Selasa, 15 Agustus 2017
KOMPILASI HUKUM ISLAM: SEJARAH DAN PROSES PERUMUSAN
A.
Sejarah Terbentuknya
Kompilasi Hukum Indonesia
[1] aafandia.wordpress.com/2009/05/20/instruksi-presiden-ri-nomor-1-tahun-1991-tentang-kompilasi-hukum-islam/
1.
Sejarah
Setelah Indonesia merdeka, ditetapkan 13 kitab
fikih sebagai referensi hukum materiil di pengadilan agama melalui Surat Edaran
Kepala Biro Pengadilan Agama RI. No. B/1/735 tanggal 18 februari 1985.
Hal ini dilakukan karena hukum Islam yang berlaku di tengah-tengah masyarakat
ternyata tidak tertulis dan berserakan di berbagai kitab fikih yang
berbeda-beda.
Akan tetapi penetapan
kitab-kitab fikih tersebut juga tidak berhasil menjamin kepastian dan kesatuan
hukum di pengadilan agama. Muncul persoalam krusial yang berkenaan dengan tidak
adanya keseragaman para hakim dalam menetapkan keputusan hukum terhadap
persoalan-persoalan yang mereka hadapi. Berbagai hal dan situasi hukum Islam
itulah yang mendorong dilakukannya kompilasi terhadap hukum Islam di Indonesia
untuk menjamin kepastian dan kesatuan penerapan hukum Islam di Indonesia.
Hal ini disebabkan tidak
tersedianya kitab materi hukum Islam yang sama. Secara material memang telah
ditetapkan 13 kitab yang dijadikan
rujukan dalam memutuskan perkara yang kesemuanya bermazhab Syafi’i. Akan tetapi
tetap saja menimbulkan persoalan yaitu tidak adanya keseragaman keputusan
hakim.
Bustanul Arifin adalah seorang
tokoh yang tampil dengan gagasan perlunya membuat Kompilasi Hukum Indonesia.
Gagasan-gagasan ini didasari pada pertimbangan-pertimbangan berikut:
1. Untuk berlakunya hukum Islam di Indonesia, harus ada antara lain
hukum yang jelas dan dapat dilaksanakan oleh aparat penegak hukum maupun oleh
masyarakat.
2. Persepsi yang tidak seragam tentang syari’ah menyebabkan
hal-hal: 1. Ketidakseragaman dalam menentukan apa-apa yang disebut hukum Islam
itu (maa anzalallahu), 2. Tidak mendapat kejelasan bagaimana menjalankan
syari’at itu (Tanfiziyah) dan 3. Akibat kepanjangannya adalah tidak mampu
menggunakan jalan-jalan dan alat-alat yang tersedia dalam Undang-Undang Dasar
1945 dan perundangan lainya.
3. Di dalam sejarah Islam, pernah ada tiga Negara dimana hukum Islam
diberlakukan (1). Sebagai perundang-undangan yang terkenal dalam fatwa
Alamfiri, (2). Di kerajaan Turki Ustmani yang terkenal dengan nama Majallah
al-Ahkam Al-Adliyah dan (3). Hukum Islam pada tahun 1983 dikodifikasikan di
Subang.[1]
Gagasan Bustanul Arifin
disepakati dan dibentuklah Tim pelaksana Proyek dengan Surat Keputusan Bersama
(SKB) ketua Mahkamah Agung RI dan Menteri Agama RI No.07/KMA/1985. Dalam Tim
tersebut Bustanul dipercaya menjadi Pemimpin Umum dengan anggota Tim yang
meliputi para pejabat Mahkamah Agung dan Departemen Agama. Dengan kerja keras
anggota Tim dan ulama-ulama, cendikiawan yang terlibat di dalamnya maka
terumuslah KHI yang ditindaklanjuti dengan keluarnya instruksi presiden No.1
Tahun 1991 kepada menteri Agama untuk menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam
yang terdiri dari buku I tentang Perkawinan, Buku II tentang Kewarisan, Buku
III tentang Perwakafan. Inpres tersebut ditindaklanjuti dengan SK Menteri Agama
No.154 Tahun 1991 tanggal 22 Juli 1991.
Kemunculan KHI di
Indonesia dapat dicatat sebagai sebuah prestasi besar yang dicapai umat Islam. Setidaknya
dengan adanya KHI itu, maka saat ini di Indonesia tidak akan ditemukan lagi
pluralisme Keputusan Peradilan agama, karena kitab yang dijadikan rujukan hakim
Peradilan Agama adalah sama. Selain itu fikih yang selama ini tidak positif, telah
ditransformasikan menjadi hukum positif yang berlaku dan mengikat seluruh umat
Islam Indinesia. Lebih penting dari itu, KHI diharapkan akan lebih mudah
diterima oleh masyarakat Islam Indonesia karena ia digali dari tradisi-tradisi
bangsa indonesia. Jadi tidak akan muncul hambatan Psikologis di kalangan umat
Islam yang ingin melaksanakan Hukum Islam.[2]
2.
Pengertian dan Tujuan Kompilasi Hukum Islam
a.
Pengertian Kompilasi Hukum Islam
Istilah kompilasi berasal dari bahasa Latin Compilare
yang masuk ke dalam bahasa Belanda dengan sebutan compilatie, yang dalam
bahasa inggrisnya disebut compilation. Secara harfiah berarti kumpulan
dari berbagai karangan atau karangan yang tersusun dari kutipan-kutipan buku
lain.
Bustanul Arifin menyebut Kompilasi Hukum Islam
sebagai "fikih dalam bahasa Undang-Undang atau dalam bahasa rumpun Melayu
disebut peng-Qanun-an hukum syara`". Wahyu Widhiana menyatakan bahwa
"Kompilasi Hukum Islam adalah sekumpulan materi Hukum Islam yang ditulis
pasal demi pasal, berjumlah 229 pasal, terdiri dari 3 kelompok materi hukum,
yaitu Hukum Perkawinan (170 pasal), Hukum Kewarisan -termasuk wasiat dan hibah-
(44 pasal), dan Hukum Perwakafan (14 pasal), ditambah satu pasal Ketentuan
Penutup yang berlaku untuk ketiga kelompok hukum tersebut.
Secara materi, Kompilasi Hukum Islam itu adalah
ketentuan hukum Islam yang ditulis dan disusun secara sistematis menyerupai
peraturan perundang-undangan untuk sedapat mungkin diterapkan seluruh instansi
Departemen Agama dalam menyelesaikan masalah-masalah di bidang yang telah
diatur Kompilasi Hukum Islam. Oleh para hakim peradilan agama Kompilasi Hukum
Islam digunakan sebagai pedoman dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara
yang diajukan kepada-Nya.
b.
Tujuan Penyusunan Kompilasi Hukum Islam
Upaya mempositifkan hukum Islam melalui Kompilasi
Hukum Islam ini mempunyai beberapa sasaran pokok yang hendak dicapai:
1)
Melengkapi pilar Peradilan Agama
2)
Menyamakan persepsi penerapan hukum
3)
Mempercepat proses Taqribi baina al-Madzahib
B. Proses Perumusan Kompilasi Hukum Islam
Untuk melihat gambaran umum hukum islam sebagai bagian hukum
nasional, dengan mengikuti proses perumusan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Untuk
mendeskripsikan proses perumusan kompilasi hukum Islam, tidak terlepas pada
latar belakang Kompilasi Hukum Islam, Landasan Yuridis dan Landasan Fungsional.
1.
Latar Belakang Penyusunan Kompilasi Hukum Islam
Setelah Indonesia
merdeka, ditetapkanlah 13 kitab fikih sebagai referensi hukum materiil di
pengadilan agama melalui Surat Edaran Kepala Biro Peradilan Agama RI. No.
B/1/735 tanggal 18 februari 1958. Hal ini dilakukan karena hukum Islam yang
berlaku di tengah-tengah masyarakat ternyata tidak tertulis dan berserakan di
berbagai kitab fikih yang berbeda-beda.
Akan tetapi penetapan
kitab-kitab fikih tersebut juga tidak berhasil menjamin kepastian dan kesatuan
hukum di pengadilan agama. Berbagai hal dan situasi hukum Islam itulah yang
mendorong dilakukannya kompilasi terhadap hukum Islam di Indonesia untuk
menjamin kepastian dan kesatuan penerapan hukum Islam di Indonesia.
Lahirnya KHI tidak dapat
dipisahkan dari latar belakang dan perkembangan (pemikiran) hukum Islam di
Indonesia. Di satu sisi, pembentukan KHI terkait erat dengan usaha-usaha untuk
keluar dari situasi dan kondisi internal hukum Islam yang masih diliputi
suasana kebekuan intelektual yang akut. Di sisi lain, KHI mencerminkan
perkembangan hukum Islam dalam konteks hukum nasional, melepaskan diri dari
pengaruh teori receptie, khususnya dalam rangkaian usaha pengembangan
Pengadilan Agama.
Hukum Islam di Indonesia
memang sejak lama telah berjalan di tengah-tengah masyarakat. Namun harus
dicatat bahwa hukum Islam tersebut tidak lain merupakan hukum fiqh hasil
interpretasi ulama-ulama abad ke dua hijriyah dan abad-abad sesudahnya.
Pelaksanaan hukum Islam sangat diwarnai suasana taqlid serta sikap fanatisme
mazhab yang cukup kental. Ini makin diperparah dengan anggapan bahwa fiqh
identik dengan Syari’ah atau hukum Islam yang merupakan wahyu aturan Tuhan,
sehingga tidak dapat berubah. Umat Islam akhirnya terjebak ke dalam pemahaman
yang tumpang tindih antara yang sakral dengan yang profan.
Situasi tersebut
berimplikasi negatif terhadap pelaksanaan hukum Islam di lingkungan Peradilan
Agama. Pengidentifikasian fiqh dengan
Syari’ah atau hukum Islam sepertiitu telah membawa akibat kekeliruan dalam
penerapan hukum Islam yang sangat “keterlaluan”. Dalam menghadapi penyelesaian
kasus-kasus perkara di lingkungan peradilan agama, para hakim menoleh kepada
kitab-kitab fiqh sebagai rujukan utama. Jadi, putusan pengadilan bukan
didasarkan kepada hukum, melainkan doktrin serta pendapat-pendapat mazhab yang
telah terdeskripsi di dalam kitab-kitab fiqh.
Akibat dari cara kerja
yang demikian, maka lahirlah berbagai produk putusan Pengadilan Agama yang
berbeda-beda meskipun menyangkut satu perkara hukum yang sama. Hal ini menjadi
semakin rumit dengan adanya beberapa mazhab dalam fiqh itu sendiri, sehingga
terjadi pertarungan antar mazhab dalam penerapan hukum Islam di Pengadilan
Agama.[3]
Proses penerapan hukum
Islam yang simpang-siur tersebut di atas tentu saja tidak dapat dibenarkan
dalam praktek peradilan modern, karena menimbulkan ketidakpastian hukum dalam
masyarakat. Menjadikan kitab-kitab fiqh sebagai rujukan hukum materiil pada
pengadilan agama juga telah menimbulkan keruwetan lain. Kenyataan-kenyataan ini
mengharuskan dibentuknya sebuah unifikasi hukum Islam yang akhirnya berhasil
disahkan pada tahun 1991, yakni Kompilasi Hukum Islam yang diberlakukan oleh
Inpres No. 1 tahun 1991.
2.
Landasan Yuridis
Landasan yuridis mengenai perlunya hakim
memperhatikan kesadaran hukum masyarakat adalah Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Pasal 28 ayat 1 yang berbunyi: ”
Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Selain itu, Fikih Islam
mengungkapkan kaidah:” Hukum Islam dapat berubah karena perubahan waktu,
tempat, dan keadaan”. Keadaan masyarakat itu selalu berkembang, karenanya
pelaksanaan hukum menggunakan metode yang sangat memperhatikan rasa keadilan
masyarakat. Diantara metode itu ialah maslahat mursalah, istihsan,
istishab, dan urf.[4]
3.
Landasan fungsional.
Kompilasi Hukum Islam
adalah fikih Indonesia karena ia disusun dengan memperhatikan kondisi kebutuhan
hukum umat Islam Indonesia. Fikih Indonesia dimaksud adalah fikih yang telah
dicetuskan oleh Hazairin dan T.M. Hasbi Ash-Shiddiqi. Fikih sebelumnya
mempunyai tipe fikih lokal semacam fikih Hijazy, fikih Mishry, fikih Hindy,
fikih lain-lain yang sangat mempehatikan kebutuhan dan kesadaran hukum
masyarakat setempat. Ia mengarah kepada unifikasi mazhab dalam hukum islam.
Oleh karena itu, di dalam sistem hukum di Indonesia ini merupakan bentuk
terdekat dengan kodifikasi hukum yang menjadi arah pembangunan hukum nasional
di Indonesia.[5]
C. Institusi (organisasi) Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Hukum berfungsi sebagai
alat untuk mengubah masyarakat yang disebut oleh Roscoe Pound ” a Tool of
social enginering”
Dalam konteks dinamika Kompilasi Hukum Islam diperlukan Institusi
(organisasi) untuk menjalankan dan melakukan pengawasan dalam penerapannya di
masyarakat.
a. Peradilan dan hakim-hakim agama
Peranan dari para Hakim
Agama yang mekanisme kerjanya sudah mempunyai landasan yang kokoh dengan
ditetapkannya Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang peradilan Agama, maka
dalam menghadapi kompilasi hukum islam sebagai ketentuan hukum material yang
harus dijalankan tidak hanya berfungsi sebagai "mulut dari kompilasi"
akan tetapi dituntut untuk lebih meningkatkan perannya dalam berijtihad
menemukanhukum melalui perkara-perkara yang ditanganimya.[6]
b. Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Majelis Ulama indonesia
(MUI) lebih meningkatkan peranannya untuk mengkaji beberapa aspek
kemasyarakatan yang berdimensi hukum yang memang sangat diperlukan oleh
masyarakat dalam rangka penetapan hukum dalam masyarakat indonesia yang sedang
membangun. Visi MUI adalah terciptanya kondisi kehidupan kemasyarakatan,
kebangsaan dan kenegaraan yang baik, memperoleh ridlo dan ampunan Allah swt
menuju masyarakat berkualitas demi terwujudnya kejayaan Islam dan kaum muslimin
dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai manifestasi dari rahmat
bagi seluruh alam.[7]
c. Lembaga-lembaga hukum dan fatwa dari organisasi islam
Peranan dari
lambaga-lembaga hukum dan fatwa yang kita temui pada berbagai organisasi islam
yang ada di Indonesia seperti Muhamadiyah, Nahdlatul Ulama dan lain-lain perlu
lebih ditingkatkan dalam rangka mendukung dalam penetapan hukum islam.
d. Lembaga pendidikan tinggi.
Kegiatan penelitaian di
bidang Hukum Islam harus lebih digalakkan. Lembaga pendidikan sebagai media
intelektual untuk mengawal dan selalu mengkritisi atas berjalannya Kompilasi
Hukum Islam. Perguruan Tinggi Islam khususnya diharapkan memberikan kontribusi
positif terhadap pengembangan Kompilasi Hukum Islam.
e. Lembaga-lembaga penelitian dan pengkajian pemerintah
Lembaga- lembaga
penelitian dan pengkajian dari pemerintah, semacam LIPI, Badan Pembinaan Hukum
Nasional, Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Agama dan lain
sebagainya sudah seharusnya melibatkan diri dalam kegiatan penelitian dan
pengkajian masalah-masalah hukum islam yang berskala nasional.
f. Media massa
Peranan media massa dalam
persoalan ini sangat besar sekali untuk menjebatani komunikasi ilmiah dari
berbagai pihak yang terlibat dalam pengkajian dan penelitian masalah-masalah
hukum islam. Media selain untuk sosialisasi tetapi juga berperan sebagai kontrol
terhadap berjalannya penerapan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.[8][1] aafandia.wordpress.com/2009/05/20/instruksi-presiden-ri-nomor-1-tahun-1991-tentang-kompilasi-hukum-islam/
[2] http://el-ghozali-hasanah.blogspot.com/2011/04/sejarah-terbentuknya-kompilasi-hukum-islam.html
[3]
Zainuddin Ali, Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia
(Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 98
[4] Ibid.,
hlm. 100.
[5] Ibid.
[6]
Zainudin Ali, Sosiologi Hukum (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 38.
[7] Mahfud, Moh.MD.Pergulatan
Politik dan Hukum di Indonesia (Yogyakarta: Gama Media, 1999) hlm. 259.
[8] Abdurahman, Kompilasi
Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Akademika Pressindo, 1992), hlm 7
Author: Mohammad
Mohammad is the founder of STC Network which offers Web Services and Online Business Solutions to clients around the globe. Read More →
Related Posts:
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar: