Rabu, 15 April 2015
FUNGSI SUNNAH TERHADAP AL-QURAN.
A. PENDAHULUAN.
Hadits memiliki beberapa arti yaitu diantaranya komunikasi, cerita atau
perbincangan, sejarah, atau peristiwa yang actual. Sedangkan Hadits menurut
istilah yaitu sebagai makna atau sesuatu yang di nisbahkan kepada Nabi Saw baik
berupa perkataan, perilaku maupun taqrir beliau terhadap tindakan
sahabat atau diskripsi tentang sifat dan karakternya.[1]
Dari pengertian hadits tersebutterkadang kita temikan istilah lain yang
digunakan untuk mengungkapkan makna yang sama dengan arti hadits seperti kite
atsar, dan khabar. Dari sebutan ierakhir ini sebagian ulama menganggap sininim
sebagian lagi (khususnya kalangan khurosam) menggunakan khabar yang meliputi
segala yang datang dari nabi dan dare sahabat serta tabi’in, sebagian ada yang
menganggap hadits khusus yang datang dari nabi sementara khabar yang datang
selain nabi. Sehingga para muhadditsin menyebut terhadap hadits yang marfu’ dan
mauquf dare suatu khabar dengan sebutan atsar sementara kalangan khurosam
khuusnya menybut mauquf sebagai atsar dan marfuk sebagai khabar
B. PEMBAHASAN.
1. FUNGSI
SUNNAH TERHADAP AL-QURAN
Untuk memahami urgensi al-Hadits dalam memahami
Al-Qur'an, maka kita perlu merujuk kepada ayat-ayat al-Qur'an itu sendiri yang
menjelaskan bahwa memang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menerima wewenang khusus dari Allah Swt. untuk menjelaskan al-Qur'an, baik
berupa ucapan, perbuatan, ataupun ketetapan, yang kita sebagai umatnya wajib
menaatinya.
Allah berfirman;
!$uZø9tRr&ur y7øs9Î) tò2Ïe%!$# tûÎiüt7çFÏ9 Ĩ$¨Z=Ï9 $tB tAÌhçR öNÍkös9Î) öNßg¯=yès9ur crã©3xÿtGt ÇÍÍÈ
Artinya: dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar
kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka[2] dan supaya
mereka memikirkan. (Q.S. al Nahl : 44)
Kedua
ayat di atas menjelaskan bahwa memang Nabi Muhammad SAW mendapatkan
mandat untuk menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Qur'an. Dengan demikian,
penjelasan-penjelasan Nabi Muhammad SAW tidak dapat dipisahkan dari
pemahaman maksud ayat-ayat Al-Quran. Beliau adalah satu-satunya manusia yang
mendapat wewenang penuh untuk menjelaskan al-Quran[3]. Penjelasan beliau dapat dipastikan kebenarannya.
Tidak seorang muslimpun yang dapat menggantikan penjelasan Rasulullah dengan
penjelasan manusia lain, apa pun kedudukannya.
Penjelasan-penjelasan atas arti dan maksud ayat
Al-Quran yang diberikan oleh Nabi bermacam-macam bentuknya. Ia dapat berupa
ucapan, perbuatan, tulisan ataupun taqrir (pembenaran berupa diamnya
beliau terhadap perbuatan yang dilakukan oleh orang lain).[4] Nabi
Muhammad SAW telah diberi oleh Allah SWT melalui Al-Quran hak dan wewenang tersebut. Segala ketetapannya
harus diikuti. Tingkah lakunya merupakan panutan terbaik bagi mereka yang
mengharapkan rahmat Allah dan keselamatan di hari kiamat.[5]
Disamping itu banyak kita temukan ayat-ayat dalam
Al-Qur'an yang memerintahkan kita untuk menaati Rasulullah SAW. Perintah untuk
taat (athi'u) tersebut telah disebut dalam al-Quran sebanyak sembilan
belas kali.[6] Terkadang,
perintah tersebut digabungkan antara taat kepada Allah dengan sekaligus, kepada
Rasul, Allah Berfirman;
ö@è% (#qãèÏÛr& ©!$# ^qߧ9$#ur ( bÎ*sù (#öq©9uqs? ¨bÎ*sù ©!$# w =Ïtä tûïÍÏÿ»s3ø9$# ÇÌËÈ
Artinya: Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan
Rasul-Nya; jika kamu berpaling, Maka Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
kafir". (Q.S. Ali Imron : 32)
Penggabungan
dan pemisahan di atas bukanlah tidak mempunyai arti; ia mengisyaratkan bahwa
perintah-perintah Nabi harus diikuti, baik yang bersumber langsung dari Allah
(al-Quran) sebagaimana ayat yang menggambarkan ketaatan kepada Allah dan Rasul
di atas maupun perintah-perintahnya
berupa kebijaksanaan seperti ayat-ayat kelompok kedua di atas.
Itulah sebabnya mengapa al-Quran menegaskan bahwa
hendaknya dilaksanakan apa yang diperintahkan oleh Rasulullah dan meninggalkan
apa yang dilarangnya.[7] Dan bahwa
barangsiapa taat kepada Rasul maka ia telah taat kepada Allah.[8]
Al-Quran juga mengancam orang-orang yang menentang
perintahnya Bahkan, ia menyatakan bahwa
mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad)
sebagai hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak
merasa dalam hati sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan
mereka menerima sepenuhnya
Dari beberapa ayat di atas, jelaslah bahwa mereka yang
menduga bahwa Nabi tidak mempunyai wewenang sedikitpun dalam urusan agama,
adalah keliru. Ayat ( لَيْسَ لَكَ مِنَ
الأَمْرِ شَيْءٌ )[9] yang
diterjemahkan oleh sementara orang dengan tidak ada wewenang bagimu tentang
urusan (agama) sedikit pun. Ini tidaklah benar, karena yang dimaksud dengan
"urusan" dalam ayat ini adalah urusan diterima atau ditolaknya tobat
orang-orang tertentu, sebagaimana bunyi lanjutan ayat tersebut.[10]
Untuk lebih jelas, penulis akan gambarkan dalam bentuk
pointer tentang kedudukan al-Hadits
terhadap Al-Qur'an, sebagai berikut;
1. Bayan at-Taqrir
Bayan al-taqrir disebut juga dengan bayan
al-ta’kid dan bayan al-itsbat. Yang dimaksud dengan bayan ini, ialah
menetapkan dan memperkuat apa yang telah diterangkan di dalam al-Qur’an. Fungsi
Hadits dalam hal ini hanya memperkokoh isi kandungan al-Qur’an. Suatu contohnya
adalah, Hadits yang diriwayatkan Muslim dari Ibnu Umar, yang berbunyi:
فإذا رأيتم الهلال فصوموا وإذا
رأيتموه فأفطروا
Artinya: Apabila
kalian melihat (ru’yah) bulan, maka berpuasalah, juga apabila melihat (ru’yah)
itu maka berbukalah. (HR. Muslim).[11]
Hadits ini datang men-taqrir ayat al-Qur’an surat al-Baqarah ayat
185 yang berbunyi:
`tBur tb$2 $³ÒÍsD
÷rr&
4n?tã
9xÿy
×o£Ïèsù
ô`ÏiB BQ$r& tyzé&
ã
Artinya: Barangsiapa di antara kamu hadir (di
negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan
itu (Qs. al-Baqarah : 185).[12]
Contoh lain Seperti larangan berdusta, Allah SWT. Berfirman :
y7Ï9ºs `tBur öNÏjàyèã ÏM»tBããm «!$# uqßgsù ×öyz ¼ã&©! yYÏã ¾ÏmÎn/u 3 ôM¯=Ïmé&ur ãNà6s9 ãN»yè÷RF{$# wÎ) $tB 4n=÷Fã öNà6øn=tæ ( (#qç6Ï^tFô_$$sù [ô_Íh9$# z`ÏB Ç`»rO÷rF{$# (#qç6Ï^tFô_$#ur ^öqs% Ír9$# ÇÌÉÈ
Artinya : Demikianlah
(perintah Allah). dan Barangsiapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi
Allah Maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Tuhannya. dan telah Dihalalkan
bagi kamu semua binatang ternak, terkecuali yang diterangkan kepadamu
keharamannya, Maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah
perkataan-perkataan dusta.(QS Al-Hajj : 30)
Kemudian Rosulullah SAW dalam sabdanya menguatkan ketetapan hukum yang
termaktub dalam firman Allah tersebut. Beliau bersabda :
عن عبد الرحمن بن ابى بكرة عن ابيه رضي الله عنه قال :
قال النبي ص م : الآ انبئكم بأكبر الكبائر ثلاثا قالوا بلى يا رسول الله, قال
الشراك با الله و عقوق الوالدين و جلس وكان متكئا فقال الآ وقول الزور (روه
البخرى)
Artinya: Dari Abdurrohman Bin Abi Bakroh dari ayahnya ra. Dia berkata :
Nabi SAW Bersabda : “maukah kalian aku beritahu tentang dosa-dosa yang paling
besar?” (Rosulullah mengulanginya sampai tiga kali). Para sahabat menjawab :
“mau wahai Rosulullah”. Rosulullah SAW bersabda :”menyekutukan Allah dan
durhaka kepada dua orang tuanya, saat itu Rosulullah sedang bersandar lalu
beliau bersabda : “awas, jauhilah perkataan dusta” (HR. al-Bukhori)
Contoh lain, surat al-Ma’idah ayat 6
tentang keharusan berwudhu’ sebelum shalat, yang berbunyi:
$pkr'¯»t úïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä #sÎ) óOçFôJè% n<Î) Ío4qn=¢Á9$# (#qè=Å¡øî$$sù öNä3ydqã_ãr öNä3tÏ÷r&ur n<Î) È,Ïù#tyJø9$# (#qßs|¡øB$#ur öNä3ÅrâäãÎ/ öNà6n=ã_ör&ur n<Î) Èû÷üt6÷ès3ø9$# 4 bÎ)ur öNçGZä. $Y6ãZã_ (#rã£g©Û$$sù 4 bÎ)ur NçGYä. #ÓyÌó£D ÷rr& 4n?tã @xÿy ÷rr& uä!%y` Ótnr& Nä3YÏiB z`ÏiB ÅÝͬ!$tóø9$# ÷rr& ãMçGó¡yJ»s9 uä!$|¡ÏiY9$# öNn=sù (#rßÅgrB [ä!$tB (#qßJ£JutFsù #YÏè|¹ $Y6ÍhsÛ (#qßs|¡øB$$sù öNà6Ïdqã_âqÎ/ Nä3Ï÷r&ur çm÷YÏiB 4 $tB ßÌã ª!$# @yèôfuÏ9 Nà6øn=tæ ô`ÏiB 8ltym `Å3»s9ur ßÌã öNä.tÎdgsÜãÏ9 §NÏGãÏ9ur ¼çmtGyJ÷èÏR öNä3øn=tæ öNà6¯=yès9 crãä3ô±n@
Artinya :
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka
basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan
(basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub Maka
mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat
buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air,
Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan
tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia
hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu
bersyukur. (Qs.al-Ma’idah : 6).
Kandungan ayat tersebut senada dengan Hadits Nabi yang
mengatakan :
لاَ تُقْبَلُ صَلاَةُ أَحَدِكُمْ
إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ
Artinya : Tidak
diterima sholat salah satu dianytara kalian yang masih mempunyai hadats (kecil)
sehingga berwudlu. (HR.Muslim).[13]
Menurut sebagian ulama, bahwa bayan
taqrir atau bayan ta’kid ini disebut juga dengan bayan al-muwafiq
li-nash al-Kitab al-Karim. Hal ini dikarenakan munculnya hadits-hadits itu
sesuai dan untuk memperkokoh nash al-Qur’an.[14]
2. Bayan al-Tafsir
Yang dimaksud dengan bayan al-tafsir, adalah bahwa Hadits berfungsi
untuk memberikan rincian dan penjelasan terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang masih
bersifat global (mujmal), mamberikan persyaratan/batasan (taqyid)
ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat mutlaq, dan mengkhususkan (takhsis)
terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang masih bersifat umum. Di antara contoh tentang
ayat-ayat al-Qur’an yang masih mujmal adalah perintah mengerjakan sholat,
puasa, zakat, disyari’atkannya jual beli, nikah, qishas, hudud dan
sebagainya. Ayat-ayat al-Qur’an tentang masalah ini masih bersifat mujmal, baik
mengenai cara mengerjakan, sebab-sebabnya, syarat-syarat atau
halangan-halangannya. Oleh karena itulah Nabi SAW. melalui Hadits nya
menafsirkan dan menjelaskan masalah-masalah tersebut. Sebagai contoh dibawah
ini akan dikemukakan beberapa Hadits yang berfungsi sebagai bayan al-tafsir:
a.
Memerinci ayat-ayat yang Mujmal
Mujmal artinya:
ringkas atau singkat. Dari ungkapan yang singkat terkandung banyak makna yang
perlu dijelaskan. Hal ini kerena, belum jelas makna mana yang dimaksudkannya,
kecuali setelah adanya penjelasan atau perincian. Dengan kata lain, ungkapan
masih bersifat global yang memerlukan mubayyin.[15]
Contoh sabda Nabi SAW tentang cara mengerjakan sholat:
صلوا كما رأيتمونى
أصلى
Artinya: Shalatlah sebagaimana engkau melihat aku
shalat. (HR. Bukhari)[16]
Hadits ini menjelaskan bagaimana mendirikan
shalat. Sebab dalam al-Qur’an tidak menjelaskan secara rinci. Salah satu ayat
yang memerintahkan shalat adalah ayat 43 dalam surat al-Baqarah yang berbunyi:
(#qßJÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur
no4qx.¨9$# (#qãèx.ö$#ur yìtB
tûüÏèÏ.º§9$# ÇÍÌÈ
Artinya: Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat
dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'. (QS. al-Baqarah : 43).[17]
Contoh lain seperti Ayat haji yaitu:
(#qJÏ?r&ur
¢kptø:$#
not÷Kãèø9$#ur
¬!
4
Artinya: Sempurnakanlah
ibadah haji dan ibadah umrahmu karena Allah. (Qs. al-Baqarah :196)
Rinciannya ialah pelaksanaan
Rasulullah dalam ibadah haji wada’ dan beliau bersabda:
خُذُوْا عَنِّى
مَنَاسِكَكُمْ.
Artinya: Ambilah
dariku manasik hajimu. (HR. Ahmad, al-Nasa`I, dan al-Bayhaqi).[18]
b. Men-taqyid ayat- ayat yang
mutlaq
Mutlaq artinya: kata
yang menunujuk pada hakikat kata itu sendiri apa adanya tanpa memandang kepada
jumlah maupun sifatnya. Men-taqyid yang mutlaq, artinya membatasi
ayat-ayat yang mutlaq dengan sifat, keadaan, atau syarat-syarat
tertentu.[19]
Sedangkan contoh Hadits yang membatasi (taqyid)
ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat mutlak, antara lain seperti sabda Nabi SAW:
لاَ تُقْطَعُ يَدُ السَّارِقُ
إِلاَّ فيِ رُبْعِ دِيْنَارٍ فَصَاعِدًا (رواه مسلم)
Artinya: Tangan pencuri
tidak boleh dipotong, melainkan pada (pencurian senilai) seperempat dinar atau
lebih.” (H.R. Muttafaq 'alaih, Hadits ini
menurut lafadz Muslim)[20]
Hadits diatas digunakan mentaqyid
ayat al-Qur’an surat al-Maidah ayat 38 yang berbunyi:
ä-Í$¡¡9$#ur èps%Í$¡¡9$#ur (#þqãèsÜø%$$sù $yJßgtÏ÷r& Lä!#ty_ $yJÎ/ $t7|¡x. Wx»s3tR z`ÏiB «!$# 3 ª!$#ur îÍtã ÒOÅ3ym ÇÌÑÈ
Artinya: Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang
mencuri, potonglah kedua tangannya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka
kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah dan Allah maha mulia dan maha
bijaksana” [21]
c. Men-takshish ayat yang ‘Am
‘Am
ialah : kata yang menunjuk atau memiliki makna dalam jumlah yang banyak. Sedang
kata takhshish atau khas, ialah kata yang menunjuk arti khusus,
tertentu, atau tunggal.[22] Yang
dimaksud mentakhshish yang ‘am disini ialah membatasi keumuman ayat al-Qur’an
sehingga tidak berlaku pada bagian-bagian tertentu.
Contoh Hadits yang
berfungsi untuk mentakhshish keumuman ayat-ayat al-Qur'an, ialah sabda Nabi
SAW. Yang berbunyi :
لاَ يَرِثُ الْقَاتِلُ مِنَ الْمَقْتُوْلِ شَيْئًا (رواه أحمد)
Artinya: Pembunuh tidak berhak menerima harta warisan.(HR.Ahmad)[23]
Hadits tersebut mentakhshish keumuman firman Allah
dalam surat an-Nisa’ ayat 11 yang berbunyi:
ÞOä3Ϲqã ª!$# þÎû öNà2Ï»s9÷rr& ( Ìx.©%#Ï9 ã@÷VÏB Åeáym Èû÷üusVRW{$# 4 bÎ*sù £`ä. [ä!$|¡ÎS s-öqsù Èû÷ütGt^øO$# £`ßgn=sù $sVè=èO $tB x8ts? ( bÎ)ur ôMtR%x. ZoyÏmºur $ygn=sù ß#óÁÏiZ9$# 4 Ïm÷uqt/L{ur Èe@ä3Ï9 7Ïnºur $yJåk÷]ÏiB â¨ß¡9$# $£JÏB x8ts? bÎ) tb%x. ¼çms9 Ó$s!ur 4 bÎ*sù óO©9 `ä3t ¼ã&©! Ó$s!ur ÿ¼çmrOÍurur çn#uqt/r& ÏmÏiBT|sù ß]è=W9$# 4 bÎ*sù tb%x. ÿ¼ã&s! ×ouq÷zÎ) ÏmÏiBT|sù â¨ß¡9$# 4 .`ÏB Ï÷èt/ 7p§Ï¹ur ÓÅ»qã !$pkÍ5 ÷rr& Aûøïy 3 öNä.ät!$t/#uä öNä.ät!$oYö/r&ur w
tbrâôs? öNßgr& Ü>tø%r& ö/ä3s9 $YèøÿtR 4 ZpÒÌsù ÆÏiB «!$# 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $¸JÎ=tã $VJÅ3ym ÇÊÊÈ
Artinya: Allah mensyari'atkan bagimu tentang
(pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama
dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan
lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika
anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua
orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan,
jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai
anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga;
jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat
seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang
ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan
anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat
(banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Qs. an-Nisa’ : 11)[24]
3. Bayan
at-Tasyri’
Kata at-tasyri’ artinya ialah, pembuatan, mewujudkan, atau
menetapkan aturan atau hukum. Maka yang dimaksud dengan bayan at-tasyri’
disini, ialah penjelasan Hadits yang berupa mewujudkan, mengadakan, atau
menetapkan suatu hukum, atau aturan-aturan syara’ yang tidak didapati
nashnya dalam al-Qur’an. Hadits Nabi SAW. dalam segala bentuknya (baik yang qauli,
fi’li maupun taqriri) berusaha menunjukkan suatu kepastian hukum
terhadap berbagai persoalan yang muncul, yang tidak terdapat dalam al-Qur’an.
Ia berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh para sahabat atau
yang tidak diketahuinya, dengan menunjukkan bimbingan dan menjelaskan duduk
persoalannya.
Banyak Hadits Nabi SAW. yang termasuk ke dalam kelompok ini diantaranya, Hadits
tentang penetapan haramnya mengumpulkan dua wanita bersaudara (antara isteri
dengan bibinya), hukum syuf’ah, hukum merajam pezina yang masih perawan,
hukum membasuh bagian atas sepatu dalam berwudlu, hukum tentang ukuran zakat
fitrah, dan hukum tentang hak waris bagi seorang anak.[25]
Suatu contoh, hadits tentang zakat fitrah, sebagai berikut:
Artinya: Bahwasanya
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mewajibkan zakat fitrah kepada
umat Islam pada bulan Ramadlan satu sukat (sha') kurma atau gandum untuk setiap
orang, baik merdeka atau hamba, laki-laki atau perempuan.[26]
Contoh lain yaitu larangan seorang seorang suami memadu istrinya dengan
bibinya, baik dari pihak ibu maupun dari pihak ayah. Sebagaimana dalam sabda
Rosulullah :
لا تنكح المرأة على عمتها ولا خالتها
ولا ابنة أختها ولا ابنته أخيها
Artinya: Seorang wanita tidak boleh dikawini bersamaan (dimadu) dengan
bibinya atau bersamaan dengan putrid saudara perempuan atau putri saudara
laki-laki istri (keponakan istri). (HR. Muslim)
Hadits Nabi SAW yang termasuk bayan
at-tasyri’, wajib diamalkan, sebagaimana kewajiban mengamalkan
hadits-hadits lainnya. Ibnu al-Qayyim berkata, bahwa hadits-hadits Nabi SAW.
yang berupa tambahan terhadap al-Qur’an, merupakan kewajiban atau aturan yang
harus ditaati, tidak boleh menolak atau mengingkarinya, dan ini bukanlah sikap
(Nabi SAW) mendahului al-Qur’an melainkan semata-mata karena perintah Nya.[27]
4. Bayan an-Nasakh
Kata an-nasakh secara bahasa, mempunyai banyak arti. Bisa berarti al-Ibthal
(membatalkan/menghapuskan), atau al-izalah (menghilangkan), atau an-naql
(penukilan/penyalinan), atau at-taghyir (mengubah).[28] Para
ulama mengartikan bayan an-nasakh ini banyak yang melalui pendekatan
bahasa, sehingga diantara mereka terjadi perbedaan pendapat dalam
menta’rifkannya. Termasuk perbedaan pendapat antara ulama mutaakhirin dengan
ulama mutaqaddimin. Menurut pendapat yang dapat dipegang dari ulama mutaqaddimin,
bahwa terjadinya nasakh ini karena ada dalil syara’ yang mengubah suatu
hukum (ketentuan) meskipun jelas, karena telah berakhir masa keberlakuannya
serta tidak bisa diamalkan lagi, dan Syari’ (pembuat syari’at)
menurunkan ayat tersebut tidak diberlakukan untuk selama-lamanya (temporal).[29]
Intinya ketentuan yang datang kemudian tersebut menghapus ketentuan yang datang
terdahulu, karena yang terakhir dipandang lebih luas. Hadits sebagai ketentuan
yang datang kemudian daripada al-Qur’an dalam hal ini dapat menghapus ketentuan
atau isi kandungan al-Qur’an. Demikian menurut pendapat ulama yang menganggap
adanya fungsi bayan an-nasakh.[30]
Diantara para ulama yang membolehkan adanya nasakh hadits terhadap
al-Qur’an juga berbeda pendapat dalam macam hadits yang dapat dipakai untuk me-nasakh
–nya. dalam hal ini mereka terbagi menjadi tiga kelompok:[31]
a. Kelompok yang membolehkan menasakh al-Qur’an dengan
segala hadits , meskipun dengan hadits ahad. Pendapat ini dikemukakan oleh para
ulama mutaqaddimin dan ibn hazm serta sebagian pengikut zhahiriah.
b. Kelompok yang membolehkan menasakh dengan syarat,
bahwa hadits tersebut harus mutawatir. Pendapat kaum Mu’tazilah.
c. Ulama yang membolehkan menasakh dengan hadits masyhur,
tanpa dengan hadits mutawatir. Diantara ulama yang memegang pendapat ini
adalah ulama Hanafiah.
Salah satu contoh, ialah sabda Nabi SAW. Riwayat al-Bukhari dari Abbas,
bahwa suatu ketika Nabi SAW bersabda:
Artinya: "Sesungguhnya
Allah telah memberikan kepada tiap-tiap orang haknya (masing-masing). Maka
tidak ada wasiat bagi ahli waris." (H.R. Ahmad dan al-Arba'ah kecuali
al-Nasa'i. Hadits ini dinilai Hasan oleh Ahmad dan al-Turmudzi)[32]
Hadits ini me-nasakh isi al-Qur’an
surat al-Baqarah ayat 180, yang berbunyi:
|=ÏGä. öNä3øn=tæ #sÎ) u|Øym ãNä.ytnr& ßNöqyJø9$# bÎ) x8ts? #·öyz èp§Ï¹uqø9$# Ç`÷yÏ9ºuqù=Ï9 tûüÎ/tø%F{$#ur Å$rã÷èyJø9$$Î/ ( $)ym n?tã tûüÉ)FßJø9$# ÇÊÑÉÈ
Artinya: Diwajibkan
atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika
ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan karib
kerabatnya secara ma’ruf ini adalah kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa. (Qs. al-Baqarah : 180)
Kewajiban melakukan
wasiat kepada kaum kerabat dekat berdasarkan surat al-Baqarah ayat 180 di atas,
di-nasakh hukumnya oleh hadits yang menjelaskan, bahwa kepada ahli waris tidak
boleh dilakukan wasiat.
Sementara yang
menolak naskh jenis ini adalah as-Syafi’i dan sebagian besar pengikutnya,
meskipun naskh tersebut dengan hadits yang mutawatir. Kelompok lain yang
menolak adalah sebagian besar pengikut madzhab Zhahiriyah dan kelompok
Khawarij.[33]
2. PENDAPAT PARA ULAMA TENTANG FUNGSI HADITS DALAM
ISLAM
Seluruh
Ulama, baik Ulama Ahl Ra’yi, maupun Ahl al-Atsar sepakat
menetapkan bahwa Al-Hadits (Als-Sunnah) itulah yang mensyarahkan dan
menjelaskan al-Qur’an. Akan tetapi Ahl Ra’yi, sesuai titah al-Qu’an yang
khas maudhu’-nya, tidak memerlukan kembali pada penjelasan As-Sunnah.
As-Sunnah yang datangmengenai titah yang khas itu, ditolak, dihukumi
menambah, tidak diterima erkecuali kalau sama kekuatannya dengan ayat itu.
a. pendapat Ahl ar-Ra’yi
Menurut pendapat Ulama Ahl ar-Ra’yi, penerangan
Al-Hadits terhadap al-Qur’an terbagi menjadi tiga yaitu:
1. Bayan Taqrir
Yakni keterangan yang diberikan oleh As-Sunnah
untuk menambah kokoh apa yang telah diterangkan oleh al-Qur’an.
2. Bayan
Tafsir
Yakni menerangkan apa yang kira-kira tidak
mudah diketahui (tersembunyi pengertiannya) seperti ayat-ayat yang mujmal dan
tarak fihi.
3. Bayan
Tabdil, Bayan Nasakh
Yakni mengganti sesuatu hukum atau
menasakhkannya.Menasakhkan al-Qur’an dengan al-Qur’an menurut Ulama Ahl
ar-Ra’yi, boleh. Menasakhan al-Qur’an dengan as-Sunnah itu boleh jika
as-Sunnah itu mutawatir, masyhur, atau mustafidh.
b. Pendapat imam Malik
Malik berpendirian bahwa bayan
(penerangan) al-Hadits itu terbagi menjadi lima yaitu:
1. Bayan
at-Taqrir
Yakni metetapkan dan mengokohkan hokum-hukum
al-qur’an, bukan mentaudhihkan, bukan mentaqyidkan muthlaq dan bukan
mentakhsihkan ‘aam.
2.
Bayan
at-Taudhih (Tafsir)
Yakni menerangkan maksud-maksud ayat,
seperti hadits-hadits yng menerangkan maksud ayat yang dipahami oleh para
sahabat berlainan dengan yang dimaksudkan oleh ayat.
3.
Bayan
at-Tafshil
Yakni menjelaskan mujmal al-Qur’an, sebagai
hadits yang men-tafshil-kan kemujmalan.
4.
Bayan
al-Basthy (Tabsith Bayan Ta’wil)
Yakni memanjangkan keterangan bagi apa yang
diringkaskan keterangannya oleh al-Qur’an.
5.
Bayan
Tasyri’
Yakni mewujudkan suatu hukum yang tidak
tersebut dalam al-Qur’an, seperti menghukum dengan bersandar kepada seorang
saksi dan sumpah apabila si mudda’i tidak mempunyai dua orang saksi, da
seperti ridha’ (persusuan).
c. Pendapat Asy-Syafi’i
Asy-Syafi’i
di antara Ulama Ahl al-Atsar menetapkan, bahwa penjelasan Al-Hadits
terhadap al-Qur’an dibagi terbagi lima, yaitu:
1. Bayan Tafshil,
menjelaskan ayat-ayat yang mujmal.
2. Bayan Takhsish,
menentukan sesuatu dari umum ayat.
3. Bayan Ta’yin, menentukan nama yang dimaksud
dari dua tiga perkara yang mungkin dimaksudkan.
4. Bayan Tasyri’, menetapkan suatu hukum yang
tidak didapati dalam al-Qur’an.
5. Bayan Nasakh, menentukan mana yang
dinasikhkan dan mana yang dimansukhkan dari ayat-ayat al-Qur’an.[34]
C. PENUTUP
Kesimpulan.
Hadits
sebagai bayan (penjelas) dalam ajaran Islam berfungsi sebagai memperkokoh apa
yang terkandung dalam al-Qur’an (bayan taqrir), sebagai penjelas ayat yang
mujmal (bayan tafsir), mengadakan suatu hukum yang belum ada dalam al-Qur’an
(bayan tasyri’), dan juga sebagai mengganti suatu hukum atau menghapus suatu
hukum (bayan nasakh).
Pengklasifikasian
bayan dibagi menjadi empat yaitu:
1. Bayan
Taqrir
Yakni
sebagai penjelasan untuk mengokohkan apa yang terkandung dalam Al-Qur’an.
2. Bayan
Tafsir
Sebagai
penjelasan ayat-ayat yang mujmal (global) dan musytarak (satu lafadz yang
memiliki makna), memberikan persyaratan ayat-ayat yang bersifat mutlak, dan
menkhususkan ayat-ayat yang bersifat umum.
3. Bayan
Tasyri’
Yakni
mengadakan suatu hukum yang tidak ditetapkan dalam Al-Qur’an.
4. Bayan
Nasakh
Yakni
mengganti suatu hukum atau menghapus suatu hukum.
Pendapat
para Ulama tentang fungsi Hadits
1.
Pendapat Ahl
ar-Ra’yi
Menurut pendapat Ulama Ahl ar-Ra’yi, penerangan
Al-Hadits terhadap al-Qur’an terbagi menjadi tiga yaitu:
a.
Bayan Taqrir
b.
Bayan
Tafsir
c.
Bayan
Tabdil, Bayan Nasakh
2.
Pendapat
Malik
Malik berpendirian bahwa bayan (penerangan)
al-Hadits itu terbagi menjadi lima yaitu:
1.
Bayan
at-Taqrir
2.
Bayan
at-Taudhih (Tafsir).
3.
Bayan
at-Tafshil
4.
Bayan
al-Basthy (Tabsith Bayan Ta’wil)
5.
Bayan
Tasyri’
3.
Pendapat
Asy-Syafi’y
Asy-Syafi’y di antara Ulama Ahl al-Atsar menetapkan,
bahwa penjelasan Al-Hadits terhadap al-Qur’an dibagi terbagi lima, yaitu:
1.
Bayan Tafshil,
menjelaskan ayat-ayat yang mujmal.
2.
Bayan Takhsish,
menentukan sesuatu dari umum ayat.
3.
Bayan Ta’yin,
menentukan nama yang dimaksud dari dua tiga perkara yang mungkin dimaksudkan.
4.
Bayan Tasyri’,
menetapkan suatu hukum yang tidak didapati dalam al-Qur’an.
5.
Bayan Nasakh,
menentukan mana yang dinasikhkan dan mana yang dimansukhkan dari ayat-ayat
al-Qur’an.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad Warson
Munawir, Al-Munawir Kamus Arab Indonesia, (Yogyakarta: Unit
Pengadaan buku-buku Ilmiah Keagamaan Pondok Pesantren al-Munawir, 1984),
Al-Baghdadi, Al-'Uddah fi Ushul Al-Din,
Jilid I, (Mesir; Al-Risalah, 1980)
Al-Bukhari,
Al-Syaib, Jilid V, (Kairo, tt.),
Al-Bukhari, Shahih
Al-Bukhari, Juz I (Kairo, tt.),
Ibn Hanbal, Musnad
Ahmad bin Hanbal, juz II,
Imam Muslim,
Shahih Muslim, kitab Al-Shiyam (Beirut: Dar Al-Fikr, t.t.), Jilid I,
Munzier
Suparta, Ilmu Hadits (Jakarta : Grafindo Persada, 2003), h. 64
Musthafa
as-Siba’i, As-Sunnah wa Makaanatuha fi at-Tasyri’ al-Islami (Kairo:Dar
al-Qaumiyah, 1949),
Muhammad Idris Al-Syafi'iy, Al-Risalah,
(Kairo; Al-Halabiy, 1969),
Ibn
Hajar al-Asqolani, Bulugh al Marom, (Beirut; Dar al-Fikr, 1989 M/1409
H.),
Hasbi Ash Shiddieqy, Tengku Muhammad. 2009. Sejarah
& Pengantar Ilmu Hadits. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra.
Quraish
Shihab, Membumikan al-Qur'an, cet. 13, (Bandung; Mizan, 1996)
YPP al-Qur’an, Al-Qur’an
dan Terjemahnya, (Jakarta: Dept.Agama RI, Pelita III, 1983),
Utang
Ranuwijaya, Ilmu Hadits, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996), h. 2
[1] Utang
Ranuwijaya, Ilmu Hadits, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996), h. 2
[2] Yakni:
perintah-perintah, larangan-larangan, aturan dan lain-lain yang terdapat dalam
Al Quran.
[3] Lihat Al-Qur'an surah al Nisaa ayat 105
[4] Lihat lebih lanjut
Muhammad Idris Al-Syafi'iy, Al-Risalah, (Kairo; Al-Halabiy, 1969), h.
18, dan seterusnya; Al-Baghdadi, Al-'Uddah fi Ushul Al-Din, Jilid I,
(Mesir; Al-Risalah, 1980), h. 112-13.
[7] Lihat Al-Qur'an surah al
Hasyr {59} ayat 7.
[8] Lihat Al-Qur'an surah al
Nisaa {4} ayat 80.
[9] Q.S. Ali Imron {3} : 128
[10] Hal yang sama juga
diriwayatkan oleh Imam Bukhari mengenai asbab al-nuzul ayat tersebut. Lihat
Al-Bukhari, Al-Syaib, Jilid V, (Kairo, tt.), h. 247.
[11] Imam Muslim,
Shahih Muslim, Hadits nomor 1.798 ini terdapat dalam kitab Al-Shiyam
(Beirut: Dar Al-Fikr, t.t.), Jilid I, 481
[12] YPP al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya,
(Jakarta: Dept.Agama RI, Pelita III, 1983), 45
[14] Utang
Ranuwijaya, Ilmu Hadits, h. 29
[15] Ibid.
[16] Al-Bukhari, Shahih
Al-Bukhari, Juz I Hadits nomor 631
[17] YPP al-Qur’an, Al-Qur’an
dan Terjemahnya, h. 16.
[19] Ranuwijaya, Ilmu
Hadits, 31
[20] Muslim, Shahih Muslim, Jilid II, 105
[25] Munzier
Suparta, Ilmu Hadits (Jakarta : Grafindo Persada, 2003), h. 64
[26] Muslim, Jilid I, op.cit.,
h. 434
[28] Ahmad Warson Munawir, Al-Munawir Kamus Arab
Indonesia, (Yogyakarta: Unit Pengadaan buku-buku Ilmiah Keagamaan Pondok
Pesantren al-Munawir, 1984), h. 1412
[30] Musthafa as-Siba’i, As-Sunnah wa Makaanatuha fi
at-Tasyri’ al-Islami (Kairo:Dar al-Qaumiyah, 1949), h. 169
[31] Ranuwijaya, Ilmu Hadits, h. 36
[32] Ibn Hajar al-Asqolani, Bulugh
al Marom, (Beirut; Dar al-Fikr, 1989 M/1409 H.), h. 202
[33] Suparta, Ilmu
Hadits, h. 67.
[34]
Teungku Muhammad Hasbhi ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Imu Hadis,
( Semarang: PT Pustaka Rizki Putra), h.135-141.
Author: Mohammad
Mohammad is the founder of STC Network which offers Web Services and Online Business Solutions to clients around the globe. Read More →
Related Posts:
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar: