Kamis, 31 Maret 2016
SHIQAQ DAN PERMASALAHANNYA
A. Pengertian Shiqaq
Shiqaq secara etimologi merupakan masdar dari kata kerja
شقا
– و مشقة شاق~يشاق~شقاقا يشق--شَقَّ yang
berarti perselisihan.[1]
Menurut istilah fiqh berarti perselisihan suami isteri yang diselesaikan dua
orang hakam, yaitu seorang hakam dari pihak suami dan seorang hakam
dari pihak isteri.[2] Perselisihan
suami istri bisa terjadi diakibatkan karena istri nusyuz. Menurut Rasyid Ridha,
bahwa shiqaq adalah perselisihan antara suami dan isteri, perselisihan
ini mungkin disebabkan karena isteri nusyuz atau mungkin juga karena suami
berbuat kejam atau aniaya kepada isterinya.[3]
Al-Maraghi
dalam tafsirnya menjelaskan permasalahan shiqaq
dengan cukup lugas. Al-shiqaq berarti perselisihan yang berpotensi
membuat dua pihak berpisah, dan ketakutan masing-masing pihak
akan terjadinya perpisahan
itu dengan lahirnya
sebab-sebab perselisihan. Pada ayat 35 surat an-Nisa tentang shiqaq,
Allah menerangkan cara yang baik untuk diterapkan ketika terjadi pertengkaran
dan ketika takut terjadi perpecahan: Shiqaq atau pertikaian di antara
mereka kadang-kadang disebabkan oleh nusyuznya isteri, kadang-kadang
pula oleh kezaliman
suami. Jika hal
pertama yang terjadi,
maka hendaknya suami mengatasinya
dengan cara yang
paling ringan di
antara cara-cara yang disebutkan di dalam ayat 34. Tetapi jika
hal kedua yang terjadi, dan
dikhawatirkan suami akan
terus-menerus berlaku zalim atau
sulit menghilangkan nusyuznya, selanjutnya dikhawatirkan akan terjadi perpecahan, maka kedua suami
isteri dan kaum kerabat wajib mengutus
dua orang hakam yang bermaksud memperbaiki hubungan antara mereka. Dalam
ayat tersebut juga
diisyaratkan bahwa dua
orang hakam mengetahui
masalah pribadi pasangan suami
isteri, karena dekatnya
hubungan dengan mereka,
sehingga dapat ikut membantu penyelesaian masalah.[4]
Sayid Sabiq mengkategorikan perceraian karena shiqaq
ini sebagai perceraian karena dharar atau membahayakan. Lebih lanjut
beliau mengemukakan bahwa Imam Malik dan Ahmad berpendapat sekiranya isteri
mendapat perlakuan kasar dari suaminya maka ia dapat mengajukan gugatan
perceraian dihadapan hakim agar perkawinannya diputus karena perceraian.[5]
Adapun bentuk dharar menurut Imam Malik dan Ahmad adalah kata-kata
kotor atau pukulan yang menyakiti atau meninggalkannya tanpa sebab, atau ia
menyuruh isterinya melakukan sesuatu yang haram, atau lebih mementingkan
isterinya yang lain, atau tidak mau menjenguk orang tuanya, atau merampas
hartanya atau selain itu yang pokoknya menzhalimi, menyakiti atau membahayakan
isteri. Jika suami melakukan itu dan isteri tidak terima dengan perlakuan ini
lantas ia melapor pada hakim dan ia mampu membuktikan dakwaannya itu (menurut
pendapat yang masyhur dalam madzhab ini) lantas isteri menuntut cerai, maka
hakim dapat menceraikannya dengan talak satu ba’in [6]
Di kalangan
mazhab Syafi’iyah, shiqaq itu tidak lain adalah perselisihan antara
suami isteri, dan perselisihan ini sangat memuncak serta dikhawatirkan terjadi
kemudharatan apabila perkawinan itu diteruskan.[7] Golongan Syafi’iyah berpendapat bahwa dharar atau shiqaq atau
buruk perlakuan kadang timbul dari pihak isteri sendiri, atau suami saja atau
kedua-duanya. Jika sebab itu muncul dari pihak isteri, suami harus mendidik dan
menasihati isteri dengan sebaik-baiknya.
Jika hal itu timbul dari pihak suami seperti buruk dalam perlakuan dan
berakibat dharar, maka isteri boleh melapor ke hakim. Jika laporan itu
terbukti, hakim dapat melarang suami namun tidak dijatuhi ta’zir pada
kasus yang pertama kali. Jika laporan terjadi lagi dan terbukti, hakim dapat
menghukumnya dengan hukuman yang setimpal dengan kesalahannya. Jika shiqaq dan
darar datang dari keduanya, misalnya suami menuduh isterinya tidak taat
kepadanya, dan isteri menuduh suaminya memperlakukan buruk dan menyakitinya,
hakim wajib mengutus dua orang hakam.[8]
Dari pemaparan pendapat
ulama madzhab di atas kiranya terlihat jelas bahwa madzhab yang secara
eksplisit membolehkan perceraian dengan alasan shiqaq atau dharar
adalah madzhab Maliki. Sedang tiga madzhab yakni Hanafi, Syafi’i dan Hanbali
tidak menghendaki perceraian sebagai jalan penyelesaian terjadinya shiqaq atau
dharar dalam hubungan suami-isteri namun lebih menekankan perlunya
perbaikan dan penyadaran serta perdamaian. Menurut ketiga madzhab tersebut, shiqaq
bisa dihilangkan tidak mesti lewat perceraian, tetapi cukup dilaporkan ke
pengadilan atau hakim, dan hakim dapat mendidik dan mengatur agar kehidupan
suami-isteri itu normal kembali.
Penulis berpendapat
bahwa menutup kebolehan perceraian bagi pasangan suami-isteri yang sering
cekcok dan terus menerus dalam permusuhan, serta tidak ada harapan untuk rukun
kembali sama saja dengan menyimpan bara api yang sewaktu-waktu dapat membakar
isi rumah itu. Bukankah perkawinan yang selalu diwarnai keributan dan percekcokan sudah
tidak sesuai lagi dengan tujuan perkawinan itu sendiri?. Atas dasar itu pendapat yang lebih maslahat dan mendekati kebenaran ( Insya Allah)
adalah pendapat madzhab Maliki, selain lebih realistis dan mendekati maslahat
juga lebih sesuai dengan isyarat yang diberikan al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat
130, yang membolehkan perceraian. Allah
menjanjikan masing-masing akan mendapatkan kecukupan yang dalam
penjelasan ulama tafsir berarti akan mendapatkan ganti suami atau isteri yang lebih pas dan cocok.
Pada Pasal 76 UU No 7 Tahun 1989. Dijelaskan maksud shiqaq,
sebagaimana dirumuskan dalam penjelasan Pasal 76 ayat (1). Di situ dikatakan “Shiqaq adalah
perselisihan yang tajam dan terus-menerus antara suami isteri”.[9]
Kalau diperhatikan makna shiqaq yang dirumuskan dalam penjelasan Pasal
76 ayat (1), pengertian tersebut sudah memenuhi pengertian yang terkandung
dalam surah Annisa : 35. Pengertian Shiqaq yang disebut dalam penjelasan dimaksud, sama makna dan hakikatnya
dengan apa yang dirumuskan pada penjelasan pasal 39 ayat 2 huruf f UU No 1
Tahun 1974 jo. Pasal 19 huruf f PP No. 9 Tahun 1975 yang berbunyi: antara suami
dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada
harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Menurut pasal 76 UU No 7
tahun 1989, apabila terjadi perkara perceraian atas dasar alasan yang
disebutkan di atas, tata cara pemeriksaannya disamping tunduk kepada
ketentuan-ketentuan hukum acara perdata pada umumnya, sekaligus harus menurut
tata cara mengadili yang digariskan Pasal 76 itu sendiri.[10]
Gugatan perceraian dapat diajukan oleh
suami atau pihak istri dengan alasan yang telah ditentukan oleh peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Secara lengkap alasan yang dijadikan dasar
gugat perceraian dapat dijumpai dalam pasal 116 KHI dimana sifatnya boleh
alternatif artinya salah satu alasan saja yang dimasukkan dalam gugatan
perceraian dibolehkan, tentunya disesuaikan dengan fakta yang mengiringinya
dalam Konkreto. Misalnya: Istri
menggugat cerai suaminya dengan mencantumkan salah satu alasan saja dalam surat
gugatan yaitu: di antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.(Point f
pasal 116 KHI).
B. Dalil dan Dasar
Hukum Shiqaq
Adapun sumber hukum dalam Al-Qur'an yang menjelaskan
tentang Syiqa, diantaranya Surat
Annisa’ ayat 34 sebagai berikut:
ãA%y`Ìh9$# cqãBº§qs% n?tã Ïä!$|¡ÏiY9$# $yJÎ/ @Òsù ª!$# óOßgÒ÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ !$yJÎ/ur (#qà)xÿRr& ô`ÏB öNÎgÏ9ºuqøBr& 4 àM»ysÎ=»¢Á9$$sù ìM»tGÏZ»s% ×M»sàÏÿ»ym É=øtóù=Ïj9 $yJÎ/ xáÏÿym ª!$# 4 ÓÉL»©9$#ur tbqèù$srB Æèdyqà±èS ÆèdqÝàÏèsù £`èdrãàf÷d$#ur Îû ÆìÅ_$ÒyJø9$# £`èdqç/ÎôÑ$#ur ( ÷bÎ*sù öNà6uZ÷èsÛr& xsù (#qäóö7s? £`Íkön=tã ¸xÎ6y 3 ¨bÎ) ©!$# c%x. $wÎ=tã #ZÎ62 ÇÌÍÈ
Artinya : Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum
wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita),
dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.
Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara
diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).
wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka
dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian
jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk
menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.[11]
Ayat
di atas menunjukkan bahwa apabila istri melakukan nusyuz maka hal yang
harus dilakukan suami agar istrinya tidak mengulangi dan kembali mentaati suami
yaitu menasehati, nasehat ini dilakukan suami kepada istri dengan cara yang
ma’ruf serta memberikan pengajaran dengan pisah ranjang dan memukul istri
dengan pukulan yang tidak menyakiti istri tersebut. Berikut langkah-langkah
yang harus dilakukan:.
a.
Memberi nasihat dan bimbingan dengan
bijaksana dan tutur kata yang baik, sebagaimana difirmankan Allah, “Maka
nasihatilah mereka itu.” (An-Nisa :34)
b.
Pisah ranjang dan tidak dicampuri,
Allah swt berfirman, “Dan tinggalkanlah mereka di tempat-tempat tidur.”
(An-Nisa : 34)
c.
Pukulan yang sekiranya tidak
menyakitkan, misalnya dengan siwak, yang tujuannya untuk menyadarkan. Allah swt
berfirman, “Dan pukullah mereka.” (An-Nisa : 34)
Tentang masalah memukul, Rasullullah saw bersabda, “Jika mereka (istri) itu
tetap berbuat (durhaka), maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak
menyakitkan.” Akan tetapi mengenai interpretasinya, kalangan sahabat, Tabi’in
dan para ulama berbeda pendapat :
a.
Ibnu Abbas dan ‘Atha : Pukulan yang
tidak menyakitkan itu dengan siwak.
b.
Qatadah : Pukulan yang tidak membuat
cedera.
c.
Para Ulama : Pukulan itu hendaknya
di satu tempat, dan supaya dihindari memukul wajah, sebab wajah itu pusat
kecantikan seseorang.[12]
Meskipun para ulama sepakat membolehkan memukul, tetapi meninggalkannya
jauh lebih baik. Mengenai hak memukul ini, seorang sahabat pernah bertanya
kepada Rasullullah saw, “Apakah hak seseorang dari istri kita itu?” Rasullullah
saw menjawab, “Yaitu engkau beri makan dia apabila engkau makan, engkau beri
pakaian dia apabila engkau berpakaian. Jangan memukul muka, jangan engkau
cacati dan jangan engkau tinggalkan, melainkan (dia) tetap di rumah.” (H.R Para
Pemilik Sunan, dari Mu’awaiyah bin Hidah)[13]
Apabila
langkah-langkah tersebut tidak diindahkan oleh istri serta terjadi pertengkaran
dan ketidakharmonisan suami istri maka Allah memberikan solusi lain yakni
melalui Surat Al-Nisa’ Ayat 35.
÷bÎ)ur óOçFøÿÅz s-$s)Ï© $uKÍkÈ]÷t/ (#qèWyèö/$$sù $VJs3ym ô`ÏiB ¾Ï&Î#÷dr& $VJs3ymur ô`ÏiB !$ygÎ=÷dr& bÎ) !#yÌã $[s»n=ô¹Î) È,Ïjùuqã ª!$# !$yJåks]øt/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $¸JÎ=tã #ZÎ7yz ÇÌÎÈ
Artinya : Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan
antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan
seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu
bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada
suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.[14]
Surat al-Nisa’ ayat 35 tersebut merupakan kelanjutan dari ayat 34 yang
menerangkan cara-cara suami memberikan pelajaran kepada istrinya yang
melalaikan kewajibannya. Kalau ketiga jalan di atas sudah tidak berguna maka
dicari jalan dengan ber-tahkim yaitu, “Mengutus seorang hakam
dari keluarga suami, dan seorang hakam dari keluarga suami, dan seorang hakam
lagi dari keluarga istri.” (An-Nisa : 35).
Hakam diutus
untuk mendamaikan atau menyelesaikan masalah antara suami istri. Dalam hal ini hakam
tidak berhak menceraikan, kecuali dengan kerelaan suami istri. Sebab kedua juru
damai ini hanya berstatus sebagai wakil suami istri, karena itu apapun yang
diputuskan harus mendapat persetujuan dari suami istri. Putusan yang dilakukan
oleh hakam harus sebaiknya menguntungkan kedua belah pihak seperti
putusan ishlah atau damai. Untuk melaksanakan tugasnya, seorang hakam
harus professional, dua orang laki-laki
yang adil dan mengedepankan upaya damai.[15]
Persyaratan professional seorang hakam dimaksudkan agar di dalam
menangani kasus-kasus berat seperti shiqaq ini dapat mengatasinya dengan
cepat, tepat dan baik.
C.
Shiqaq dalam Pandangan Perundang-undangan
Nasional
Dalam Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan ditentukan bahwa perkawinan dapat putus karena
kematian, perceraian dan atas putusan Pengadilan. Kemudian dalam pasal 39 ayat
(1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut juga dikemukakan
bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah
Pengadilan (Majelis Hakim) tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak, serta
cukup alasan bagi mereka untuk bercerai karena tidak ada harapan lagi untuk
dapat hidup rukun dalam sebuah suatu Rumah Tangga, perkawinan mereka
betul-betul sudah pecah.[16]
Gugatan perceraian diajukan oleh pihak suami atau
pihak isteri dengan alasan yang sudah ditentukan oleh Peraturan
Perundang-undangan yang berlaku. Salah satu alasan perceraian sebagaimana
tersebut dalam pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 adalah antara
suami dan isteri terus menerus terjadi perselisiahan dan percekcokan dan tidak
ada harapan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Dalam pasal 22 ayat 2 disebutkan bahwa gugatan
perceraian karena alasan sebagaimana disebutkan dalam pasal 19 huruf f
Peraturan Pemerintah itu baru dapat diterima oleh Pengadilan apabila sudah
cukup jelas mengenai sebab-sebab perselisihan dan pertengkarannya itu dan sudah
mendengar pihak keluarga serta orang-orang yang dekat dengan suami isteri yang
mengajukan perceraian.
Dalam praktik Pengadilan Agama, alasan perceraian
sebagaimana tersebut dalam pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
1975 itu tidak disebut shiqaq. Dikatakan shiqaq kalau gugatan
perceraian itu dengan alasan telah terjadi percekcokan yang mengandung
unsur-unsur yang membahayakan kehidupan suami isteri dan sudah terjadi pecahnya
perkawinan, berakhirnya perkawinan mereka dengan putusan Pengadilan[17].
Sedangkan alasan perceraian yang didasarkan
pada pertengkaran dan percekcokan yang
tidak mengandung unsur-unsur yang membahayakan dan belum sampai pada tingkat
darurat, maka hal tersebut belum bisa dikatakan shiqaq. Hal yang
terakhir ini gugatan diajukan oleh salah satu pihak dengan alasan percekcokan
dan pertengkaran itu dengan alasan perceraian dengan alasan yang lain, seperti
salah satu pihak melakukan zina, mabuk dan main judi. Terhadap hal ini putusnya
perkawinan bisa berupa perceraian dan bisa dengan putusan Pengadilan.
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama telah menetapkan bahwa shiqaq merupakan alasan cerai yang diajukan
kepada Pengadilan Agama sebagai perkara tersendiri. Mengajukan perkaranya ke
perkara lain yang kemudian di shiqaqkan setelah berlangsungnya
pemeriksaan perkara dalam persidangan sebagaimana lazimnya yang dilaksanakan
oleh para hakim sebelum berlaku Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tersebut.
Substansial dari shiqaq sebagaimana tersebut
dalam pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 sepanjang
mengandung unsur-unsur yang membahayakan dan pecahnya perkawinan. Perkara shiqaq yang diajukan sejak awal ke Pengadilan
Agama akan memudahkan pengisian laporan.
Menurut M Yahya Harahap, alasan shiqaq yang
diatur dalam pasal 76 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 beserta
penjelasannya sudah memenuhi pengertian yang terkandung dalam Surat Annisa ayat
3, juga sama makna dan hakekatnya dengan apa yang dirumuskan pada penjelasan
pasal 39 ayat (2) huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Oleh
karena itu tata cara pemeriksaannya disamping tunduk kepada ketentuan umum
hukum acara perdata, sekaligus harus menurut tata cara mengadili yang
digariskan oleh pasal 76 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 itu sendiri. Kelalailan
mempergunakan tata cara yang telah ditentukan itu mengakibatkan keputusan yang
dijatuhkan oleh hakim batal demi hukum atau sekurang-kurangnya pada tingkat
banding harus diadakan pemeriksaan tambahan untuk menyempurnakan pemeriksaan
tersebut.[18]
Penyelesaian perkara shiqaq
merupakan pemeriksaan secara khusus (lex
spesialis) dan agak menyimpang dari asas umum hukum acara perdata. Oleh
karena perceraian karena shiqaq ini merupakan perceraian karena adanya
mudharat yang menimpa pihak isteri dan pecahnya tali pernikahan. Maka hakim
wajib mengkonstatir benar tidaknya peristiwa yang diajukan oleh pihak yang
berperkara itu, kamudian mengkualifisir peristiwa tersebut dan akhirnya
memberikan hukumnya terhadap peristiwa yang diajukan oleh pihak itu.
[1] Ahmad Warson
Munawwir, Al Munawwir Kamus Arab Indonesia (Yogyakarta :Krapyak 1984)
hlm 785
[2] Slamet Abidin,
Aminuddin, Fiqh Munakahat 1, Pustaka
Setia, Bandung, 1999, hlm.187
[3] Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan
Peradilan Agama, Yayasan Al Hikmah, Jakarta, 2000, hlm. 237
[4] Ahmad Mustafa
Al-Maragi, Tafsir Al-Maraghi, Juz V, Mesir: Mustafa Al-Babi Al-Halabi,
1394 H/1974 M, hlm.47.
[6]Alauddin
Kharufa, Syarh Qanun al-Akhwal asy-Syahsiyyah, (Baghdad: Matba’ah
al-Ma’arif, 1383/ 1963), Juz II, hlm. 31 dan Muhammad Abu Zahrah, Al-Ahwal
asy-Syakhsiyyah, (T.Tp: Dar al-Fikr al-‘Arabi, T.Th), hlm. 423
[7] Ibid
[8] Alauddin
Kharufa, Syarh Qanun al-Akhwal asy-Syahsiyyah, (Baghdad: Matba’ah
al-Ma’arif, 1383/ 1963), Juz II, hlm. 30
[9] Yahya Harahap, Kedudukan
Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hlm.
244
[10] Ibid
[11] Kementerian Agama RI, Al-Qur’an d Tafsir Per Kata, PT. Suara Agung, Jakarta, 2014, hlm.
85
[12] Ibid, hlm 988
[13] Ali
Ash-Shabuni, Al-Qur’an d Tafsir Per Kata,
PT. Suara Agung, Jakarta, 2014, hlm. 620
[14] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya,PT Syaamil Cipta Media, Bandung, 2005,
hlm. 644
[16] UU Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan
[17] Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan
Peradilan Agama, Yayasan Al Hikmah, Jakarta, 2000, hlm. 239
[18] Ibid
Author: Mohammad
Mohammad is the founder of STC Network which offers Web Services and Online Business Solutions to clients around the globe. Read More →
Related Posts:
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar: