Rabu, 15 April 2015
WASIAT WAJIBAH
A.
Pendahuluan
Salah satu tujuan perkawinandisamping
untuk mewujudkan keluarga yang sakinah mawaddah dan rahmah, menghubungkan
silaturrahim juga untuk menciptakan keseimbangan dan melanjutkan keturunan, secara lahiriah pasangan
suami istri pada umumnya sangat mendambakan keturunan yaitu anak yang
merupakan hasil perkawinan sebagai penerus keluarga, anak merupakan curahan
kasih sayang orang tua yang nantinya akan menjadi pewaris.
Secara realita banyak pasangan suami
istri yang sudah mapan dan perekonomian yang berlebihan belum berhasil
memperoleh keturunan sementara disatu sisi pasangan suami istri yang belum siap
secara perekonomian belum tercukupi justru banyak mempunyai keturunan. Dari gambaran
tersebut diatas suami istri yang tak memperoleh keturunan dapat mengangkat anak
dari kedua orang tua yang menyerahkan anaknya untuk di adopsi menjadi anak
angkat. Dengan demikian terjadilah peralihan tanggungjawab dari orang tua yang
menyerahkan anaknya kepada yang menerima, kemudian bersedia mendidik dan
membesarkannya sebagaimana anak kandungnya sendiri.
Proses pengangkatan anak mengakibatkan
ketentuan hukum baru, dimana jika terjadi sesuatu musibah dan mengakibatkan
kematian terhadap orang tua angkat tersebut maka akan terjadi perubahan sosial
tentang pembagian harta warisan yang ditinggalkan . kedudukan anak angkat/orang
tua angkat pada hukum waris yang di atur dalam Hukum adat keduanya adalah ahli
waris yang saling mewarisi dan menurut Kompilasi Hukum Islam anak angkat/orang
tua angkat berhak mendapatkan wasiat wajibah sebanyak 1/3 apabila anak
angkat tidak menerima warisan. Sementara Kitab Undang undang Hukum Perdata
pasal 832 dan dalam hukum Islam keduanya tidak termasuk ahli waris.
.
B.
PEMBAHASAN
1. Pengertian Wasiat Wajibah
Istilah
“wasiat” diambil dari washaitu-ushi asy-syai’a (aku menyambung sesuatu).
Dalam
syari’at, wasiat adalah penghibahan benda, piutang, atau manfaat oleh seseorang
kepada orang lain dengan ketentuan bahwa orang yang diberi wasiat memiliki
hibah tersebut setelah kematian orang yang berwasiat.[1]
Yang dimaksud wasiat wajibah adalah
wasiat yang pelaksanaannya tidak dipengaruhi atau tidak bergantung kepada
kemauan atau kehendak si yang meninggal dunia. Wasiat tetap harus dilakukan
baik diucapkan atau tidak diucapkan baik dikehendaki maupun tidak dikehendaki
oleh si yang meninggal dunia.. Jadi, pelaksanaan wasiat tersebut tidak
memerlukan bukti bahwa wasiat tersebut diucapkan atau ditulis atau dikehendaki,
tetapi pelaksanaannya didasarkan kepada alasan-alasan hukum yang membenarkan
bahwa wasiat tersebut harus dilaksanakan.[2]
Wasiat
wajibah juga dapat diartikan sebagai suatu pemberian yang wajib kepada ahli
waris atau kaum keluarga terutama cucu yang terhalang dari menerima harta warsian
karena ibu atau ayah mereka meninggal sebelum kakek atau nenek mereka meninggal
atau meninggal bersamaan. Ini karena berdasarkan hukum waris mereka terhalang dari mendapat bagian harta
peninggalan kakek dan neneknya karena ada ahli waris paman atau bibi kepada
cucu tersebut.[3]
2. Hukum Wasiat
Menurut pendapat yang berasal dari
empat Imam dan para ulama zaidiyah, hukum wasiat dapat berubah-ubah seiring
dengan perubahan kondisi. Kadang wasiat menjadi wajib, sunnah, haram, makhruh,
dan kadang mubah.
a. Wasiat hukumnya wajib, jika seseorang
menanggung kewajiban syar’i yang dia khawatirkan akan tersia-siakan jika tidak
diwasiatkannya, seperti zakat.
b. Wasiat hukumnya sunnah, jika dilakukan dalam
ibadah-ibadah atau diberikan kepada karib kerabat yang miskin dan orang-orang
miskin yang shaleh diantara manusia.
c. Wasiat hukumnya haram, jika menimbulkan
kerugian bagi ahli waris.
d. Wasiat hukumnya makruh, jika harta orang yang
berwasiat sedikit, sedangkan dia memiliki seorang ahli waris atau beberapa
orang ahli waris yang membutuhkannya.
e. Wasiat hukumnya mubah, jika wasiat itu
ditujukan kepada kerabat-kerabat atau tetangga –tetangga yang penghidupan
mereka sudah tidak kekurangan.[4]
Awalnya wasiat wajibah dilakukan
karena terdapat cucu/cucu-cucu dari anak/anak-anak pewaris yang meninggal lebih
dahulu daripada pewaris. Atas fenomena ini, Abu Muslim Al-Ashfahany berpendapat
bahwa wasiat diwajibkan untuk golongan-golongan yang tidak mendapatkan harta
pusaka. Ditambahkan oleh Ibnu Hazmin. [5]
Ketentuan
wasiat wajibah diatas merupakan hasil ijtihad para ulama dalam menafsirkan QS:
Al-Baqarah :180
كُتِبَ
عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِن تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ
لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ ۖ حَقًّا عَلَى
الْمُتَّقِينَ
Artinya : “ Diwajibkan atas kamu,
apabila seorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia
meninggalkan harta banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan kerabatnya secara ma’ruf, (ini adalah) kewajiban atas
0rang-orang yang bertaqwa (Q.S. Al-Baqarah: 180).[6]
Sebagian ulama, dalam menafsirkan ayat
180 surat Al-Baqarah di atas, berpendapat bahwa wasiat (kepada ibu-bapak dan
kerabat) yang asalnya wajib, sampai sekarang pun kewajiban tersebut masih tetap
dan diberlakukan, sehingga pemberian wasiat wajibah kepada walidain dan aqrabin
yang mendapatkan bagian (penerimaan) dapat diterapkan dan dilaksanakan.
Wasiat wajibah ini harus memenuhi dua syarat :
Pertama : yang
wajib menerima wasiat, bukan waris. Kalau dia berhak menerima pusaka walaupun
sedikit, tidaklah wajib dibuat wasiat untuknya.
Kedua :
orang yang meninggal, baik kakek maupun nenek belum memberikan kepada anak yang
wajib dibuat wasiat, jumlah yang diwasiatkan dengan jalan yang lain, seperti
hibah umpamanya.
Membedakan
Wasiat dengan Wasiat Wajibah
No
|
Perbedaan
|
Wasiat biasa
|
Wasiat
wajibah
|
1
|
Dari segi yang orang menerima wasiat.
|
Orang lain selain orang yang menjadi
ahli waris.
|
Diberikan kepada anak angkat yang tidak mendapat wasiat biasa.
Cucu laki-laki maupun cucu perempuan yang
orang tuanya mati mendahului atau bersama-sama kakek atau neneknya
(pewasiat).
|
2
|
Dari
segi hukum
|
sunah
|
wajib
|
3. Rukun Wasiat
a.
Orang yang berwasiat, dengan syarat :
- Berakal sehat
- Baligh
- Atas
kehendak sendiri
- Harta
yang sah/miliknya
b. Orang yang menerima wasiat
(Mushalahu), dengan syarat :
- Jelas identitasnya
- Harus ada ketika pembuatan pernyataan
wasiat
- Bukan bertujuan untuk maksiat
- Bukan pewaris, kecuali diizini
keluarga
c
. Sesuatu yang diwasiatkan (Mushabihi), dengan syarat :
- Milik pemberi wasiat
- Sudah berwujud
- Dapat dimiliki/pemberi manfaat
- Tidak melebihi 1/3
4. Batas Pemberian dan Pelaksanaan Wasiat
Adapun batasan dalam pelaksanaan wasiat,
maka apabila wasiat itu telah cukup syarat-syarat dan rukun-rukunnya hendaklah
wasiat tersebut dilaksanakan sepeninggal si pewasiat. Sejak itu si penerima
wasiat sudah memiliki harta wasiat dan karenanya dia dapat memanfaatkan dan mentransaksikannya
menurut kehendaknya.
5. Pembatal Wasiat
Yang membatalkan
adanya pelaksanaan wasiat adalah :
a. Mushi menarik wasiatnya
b. Mushalahu menolak wasiat
c. Mushalahu membunuh washi
d. Mushalahu meninggal sebelum mushi meninggal
e. Mushabihi binasa atau mengalami perubahan
bentuk
f. Mushabihi diputuskan hakim sebagai milik
orang lain
g. Habis waktu wasiatnya, jika ada batasannya.
6. Wasiat Wajibah Menurut Kompilasi Hukum Islam
Kompilasi Hukum Islam (KHI) menetapkan
bahwa antara anak angkat dan orang tua angkat terbina hubungan saling
berwasiat. Dalam Pasal 209 ayat (1) dan ayat (2) berbunyi : (1)
Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal 176 sampai dengan
193 tersebut di atas, sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima
wasiat wajibah diberi wasiat wajibah sebanyak- banyaknya 1/3 dari harta warisan
anak angkatnya. (2) Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi
wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.[7]
Konsep 1/3 (satu pertiga) harta peninggalan
didasarkan pada hadits Sa’ad bin Abi Waqash, seorang sahabat Nabi. Sa’ad bin
Abi Waqash.[8]sewaktu
sakit dikunjungi oleh Rasulullah, bertanya, “Saya mempunyai harta banyak
akan tetapi hanya memiliki seorang perempuan yang mewaris. Saya sedekahkan saja
dua pertiga dari harta saya ini.” Rasulullah menjawab “Jangan.” “Seperdua?”
tanya Sa’ad lagi. Dijawab Rasulullah lagi dengan “Jangan.” “Bagaimana
jika sepertiga?” tanya Sa’ad kembali. Dijawab Rasulullah “Besar jumlah
sepertiga itu sesungguhnya jika engkau tinggalkan anakmu dalam keadaan
berkecukupan adalah lebih baik.”
Berdasarkan aturan ini orang tua anak atau anak angkat tidak akan
memperoleh hak kewarisan, karena dia bukan ahli waris. Dalam Kompilasi Hukum Islam orang tua angkat
secara serta merta dianggap telah meninggalkan wasiat (dan karena itu diberi
nama wasiat wajibah) maksimal sebanyak 1/3
dari harta yang ditinggalkan untuk anak angkatnya, atau sebaliknya anak
angkat untuk orang tua angkatnya, dimana harta tersebut dalam sistem
pembagiannya bahwa sebelum dilaksanakan pembagian warisan kepada para ahli
warisnya, maka wasiat wajibah harus ditunaikan terlebih dahulu.
Peraturan ini dianggap baru apabila
dikaitkan dengan aturan di dalam fiqh bahkan perundang-undangan kewarisan yang
berlaku diberbagai dunia Islam kontemporer. Alqur’an menolak penyamaan hubungan
karena pengangkatan anak yang telah berkembang di dalam adat masyarakat bangsa
arab, waktu itu karena ada hubungan
pertalian darah.
Sedangkan di dalam masyarakat muslim
Indonesia sering terjadi adanya
pengangkatan anak terutama bagi mereka yang di dalam perkawinannya tidak
dikaruniai keturunan. Pengangkatan anak yang biasanya dikukuhkan dengan aturan
adat ini, sering menimbulkan kesulitan, perasaan tidak puas, bahkan tidak
jarang adanya tuduhan tidak adil ketika salah satu pihak meninggal dunia. Dalam
hubungan pengangkatan anak hal ini sering terjadi anak angkat tidak memperoleh
harta sedikitpun karena orang tua angkatnya tidak sempat berwasiat atau tidak
tahu bahwa anak angkatnya tidak berhak memperoleh warisan (menurut fiqh) namun
sebaliknya sebagian orang tua angkat menempuh dengan cara hibah, yang
kadang-kadang juga tidak mulus karena sesudah hibah dilakukan terjadi
pertengkaran dan ketidakakuran antara
anak dengan orang tua angkat tersebut.
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
mempunyai ketentuan tersendiri mengenai konsep wasiat wajibah ini hanya kepada
anak angkat dan orang tua angkat saja. Dalam pasal 209 KHI disebutkan bahwa
harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan pasal 176 sampai dengan pasal
193 KHI, terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberikan wasiat
wajibah sebanyak sepertiga dari harta warisan anak angkatnya. Sedangkan
terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah
sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan orang tua angkatnya. Berbeda
dengan konsep wasiat wajibah yang diatur dalam fiqih yang memberlakukan wasiat
wajibah hanya bagi orang yang memiliki hubungan darah dengan si pewaris.
Untuk memenuhi kebutuhan dan mengatasi
kesulitan yang terjadi ditengah masyarakat maka diberlakukanlah peraturan
mengenai hukum wasiat wajibah karena hubungan pengangkatan anak dimasukkan ke
dalam Kompilasi Hukum Islam yang merupakan dasar hukum bagi umat Islam di
Indonesia.
7. Wasiat Wajibah Dalam Persfektif Fiqh
Wasiat wajibah adalah suatu wasiat yang diperuntukan kepada ahli waris atau
kerabat yang tidak memperoleh bagian harta warisan dari orang yang wafat,
karena adanya suatu halangan syara’.[9]Suparman
dalam bukunya Fiqh Mawaris (Hukum Kewarisan Islam), mendefenisikan wasiat
wajibah sebagai wasiat yang pelaksanaannya tidak dipengaruhi atau tidak
bergantung kepada kemauan atau kehendak si yang meninggal dunia.[10]
Dalam undang-undang hukum wasiat Mesir, wasiat wajibah diberikan terbatas
kepada cucu pewaris yang orang tuanya telah meninggal dunia lebih dahulu dan
mereka tidak mendapatkan bagian harta warisan disebabkan kedudukannya sebagai
zawil arham atau terhijab oleh ahli waris lain.[11]
Para ahli hukum Islam mengemukakan bahwa wasiat adalah pemilikan yang
didasarkan pada orang yang menyatakan wasiat meninggal dunia dengan jalan
kebaikan tanpa menuntut imbalan atau tabarru' .
Sayyid Sabiq mengemukakan bahwa pengertian ini sejalan dengan definisi yang
dikemukakan oleh para ahli hukum Islam dikalangan madzhab Hanafi yang
mengatakan wasiat adalah tindakan seseorang yang memberikan haknya kepada orang
lain untuk memiliki sesuatu baik merupakan kebendaan maupun manfaat secara suka
rela tanpa imbalan yang pelaksanaannya ditangguhkan sampai terjadi kematian
orang yang menyatakan wasiat tersebut.
Sedangkan Al-Jaziri, menjelaskan bahwa dikalangan mazhab Syafi'i, Hambali,
dan Maliki memberi definisi wasiat secara rinci, wasiat adalah suatu transaksi
yang mengharuskan orang yang menerima wasiat berhak memiliki sepertiga harta
peninggalan orang yang menyatakan wasiat setelah ia meninggal dunia .
C.
PENUTUP
a.
Kesimpulan
Wasiat wajibah
adalah suatu wasiat yang diperuntukan kepada ahli waris atau kerabat yang tidak
memperoleh bagian harta warisan dari orang yang wafat, karena adanya suatu
halangan syara’.
Wasiat wajibah juga dapat diartikan sebagai suatu
pemberian yang wajib kepada ahli waris atau kaum keluarga terutama cucu yang
terhalang dari menerima harta warisan karena ibu atau ayah mereka meninggal
sebelum kakek atau nenek mereka meninggal atau meninggal bersamaan. Ini karena
berdasarkan hukum waris mereka terhalang dari mendapat bagian harta peninggalan
kakek dan neneknya karena ada ahli waris paman atau bibi kepada cucu tersebut.
Untuk memenuhi kebutuhan dan mengatasi
kesulitan yang terjadi ditengah masyarakat maka diberlakukanlah peraturan
mengenai hukum wasiat wajibah karena hubungan pengangkatan anak dimasukkan ke
dalam Kompilasi Hukum Islam yang merupakan dasar hukum bagi umat Islam di
Indonesia.
b.
Saran
Dalam penulisan makalah ini penulis menyadari banyak terdapat kekurangan dan
kealfaaan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca sehingga
makalah ini bisa mendekati kesempurnaan. Amin Ya Rabbal ‘Alamin
DAFTAR
PUSTAKA
Sayyid
Sabiq, Fiqih Sunnah, (2008)Jakarta:
Pena Pundi Aksara
Suparman
Usman, Yusuf somawinata, Fiqih Mawaris,(2002) Jakarta: Gaya Media
Pratama
Ahmad
Zahari, Tiga Versi Hukum Kewarisan Islam, Syafi’i, Hazairin dan KHI, (2006), Pontianak: Romeo Grafika
Asyhari
Abta, Djunaidi Abd. Syakur, Ilmu Waris Al-Faraidl, (2005), Surabaya: Pustaka Hikamah
Perdana
Direktorat
Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam,
Laporan Hasil Seminar Hukum Waris Islam,(1982), Jakarta : Departemen Agama
Republik Indonesia
Kementerian
Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, (2012)
Jakarta : Sinergi Pustaka Indonesia
Abdurrahman, Kompilasi Hukum
Islam Di Indonesia, (1992) Jakarta : Akademia Pressindo
Sajuti
Thalib, Hukum Kewarisan Islam di
Indonesia, (1981)
Abdul Aziz Dahlan. Ensiklopedi Hukum Islam. (2002), Jakarta:
PT Ikhtiar Baru Van Hoeve
Suparman, et.all,. Fiqih Mawaris (Hukum Kewarisan
Islam),(1997) Jakarta:
Gaya Media Pratama
Ahmad Zahari, Tiga
versi Hukum Kewarisan Islam, Syafi’i, Hazairin dan KHI,(2006) Pontianak:
Romeo Grafika
[1] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2008. jilid 4, h. 523
[2]Suparman Usman, Yusuf
somawinata, Fiqih Mawaris, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002, h.163
[3]Ahmad Zahari, Tiga Versi Hukum
Kewarisan Islam, Syafi’I, Hazairin dan KHI, (Pontianak: Romeo Grafika,
2006), h.98
[4]
Asyhari Abta, Djunaidi Abd. Syakur, Ilmu Waris Al-Faraidl, Surabaya:
Pustaka Hikamah Perdana, 2005, h.227
[5]Direktorat Pembinaan Badan
Peradilan Agama Islam Departemen Agama Republik Indonesia, Laporan Hasil Seminar Hukum Waris Islam, 1982, h, 78
[6]Kementerian Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, (Sinergi Pustaka
Indonesia : 2012), h. 34
[7]Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (
Jakarta : Akademia Pressindo, 1992) h. 28
[8]Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia,
1981, h. 102
[9]Abdul Aziz Dahlan. Ensiklopedi Hukum Islam. (Jakarta: PT Ikhtiar Baru
Van Hoeve, 2000), Jilid 6, h.1930.
[10]Suparman, et.all,. Fiqih Mawaris (Hukum Kewarisan Islam). (Jakarta:
Gaya Media Pratama,1997), h. 163.
[11] Ahmad
Zahari, Tiga versi Hukum Kewarisan Islam,
Syafi’I, Hazairin dan KHI, (Pontianak: Romeo Grafika, 2006), h.98.
Author: Mohammad
Mohammad is the founder of STC Network which offers Web Services and Online Business Solutions to clients around the globe. Read More →
Related Posts:
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar: