Selasa, 07 April 2015
PENIMBUNAN BARANG (IHTIKAR) MENURUT HUKUM ISLAM
Perdagangan dalam pandangan Islam merupakan salah satu
dari aspek kehidupan yang bersifat horizontal, yang dikelompokkan ke dalam
masalah muamalah, yakni masalah-masalah yang berkenaan dengan hubungan antar manusia dalam kehidupan
bermasyarakat. Sekalipun sifatnya adalah hubungan yang horizontal namun sesuai
dengan ajaran Islam, rambu-rambunya tetap mengacu kepada al Qur’an dan hadis.
Dari pespektif agama, aktivitas perdagangan yang dilakukan
sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang digariskan oleh agama akan bernilai
ibadah. Artinya, dengan perdagangan itu, selain mendapatkan
keuntungan-keuntungan materil guna memenuhi kebutuhan ekonomi, pelakunya
sekaligus dapat mendekatkan diri kepada Allah Swt.
Islam berpegang pada asas kebebasan dalam tatanan muamalah.
Setiap orang bebas membeli, menjual serta menukar barang dan jasa. Mereka
menawarkan dan menjual barang miliknya dan membeli barang-barang yang
dibutuhkannya. Ini berbeda dengan paham sosialis yang menolak kebebasan pasar.
Kebebasan yang digariskan oleh Islam juga berbeda dengan kebebasan yang diusung
oleh ekonomi kapitalis yang menganut pasar bebas sebebas-bebasnya.
Perdagangan yang dijalankan dengan cara yang tidak jujur,
mengandung unsur penipuan, yang karena itu ada pihak yang dirugikan, dan
praktik-praktik lain yang sejenis merupakan hal-hal yang dilarang dalam
Islam. Melakukan perdagangan dengan cara menimbun barang ( ihtikar )
dengan tujuan agar harga barang tersebut mengalami lonjakan sangat dilarang
dalam Islam. Terlebih bila barang tersebut sedang langka, sementara masyarakat
sangat membutuhkannya.
a. Pengertian
Ihtikar
Al Ihtikar الاحتكار berasal dari kata يحكر-حكرا- حكر yang berarti aniaya,
sedangkan الحكر
berarti ادخار الطعام ( menyimpan
makanan, dan kata الحكرة berarti الجمع و الإمساك (mengumpulkan
dan menahan). Ihtikar juga berarti penimbunan[1].
Sedang secara istilah ihktikar berarti membeli barang pada saat lapang lalu
menimbunnya supaya barang tersebut langka di pasaran dan harganya menjadi naik.[2]
Jadi, Ihtikar atau penimbunan barang adalah membeli sesuatu dengan jumlah
besar, agar barang tersebut berkurang di pasar sehingga harganya (barang yang
ditimbun tersebut) menjadi naik dan pada waktu harga menjadi naik baru kemudian
dilepas (dijual) ke pasar, sehingga mendapatkan keuntungan yang berlipat ganda.[3]
Para
ulama mendefenisikan ihtikar sebagai berikut :
1.
Ulama mazhab Maliki mendefenisikan dengan ;
الإدخار للمبيع من جميع الأشياء من الطعام و اللباس
وكل ما أضر بالسوق
Penyimpanan
barang oleh produsen baik makanan, pakaian dan segala barang yang merusak
pasar.
2.
Ulama mazhab Hanafi mendefenisikan dengan;
حبس الأقوات متربصا للغلاء
Menimbun
bahan makanan pokok sambil menunggu harganya menjadi naik
3.
Ulama Syafiiyah sebagaimana yang dijelaskan oleh Wahbah Zuhaili
mendefenisikan
امساك ما اشتراه وقت الغلاء ليبيعه بأكثر مما اشتراه عند اشتداد الحاجة
Menahan
sesuatu yang dibeli pada waktu mahal supaya bisa dijual dengan harga yang lebih
dari waktu membeli karena orang sangat membutuhkan.
4.
Fathi ad Duraini mendefenisikan ihtikar yaitu[4]
:
حبس مال أو منفعة أو عمل والإمتناع عن بيعه أو بذله حتى يغلو
سعره غلاء فاحشا غير معتاد بسبب قتله أو انعدام وجوده فى مظانه مع شدة حاجة الناس
أو الدولة أو الحيوان له.
Tindakan menyimpan harta, manfaat atau jasa dan enggan menjual dan memberikannya kepada orang lain, yang mengakibatkan melonjaknya harga pasar secara drastis disebabkan persediaan terbatas atau stok barang hilang sama sekali dari pasar, sedangkan masyarakat, Negara atau pun hewan memerlukan produk, manfaat atau jasa tersebut.
Tindakan menyimpan harta, manfaat atau jasa dan enggan menjual dan memberikannya kepada orang lain, yang mengakibatkan melonjaknya harga pasar secara drastis disebabkan persediaan terbatas atau stok barang hilang sama sekali dari pasar, sedangkan masyarakat, Negara atau pun hewan memerlukan produk, manfaat atau jasa tersebut.
Secara esensi definisi di atas sama, dan dapat difahami
bahwa iktikar yaitu:
Membeli
barang ketika harga mahal. menyimpan barang tersebut sehingga
kurang persediaannya di pasar. Kurangnya persediaan barang
membuat permintaan naik dan harga juga naik. Penimbun menjual barang yang
di tahannya ketika harga telah melonjak. Penimbunan
barang menyebabkan rusaknya mekanisme pasar.
Ulama
berbeda pendapat mengenai jenis barang yang di timbun, yaitu :
-
Ulama Malikiyah, sebagian ulama
Hanabilah, Abu Yusuf dan Ibn Abidin ( pakar fiqh Hanafi) menyatakan bahwa
larangan ihtikar tidak terbatas pada makanan, pakaian dan hewan, tetapi
meliputi seluruh produk yang diperlukan masyarakat. Menurut mereka, yang
menjadi ilat ( motifasi hukum ) dalam larangan melakukan ihtikar itu adalah “ kemudharatan
yang menimpa orang banyak”. Oleh sebab itu kemudharatan yang menimpa orang
banyak tidak terbatas pada makanan, pakaian dan hewan, tetapi mencakup seluruh
produk yang diperlukan orang banyak.
-
Imam asy Syaukani tidak merinci
produk apa saja yang disimpan sehingga seseorang dapat dikatakan sebagai
muhtakir jika barang itu untuk dijual ketika harga melonjak. Bahkan imam
Syaukani tidak membedakan apakah penimbunan itu terjadi ketika pasar
berada dalam keadaan normal (pasar stabil), ataupun dalam keadaan pasar tidak
stabil.
-
Sebagian ulama Hanabilah dan Imam al
Ghazali mengkhususkan keharaman ihtikar pada jenis produk makanan saja. Alasan
mereka karena yang dilarang dalam nash hanyalah makanan.
-
Ulama Syafiiyyah dan Hanafiyah
membatasi ihtikar pada komoditi yang berupa makanan bagi manusia dan hewan.
Ihtikar menurut Fathi ad Duraini dalam bukunya Al-Fiqhu Al Islami Al-Muawaran
Ma’a Al-mazahib,
tidak saja menyangkut komoditas, tetapi juga manfaat serta komoditas dan bahkan
jasa dari pemberi jasa dengan syarat, embargo yang dilakukan para pedagang dan
pemberi jasa ini dapat membuat harga pasar tidak stabil, padahal komoditas
manfaat atau jasa tersebut sangat diperlukan oleh masyarakat, Negara dan
lain-lain.
Ihtikar adalah tindakan menyimpan harta, manfaat, atau jasa,
dan enggan menjual dan memberikannya kepada orang lain yang mengakibatkan
melonjaknya harga pasar secara drastis disebabkan persediaan terbatas atau stok
barang hilang sama sekali dari pasar, sementara masyarakat, negara maupun hewan
amat membutuhkan produk, manfaat, atau jasa tersebut.
Ihtikar tidak saja menyangkut komoditas, tapi juga manfaat
suatu komoditas, dan bahkan jasa dari para pemberi jasa; dengan syarat
“embargo” yang dilakukan para pedagang atau pemberi jasa itu bisa membuat harga
pasar tidak stabil, padahal komoditas, manfaat, dan jasa tersebut dibutuhkan
oleh masyarakat, negara, dan lain-lain.
Umpamanya, pedagang gula pasir dan terigu pada awal bulan
Ramadhan tidak mau menggelar dagangannya, karena mengetahui minggu terakhir
bulan Ramadhan masyarakat sangat membutuhkan gula dan terigu untuk menghadapi
lebaran. Dengan menipisnya stok gula pasir dan terigu di pasar, harga jualnya
akan naik. Ketika itu para pedagang menjual gula dan terigunya sehingga mereka
mendapatkan keuntungan yang berlipat ganda. Demikian juga halnya dengan
barang-barang yang lain terutama keperluan Sembilan bahan pokok.
b.
Dasar Hukum Pelarangan Ihtikar
Para ulama berbeda pendapat tentang bentuk ihtikar yang
diharamkan :[5]
Ulama Mazhab hanadi tidak secara tegas menyatakan hatram
dalam menetapkan hukum ihtikar karena dalam masalah ini teradapat dua dalil
yang bertentangan yaitu berdasarkan hak milik yang dimiliki pedagang, mereka
bebas melakukan jual beli sesuai dengan kehendak mereka, kemudian yang kedua
adalah adanya pelarangan berbuat mudharat kepada orang lain dalam bentuk
apapun.
Mazhab Maliki mengahramklan ihtikar dan harus dicegah oleh
pemerintah dengan segala cara karena perbuatan itu member mudharat yang besar
terhadap kehidupan masyarakat, stabilitas ekonomi masyarakat dan Negara. Karena
itu, Pemerintah harus turun tangan untuk mengatasinya. Ini sesuai dengan kaidah
fiqih “ haqq al-ghair muhaafazun ‘alaihi syar’an ( hak orang lain terpelihara
secara syara’). Dalam kasus ihtikar yang paling utama diperlihara adalah hak
konsumen, karena menyangkut orang banyak, sedangkan hak orang yang melakukan
penimbunan hanya merupakan hak pribadi. Jika kepentingan pribadi bertentangan
dengan kepentingan orang banyak, maka yang didahulukan adalah kepentingan orang
banyak.
Mazhab Hanbali juga mengharamkan ihtikar karena membawa
mudharat yang besar terhadap masyarakat dan Negara. Ibn Qudamah mengemukakan
alas an, adalah sebuah hadist Rasulullah yang melarang malakukan ihtikar dalam
kebutuhan pokok manusia.
Asy-Syaukani mengatakan bahwa illat hukum ihtikar itu adalah
haram apabila perbuatan penimbunan barang itu untuk merugikan kaum muslimin,
dan tidak diharamkan apabila tidak untuk merugikan kaum muslimin, tidak
ditentukan apakah barang itu kebutuhan pokok atau tidak, yang utamanya adalah
tidak menimbulkan kemudharatan bagi kaum muslimin.[6]
Dasar hukum yang digunakan para ulama fiqh yang tidak
membolehkan ihtikar adalah kandungan nilai-nilai universal al Qur’an yang
menyatakan bawa setiap perbuatan aniaya, terrnasuk didalamnya ihtikar
diharamkan oleh agama Islam.
Diantara ayat-ayat tersebut adalah firman Allah:
Diantara ayat-ayat tersebut adalah firman Allah:
¢ (#qçRur$yès?ur
n?tã
ÎhÉ9ø9$#
3uqø)G9$#ur
(
wur
(#qçRur$yès?
n?tã
ÉOøOM}$#
Èbºurôãèø9$#ur
Artinya
: ... Dan tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan taqwa dan janganlah tolong
menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran…(al Maidah : 2 )
bÎ*sù
öN©9
(#qè=yèøÿs?
(#qçRsù'sù
5>öysÎ/
z`ÏiB
«!$#
¾Ï&Î!qßuur
(
bÎ)ur
óOçFö6è?
öNà6n=sù
â¨râäâ
öNà6Ï9ºuqøBr&
w
cqßJÎ=ôàs?
wur
cqßJn=ôàè?
ÇËÐÒÈ
artinya
: Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah,
bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat, maka
bagimu pokok hartamu, kamu tidak menganiaya dan tidak dianiaya. (al Baqarah:
279)
$tBur
@yèy_
ö/ä3øn=tæ
Îû
ÈûïÏd9$#
ô`ÏB
8ltym
4
artinya
: …Dan Dia tidak sekali-kali menjadikan untuk kamu dalam agama suatu
kesempitan… ( al Hajj: 78)
4
$tB
ßÌã
ª!$#
@yèôfuÏ9
Nà6øn=tæ
ô`ÏiB
8ltym
Artianya
: Allah tidak menginginkan kesulitan apapun bagi kamu… (Al-maidah:6)
Para ulama Syafi’i mengatakan bahwa ihtikar yang diharamkan
adalah penimbunan barang-barang pokok tertentu, yaitu membelinya pada saat
harga mahal dan menjualnya kembali. Ia tidak menjual saat itu juga, tapi ia
simpan sampai harga melonjak naik. Tetapi jika dia mendatangkan barang dari
kampungnya atau membelinya pada saat harga murah lalu ia menyimpannya karena
kebutuhannya, atau ia menjualnya kembali saat itu juga, maka itu bukan ihtikar
dan tidak diharamkan. Adapun selain bahan makanan, tidak diharamkan penimbunan
dalam kondisi apapun juga.
Para pelaku monopoli mempermainkan barang yang dibutuhkan
oleh umat dan memanfaatkan hartanya untuk membeli barang, kemudian
menahannya sambil menunggu naiknya harga barang itu tanpa memikirkan penderitaan
masyarakat karenanya.
Umar bin khatab, pada masa kekhalifahannya sangat mendorong
para pedagang untuk mengimpor barang agar terpenuhi kebutuhan pasar umat Islam,
sebaliknya sikapnya keras dalam menghadapi para penimbun barang yang buru-buru
membeli barang-barang tersebut. Kemudian menimbunnya dari umat Islam, dan
mengeluarkan perintahnya untuk melarang para penimbun barang untuk berjual beli
di pasar umat Islam.
Diantara perkataan umar dalam hal ini,” barangsiapa yang
datang ke tanah kami dengan barang dagangan hendaklah dia menjualnya
sebagaimana yang diinginkannya, dia adalah tamuku sampai dia keluar, dia adalah
teladan kami, dan janganlah menjual di pasar kami seorang penimbun barang”.
Umar juga berkata: “ tidak boleh ada penimbunan barang di pasar kami” dan
janganlah dipercaya orang-orang yang ditangannya ada kelebihan harta dari rizki
Allah yang turun di tanah kami, maka menimbunnya dari kami, akan tetapi siapa
saja yang mengimpor dengan hartanya pada musim dingin dan panas, maka dia
adalah tamu Umar, maka silakan dia menjual sebagaimana Allah kehendaki, dan
silakan menahan sebagaimana Allah kehendaki.
c. Pendapat Ulama Tentang Hukum Ihtikar
c. Pendapat Ulama Tentang Hukum Ihtikar
Berdasarkan pada ayat-ayat al Qur’an dan Sunnah Rasulullah
Saw, para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa ihtikar tergolong ke dalam
perbuatan yang dilarang (haram). Seluruh ulama sepakat menyatakan bahwa
melakukan ihtikar itu hukumnya haram, meskipun terjadi perbedaan pendapat
tentang cara menetapkan hukumnya, sesuai dengan sistem pemahaman hukum.
Pertama : ulama Syafi’iyyah, Hanabillah, Malikiyah, Zaidiyah
dan Zahiriyyah. Menurut mereka, melakukan ihtikar hukumnya haram. Alasan yang
mereka kemukakan adalah ayat dan hadis-hadis yang telah disebutkan. Menurut
Malikiyyah, ihtikar hukumnya haram dan harus dapat dicegah oleh pemerintah
dengan segala cara, karena perbuatan itu memberikan mudharat yang besar
terhadap kehidupan masyarakat, stabilitas ekonomi masyarakat dan negara.
Dalam masalah ihtikar yang paling utama yang harus
diperhatikan adalah hak konsumen, karena menyangkut orang banyak. Sedangkan hak
orang yang melakukan ihtikar hanya merupakan hak pribadi. Sekiranya hak pribadi
bertentangan dengan hak orang banyak, maka hak orang banyaklah yang harus
diutamakan dan didahulukan.
Mazhab Syafiiyah berpendapat , bahwa hadis yang menyatakan ihtikar merupakan suatu pekerjaan yang salah, mengandung pengertian yang dalam. Sebab orang yang melakukan kesalahan dengan sengaja, berarti telah berbuat suatu pengingkaran terhadap ajaran agama, merupakan perbuatan yang diharamkan. Apalagi ancaman dalam hadis itu adalah jadi penghuni neraka.
Mazhab Syafiiyah berpendapat , bahwa hadis yang menyatakan ihtikar merupakan suatu pekerjaan yang salah, mengandung pengertian yang dalam. Sebab orang yang melakukan kesalahan dengan sengaja, berarti telah berbuat suatu pengingkaran terhadap ajaran agama, merupakan perbuatan yang diharamkan. Apalagi ancaman dalam hadis itu adalah jadi penghuni neraka.
Ulama
Hanabilah mengatakan, ihtikar merupakan perbuatan yang diharamkan oleh syariat,
karena membawa kemudharatan yang besar terhadap masyarakat. Pengharaman
terhadap perbuatan ihtikar apabila terdapat tiga unsur, yaitu :
1.
Barang yang ditimbun harus dibeli
terlebih dahulu.
2.
Barang yang dibeli merupakan bahan
makanan yang dibutuhkan masyarakat.
3.
Adanya kesulitan masyarakat untuk
mendapatkan bahan makanan yang dibutuhkan.
Kedua, Ulama Hanafiyah menyatakan, menurut meraka perbuatan
ihtikar hukumnya makruh tahrim (istilah hukum haram dari kalangan fiqh hanafi
yang didasarkan kepada dalil zanni). Dalam persoalan ihtikar, menurut mereka
larangan secara tegas hanya muncul dari hadis ahad. Sedangkan kehujjahan hadis
ahad adalah zanni. Disamping itu sesuai dengan kaidah yang sifatnya qath’i
seseorang bebas membeli dan menual barang dagangannya tanpa campur tangan orang
lain. Menjual barang atau tidak adalah masalah prinadi seseorang. Ulama
Hanafiyah tidak secara tegas menyatakan haram dalam menetapkan hukum ihtikar,
karena menurut mereka dalam masalah ini terdapat dua dalil yang bertentangan,
yaitu : (a) berdasarkan hak milik yang dimiliki pedagang, mereka bebas
melakukan jual beli sesuai dengan kehendak mereka. (b) adanya larangan berbuat
mudharat kepada orang lain dalam bentuk apapun. Larangan disini tidak langsung
tertuju kepada perbuatan ihtikar melainkan larangan itu muncul disebabkan
mudharat yang ditimbulkan tindakan itu.
Sayyid Sabiq dalam fiqih sunnah menyatakan bahwa para ulama sepakat mengharamkan ihtikar dengan tiga syarat:
Sayyid Sabiq dalam fiqih sunnah menyatakan bahwa para ulama sepakat mengharamkan ihtikar dengan tiga syarat:
1. Syarat
berlakunya penimbunan adalah keberadaannya sampai batas membuat penduduk negeri
itu kesulitan untuk membeli barang yang ditimbun, karena realita penimbunan
tidak akan terjadi kecuali di dalam kondisi ini. Seandainya belum sampai
menyulitkan penduduk negri untuk membeli barang maka tidak akan terjadi
penghimpunan barang dan tidak terjadi dominasi terhadapnya supaya bisa
dijual dengan harga tinggi.
2. Bahwa
barang yang ditimbun adalah kelebihan dari kebutuhannya berikut tanggungan
untuk persediaan setahun penuh.
3. Bahwa
orang tersebut menunggu saat-saat memuncaknya harga barang agar ia dapat
menjualnya dengan harga yang tinggi karena orang sangat membutuhkan barang
tersebut.
Syarat yang dikemukakan Sayid Sabiq tersebut menjelaskan
bahwa ihtikar tidak hanya terfokus pada barang yang dibeli. Namun semata
menghimpun sembari menunggu harganya melambung sehingga bisa menjualnya dengan
harga yang tinggi bisa dinilai sebagai penimbunan, baik penghimpunan barang itu
dengan cara membelinya atau mengumpulkannya dari tanah pertanian yang luas
karena memonopoli kepemilikan areal produksi jenis tersebut atau kelangkaan
pertaniannya; atau menghimpun dari pabrik karena memonopoli kepemilikan
industry jenis itu atau karena kelangkaan industri. Semua itu merupakan
penimbunan.
Akad membeli barang untuk ditimbun merupakan akad yang
secara formal adalah sah karena memenuhi seluruh rukun dan syaratnya. Itu
seperti jual beli selama azan shalat jum’at, jual beli formalnya sah, tetapi
haram karena adanya larangan tegas tentangnya.
Babilli menyatakan bahwasanya proses penimbunan bukan hanya
mengkorupsi komoditas yang ditimbun namun juga kekayaan yang ditimbun. Korupsi
kekayaan, menurut Babilli, adalah menyetop keuntungan dari barang dan
menghentikan sirkulasinya, dan akan mengakibatkan tersendatnya distribusi
kekayaan.
Menurut Maududi, Larangan terhadap penimbunan barang
disamping untuk memberikan pelayanan pada tujuan-tujuan tertentu, ia juga
bertujuan untuk mengeliminasi kejahatan black market ( pasar gelap) yang
biasanya muncul seiring dengan adanya penimbunan barang.
Penimbunan barang adalah halangan terbesar dalam pengaturan
persaingan dalam pasar Islam. Hal tersebut dikarenakan pengaruhnya terhadap
jumlah barang yang tersedia dari barang yang ditimbun, dimana beberapa pedagang
memilih untuk menahan barang dagangannya dan tidak menjualnya karena menunggu
naiknya harga. Prilaku ini mempunyai pengaruh negative dalam fluktuasi
kemampuan persediaan dan permintaan barang. Penimbunan dapat menyebabkan
pergeseran kurva penawaran dan permintaan , yaitu perbuatan yang melanggar
hukum dari penjual.
Dalam tingkat international, menimbun barang merupakan
penyebab terbesar dari krisis ekonomi yang di alami oleh manusia sekarang
dimana beberapa Negara kaya dan maju secara ekonomi memonopoli produksi dan
perdagangan beberapa kebutuhan makanan dan industry dunia dan lain sebagainya.
Bahkan Negara-negara tersebut memonopoli pembelian bahan-bahan baku dari Negara
terbelakang ekonominya dan memonopoli penjualan barang-barang industry yang
dibutuhkan oleh Negara-negara yang terbelakang ekonominya. Hal tersebut membuat
bahaya besar pada keadilan distribusi kekayaan dan pendapatan dalam tingkat
dunia.
Sementara itu menurut pendapat Yusuf al-Qardawi bahwa
penimbunan barang diharamkan jika memiliki keriteria sebagai berikut:
1. Dilakukan
di suatu tempat yang penduduknya akan menderita sebab adanya penimbunan
tersebut.
2. Penimbunan
dilakukan untuk menaikkan harga sehingga orang merasa susah dan supaya ia dapat
keuntungan yang berlipat ganda.[7]
Para
ulama berbeda pendapat tentang hukum ihtikar, dengan perincian sebagai berikut
:
1. Haram
secara mutlak (tidak dikhususkan bahan makanan saja), hal ini berdasarkan sabda
Nabi SAW :
مَنِ
احْتَكَرَ فَهُوَ خَاطِئٌ
“Barangsiapa menimbun maka dia telah berbuat dosa”. (HR.
Muslim 1605)
Menimbun
yang diharamkan menurut kebanyakan ulama fikih bila memenuhi tiga kriteria:
a. Barang
yang ditimbun melebihi kebutuhannya dan kebutuhan keluarga untuk masa satu
tahun penuh. Kita hanya boleh menyimpan barang untuk keperluan kurang dari satu
tahun sebagaimana pernah dilakukan Rasulullah SAW.
b. Menimbun
untuk dijual, kemudian pada waktu harganya membumbung tinggi dan kebutuhan
rakyat sudah mendesak baru dijual sehingga terpaksa rakyat membelinya dengan
harga mahal.
c. Yang
ditimbun (dimonopoli) ialah kebutuhan pokok rakyat seperti pangan, sandang dan
lain-lain. Apabila bahan-bahan lainnya ada di tangan banyak pedagang, tetatpi
tidak termasuk bahan pokok kebutuhan rakyat dan tidak merugikan rakyat. maka
itu tidak termasuk menimbun.(4)
2. Makruh
secara mutlak, dengan alasan bahwa larangan Nabi SAW berkaitan dengan ihtikar adalah
terbatas pada hukum makruh saja, lantaran hanya sebagai pringatan bagi umatnya.
3. Haram,
apabila berupa bahan makanan saja, adapun selain bahan makanan dibolehkan,
dengan alas an bahwa boleh ihtikar selaian bahan makanan.
4. Haram
ihtikar disebagian tempat saja, seperti di kota Makkah dan Madinah, sedangkan
tempat-tempat lainnya, maka dibolehkan ihtikar di dalamnya, hal ini lantaran
Makkah dan Madinah adalah dua kota yang terbatas lingkupnya, sehingga apabila
ada yang melakukan ihtikar salah satu barang kebutuhan manusia, maka
perekonomian mereka akan terganggu dan mereka akan kesulitan mendapatkan barang
yang dibutuhkan, sedangkan tempat-tempat lain yang luas, apabila ada yang
menimbun barang dagangannya, maka biasanya tidak mempengaruhi perekonomian manusia,
sehingga tidak dilarang ihtikar di dalamnya.
5. Boleh
ihtikar secara mutlak, Mereka menjadikan hadits-hadits Nabi SAW yang
memerintahkan orang yang membeli bahan makanan untuk membawanya ke tempat
tinggalnya terlebih dahulu sebelum menjualnya kembali sebagai dalil
dibolehkahnya ihtikar, seperti dalam hadits:
زَفَةً
عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُمَا قَالَ رَأَيْتُ الَّذِينَ يَشْتَرُونَ الطَّعَامَ مُجَاﻋﻦ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْهَوْنَ أَنْ يَبِيعُوهُ
حَتَّى يُؤْوُوهُ إِلَى رِحَالِـهِمْ
Artinya : Dari Ibnu Umar r.a. beliau
berkata: “Aku melihat orang-orang yang membeli bahan makanan dengan tanpa
ditimbang pada zaman Rosulullah SAW mereka dilarang menjualnya kecuali harus
mengangkutnya ke tempat tinggal mereka terlebih dahulu.” (HR. Bukhori 2131, dan
Muslim 5/8)
Imam Nawawi menjelaskan hikmah dari larangan ihtikar adalah
mencegah hal-hal yang menyulitkan manusia secara umum, oleh karenanya para
ulama sepakat apabila ada orang memiliki makanan lebih, sedangkan mausia sedang
kelaparan dan tidak ada makanan kecuali yang ada pada orang tadi, maka wajib
bagi orang tersebut menjual atau memberikan dengan cuma-cuma makanannya kepada
manusia supaya manusia tidak kesulitan. Demikian juga apabila ada yang menimbun
selain bahan makanan (seperti pakaian musim dingin dan sebagainya) sehingga
manusia kesulitan mendapatkannya, dan membahayakan mereka, maka hal ini
dilarang dalam Islam.
Islam mengharamkan orang menimbun dan mencegah harta dari
peredaran. Islam mengancam mereka yang menimbunnya dengan siksa yang pedih di
hari kiamat. Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman dalm surat At Taubah ayat
34-35:
3
úïÏ%©!$#ur
crãÉ\õ3t
|=yd©%!$#
spÒÏÿø9$#ur
wur
$pktXqà)ÏÿZã
Îû
È@Î6y
«!$#
Nèd÷Åe³t7sù
A>#xyèÎ/
5OÏ9r&
ÇÌÍÈ tPöqt
4yJøtä
$ygøn=tæ
Îû
Í$tR
zO¨Zygy_
2uqõ3çGsù
$pkÍ5
öNßgèd$t6Å_
öNåkæ5qãZã_ur
öNèdâqßgàßur
(
#x»yd
$tB
öNè?÷t\2
ö/ä3Å¡àÿRL{
(#qè%räsù
$tB
÷LäêZä.
crâÏYõ3s?
ÇÌÎÈ
Artinya
: “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya
pada jalan Allah maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka
akan mendapat) siksa yang pedih.(34) Pada hari dipanaskan emas perak itu
dalam neraka jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung, dan
punggung mereka (lalu dikatakan kepada mereka): “Inilah harta bendamu yang kamu
simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang
kamu simpan itu”.(35)
Menimbun harta maksudnya membekukannya, menahannya dan
menjauhkannya dari peredaran. Padahal, jika harta itu disertakan dalam
usaha-usaha produktif seperti dalam perencanaan produksi, maka akan tercipta
banyak kesempatan kerja yang baru dan mengurangi pengangguran.
Kesempatan-kesempatan baru bagi pekerjaan ini bisa menambah pendapatan dan daya
beli masyarakat sehingga bisa mendorong meningkatnya produksi, baik itu dengan
membuat rencana-rencana baru maupun dengan memperluas rencana yang telah ada.
Dengan demikian, akan tercipta situasi pertumbuhan dan perkembangan ekonomi
dalam masyarakat.
Penimbunan barang merupakan halangan terbesar dalam
pengaturan persaingan dalam pasar Islam. Dalam tingkat internasional, menimbun
barang menjadi penyebab terbesar dari krisis yang dialami oleh manusia
sekarang, yang mana beberapa negara kaya dan maju secara ekonomi memonopoli
produksi, perdagangan, bahan baku kebutuhan pokok. Bahkan, negara-negara
tersebut memonopoli pembelian bahan-bahan baku dari negara yang kurang maju
perekonomiannya dan memonopoli penjulan komoditas industri yang dibutuhkan oleh
negara-negara tadi. Hal itu menimbulkan bahaya besar terhadap keadilan
distribusi kekayaan dan pendapatan dalam tingkat dunia.
III.
Penutup
Ihtikar merupakan suatu upaya seseorang atau lembaga untuk
menimbun barang, manfaat atau jasa sehingga menjadi langka di pasaran dan dapat
diperkirakan harganya melonjak naik. Perbuatan ihtikar merupakan sebuah
penganiayaan terhadap orang lain yang dilakukan secara sengaja untuk memperoleh
keuntungan pribadi. Namun apabila menimbun barang ( komoditi ) manfaat atau
jasa tersebut tidak memberi mudharat, dalam artian tidak menimbulkan keresahan
di tengah masyarakat serta tidak untuk tujuan memonopoli dan meraih keuntungan
yang besar, maka hal tersebut tidak di larang.
Para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa ihtikar yang
menyebabkan kelangkaan barang dan merusak mekanisme pasar hukumnya haram dan
untuk mengatasi hal ini pemerintah harus campur tangan untuk
mengawasi harga dan pengaturan perantara perdagangan.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
-
Adiwarman a.Karim, Ekonomi Islam
suatu Kajian Kontemporer, Jakarta : Gema Insani, 2001
-
Ibn Manzhur, Lisanul ‘Arab,
Qairo: Dar al Maarif Maktabah Syamilah, Al Muntaqiy Syarh Al Muawatta’, Maktabah
Syamilah, Inayah Syah Hidayah, (Fiqh Hanafi)
-
Wahbah Zuhaily, Al Fiq al Islamiy wa
Adillatuhu, Damaskus: dar al Fikr, 1985
-
Fathi ad Duraini, al Fiqh al Islami
al Muqarran, Damsyik, ttp,tt
-
Abdul Hafiz Farghaliy, al Buyu’ Fi
al Islam, Qairo, Darul Mahwah, tt
-
Imam Abi al Husainy Muslim Ibn al
Hajjaj a Qusyairy an Naisyaburiy, Shahih Muslim, Kairo: Dar al Hadis, 1991
-
An Nawawi, Syarh Sahih Muslim,
Kairo: 1996
-
Al hafiz Abi Abdillah Muhamad bin
Yusuf al Qazwiniy, Sunan Ibnu Majah, Dar al ihya al Kutub al ‘Arabiah
-
Nailul Authar, Bab Mā Ja a fī al
Ihtikār, Juz 8,
-
Jaribah bin Ahmad al Haritsi, al
Fiqh al Iqtishadi Li Amiril Mukminin Umar ibn al Khatab, diterjemah oleh Asmuni
solihan Zamakhsyari, Jakarta : Khalifa, 2006
-
Nasrun Harun, Fiqh Muamalah, Jakarta
: Gaya Media Pratama, 2000
Ibnu Qudamah al Maqdisi, al Mughni, ( Maktabah Syamilah )
Ibnu Qudamah al Maqdisi, al Mughni, ( Maktabah Syamilah )
-
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Cairo:
Juz 3
-
Yusuf Ahmad Mahmud, Bisnis Islami
dan Kritik atas Praktik Bisnis Ala Kapitalis, Penerjemah: Yahya Abdurrahman,
Bogor : Al Azhar Press, 2009
-
Yusuf Qardhawi, Halal Haram Dalam Islam,
(Terj), Surabaya: PT Bina Ilmu, 2000
[1] Kamus Al-Bisyri
[2] Wahbah Zuhaili, Al-Fiqhu Al Islami Wa Adhillatihi, maktabah
Syamilah.
[3] Chairuman Pasaribu dan Sahrawardi K.
Lubis, Hukum Perjanjian Islam, (Jakarta
: Sinar Grafika) hal 47
[4] Fathi Ad-Daraini, Al-Fiqhu Al Islami Al_Muawaran Ma’a
Al-mazahib, (damaskus : Mathba’ah Ath-Thariyyin, 1979) h. 68
[5] Ensiklopedi , Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, Syaikh Salim bin Ied Al-Hilali: Pustaka Imam
Syafi’i.
[6] Nailul Authar V , h.
338
Author: Mohammad
Mohammad is the founder of STC Network which offers Web Services and Online Business Solutions to clients around the globe. Read More →
Related Posts:
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Terima kasih until artikelnya
BalasHapussama-sama semoga bermanfaat
HapusMohon maaf saya ingin memberi tahu bahwa artikel ini belum sempurna karena terdapat ayat quran yang tidak ada hijaiyah nya... terima kasih
BalasHapus