Selasa, 15 Agustus 2017
WAKAF UANG DI INDONESIA
Menurut Imam Nawawi, wakaf adalah penahanan harta yang bisa dimanfaatkan dengan tetap menjaga keutuhan barangnya, terlepas dari campur tangan wakif atau lainnya, dan hasilnya disalurkan untuk kebaikan semata-mata untuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah SWT. Sedangkan Undang Nomor 41 tentang wakaf Pasal (1) mendefinisikan wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu terntentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah. Definisi menurut undang-undang ini telah mengakomodir berbagai macam harta benda wakaf, termasuk adalah wakaf uang. Demikian juga diakomudir tentang wakaf dalam jangka waktu terntu, meskipun wakaf seperti ini tidak banyak dibahas oleh para ulama fiqh salaf. Secara sepesifik, undang-undang tentang wakaf memuat bagian yang mengatur wakaf uang. Di berbagai negara, harta yang dapat diwakafkan tidak terbatas pada benda tidak bergerak, tetapi juga benda bergerak, termasuk uang. Penggunaan wakaf uang telah lama dikenal dalam pemerintahan Islam. M.A. Mannan dalam bukunya menyebutkan bahwa penggunaan wakaf uang telah ada semenjak zaman Pemerintahan Utsmaniyah. Penggunaan wakaf uang juga dikenal pada masa kekhalifahan Ottoman. Di Indonesia pada tanggal 11 Mei 2002 Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia telah menetapkan fatwa tentang wakaf uang, yang isinya adalah sebagai berikut. 1. Wakaf uang (Cash Wakaf/Waqf al-Nuqud) adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai. 2. Termasuk ke dalam pengertian uang adalah surat-surat berharga. 3. Wakaf uang hukumnya jawaz (boleh). 4. Wakaf uang hanya boleh disalurkan dan digunakan untuk hal-hal yang dibolehkan secara syar’i. 5. Nilai pokok wakaf uang harus dijamin kelestariannya, tidak boleh dijual, dihibahkan, dan atau diwariskan. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf yang disahkan Presiden Susilo Bambang Yudoyono pada tanggal 27 Oktober 2004, sudah diatur berbagai hal yang penting dalam pengembangan wakaf. Pasal 16 ayat (1) disebutkan bahwa harta benda wakaf terdiri atas benda tidak bergerak dan benda bergerak. Pada ayat (3) Pasal yang sama disebutkan bahwa benda bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah harta benda yang tidak bisa habis karena dikonsumsi, meliputi: uang; logam mulia; surat berharga; kendaraan; hak atas kekayaan intelektual; hak sewa; dan benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syari’ah dan peraturan perUndang-Undangan yang berlaku. Dalam Undang-Undang Tentang Wakaf, wakaf uang juga diatur dalam bagian tersendiri. Dalam Pasal 28 UU tersebut disebutkan bahwa wakif dapat mewakafkan benda bergerak berupa uang melalui lembaga keuangan syariah penerima wakaf uang (LKS-PWU) yang ditunjuk oleh Kementerian Agama. Kemudian dalam Pasal 29 ayat (1) disebutkan pula bahwa wakaf benda bergerak berupa uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, dilaksanakan oleh wakif dengan pernyataan kehendak yang dilakukan secara tertulis. Dalam ayat (2) Pasal yang sama dinyatakan bahwa wakaf benda bergerak berupa uang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diterbitkan dalam bentuk sertifikat wakaf uang. Sedangkan dalam ayat (3) Pasal yang sama diatur bahwa sertifikat wakaf uang sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diterbitkan dan disampaikan oleh lembaga keuangan syari’ah kepada wakif dan nadzir sebagai bukti penyerahan harta benda wakaf. Perbedaan spesifik tentang wakaf yang diatur pada Pasal 28 sampai Pasal 31 ialah wakaf uang harus disetor melalui Lembaga Keluangan Syariah (LKS) yang telah ditetapkan oleh Menteri Agama RI. Dalam keputusan Menteri Agama RI telah menetapkan lima LKS penerima wakaf uang, yaitu BNI Syaria’ah, Bank Mu’amalat, Bank Syariah Mandiri, Bank Mega Syariah, Bank DKI Syariah, Bank Bukopin Syariah, Bank Tabungan Negara (BTN) Syariah, dan Bank Jogya Syaria. Wakaf uang harus dibuktikan dengan sertfikat. Menurut Peraturan Badan Wakaf Indonesia (nomor 01 tahun 2009), sertifikat dapat diberikan kepada wakafi yang telah mewakafkan uangnya paling sedikit Rp1.000.000 (satu juta ripiah) dengan menyertakan asal usul uang dan identitas lengkap wakifnya. Dalam Undang-undang Tentang Wakaf disebutkan perlunya dibentuk Badan Wakaf Indonesia. Dalam Pasal 47 ayat (1) Undang-undang Tentang Wakaf disebutkan bahwa dalam rangka memajukan dan mengembangkan perwakafan nasional, dibentuk Badan Wakaf Indonesia. Badan Wakaf Indonesia tersebut berkedudukan di ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia dan dapat membentuk perwakilan di provinsi dan/atau kabupaten/kota sesuai dengan kebutuhan (Pasal 48). Dalam Pasal 51 ayat (1) disebutkan bahwa Badan Wakaf Indonesia terdiri atas Badan Pelaksana dan Dewan Pertimbangan. Keanggotaan Badan Wakaf Indonesia diangkat untuk masa jabatan selama 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan. Dalam Pasal 47 ayat (2) Undang-undang No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf disebutkan bahwa Badan Wakaf Indonesia merupakan lembaga independen dalam melaksanakan tugasnya. Adapun tugas dan wewenang Badan Wakaf Indonesia disebutkan dalam Pasal 49 ayat (1). Dalam Pasal tersebut dinyatakan bahwa Badan Wakaf Indonesia mempunyai tugas dan wewenang: a. melakukan pembinaan terhadap nazhir dalam mengelola dan mengembangkan harta wakaf; b. melakukan pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf berskala nasional dan internasional; c. memberikan persetujuan dan/atau izin atas perubahan peruntukan dan status harta benda wakaf; d. memberhentikan dan mengganti nazhir; e. memberikan persetujuan atas penukaran harta benda wakaf; f. memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah dalam penyusunan kebijakan di bidang perwakafan. Adapun ayat (2) Pasal yang sama menyebutkan bahwa dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Badan Wakaf Indonesia dapat bekerjasama dengan instansi Pemerintah, baik Pusat maupun daerah, organisasi masyarakat, para ahli, badan internasional, dan pihak lain yang dianggap perlu. Dalam Pasal 50 disebutkan bahwa dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, Badan Wakaf Indonesia memperhatikan saran dan pertimbangan Menteri dan Majelis Ulama Indonesia. Potensi Wakaf Uang di Indonesia Wakaf merupakan instrumen ekonomi Islam yang sudah ada semenjak awal kedatangan Islam. Sepanjang sejarah Islam, wakaf telah menunjukan peran penting dalam mengembangkan kegiatan-kegiatan sosial, ekonomi dan kebudayaan. Selain itu, keberadaan wakaf telah banyak memfasilitasi para sarjana muslim untuk melakukan riset dan pendidikan, sehingga dapat mengurangi ketergantungan pendanaan kepada pemerintah. Wakaf terbukti telah menjadi instrumen jaminan sosial dalam rangka membantu kaum yang lemah untuk memenuhi hajat hidup, baik berupa kesehatan, biaya hari tua, kesejahteraan hidup, dan pendidikan. Wakaf uang lebih fleksibel dan manjadi pendorong terhadap wakaf benda tidak bergerak agar lebih produktif. Indonesia memiliki aset wakaf tanah yang luas yang dapat dikembangkan melalui wakaf uang. Jumlah aset wakaf tanah di Indonesia sebanyak 366.595 lokasi dengan luas 2.686.536.565,68 M2. Wakaf uang memudahkan mobilisasi dana dari masyarakat melalui sertifikat tersebut karena beberapa hal. Pertama, lingkup sasaran pemberi wakaf (waqif) bisa menjadi luas dibanding dengan wakaf biasa. Kedua, dengan sertifikat tersebut, dapat dibuat berbagai macam pecahan yang disesuaikan dengan segmen muslim yang dituju yang dimungkinkan memiliki kesadaran beramal tinggi. Ketiga, wakif tidak perlu menunggu kaya raya atau tuan tanah untuk berwakaf karena uang lebih mudah dibuat pecahannya dan dapat berupa wakaf kolektif Dengan berbagai kemudahan yang ditawarkan dalam wakaf uang, maka umat akan lebih mudah memberikan kontribusi mereka dalam wakaf tanpa harus menunggu kapital dalam jumlah yang sangat besar. Mereka tidak harus menunggu menjadi ‘tuan tanah’ untuk menjadi waqif. Selain itu, tingkat kedermawanan masyarakat Indonesia cukup tinggi, sehingga kita dapat optimis mengharapkan partisipasi masyarakat dalam gerakan wakaf uang. Disebutkan hasil penelitian yang dipublikan PIRAC tahu 2002, 96 persen kedermawanan diperuntukkan untuk perorangan, 84 persen untuk lembaga keagamaan dan 77 persen untuk lembaga non keagamaan. Jumlah umat Islam yang terbesar di seluruh dunia merupakan aset besar untuk penghimpunan dan pengembangan wakaf uang. Jumlah penduduk Indonesia 237 juta jiwa, yang mayoritas beragama Islam (BPS, 2010). Jika wakaf uang dapat diimplementasikan maka ada dana potensial yang sangat besar yang bisa dimanfaatkan untuk pemberdayaan dan kesejahteraan umat. Bisa dibayangkan, jika 20 juta umat Islam Indonesia mau mengumpulkan wakaf uang senilai Rp 100 ribu setiap bulan, maka dana yang terkumpul berjumlah Rp 24 triliun setiap tahun. Jika 50 juta orang yang berwakaf, maka setiap tahun akan terkumpul dana wakaf sebesar Rp 60 triliun. Jika saja terdapat 1 juta saja masyarakat muslim yang mewakafkan dananya sebesar Rp 100.000, per bulan maka akan diperoleh pengumpulan dana wakaf sebesar Rp 100 miliar setiap bulan (Rp 1,2 triliun per tahun). Jika diinvestasikan dengan tingkat return 10 persen per tahun maka akan diperoleh penambahan dana wakaf sebesar Rp 10 miliar setiap bulan (Rp 120 miliar per tahun). Sungguh suatu potensi yang luar biasa. Menurut asumsi Mustafa Edwin Nasution (2006: 43-44) tentang potensi wakaf di Indonesia dengan jumlah umat muslim dermawan diperkirakan sebesar 10 juta jiwa dengan rata-rata penghasilan perbulan Rp500.000 hingga Rp10.000.000, maka paling tidak akan terkumpul dana sekitar Rp. 3 Triliun pertahun dari dana wakaf Pengelolaan Wakaf Uang di Indonesia Pengumpulan wakaf uang di Indonesia telah dimulai sejak pencanangan wakaf uang yang telah dideklarasikan langsung oleh Presiden Republik Indonesia di Istana Negara pada tanggal 8 Januari 2010. Badan wakaf Indonesia berupaya terus mengkampanyekan penghimpunan wakaf uang yang bersekala nasional dan internasional. Sementara wakaf uang ditingkat lokal dan nasional diserahkan kepada lembaga wakaf yang dikelola oleh masyarakat yang sudah lama bergerak dan aktif mengelola wakaf. Kemudian, Dana wakaf yang terkumpul ini digulirkan dan diinvestasikan oleh nazhir ke dalam berbagai sektor usaha yang halal dan produktif. Misalnya pengembangan wakaf uang dalam produk lembaga keuangan syariah atau membangun sebuah kawasan perdagangan yang sarana dan prasarananya dibangun di atas lahan wakaf dan dari dana wakaf. Proyek ini ditujukan bagi kaum miskin yang memiliki bakat bisnis untuk terlibat dalam perdagangan pada kawasan yang strategis dengan biaya sewa tempat yang relatif murah. Sehingga akan mendorong penguatan pengusaha muslim dan sekaligus menggerakkan sektor riil secara lebih massif. Kemudian, keuntungannya dapat dimanfaatkan untuk pemberdayaan umat dan bangsa secara keseluruhan. Pengembangan wakaf uang dapat pula dilakukan dengan cara memproduktifkan wakaf tanah yang kekurangan modal untuk pengelolaan dan pengembangannya. Wakaf uang dengan mudah mengembangkan wakaf tanah yang kurang maksimal dalam pengelolaannya, baik di desa atau di kota sesuai dengan potensi ekonominya. Tanah wakaf yang berada di kawasan industri dapat dibangun lahan pertokoan dan perdagangan, di kawasan pemukiman dapat dibangun rumah susun sewa sederhana (rusunawa) yang hasilnya dapat mensubsidi kredit perumahan masyarakat miskin, di daerah wisata yang strategis, dapat dikembangkan dengan cara membangun pusat pelatihan, hotel, rumah sakit dan pusat perdagangan. Pengelolaan dan pengembangan wakaf uang, sebagaimana di atas, dapat pula mengambil bentuk seperti “wakaf tunai”, yang telah diujicobakan di Bangladesh. Wakaf tunai (cash waqf) istilah yang dipopulerkan oleh Profesor M.A. Mannan, dengan Social Investment Bank. Ltd (SIBL)-nya merupakan bagian yang menjadikan wakaf uang sebagai sumber dana tunai. Konsep Temporary Waqf , pemanfaatan dana wakaf dibatasi pada jangka waktu tertentu dan nilai pokok wakaf dikembalikan pada waqif. Wacana lain yang menarik adalah memanfaatkan wakaf uang untuk membiayai sektor investasi berisiko, yang risikonya ini diasuransikan pada Lembaga Asuransi Syariah. Menurut Peraturan Badan Wakaf Indonesia Nomor 4 Tahun 2010 tentang Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf. Pertama, Wakaf Uang dapat diinvestasi dalam produk Lembaga Keuangan Syariah, khusus wakaf uang dalam jangka waktu tertentu harus diinvestasikan ke Produk Bank syariah. Investasi wakaf uang atas asas bagi untung (mudharabah) atau berdasarkan penyewaan pengelola. Wakaf uang diinvestasikan dalam bentuk mudharabah/wadi’ah (deposito) di Bank Islam tertentu atau unit investasi lainnya. Pada saat yang demikian, nazhir wakaf dengan tugas menginvestasikan wakaf uang dan mencari keuntungan dari wakafnya untuk dibagikan hasilnya kepada orang yang berhak mendapatkannya (mauquf ‘alaih). Sebagai nazhir, juga bisa memindahkan investasi uang wakaf dari satu bank Islam ke bank Islam. Akan tetapi, nazhir tidak bisa mengambil keputusan investasi uang wakaf dengan sendirinya, karena kewenangan dalam menginvestasikan uang wakaf terbatas kepada prosedur dan memilih model investasinya. Kedua, bentuk wakaf investasi banyak dilakukan orang saat ini dalam membangun proyek wakaf produktif, akan tetapi sebagian tidak ingin menyebutnya sebagai wakaf uang, karena harta telah beralih menjadi barang yang bisa diproduksi dan hasilnya diberikan untuk amal kebaikan umum. Bentuk yang sederhana dari sistem wakaf ini adalah dengan membentuk cara bekerja sama dengan pihak ketiga atau dengan cara mengembangkan tanah wakaf. Badan wakaf bisa membolehkan dirinya menerima wakaf uang untuk mendanai proyek wakaf tertentu, seperti pabrik pembangunan perangkat komputer, kemudian memberikan hasilnya untuk tujuan wakaf tertentu seperti untuk yayasan anak yatim piatu dan sebagainya. Dengan banyaknya hasil wakaf yang diperoleh, tujuan wakaf bisa banyak dan terdiri dari beberapa macam bentuk amal kebaikan. (Mundzir Qahaf, 2005: 199). Pengelolaan dan pengembangan wakaf uang dalam bentuk investasi selain pada bank syariah harus diasuransikan pada asuransi syariah. Demikian juga Sebaran investasi harta dalam bentuk wakaf uang (portofolio wakaf uang) dapat dilakukan dengan ketentuan 60 % (enam puluh perseratus) investasi dalam instrumen LKS dan 40 % (empat puluh perseratus) di luar LKS. Dari hasil pengelolaan bersih harta benda wakaf, nazhir dapat menerima keuntungan tidak melebihi 10% dan penyaluran hasil dan manfaat wakaf kepada peruntukannya (mauquf ’alaih) tidak kurang dari 90%. Ketentuan Undang-undang wakaf ini untuk memaksimalkan fungsi perwakafan. *** Wakaf uang dalam khazanah Islam telah berlangsung sejak lama, tetapi dibeberapa negara Islam baru disadari akhir-akhir ini. Di Indonesia baru resmi menjadi ketetapan hukum sejak tahun 2002 ketika Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa tentang bolehnya wakaf uang. Kemudian Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 disahkan yang secara khusus menetapkan mengenai tata cara wakaf uang dan cara pengelolaannya. Wakaf uang sudah menjadi ketetapan hukum nasional dan menjadi isu penting dalam perwakafan Indonesia guna memaksimalkan fungsi perwakafan dan menggerakkan ekonomi umat Kini Wakaf uang telah menjadi gerakan nasional sejak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mencanangkan gerakan wakaf uang di Istana Negara pada tanggal 8 Januari 2010. Wakaf telah menfasilitasi keinginan orang untuk berwakaf tanpa menunggu menjadi orang kaya atau mempunyai tanah yang luas. Wakaf uang kemudian dikelola dalam produk keuangan syariah dan sebagian sudah diinvestasikan langsung kepada sektor riil produktif. Daftar Pustaka Ahmad Fayumi (1926), Al-Mishbah al-Munir fi Gharibi Syarh al Kabir li al-Rafi’i, Cairo: Al-Amirah, cet. VI, juz I Ali bin Yusuf al Hakim (1986), Al Dohat al Musytabakah fi Dhawabith Dar al-Sakkah, Anesttas al-Kramly (1987), Al-Nuqud al-‘Arabiyah aw al-Islamiyah wa al-Namiyat, Al-Markaz al-Islami li al-Thiba’ah wa al-Nasyr. Ahmad Hasan (2005), Al-Auraq al-naqdiyah fi al-Iqtishad al-Islami, Terjemah: Saifurrahman Barito dan Zulfakar Ali, Yogyakarta: PT. Raja Grafindo Persada, cet. I. Abdul Aziz al-Maqthari (1985), Al-Nuqud wa al-Siyasat al-Naqdiyah fi al-Iqtishad al-Yaman al-Hadits, Bairut: Dar al-Hadatsah. Al-Fairuzabady (1986), Al-Qamus al-Muhith, Bairut: Al-Muassasah al-risalah, cet. I Materi: naqada Al-Sarkhasy (t.t), Al-Mabsuth, Bairut: Dar al-Marifah, juz II, h. 14 kitab: al sharf. Boumoul and Gandlre(1964), Ilmu al-Iqtishad, al ’Amaliyat wa al Siyasat al-Iqtishadiyah, Baghdad: As’ad Cholil Nafis (2006), sambutan, dalam buku, Wakaf Tunai Inovasi Finansial Islam, editor, Mutafa Edwin Nasution, Ph.D dan Dr. Uswatun Hazaña, Yakarta: PSTTI-UI, cet. II. Fauzi Athawi (1989), Fi al-Iqtishad al-Siyasi al-Nuqud wa al-nuzhum al-Naqdiyah, Beirut: dar al_fikr al-‘Arabiy, cet. I Ibnu Khaldun (1988), Al Muqaddimah, Bairut: Dar al-Fikr, cet. II, 478 Ibnu Rusyd (1992), Bidayat al-Mujtahi wa Nihayat al-Muqtashid, Bairut: Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi, cet. I juz 2 Imam Nawawi, Tahrir al-Fazh al-Tanbih, Damaskus: Darul Qalam. Ja’far bin Ali al-Dimasyqi (1977), Al-Isyarat ila Mahasin al-Tijarah, Tahqiq Al-Basyari al-Syorbaji, Alexandria: Al-Ghad, cet. I J.G. Mitukhin (1979), Musykilat al-Nuqud wa al-Anzhimah al-Naqdiyah, terjemah Arif Dalila, Beirut: Dar al-Thali’ah, cet. I J.P. Croward (t.t.), Al-Mujaz fi al-Iqtishadiyat al-Nuqud, Kairo: Dar al Fikr Muhammad al-Baqir al-Huseini (1966), Al-Umlat al-Islamiyah fi al-‘Ahdi al-Atabiki, Baghdad: Dar al-Jahizh Mahmud Muhammad Babelli (1989), Al-Mashari al-Islamiyah Dlarurat Hatmiyah, Bairut: Al-Maktab al-Islami, cet. I Muhammad Zaki Syafi’i (1982), Muqaddimah fi al-Nuquh wa al-Bunuk, Dar al-Nahdlah al-’Arabiyah Mannan, Sertifikast Wakaf Tunai , Sebuah Inovasi Instrumen Keunagna Islam, (Jakarta :CIBER dan PKTTI-UI,2001) Mannan, Lesson of Experience of Social Investment Bank in Family Empowerment Micro-credit for Poverty Alleviation : A Paradigme Shift in Micvro-Finance Mustafa Edwin Nasution, Wakaf Tunai Dan Sektor Volunteer, dalam buku, Wakaf Tunai Inovasi Finansial Islam, ed. Mustafa Edwin Nasution, Ph.D dan Dr. Uswatun Hasanah (2006), cet. II, Jakarta: PSTTI-UI Mundzir Qahaf, Manajemen Wakaf Produktif, (Jakarta, Khalifa, 2005) Nizham Muhammad Nori al-Syamri (1987), Al-Nuqud wa al-Masharif, Mousuol: Dar al-Kutub lil alThiba’ah wa al-Nasyr Sahir Hasan (1985), Al-Nuqud wa al-Tawazun al-Iqtishadi, Alexandria: Muassasah Syabab alJami’ah li al-Thiba’ah, Tahqiq Husein Mu’nis, Kairo: Dar al-Syuruq, cet. II. KMA RI No 92 Tentang Penetapan PT. BNI (Persero) Tbk. Divisi Usaha Syariah sebagai LKS P KMA RI No 93 Tentang Penetapan PT. BMI Tbk. Divisi Usaha Syariah sebagai LKS PWU KMA RI No 94 Tentang Penetapan PT. DKI Jakarta Syariah sebagai LKS PWU KMA RI No 95 Tentang Penetapan PT. BSM sebagai LKS PWU KMA RI No 96 Tentang Penetapan PT. BMSI sebagai LKS PWU Himpunan Peraturan BWI 2011 Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf SUMBER : http://bwi.or.id/index.php/in/publikasi/artikel/974-aplikasi-wakaf-uang-di-indonesia.html |
Author: Mohammad
Mohammad is the founder of STC Network which offers Web Services and Online Business Solutions to clients around the globe. Read More →
KOMPILASI HUKUM ISLAM: SEJARAH DAN PROSES PERUMUSAN
A.
Sejarah Terbentuknya
Kompilasi Hukum Indonesia
[1] aafandia.wordpress.com/2009/05/20/instruksi-presiden-ri-nomor-1-tahun-1991-tentang-kompilasi-hukum-islam/
1.
Sejarah
Setelah Indonesia merdeka, ditetapkan 13 kitab
fikih sebagai referensi hukum materiil di pengadilan agama melalui Surat Edaran
Kepala Biro Pengadilan Agama RI. No. B/1/735 tanggal 18 februari 1985.
Hal ini dilakukan karena hukum Islam yang berlaku di tengah-tengah masyarakat
ternyata tidak tertulis dan berserakan di berbagai kitab fikih yang
berbeda-beda.
Akan tetapi penetapan
kitab-kitab fikih tersebut juga tidak berhasil menjamin kepastian dan kesatuan
hukum di pengadilan agama. Muncul persoalam krusial yang berkenaan dengan tidak
adanya keseragaman para hakim dalam menetapkan keputusan hukum terhadap
persoalan-persoalan yang mereka hadapi. Berbagai hal dan situasi hukum Islam
itulah yang mendorong dilakukannya kompilasi terhadap hukum Islam di Indonesia
untuk menjamin kepastian dan kesatuan penerapan hukum Islam di Indonesia.
Hal ini disebabkan tidak
tersedianya kitab materi hukum Islam yang sama. Secara material memang telah
ditetapkan 13 kitab yang dijadikan
rujukan dalam memutuskan perkara yang kesemuanya bermazhab Syafi’i. Akan tetapi
tetap saja menimbulkan persoalan yaitu tidak adanya keseragaman keputusan
hakim.
Bustanul Arifin adalah seorang
tokoh yang tampil dengan gagasan perlunya membuat Kompilasi Hukum Indonesia.
Gagasan-gagasan ini didasari pada pertimbangan-pertimbangan berikut:
1. Untuk berlakunya hukum Islam di Indonesia, harus ada antara lain
hukum yang jelas dan dapat dilaksanakan oleh aparat penegak hukum maupun oleh
masyarakat.
2. Persepsi yang tidak seragam tentang syari’ah menyebabkan
hal-hal: 1. Ketidakseragaman dalam menentukan apa-apa yang disebut hukum Islam
itu (maa anzalallahu), 2. Tidak mendapat kejelasan bagaimana menjalankan
syari’at itu (Tanfiziyah) dan 3. Akibat kepanjangannya adalah tidak mampu
menggunakan jalan-jalan dan alat-alat yang tersedia dalam Undang-Undang Dasar
1945 dan perundangan lainya.
3. Di dalam sejarah Islam, pernah ada tiga Negara dimana hukum Islam
diberlakukan (1). Sebagai perundang-undangan yang terkenal dalam fatwa
Alamfiri, (2). Di kerajaan Turki Ustmani yang terkenal dengan nama Majallah
al-Ahkam Al-Adliyah dan (3). Hukum Islam pada tahun 1983 dikodifikasikan di
Subang.[1]
Gagasan Bustanul Arifin
disepakati dan dibentuklah Tim pelaksana Proyek dengan Surat Keputusan Bersama
(SKB) ketua Mahkamah Agung RI dan Menteri Agama RI No.07/KMA/1985. Dalam Tim
tersebut Bustanul dipercaya menjadi Pemimpin Umum dengan anggota Tim yang
meliputi para pejabat Mahkamah Agung dan Departemen Agama. Dengan kerja keras
anggota Tim dan ulama-ulama, cendikiawan yang terlibat di dalamnya maka
terumuslah KHI yang ditindaklanjuti dengan keluarnya instruksi presiden No.1
Tahun 1991 kepada menteri Agama untuk menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam
yang terdiri dari buku I tentang Perkawinan, Buku II tentang Kewarisan, Buku
III tentang Perwakafan. Inpres tersebut ditindaklanjuti dengan SK Menteri Agama
No.154 Tahun 1991 tanggal 22 Juli 1991.
Kemunculan KHI di
Indonesia dapat dicatat sebagai sebuah prestasi besar yang dicapai umat Islam. Setidaknya
dengan adanya KHI itu, maka saat ini di Indonesia tidak akan ditemukan lagi
pluralisme Keputusan Peradilan agama, karena kitab yang dijadikan rujukan hakim
Peradilan Agama adalah sama. Selain itu fikih yang selama ini tidak positif, telah
ditransformasikan menjadi hukum positif yang berlaku dan mengikat seluruh umat
Islam Indinesia. Lebih penting dari itu, KHI diharapkan akan lebih mudah
diterima oleh masyarakat Islam Indonesia karena ia digali dari tradisi-tradisi
bangsa indonesia. Jadi tidak akan muncul hambatan Psikologis di kalangan umat
Islam yang ingin melaksanakan Hukum Islam.[2]
2.
Pengertian dan Tujuan Kompilasi Hukum Islam
a.
Pengertian Kompilasi Hukum Islam
Istilah kompilasi berasal dari bahasa Latin Compilare
yang masuk ke dalam bahasa Belanda dengan sebutan compilatie, yang dalam
bahasa inggrisnya disebut compilation. Secara harfiah berarti kumpulan
dari berbagai karangan atau karangan yang tersusun dari kutipan-kutipan buku
lain.
Bustanul Arifin menyebut Kompilasi Hukum Islam
sebagai "fikih dalam bahasa Undang-Undang atau dalam bahasa rumpun Melayu
disebut peng-Qanun-an hukum syara`". Wahyu Widhiana menyatakan bahwa
"Kompilasi Hukum Islam adalah sekumpulan materi Hukum Islam yang ditulis
pasal demi pasal, berjumlah 229 pasal, terdiri dari 3 kelompok materi hukum,
yaitu Hukum Perkawinan (170 pasal), Hukum Kewarisan -termasuk wasiat dan hibah-
(44 pasal), dan Hukum Perwakafan (14 pasal), ditambah satu pasal Ketentuan
Penutup yang berlaku untuk ketiga kelompok hukum tersebut.
Secara materi, Kompilasi Hukum Islam itu adalah
ketentuan hukum Islam yang ditulis dan disusun secara sistematis menyerupai
peraturan perundang-undangan untuk sedapat mungkin diterapkan seluruh instansi
Departemen Agama dalam menyelesaikan masalah-masalah di bidang yang telah
diatur Kompilasi Hukum Islam. Oleh para hakim peradilan agama Kompilasi Hukum
Islam digunakan sebagai pedoman dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara
yang diajukan kepada-Nya.
b.
Tujuan Penyusunan Kompilasi Hukum Islam
Upaya mempositifkan hukum Islam melalui Kompilasi
Hukum Islam ini mempunyai beberapa sasaran pokok yang hendak dicapai:
1)
Melengkapi pilar Peradilan Agama
2)
Menyamakan persepsi penerapan hukum
3)
Mempercepat proses Taqribi baina al-Madzahib
B. Proses Perumusan Kompilasi Hukum Islam
Untuk melihat gambaran umum hukum islam sebagai bagian hukum
nasional, dengan mengikuti proses perumusan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Untuk
mendeskripsikan proses perumusan kompilasi hukum Islam, tidak terlepas pada
latar belakang Kompilasi Hukum Islam, Landasan Yuridis dan Landasan Fungsional.
1.
Latar Belakang Penyusunan Kompilasi Hukum Islam
Setelah Indonesia
merdeka, ditetapkanlah 13 kitab fikih sebagai referensi hukum materiil di
pengadilan agama melalui Surat Edaran Kepala Biro Peradilan Agama RI. No.
B/1/735 tanggal 18 februari 1958. Hal ini dilakukan karena hukum Islam yang
berlaku di tengah-tengah masyarakat ternyata tidak tertulis dan berserakan di
berbagai kitab fikih yang berbeda-beda.
Akan tetapi penetapan
kitab-kitab fikih tersebut juga tidak berhasil menjamin kepastian dan kesatuan
hukum di pengadilan agama. Berbagai hal dan situasi hukum Islam itulah yang
mendorong dilakukannya kompilasi terhadap hukum Islam di Indonesia untuk
menjamin kepastian dan kesatuan penerapan hukum Islam di Indonesia.
Lahirnya KHI tidak dapat
dipisahkan dari latar belakang dan perkembangan (pemikiran) hukum Islam di
Indonesia. Di satu sisi, pembentukan KHI terkait erat dengan usaha-usaha untuk
keluar dari situasi dan kondisi internal hukum Islam yang masih diliputi
suasana kebekuan intelektual yang akut. Di sisi lain, KHI mencerminkan
perkembangan hukum Islam dalam konteks hukum nasional, melepaskan diri dari
pengaruh teori receptie, khususnya dalam rangkaian usaha pengembangan
Pengadilan Agama.
Hukum Islam di Indonesia
memang sejak lama telah berjalan di tengah-tengah masyarakat. Namun harus
dicatat bahwa hukum Islam tersebut tidak lain merupakan hukum fiqh hasil
interpretasi ulama-ulama abad ke dua hijriyah dan abad-abad sesudahnya.
Pelaksanaan hukum Islam sangat diwarnai suasana taqlid serta sikap fanatisme
mazhab yang cukup kental. Ini makin diperparah dengan anggapan bahwa fiqh
identik dengan Syari’ah atau hukum Islam yang merupakan wahyu aturan Tuhan,
sehingga tidak dapat berubah. Umat Islam akhirnya terjebak ke dalam pemahaman
yang tumpang tindih antara yang sakral dengan yang profan.
Situasi tersebut
berimplikasi negatif terhadap pelaksanaan hukum Islam di lingkungan Peradilan
Agama. Pengidentifikasian fiqh dengan
Syari’ah atau hukum Islam sepertiitu telah membawa akibat kekeliruan dalam
penerapan hukum Islam yang sangat “keterlaluan”. Dalam menghadapi penyelesaian
kasus-kasus perkara di lingkungan peradilan agama, para hakim menoleh kepada
kitab-kitab fiqh sebagai rujukan utama. Jadi, putusan pengadilan bukan
didasarkan kepada hukum, melainkan doktrin serta pendapat-pendapat mazhab yang
telah terdeskripsi di dalam kitab-kitab fiqh.
Akibat dari cara kerja
yang demikian, maka lahirlah berbagai produk putusan Pengadilan Agama yang
berbeda-beda meskipun menyangkut satu perkara hukum yang sama. Hal ini menjadi
semakin rumit dengan adanya beberapa mazhab dalam fiqh itu sendiri, sehingga
terjadi pertarungan antar mazhab dalam penerapan hukum Islam di Pengadilan
Agama.[3]
Proses penerapan hukum
Islam yang simpang-siur tersebut di atas tentu saja tidak dapat dibenarkan
dalam praktek peradilan modern, karena menimbulkan ketidakpastian hukum dalam
masyarakat. Menjadikan kitab-kitab fiqh sebagai rujukan hukum materiil pada
pengadilan agama juga telah menimbulkan keruwetan lain. Kenyataan-kenyataan ini
mengharuskan dibentuknya sebuah unifikasi hukum Islam yang akhirnya berhasil
disahkan pada tahun 1991, yakni Kompilasi Hukum Islam yang diberlakukan oleh
Inpres No. 1 tahun 1991.
2.
Landasan Yuridis
Landasan yuridis mengenai perlunya hakim
memperhatikan kesadaran hukum masyarakat adalah Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Pasal 28 ayat 1 yang berbunyi: ”
Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Selain itu, Fikih Islam
mengungkapkan kaidah:” Hukum Islam dapat berubah karena perubahan waktu,
tempat, dan keadaan”. Keadaan masyarakat itu selalu berkembang, karenanya
pelaksanaan hukum menggunakan metode yang sangat memperhatikan rasa keadilan
masyarakat. Diantara metode itu ialah maslahat mursalah, istihsan,
istishab, dan urf.[4]
3.
Landasan fungsional.
Kompilasi Hukum Islam
adalah fikih Indonesia karena ia disusun dengan memperhatikan kondisi kebutuhan
hukum umat Islam Indonesia. Fikih Indonesia dimaksud adalah fikih yang telah
dicetuskan oleh Hazairin dan T.M. Hasbi Ash-Shiddiqi. Fikih sebelumnya
mempunyai tipe fikih lokal semacam fikih Hijazy, fikih Mishry, fikih Hindy,
fikih lain-lain yang sangat mempehatikan kebutuhan dan kesadaran hukum
masyarakat setempat. Ia mengarah kepada unifikasi mazhab dalam hukum islam.
Oleh karena itu, di dalam sistem hukum di Indonesia ini merupakan bentuk
terdekat dengan kodifikasi hukum yang menjadi arah pembangunan hukum nasional
di Indonesia.[5]
C. Institusi (organisasi) Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Hukum berfungsi sebagai
alat untuk mengubah masyarakat yang disebut oleh Roscoe Pound ” a Tool of
social enginering”
Dalam konteks dinamika Kompilasi Hukum Islam diperlukan Institusi
(organisasi) untuk menjalankan dan melakukan pengawasan dalam penerapannya di
masyarakat.
a. Peradilan dan hakim-hakim agama
Peranan dari para Hakim
Agama yang mekanisme kerjanya sudah mempunyai landasan yang kokoh dengan
ditetapkannya Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang peradilan Agama, maka
dalam menghadapi kompilasi hukum islam sebagai ketentuan hukum material yang
harus dijalankan tidak hanya berfungsi sebagai "mulut dari kompilasi"
akan tetapi dituntut untuk lebih meningkatkan perannya dalam berijtihad
menemukanhukum melalui perkara-perkara yang ditanganimya.[6]
b. Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Majelis Ulama indonesia
(MUI) lebih meningkatkan peranannya untuk mengkaji beberapa aspek
kemasyarakatan yang berdimensi hukum yang memang sangat diperlukan oleh
masyarakat dalam rangka penetapan hukum dalam masyarakat indonesia yang sedang
membangun. Visi MUI adalah terciptanya kondisi kehidupan kemasyarakatan,
kebangsaan dan kenegaraan yang baik, memperoleh ridlo dan ampunan Allah swt
menuju masyarakat berkualitas demi terwujudnya kejayaan Islam dan kaum muslimin
dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai manifestasi dari rahmat
bagi seluruh alam.[7]
c. Lembaga-lembaga hukum dan fatwa dari organisasi islam
Peranan dari
lambaga-lembaga hukum dan fatwa yang kita temui pada berbagai organisasi islam
yang ada di Indonesia seperti Muhamadiyah, Nahdlatul Ulama dan lain-lain perlu
lebih ditingkatkan dalam rangka mendukung dalam penetapan hukum islam.
d. Lembaga pendidikan tinggi.
Kegiatan penelitaian di
bidang Hukum Islam harus lebih digalakkan. Lembaga pendidikan sebagai media
intelektual untuk mengawal dan selalu mengkritisi atas berjalannya Kompilasi
Hukum Islam. Perguruan Tinggi Islam khususnya diharapkan memberikan kontribusi
positif terhadap pengembangan Kompilasi Hukum Islam.
e. Lembaga-lembaga penelitian dan pengkajian pemerintah
Lembaga- lembaga
penelitian dan pengkajian dari pemerintah, semacam LIPI, Badan Pembinaan Hukum
Nasional, Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Agama dan lain
sebagainya sudah seharusnya melibatkan diri dalam kegiatan penelitian dan
pengkajian masalah-masalah hukum islam yang berskala nasional.
f. Media massa
Peranan media massa dalam
persoalan ini sangat besar sekali untuk menjebatani komunikasi ilmiah dari
berbagai pihak yang terlibat dalam pengkajian dan penelitian masalah-masalah
hukum islam. Media selain untuk sosialisasi tetapi juga berperan sebagai kontrol
terhadap berjalannya penerapan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.[8][1] aafandia.wordpress.com/2009/05/20/instruksi-presiden-ri-nomor-1-tahun-1991-tentang-kompilasi-hukum-islam/
[2] http://el-ghozali-hasanah.blogspot.com/2011/04/sejarah-terbentuknya-kompilasi-hukum-islam.html
[3]
Zainuddin Ali, Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia
(Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 98
[4] Ibid.,
hlm. 100.
[5] Ibid.
[6]
Zainudin Ali, Sosiologi Hukum (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 38.
[7] Mahfud, Moh.MD.Pergulatan
Politik dan Hukum di Indonesia (Yogyakarta: Gama Media, 1999) hlm. 259.
[8] Abdurahman, Kompilasi
Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Akademika Pressindo, 1992), hlm 7
Author: Mohammad
Mohammad is the founder of STC Network which offers Web Services and Online Business Solutions to clients around the globe. Read More →
Langganan:
Postingan (Atom)
0 komentar: