Sabtu, 25 Mei 2019
HADIAH PERSPEKTIF FIQH MUAMALAH
OLEH: IRWANTO, S.Sy., M.A
1.
Pengertian Hadiah
Hadiah
dalam bahasa Arab berasal dari kata الهَدِيَّةُ. Hadiah adalah memberikan barang dengan
tidak ada tukarannya serta dibawa ke tempat yang diberi karena hendak memuliakannya.[1]
Hadiah
dalam Islam kerap kali diserupakan dengan hibah dan sedekah karena dianggap
memiliki makna yang sangat berdekatan. Seperti yang diutarakan Abdul Aziz
Muhammad Azzam dalam bukunya “Fiqh Muamalah; Sistem Transaksi dalam Islam”
bahwa hibah, pemberian (‘athiyah)
dan sedekah maknanya sangat berdekatan. Semua berupa pemberian atas hak milik
seseorang sewaktu masih hidup tanpa ada ganti. Karena penyebutan nama pemberian
(‘athiyah) mencakup semuanya baik sedekah
(zakat), dan hadiah.[2]
Ensiklopedi
hukum Islam menyebutkan bahwa hadiah merupakan pengertian dari hibah, yang mana
hibah dimaknai sebagai suatu pemberian atau hadiah yang dilakukan secara
sukarela dalam mendekatkan diri kepada Allah Swt tanpa mengharapkan balasan
apapun.[3]
Sayyid
Sabiq mendefinisikan hadiah sebagai bentuk hibah yang tidak ada keharusan bagi
pihak yang diberi hibah untuk menggantinya dengan imbalan.[4]
Sementara
itu, menurut Imam Syafi’i yang disebut dengan hadiah adalah pemberian kepada
orang lain dengan maksud untuk dimiliki sebagai bentuk penghormatan. Pemberian
untuk dimiliki tanpa minta ganti disebut hadiah.[5]
Wahhab
Az- Zuhaili membedakan antara hibah, hadiah, sedekah, dan athiyah meskipun
kesemuanya merupakan bentuk pemberian. Wahab Az- Zuhaili mengatakan jika
seseorang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan memberikan
sesuatu kepada orang yang membutuhkan, maka itu adalah sedekah. Jika sesuatu
tersebut dibawa orang yang layak mendapatkan hadiah sebagai hadiah untuk
menciptakan keakraban, maka itu adalah hibah. Sedangkan ‘athiyah
adalah
pemberian seseorang yang dilakukan ketika dia dalam keadaan sakit menjelang
kematian.[6]
Sama
halnya yang tertuang dalam Ensiklopedi Fiqh Muamalah membedakan hadiah dengan
hibah. Karena hadiah merupakan pemberian tanpa imbalan yang dibawa kepada orang
yang diberi sebagai bentuk penghormatan dan kemuliaan, sedangkan hibah adalah
pemberian tanpa disertai imbalan. Oleh karena itu, pemberian harta tidak
bergerak tidak termasuk hadiah.[7]
Berdasarkan
keterangan di atas, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa hadiah adalah
suatu bentuk pemberian yang diberikan secara sukarela sebagai bentuk
penghormatan atau penghargaan terhadap pihak penerima tanpa disertai dengan
penggantian. Hadiah merupakan bagian dari hibah, sedekah dan athiyah karena
masing-masing memiliki persamaan dan berbedaan pada substansinya.
2.
Dasar Hukum
Hadiah
Ayat-ayat
al-Qur’an dan Hadis banyak yang menganjurkan penganutnya untuk berbuat baik
dengan cara tolong menolong dan salah satunya dengan bentuk tolong menolong
adalah memberikan harta kepada orang lain yang membutuhkan, kaitannya dalam hal
ini adalah pemberian hadiah yang dimaknai sebagai pemberian sukarela, Firman
Allah :
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä w (#q=ÏtéB
uȵ¯»yèx© «!$# wur tök¤¶9$#
tP#tptø:$# wur yôolù;$#
wur yÍ´¯»n=s)ø9$#
Iwur tûüÏiB!#uä |Møt7ø9$# tP#tptø:$#
tbqäótGö6t WxôÒsù
`ÏiB öNÍkÍh5§
$ZRºuqôÊÍur 4
#sÎ)ur ÷Läêù=n=ym (#rß$sÜô¹$$sù
4 wur öNä3¨ZtBÌøgs ãb$t«oYx© BQöqs% br& öNà2r|¹ Ç`tã
ÏÉfó¡yJø9$# ÏQ#tptø:$#
br&
(#rßtG÷ès? ¢
(#qçRur$yès?ur n?tã
ÎhÉ9ø9$# 3uqø)G9$#ur
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syiar-syiar Allah, dan
jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu)
binatang-binatang had-ya22, dan bianatang-binatang qalaa-id23, dan jangan
(pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari
karunia dan keridhaan dari Tuhannya, dan apabila kamu telah menyelesaikan
ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian (mu)
kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidil Haram,
mendorong berbuat aniaya. Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan)
kebajikan dan taqwa...[8]
(QS. Al- Maidah: 2)
Rasulullah
SAW telah mempraktekkan hadiah dan beliau pun menganjurkannya, seperti yang
diriwayatkan Abu Hurairah ra.:
وَعَن اَ
بِي هررة عن النبي صلى لله لیه وسلم قَالَ تَهَادَوْا
تَحَابُّوْا
Artinya : Dari
Abu Hurairah, dari Nabi SAW : “ Saling memberi hadiahlah kamu, karena ia dapat
menumbuhkan rasa kasih sayang”.[9]
(HR.Bukhari)
3.
Rukun dan Syarat Hadiah
Menurut Ulama Hanafiah, rukun hadiah adalah ijab dan
kabul sebab keduanya termasuk akad seperti halnya jual-beli. Dalam kitab Al-Mabsuth,
mereka menambahkan dengan qadbhu (pemegang/penerima). Alasannya, dalam
hadiah harus ada ketetapan dalam kepemilikan. Adapun yang menjadi rukun dalam
hadiah yaitu wahib (pemberi), mauhub lah (penerima), mauhub (barang
yang dihadiahkan), shighat (ijab dan qabul).[10]
Adapun
syarat-syarat hadiah yaitu dengan syarat wahib (pemberi hadiah) dan mauhub
(barang). Ulama Hanabilah menetapkan 11 (sebelas) syarat diantaranya:
a. Hadiah
dari harta yang boleh di tasharruf kan.
b. Terpilih
dan sungguh-sungguh.
c. Harta
yang diperjualbelikan.
d. Tanpa
adanya pengganti.
e. Orang
yang sah memilikinya.
f. Sah
menerimanya.
g. Walinya
sebelum pemberi dipandang cukup waktu (usia baliqh)
h. Menyempurnakan
pemberian.
i.
Tidak disertai
syarat waktu.
j.
Pemberi sudah
mampu tasharruf (merdeka, mukallaf dan rasyid).
Adapun yang
menjadi syarat untuk wahib (pemberi hadiah) dan mauhub (barang)
yaitu:
a. Syarat
Wahib (pemberi hadiah)
Wahib disyaratkan harus ahli tabarru (derma),
yaitu berakal, baligh, rasyid (pintar).
b. Syarat
Mauhub (barang)
1)
Harus ada waktu dihadiahkan
2)
Harus berupa
harta yang kuat dan bermanfaat
3)
Milik sendiri
4)
Menyendiri,
menurut ulama Hanafiah, hadiah tidak dibolehkan terhadap barang bercampur
dengan milik orang lain, sedangkan menurut ulama malikiyah, Hambali dan
syafi’iyah, hal itu dibolehkan.
5)
Mauhub terpisah
dari yang lain, barang yang dihadiahkan tidak boleh bersatu dengan barang yang
tidak dihadiahkan, sebab akan menyulitkan untuk memanfaatkan mauhub.
6)
Mauhub telah
diterima atau dipegang oleh penerima.
7)
Penerima
memegang hadiah atas seizin wahib.[12]
4.
Bentuk-Bentuk
Hadiah
a.
Hadiah dalam
perlombaan
Adapun yang dimaksud dalam perlombaan
yang berhadiah, ialah perlombaan yang bersifat adu kekuatan seperti tinju atau
lomba lari atau adu keterampilan/ ketangkasan seperti badminton, sepak bola,
atau kepandaian seperti main catur. Pada prinsipnya lomba semacam tersebut
diperbolehkan dalam agama, asal tidak membahayakan keselamatan badan dan jiwa
dan mengenai uang hadiah yang diperbolehkan dari hasil lomba tersebut
diperbolehkan oleh agama jika dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut:
1) Jika
uang atau hadiah lomba itu disediakan oleh pemerintahan atau sponsor non
pemerintahan untuk para pemenang.
2) Jika
uang atau hadiah lomba itu merupakan janji dari salah satu dari dua orang yang berlomba
kepada lombanya jika ia dapat dikalahkan lawannya itu.[13]
3) Jika
uang atau hadiah lomba disediakan oleh para pelaku lomba dan mereka disertai muhallil,
yaitu orang yang berfungsi menghalalkan perjanjian lomba dengan uang sebagai
pihak ketiga, yang akan mengambil hadiah itu, jika jagonya menang tapi ia tidak
harus membayar jika jagonya kalah.[14]
b. Hadiah
dalam pembelian suatu barang
Hadiah
dalam pembelian suatu barang merupakan bentuk pemberian hadiah yang diharamkan,
jika orang yang membeli kupon dengan harga tertentu, banyak atau sedikit, tanpa
ada gantinya melainkan hanya ikut serta dalam memperoleh hadiah yang
disediakan. Bahkan hal seperti ini termasuk larangan serius (bagi yang melakukannya
dianggap melakukan dosa besar). Karena, termasuk perbuatan judi yang dirangkai
dengan khamar (minuman keras) dalam al-qur’an perbuatan ini merupakan perbuatan
keji sebagaimana dalam firman Allah SWT Dalam Surat Al-Maidah ayat 90.[15]
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä $yJ¯RÎ) ãôJsø:$# çÅ£øyJø9$#ur Ü>$|ÁRF{$#ur ãN»s9øF{$#ur Ó§ô_Í ô`ÏiB È@yJtã Ç`»sÜø¤±9$# çnqç7Ï^tGô_$$sù öNä3ª=yès9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÒÉÈ
Artinya: Hai orang-orang
yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk)
berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka
jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.[16]
(Q.S. Al-Maidah: 90)
c.
Hadiah sebagai
suap atau sogokan
Untuk menghindari misinterpretasi
tentang hadiah dan biasanya, antara hadiah dengan sogokan, seperti yang
dinyatakan Umar bin Abdul ‘Aziz, bahwa dimana Rasulullah Saw. Hadiah adalah
hadiah, tetapi masa ini hadiah bisa saja berarti sogokan. Serta untuk
membedakan antara hadiah dengan tukar menukar, maka perlu diketahui bagaimana
aturan Islam
tentang hadiah dapat dilihat dalam hadis berikut:
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أُتِيَ بِطَعَامٍ سَأَلَ عَنْهُ أَهَدِيَّةٌ
أَمْ صَدَقَةٌ فَإِنْ قِيلَ صَدَقَةٌ قَالَ لأَصْحَابِهِ كُلُوا وَلَمْ يَأْكُلْ
وَإِنْ قِيلَ هَدِيَّةٌ ضَرَبَ بِيَدِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَأَكَلَ مَعَهُمْ
Artinya: Abu
Hurairah menyatakan, Bahwa Rasulullah apabila diberi makanan, beliau selalu
menanyakan kepada sipemberi hadiah apakah pemberian itu, hadiah atau sedekah.
Jika pemberian itu sedekah, Rasulullah tidak memakannya dan menyuruh para sahabatnya
memakan hadiah dimaksud. Jika dinyatakan pemberian itu adalah hadiah, Rasulullah
menepukkan tangannya dan makan bersama sahabat. (HR. Bukhari).[17]
Ketentuan
dalam hadis di atas
memberikan aturan agar penerima hadiah tidak hanya bahagia atau senang dalam
hadiah yang bakal diterima, akan tetapi selalu mengidentifikasi hadiah yang
diserahkan, termasuk yang boleh diterima atau tidak.
[2] Abdul Aziz
Muhammad Azzam, Fiqh Muamalah; Sistem Transaksi dalam Islam, (Jakarta : Amzah, 2010), h. 437
[3] Abdul Aziz
Dahlan, Et.al. Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta
: Ichtiar Baru Van Houve, 1996), h. 540
[4] Sayyid Sabiq, Fiqh
as- Sunnah 5, Terj. Abdurrahim dan Masrukhin, (Jakarta : Cakrawala Publishing, 2009), h.
58
[6] Wahbah az-
Zuhaili, Fiqhul Islamy wa Awlaty, Terj. Abdul Hayyie al- Kattani,dkk, “Fiqih
Islam 5”, (Jakarta : Gema Insani, 2011). h. 523
[7] Abdullah bin
Muhammad Ath- Thayyar, et. al. Al-Fiqhul Muyassar Qismul-Mu’amalat, Mausu’ah
Fiqhiyyah Haditsah Tatanawalu Ahkamal-Fiqhil-Islami Bi Ushub Wadhih
Lil-Mukhtashshin Wa Ghairihim, Terj. Miftakhul Khairi, Ensiklopedi Fiqh
Muamalah dalam Pandangan 4 Madzhab, (Yogyakarta: Maktabah Al- Hanif, 2009), h. 468
[8] Departemen
Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemah, Tafsir
Perkata, (Bandung: PT. Sygma Examedia Arkenleema, 2010) h. 106
[9] Ibnu Hajr
al-Asqalani, Bulughul Maraam, terj. A. Hassan, Tarjamah Bulughul
Maram, (Bangil: Pustaka Tamaam, 1991), h. 488
[10] Rachmad
Syafe’i, Fikih Muamalah, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2001), h. 244.
[12] Ibid, h.
247.
[13]
Masyfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, Kapita Seleksi Hukum Islam, (Jakarta:
Haji Masagung, 1991), Ed. II. Cet.8. h. 150.
[14]
Nazar Bakry, Problematika Fiqh Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1994), Ed. 1, Cet. 1, h.86.
[16] Departemen
Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemah, Tafsir
Perkata, (Bandung: PT. Sygma Examedia Arkenleema, 2010) h. 123
[17] Ibnu Hajr
al-Asqalani, Bulughul Maraam, terj. A. Hassan, Tarjamah Bulughul
Maram, (Bangil: Pustaka Tamaam, 1991), h. 489
Author: Mohammad
Mohammad is the founder of STC Network which offers Web Services and Online Business Solutions to clients around the globe. Read More →
Related Posts:
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar: