ibn Syu’bah yang pada saat
masa Umar ampir di pecat tetapi baru terlaksana pada masa Utsman, di Kuffah
Gubernurnya diganti sebanyak enam kali, selain dari Mughirah yaitu adalah Saad
ibn Abi Waqas, ia menyalah gunakan jabatannya seperti meminjam uang tanpa
melapor pada khalifah. selanjutnya seseorang pilihan rakyat Bashra namun hanya
memimpin selama beberapa bulan kemudian dilanjutkan dengan Walid ibn Uqbah yang
merupakan saudara susuan Utsman, banyak keluhan rakyat bahwa is minum khamer
dan pembawaannya keras dan kasar, tetapi setelah ia terbukti salah, ia dihukum
dengan hukuman cambuk. Ini membuktikan bahwa ia tidak memandang Walid sebagai
keluarga dan tidak dibelanya menjadi bukti Usman tidak melakukan nepotisme.
Justru Walid yang kemudian bergabung dengan kelompok oposisi di Syam (namun
tidak berhasil karena daerah binaan Muawiyah adalah pendukung kalifah), Kuffa,
Bashrah, dan Mesir, untuk melancarkan propagandanya dan memusuhi kalifah.
Setelah Walid melancarkan propaganda yang kotor, menghancurkan bangunan
kepercayaan yang megah dibangun awal periode Utsman, hancur lebur dengan sikap
Walid. Dalam al ini, Walid situasi sudah di luar kendali, meskipun dipecat dan
dicambuk, tetapi kemudian kalifah membiarkannya secara bebas propaganda.
Selanjutnya Said ibn al-Ash yang merupakan keponakan Khalid, ia cakap dan
berprestasi terutama dalam penaklukkan Persia Utara, Azerbeijan. Namun ia
dituduh nenomor satukan Arab dari pribumi, ia juga seseorang yang tak sabar
serta peminum khamer d) terakhir adalah Musa al-Asy’ari yang merupakan mantan
Gubernur Bashrah dan bukan merupakan famili Utsman namun ia tak dapat mengatasi
situasi, kepemimpinannya tidak sebaik pada waktu ia menjabat sebelumnya.
Justru setelah asy’ari yang tidak ada hubungan darah dengan Utsman,
pengganti Sa’id. Di sisi lain, Abdullah orang yang sangat dikagumi khalifah
Utsman dengan berbagai prestasinya, namun akhirnya dipecat atas desakan rakyat
Mesir dan menggantikan Muhammad ibn Abu Bakar.[9]
4. Masa Ali Bin Abi Thalib
a. Pembaiatan Khalifah Ali bin Abi Thalib
Dalam pemilihan Khalifah
terdapat perbedaan pendapat antara
pemilihan Abu bakar, Utsman dan Ali bin Abi Thalib. Ketika kedua
pemilihan Khalifah terdahulu (Khalifah Abu Bakar dan Khalifah Ustman ibn
Affan), meskipun mula-mula terdapat sejumlah orang yang menentang, tetapi
setelah calon terpilih dan diputuskan menjadi Khalifah, semua orang
menerimanya dan ikut berbaiat serta
menyatakan kesetiaannya. Namun lain halnya ketika
pemilihannya Ali bin Abi Thalib, justru sebaliknya.
Setelah terbunuhnya Utsman bin Affan, masyarakat
beramai-ramai datang dan membaiat Ali bin Abi Thalib
sebagai Khalifah. Beliau diangkat melalui pemilihan dan
pertemuan terbuka. Akan tetapi suasana pada saat itu sedang kacau, karena hanya
ada beberapa tokoh senior masyarakat Islam yang tinggal di Madinah. Sehingga
keabsahan pengangkatan Ali bin Abi Thalib ditolak oleh sebagian masyarakat
termasuk Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Meskipun hal itu terjadi, Ali masih
menjadi Khalifah dalam pemerintahan Islam.
Pro dan kontra terhadap pengangkatan Ali bin Abi
Thalib sebagai Khalifah di karenakan beberapa hal yaitu bahwa orang yang tidak
menyukai Ali diangkat menjadi Khalifah, bukanlah rakyat umum yang
terbanyak. Akan tetapi golongan kecil (keluarga Umaiyyah) yaitu keluarga yang
selama ini telah hidup bergelimang harta selama pemerintahan Khalifah Ustman.
Mereka menentang Ali karena khawatir kekayaan dan kesenangan mereka
akan hilang lenyap karena keadilan yang akan dijalankan oleh Ali. Adapun rakyat
terbanyak, mereka menantikan kepemimpinan Ali dan menyambutnya dengan tangan
terbuka. Beliau akan dijadikan tempat berlindung melepaskan diri dari
penderitaan yang mereka alami.[10]
b. Kebijaksanaan Politik Ali bin Abi Thalib
Menurut Thabani yang dikutip
oleh Syalaby setelah Ali
dibaiat menjadi Khalifah, ia mengeluarkan dua kebijaksanaan politik yang sangat
radikal yaitu:
1.
Memecat kepala daerah
angkatan Ustman dan menggantikan dengan gubenur baru.
2.
Mengambil kembali tanah
yang dibagi–bagikan Ustman kepada famili–familinya dan kaum kerabatnya tanpa
jalan yang sah.
Menanggapi kebijakan yang
dilakukan okleh Ali tersebut, ada yang
berpendapat bahwa kebijaksanaan Ali itu terlalu radikal dan kurang persuasive,
sehingga menimbulkan perlawanan politik dari gubenur khususnya gubenur Syiria
(Bani Ummayyah) yang tidak mau tunduk pada Khalifah Ali, terbukti ia menolak
kehadiran gubenur yang baru diangkat Ali.
Penulis memandang bahwa tindakan politik Ali yang
radikal itu kendati strategis tapi tidak taktis, sebab pada masa Khalifah
Ustman konflik etnis antara Bani Ummayyah dan Bani Hasyim
sudah ada, terbukti ketika Ustman terbunuh
secara misterius Bani Ummayyah mengeksploitasi
tuduhan pada Ali, karena didasari Bani
Umayyah yang memang ambisi menjadi Khalifah.
Semestinya gerakan radikal Ali untuk mengusir elite
Bani Umayyah dilakukan secara bertahap, sebab walau
bagaimanapun elite baru yang telah lama
berkuasa seperti Muawiyah sulit ditundukkan, sedangkan Ali yang
mengandalkan idealisme dan dukungan masyarakat bawah beberapa kelompok tua
terlalu intelektual tapi kurang pengalaman dalam menyelesaikan konflik dalam
pemerintahan, sehingga dengan demikian yang muncul dalam pemerintahan bukan
integrasi tetapi disintegrasi yang ditandai dengan lahirnya perang
saudara yang pertama kali dalam Islam, yakni perang jamal. Pada masa khalifah
Ali terdapat beberapa kali perang antara lain perang shiffin dan perang
nahrawan.[11]
C. PENUTUP
Nabi Muhammad SAW bukan hanya sebagai seorang
Rasulullah yang di utus untuk menyebarkan ajaran Islam, melainkan juga sebagai
pemimpin negara yang pandai dalam berpolitik, sebagai seorang panglima perang
serta seorang administrator yang cakap, hanya dalam waktu kurun waktu singkat Rasulullah
bisa menaklukkan seluruh Jazirah Arab. Dengan mengamati pola keberagaman pembangunan dasar-dasar pemerintahan
Islam dari masa Rasulullah Saw sampai dengan masa Khulafaurrasyidin, maka dapat
disimpulkan sebagai berikut.
- Nabi Saw merupakan seorang yang dilahirkan dari keturunan para pemimpin,, maka pantaslah jika beliau menjadi pemimpin yang handal dalam mengatur dan mengarahkan umatnya.
- Bahwa Nabi Saw telah meletakkan pola dasar pembangunan peradaban manusia diawali dengan pembangunan masjid Kuba.
- Nabi Saw telah membuat sistem perundang-undangan dalam menata kemasyarakatan di Madinah dalam upaya menegakkan sendi-sendi kenegaraan, yakni dengan membuat kesepakatan tidak saling mengganggu dan Nabi Saw melindungi penduduk Mekah dan menjamin hak-haknya meskipun mereka beragama Yahudi dan Nasrani.
- Nabi Saw mempersaudarakan antara Muhajirin dan Anshar mempunyai peran strategis dalam upaya membangun Negara yang kokoh dan kuat. Dan hal ini merupakan satu contoh langkah politik yang berlandaskan agama.
- Berakhirnya pemerintahan Nabi Saw, Khulafaurrasyidin menggantikan peran beliau. Abu Bakar adalah Khalifah pertama yang meneruskan kepemimpinan Nabi Saw dengan sistem yang diwarisi dari nabi Saw.
- Peran Abu Bakar sebagai Khalifah sangat besar, beliau berupaya mengumpulkan Al Qur’an agar tidak punah, membangun baitul Mal, menumpas nabi-nabi palsu dan pembangkang zakat dan lain-lain.
- Pola kepemimpinan Umar yang adil dan tidak memihak menjadi contoh nyata bahwa sebagai pemimpin selayaknya kita berlaku demikian, adil tidak memandang pangkat dan golongan, status dan usia, agama dan ras budayanya.
- Umar bin Khattab membangun kantor-kantor perwakilan pemerintahan dan menunjuk gubernur-gubernur serta mendirikan jawatan pos dan perpajakan, merupakan gambaran umum bahwa dalam pemerintahannya sudah semakin lengkap dan teratur.
- Usaha perluasan pemerintahan Islam terjadi kemajuan yang signifikan, sehingga daerah-daerah di Afrika dan sebagaian eropa mampu dikuasai terutama Romawi.
- Utsman bin Affan sebagai Khalifah ke tiga membawa perubahan cukup banyak dalam pemerintahan Islam dan peradaban Islam. Pada masa pemerintahannya armada angakatan laut dibangun sebagai bentuk gambaran akan kuat dan lengkapnya militer dan pemerintahan pada masanya sehingga disegani musuh.
- Khalifah Ali bin Abi Thalib menggantikan kekhalifahan Umar dengan sebuah proses yang panjang, dalam pemerintahannya banyak ditemukan ganjalan-ganjalan sehingga roda pemerintahannya tidak berjalan lancar. Akan tetapi beliau tetap mengemban amanah kekahalifahan dengan baik.
[1]
Samsul Munir Amin, Sejarah
Peradaban Islam, cet 2 (Jakarta: Amzah, 2010) hal 65-67
[2]
Fatikhah, Sejarah
Peradaban Islam, (Pekalongan:STAIN Pekalongan Press, 2011) hal 58-60
[3]
Imam Fu’adi,
Sejarah Peradaban Islam, (Yogyakarta: Sukses Offset, 2011) hal 13
[4]
Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan
Islam, (Jakarta:PT Pustaka Al-Husna Baru, 2003) hal 102-104
[6]
Ira M. Lapidus,
Sejarah Sosial Ummat Islam Bagian Kesatu & dua. Jakarta: Rajawali
Pers, 1999, hlm. 55-68.
[8]
Samsul Munir Amin, Sejarah
Peradaban Islam, cet 2 (Jakarta: Amzah, 2010) hal 70-71
[9]
Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan
Islam, (Jakarta:PT Pustaka Al-Husna Baru, 2003) hal 102-104
[10]
Imam Fu’adi,
Sejarah Peradaban Islam, (Yogyakarta: Sukses Offset, 2011) hal 30
[11]
Ibid, h 31
Author: Mohammad
Mohammad is the founder of STC Network which offers Web Services and Online Business Solutions to clients around the globe. Read More →
Related Posts:
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
terima kasih, tulisannya sangat menambah khasanah pengetahuan
BalasHapus