Kamis, 31 Maret 2016
PERNIKAHAN
1.
Pengertian
Pernikahan
Kata
nikah berasal dari bahas Arab nikaahun yang merupakan masdar atau kata
asal dari kata nakaha. sinonimnya tazawwaja kemudian
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagaimana yang disebut perkawinan.
Sedangkan secara bahasa kata nikah berarti adh-dhammu wattadakhul
(bertindih dan memasukkan) oleh karena itu menurut kebiasaan Arab, pergesekan
rumpun pohon seperti pohon bambu akibat tiupan angin diistilahkan dengan tanakahatil
asyjar (rumpun pohon itu sedang kawin), karena tiupan angin itu terjadi
pergesekan dan masuknya rumpun yang satu keruang yang lain.[1]
Perkawinan menurut istilah sama dengan kata ”nikah” dan kata ”zawaj”.[2]
Ulama
golongan syafi’iyah memberikan definisi nikah melihat kepada hakikat dari akad
itu bila dihubungkan dengan kehidupan suami istri yang berlaku sesudahnya,
yaitu boleh bergaul sedang sebelum akad berlangsung diantara keduanya tidak
boleh bergaul. Sebagaimana dikalangan ulama Syafi’i merumuskan pengertian nikah
adalah akad/perjanjian yang mengandung maksud membolehkan hubungan kelamin
dengan menggunakan lafadz na-ka-ha atau za-wa-ja atau yang
semakna dengan keduanya.[3]
Sejalan
dengan pendapat di atas, ulama Hanafiyah juga memberikan definisi sebagai akad yang
ditentukan untuk memberi hak kepada seorang lakilaki menikmati kesenangang
dengan seorang perempuan secara sengaja.[4]
Definisi-definisi
yang diberikan beberapa pendapat imam mazhab, para mujtahid sepakat bahwa nikah
adalah suatu ikatan yang dianjurkan syariat. Orang yang sudah berkeinginan
untuk menikah dan khawatir terjerumus ke dalam perbuatan zina, sangat
dianjurkan untuk melaksanakan nikah. Yang demikian itu adalah lebih utama dari
pada haji, sholat, jihat, dan puasa sunnah.[5] Selain itu nikah dalam arti hukum ialah akad
(perjanjian) yang menjadikan halal hubungan seksual sebagai suami istri antara
seorang pria dan seorang wanita.[6]
Pengertian
perkawinan menurut Undang-undang Perkawinan adalah : Ikatan lahir batin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.[7]
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia disebutkan bahwa : Perkawinan
menurut hukum Islam adalah “akad yang sangat kuat atau miitsaqon gholiidhon
untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.[8]
Ungkapan
“akad yang sangat kuat atau miitsaqon gholiidhon merupakan penjelasan
dari Ungkapan ikatan lahir batin yang terdapat dalam rumusan UU No 1/1974
tentang Perkawinan yang mengandung arti bahwa akad perkawinan bukanlah semata
perjanjian yang bersifat keperdataan. Sedangkan ungkapan “untuk mentaati
perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah” merupakan penjelasan dari
ungkapan “Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam rumusan UU No 1/1974
tentang Perkawinan. Hal ini menjelaskan bahwa perkawinan bagi umat Islam adalah
merupakan peristiwa agama dan oleh karena itu orang yang melaksanakannya telah melakukan
perbuatan ibadah. Oleh karena perkawinan merupakan perbuatan ibadah maka
perempuan yang telah menjadi istri merupakan amanah Allah yang harus di jaga
dan diperlakukan dengan baik, karena ia di ambil melalui prosesi keagamaan
dalam akad nikah. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi dari Ibnu Abbas yang di
nukil oleh Prof. Dr. Amir Syarifuddin berikut :
اِنَّمَا
اَخْذَتُمُوْهُنَّ بِأَ مَانَةِالله وَاستحللتم فروجهن بِكَلِمَاتِ الله
Artinya :
“Sesungguhnya kamu mengambilnya sebagai amanah Allah dan kamu menggaulinya
dengan kalimat dan cara-cara yang telah ditetapkan Allah”.[9]
2.
Dasar
hukum pernikahan
Perkawinan di samping sebagai
perbuatan ibadah, ia juga merupakan sunnah Allah dan sunnah Rasul-Nya. Sebagai
sunnah Allah, perkawinan merupakan qudrat dan irodat Allah dalam penciptaan
alam semesta. Hal ini dapat kita lihat dari rangkaian ayat-ayat berikut:
$pkr'¯»t â¨$¨Z9$# (#qà)®?$# ãNä3/u Ï%©!$# /ä3s)n=s{ `ÏiB <§øÿ¯R ;oyÏnºur t,n=yzur $pk÷]ÏB $ygy_÷ry £]t/ur $uKåk÷]ÏB Zw%y`Í #ZÏWx. [ä!$|¡ÎSur 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# Ï%©!$# tbqä9uä!$|¡s? ¾ÏmÎ/ tP%tnöF{$#ur 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. öNä3øn=tæ $Y6Ï%u ÇÊÈ
Artinya : Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang
telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan
isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan
perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan)
nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan
silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (Q.S.
An-Nisaa’ : 1). 11
÷bÎ)ur ÷LäêøÿÅz wr& (#qäÜÅ¡ø)è? Îû 4uK»tGuø9$#
(#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ
Nä3s9
z`ÏiB
Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur
yì»t/âur
(
÷bÎ*sù óOçFøÿÅz wr& (#qä9Ï÷ès? ¸oyÏnºuqsù ÷rr& $tB ôMs3n=tB öNä3ãY»yJ÷r&
4
y7Ï9ºs #oT÷r& wr& (#qä9qãès? ÇÌÈ
Artinya : Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil
terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat.
kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah)
seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya.[10] ( Q.S. An-Nisaa’ : 3).
(#qßsÅ3Rr&ur 4yJ»tF{$# óOä3ZÏB tûüÅsÎ=»¢Á9$#ur ô`ÏB ö/ä.Ï$t6Ïã öNà6ͬ!$tBÎ)ur 4
bÎ) (#qçRqä3t uä!#ts)èù ãNÎgÏYøóã ª!$# `ÏB ¾Ï&Î#ôÒsù 3
ª!$#ur ììźur ÒOÎ=tæ ÇÌËÈ
Artinya : Dan kawinkanlah
orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin)
dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan.
jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah
Maha Luas (pemberianNya) lagi Maha mengetahui.[11] (Q.S. An-Nuur : 32).
ô`ÏBur ÿ¾ÏmÏG»t#uä ÷br& t,n=y{ /ä3s9 ô`ÏiB öNä3Å¡àÿRr& %[`ºurør& (#þqãZä3ó¡tFÏj9 $ygøs9Î) @yèy_ur Nà6uZ÷t/ Zo¨uq¨B ºpyJômuur 4 ¨bÎ) Îû y7Ï9ºs ;M»tUy 5Qöqs)Ïj9 tbrã©3xÿtGt ÇËÊÈ
Artinya : Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung
dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya diantaramu rasa kasih dan
sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi kaum yang berfikir.[12]
(Q.S. Ar-Ruum : 21).
Sedangkan perkawinan sebagai sunnah rosul
dapat dilihat dari beberapa hadits berikut :
عَنِ ابْنِ
مَسْعُوْدٍ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ
اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ اْلبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَاِنَّهُ اَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَ
اَحْصَنُ لِلْفَرْجِ. وَ مَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَاِنَّهُ
لَهُ وِجَاءٌ. مسلم
Artinya : Wahai para pemuda, siapa saja diantara kalian yang telah
memiliki kemampuan untuk menikah, hendaklah dia menikah; karena menikah lebih
menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Adapun bagi siapa saja yang
belum mampu menikah, hendaklah ia berpuasa; karena berpuasa itu merupakan
peredam (syahwat)nya.[13](H.R.
Muslim).
Ayat-ayat al-Qur’an dan
hadits-hadist Nabi di atas inilah yang dijadikan sebagai dasar di dalam
melaksanakan perkawinan. Dari dasar-dasar di atas, golongan ulama jumhur
(mayoritas ulama) berpendapat bahwa kawin itu hukumnya sunnat. Para ulama
Malikiyah Muta’akhirin berpendapat bahwa kawin itu wajib untuk sebagian orang,
sunnat untuk sebagian lainnya dan mubah untuk segolongan yang lainnya.[14]
Hal ini ditinjau berdasarkan atas kekhawatiran (kesusahan) dirinya. Sedangkan
ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa hukum asal melakukan perkawinan adalah mubah,
disamping ada yang sunnat, wajib, haram dan makruh.[15]
Berkaitan dengan hal di atas, maka
di sini perlu dijelaskan beberapa hukum dilakukannya perkawinan, yaitu :
a.
Wajib
Perkawinan
berhukum wajib bagi orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk
kawin dan dikhawatirkan akan tergelincir pada perbuatan zina seandainya tidak
kawin. Hal ini didasarkan pada pemikiran hukum bahwa setiap muslim wajib
menjaga diri untuk tidak berbuat yang terlarang, sedang menjaga diri itu wajib,
maka hukum melakukan perkawinan juga wajib.[16]
b.
Sunnah
Perkawinan
itu hukumnya sunnah menurut pendapat jumhur ulama’.[17]
Yaitu bagi orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk melangsungkan perkawinan
tetapi kalau tidak kawin tidak dikhawatirkan akan berbuat zina.
c.
Haram
Bagi
orang yang tidak mempunyai keinginan dan tidak mempunyai kemampuan serta
tanggung jawab untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban dalam rumah tangga,
sehingga apabila dalam melangsungkan perkawinan akan terlantarlah diri dan
istrinya. Termasuk juga jika seseorang kawin dengan maksud untuk menelantarkan
orang lain, masalah wanita yang dikawini tidak di urus hanya agar wanita
tersebut tidak dapat kawin dengan orang lain.
d.
Makruh
Bagi
orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukan perkawinan juga cukup mempunyai
kemampuan untuk menahan diri sehingga tidak memungkinkan dirinya tergelincir
berbuat zina sekiranya tidak kawin. Hanya saja orang ini tidak mempunyai
keinginan yang kuat untuk dapat memenuhi kewajiban sebagai suami istri yang
baik.
e.
Mubah
Bagi
orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukannya, tetapi apabila tidak
melakukannya tidak khawatir akan berbuat zina dan apabila melakukannya juga
tidak akan menelantarkan istri. Perkawinan orang tersebut hanya didasarkan untuk
memenuhi kesenangan bukan dengan tujuan menjaga kehormatan agamanya dan membina
keluarga yang sejahtera.
3.
Rukun
dan syarat pernikahan
a.
Rukun nikah :
1)
Calon mempelai laki-laki dan perempuan.
2)
Wali dari calon mempelai perempuan.
3)
Dua orang saksi (laki-laki).
4)
Ijab dari wali calon mempelai perempuan atau wakilnya.
5)
Kabul dari calon mempelai laki-laki atau wakilnya.
Syarat perkawianan dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 pasal 6
ayat (1) menyebutkan perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
Sedangkan di dalam hukum Islam syarat perkawinan dijelaskan secara detail,
yaitu:
b.
Syarat nikah :
1)
Syarat calon mempelai laki-laki :
a)
Beragama Islam.
b)
Terang laki-lakinya (bukan banci)
c)
Tidak dipaksa.
d) Tidak beristri empat orang.
e) Bukan mahram bakal istri.
f) Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon istri.
g) Mengetahui calon istri tidak haram untuk dinikahinya.
h) Tidak sedang dalam ihram haji atau umrah.[18]
2)
Syarat calon mempelai wanita :
a)
Beragama Islam.
b)
Terang wanitanya (bukan banci).
c)
Telah memberi izin kepada wali untuk menikahkannya.
d)
Tidak bersuami dan tidak dalam iddah.
e)
Bukan mahram bakal suami.
f)
Belum pernah dili’an (sumpah li’an) oleh bakal suami.
g)
Tidak sedang dalam ihram haji atau umrah.
3)
Syarat wali
a)
Beragama Islam.
b)
Laki-laki
c)
Baligh.
d)
Berakal.
e)
Tidak dipaksa.
f)
Adil (bukan fasik).
g)
Tidak sedang dalam ihram haji atau umrah.
4)
Syarat saksi
a)
Beragama Islam.
b)
Laki-laki
c)
Baligh.
d)
Berakal.
e)
Tidak dipaksa.
f)
Adil (bukan fasik).
g)
Dapat mendengar dan melihat.
h)
Mengerti maksud ijab dan kabul.
i)
Tidak sedang dalam ihram haji atau umrah.
5)
Ijab dan kabul
Ijab dan kabul harus berbentuk dari asal kata inkah atau tazwij
atau terjemahan dari kedua asal kata tersebut, yang dalam bahasa Indonesia
berarti menikahkan.[19]
UU No. 1 Tahun 1974 telah mengatur tentang syarat-syarat
perkawinan, yaitu dalam Pasal 6 sampai Pasal 11. Menurut UU No. 1 Tahun 1974
perkawinan harus berdasarkan adanya persetujuan kedua calon suami dan isteri.
Calon suami dan isteri yang belum berusia 21 tahun harus mendapat izin dari
orang tuanya. Jika calon suami belum mencapai usia 19 tahun dan calon isteri
belum berusia 16 tahun dapat meminta dispensasi nikah ke Pengadilan.[20]
Calon suami dan isteri tidak boleh mempunyai hubungan darah, hubungan
semenda dan sesusuan. Selain itu tidak boleh menikahi wanita yang mempunyai
hubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri,
dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang. Calon suami dan isteri
tidak boleh mempunyai hubungan yang dilarang oleh agamanya dan peraturan lain
yang berlaku.[21]
Dalam KHI Bab IV diatur tentang rukun dan syarat perkawinan, yaitu
dalam Pasal 14 sampai Pasal 29. Menurut KHI Pasal 14, untuk melaksanakan
perkawinan harus ada calon suami dan calon isteri, wali nikah, dua orang saksi
serta ijab dan kabul.[22]
Calon suami harus berusia 19 tahun dan calon isteri harus berusia
16 tahun. Bagi yang belum berusia 21 tahun harus mendapat izin dari walinya
sebagaimana diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974. Adanya persetujuan dari calon suami
dan calon isteri dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan, lisan
atau isyarat tapi dapat juga berupa diam dalam arti selama tidak ada penolakan
yang tegas serta tidak terdapat halangan perkawinan sebagaimana diatur dalam
Bab VI KHI.[23]
Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi
bagi calon mempelai wanita yang betindak untuk menikahkannya. Yang bertindak
sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam
yakni muslim, aqil dan baligh yang terdiri dari wali nasab dan wali hakim.
Adanya dua saksi dengan syarat ialah laki-laki muslim, adil, akil baligh, tidak
terganggu ingatan dan tidak tuna rungu atau tuli serta harus menyaksikan secara
langsung aqad nikah dan kemudian mendatangani Akta Nikah pada waktu dan di tempat
akad nikah berlangsung.[24]
Ijab dan kabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas
beruntun dan tidak berselang waktu. Wali nikah dapat mewakilkan kepada orang
lain dan yang berhak mengucapkan kabul ialah calon mempelai pria secara
pribadi, dalam hal-hal tertentu ucapan kabul nikah dapat diwakilkan kepada pria
lain dengan ketentuan calon mempelai pria memberi kuasa yang tegas secara
tertulis bahwa penerimaan wakil atas akad nikah itu adalah untuk mempelai pria
serta adanya persetujuan dari calon mempelai wanita atau wali.[25]
4.
Tujuan
pernikahan
Islam
menganjurkan kawin karena mempunyai tujuan yang besar bagi pelakunya.
a.
Sesungguhnya
naluri seks merupakan naluri yang kuat dan keras yang selamanya menuntut adanya
jalan keluar. Bila mana jalan keluar tidak dapat memuaskan, maka banyak manusia
yang mengalami goncangan dan kacau serta menerobos jalan yang jahat. Dan kawin
merupakan jalan alami dan biologis yang paling baik dan sesuai untuk
menyalurkan dan memuaskan naluri seks ini. Dengan kawin badan jadi segar, jiwa
jadi tenang, mata terpelihara dari melihat yang haram.
b.
Kawin
jalan terbaik untuk membuat anak-anak menjadi mulia, memperbanyak keturunan,
melestarikan hidup manusia serta memelihara nasab yang oleh Islam sangat
diperhatikan.
c.
Selanjutnya
naluri kebapakan dan keibuan akan muncul saling melengkapi dalam suasana hidup
dengan anak-anak dan akan tumbuh pula perasaan ramah, cinta dan sayang yang
merupakan sifat-sifat baik manusia.
d.
Menyadari
tanggung jawabnya sebagai isteri dan suami akan menimbulkan sikap yang
sungguh-sungguh dalam memperkuat bakat. Ia akan cekatan bekerja, karena
dorongan tanggung jawab dan memikul tanggung jawabnya.
e.
Pembagian
tugas, dimana yang satu mengurusi dan mengatur rumah tangga sedangkan yang
lainnya bekerja mencari nafkah.
f.
Dengan
perkawinan diantaranya dapat membuahkan tali kekeluargaan, memperteguh
kelanggengan rasa cinta antara keluarga dan memperkuat tali kemasyarakatan.[26]
[1] Rahmad Hakim, Hukum
Perkawinan Islam (Bandung : Pustaka Setia, 2000), h. 11.
[2]Abd Shomat, Hukum
Islam Penoraman Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, (Jakarta Prenada
Media Goup, 2010), h. 272.
[3]Amir
Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-undang Perkawinan), (Jakarta: Kencana, 2009), h. 37.
[4] Ibid., h.
38
[5]Syaikh
al-Allamah Muhammad bin Abdurrahman ad-Dimasyqi, (Bandung; al-Haromain), h. 318
[6] Mohd Idris
Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam Suatu Analisis dari Undang-Undang No 1 tahun
1994 dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta; Bumi Aksara), h. 1.
[8] Departemen
Agama RI, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta; Direktorat
Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1997), h. 14.
[9] Amir
Syarifuddin,Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-undang Perkawinan), (Jakarta: Kencana, 2009), h. 41.
[10] Kementerian
Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemah, Tafsir
Perkata, (Bandung: PT. Sygma Examedia Arkenleema, 2010) h. 77
[12] Ibid., h.
406
[13]Ibn Hajr
Al-Asqolani, Bulughul Maraam, Terjemah Al-Hassan (Bangil: Pustaka
Tamaam, 2001), h. 438
[14] Abd. Rahman
Ghozaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta; Prenada Media, 2003), h. 16
[15] Ibid., h.
18
[16] Rachmat
Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h. 139
[17] Al-Mawardi, Hukum
Perkawinan dalam Islam, (Yogyakarta: BPFE, 1998), h. 1.
[18] Dirjen
Bimas Islam, Pedoman Akad Nikah, (Jakarta : DEPAG, 2006), h. 23.
[19] Ibid,
h.24.
[20] Pasal 6 dan 7
UU No. 1 Tahun 1974. Zainal Abidin Abubakar, Kumpulan Peraturan
Perundang-undang Dalam Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Al-Hikmah,
1993) Cet. 3, h. 125.
[21] Pasal 8 UU No.
1 Tahun 1974. Ibid., h. 126.
[22] Departemen
Agama RIDirektoratPembinaanBadanPeradilan Agama Islam, Op.Cit., h. 18.
[23] Ibid.,
h. 18.
[24] Pasal 19-26
KHI. Ibid., h. 20-22.
[25] Pasal
27, 28 dan 29 KHI. Ibid., h. 23-24.
[26] Sayyid Sabiq, Fiqh
Sunnah, Juz VI, (Bandung : PT. Al Ma’arif, 2000), h. 21
Author: Mohammad
Mohammad is the founder of STC Network which offers Web Services and Online Business Solutions to clients around the globe. Read More →
Related Posts:
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar: