Sabtu, 11 April 2015
IBTHOLUL QIYAS (PEMBATALAN QIYAS) Dalam kitab al-Ihkam fi Usulul Ahkam, Ibnu Hazm az-Zhohiri
I.
Pendahuluan
Dalam sketsa pemikiran hukum dikenal
bahwa Qiyas (Analogical Reasoning) merupakan suatu metode penetapan hukum yang
menempati posisi keempat dalam kerangka pemikiran hukum (Ushul Fiqh). Para
ulama dan praktisi hukum menilai bahwa semua produk hukum fiqh yang dihasilkan
oleh metode Qiyas ini benar-benar valid dan memiliki kekuatan hukum yang dapat
dipertanggungjawabkan secara rasional. Secara metodologi dan operasional, Qiyas
merupakan upaya menghubungkan satu peristiwa dengan peristiwa lain yang
memiliki justifikasi hukum dengan melihat adanya persamaan kausa hukum
(‘illat). Dengan adanya persamaan kausa inilah, maka kasus yang pertama itu
ditetapkan dan diberikan ketentuan hukumnya.
Imam Syafi’i sebagai perintis pertama
metode Qiyas ini membuat kualifikasi ketat terhadap unsur-unsur yang ada pada
qiyas. Baginya Qiyas dapat berlaku dan memiliki kekuatan hukum yang valid jika
keempat syaratnya terpenuhi yaitu ashl, hukm ashl, furu’ dan ‘illat. Keempat
syarat ini harus benar-benar terpenuhi apalagi dalam hal mencari ‘illat hukum,
karena untuk mencari ‘illat hukum diharuskan memiliki kualitas intelektual yang
tinggi dan analisis yang tajam. Banyak produk-produk hukum fiqh yang bertumpu
pada metode qiyas seperti halnya penerapan zakat profesi, dan seperti kasus
klasik dalam hal pengangkatan Abu Bakar menjadi khalifah sesudah wafatnya nabi
dan beberapa kasus lain yang serupa.
II. Pembahasan
A.
Sejarah singkat Ibnu Hazm az-Zhohiri
Mazhab Zahiriyyah adalah sebuah mazhab yang membangun
fahamnya dengan memahami sumber ajaran Islam secara tekstual. Mazhab ini
berkembang sejak abad ke-3 hingga abad ke-8 hijriyah. Mazhab ini pertama kali
dibangun oleh tokoh fikih terkenal bernama Daud bin Ali bin Khalaf al-Isfahani
(202-270 H) . Daud
al-Zhahiri lahir di Kufah pada tahun 200 H/815 M, dan wafat di Baghdad pada
tahun 270 H/883 M. Ia seorang ahli fiqh, mujtahid, ahli hadits, hafiz,
dan pendiri Madzhab al-Zhahiri.
Ia menyusun hadits-hadits yang diriwayatkannya
di dalam bukunya sehingga (ketika berorientasi ke fiqh al-Zhahiri), fiqh-nya
sesungguhnya merupakan kumpulan hadits yang diriwayatkannya sendiri. sejumlah
besar topik fiqh karya Daud al-Zhahiri seperti tentang bersuci, haid, shalat,
haji, nikah, dan thalak. Namun semua karya Daud al-Zhahiri ini menurut
informasi dalam Da’irah al-Ma’arif al-Islamiyah (Ensiklopedi Islam)
sudah tidak ada lagi [1]
Akan tetapi dari jalan madzhabnya ini, pengikutnya banyak ikut membuat
kitab-kitab fiqh dan ushul fiqh, dan kitab pegangan yang cukup populer
dikalangan ahli fiqh yaitu “al-Muhalla” dalam masalah fiqh, dan kitab “al-Ihkam
fi Ushul al-Ahkam” dalam masalah ushul fiqh.
Pada abad
ke-lima yakni di saat mazhab Zahiriyyah mulai mundur di belahan dunia timur,
akan tetapi sebaliknya di belahan dunia barat, tepatnya di Spanyol justeru
muncul Ibnu Hazm yang menyebarkan dan membangun mazhab Zahiriyyah, sehingga
mazhab Zahiriyyah menjadi besar dan mempunyai pengikut yang banyak. [2]
Munculnya
Ibnu Hazm di Barat bukan berarti mazhab Zahiriyyah baru dikenal di Spanyol pada
priode Ibnu Hazm tersebut. pada akir abad ke-tiga Baqi bin Bukhalat (200-276
H), Ibnu Waddah (w. 286 H) dan Qasim bin Asbagh (w. 340 H) ketiganya ahli fikih
dari Spanyol, sekembalinya menuntut ilmu dari dunia timur, mereka membawa
ajaran mazhab Zahiriyyah ke Spanyol. Bahkan terdapat ulama fikih dari
Iraq yang berkunjung ke Spanyol dengan membawa mazhab Zahiriyyah tersebut.
Ibnu Hazm merupakan tokoh yang menjadikan mazhab
Zahiriyyah berkembang pesat di dunia Barat. Ibnu Hazam menulis berbagai karya
dan mengkader beberapa orang muridnya sebagai upaya mengembangkan dan
memperjuangkan mazhab Zahiriyyah, sehingga menurut penilaian Muhammad Abu
Zahrah (w. 1394 H) seorang fakih kontemporer Mesir, tidak terdapat tokoh di
Spanyol yang tidak memiliki tokoh yang bermazhab Zahiriyyah, dan tidak ada di
pelosok Spanyol yang tidak menganut mazhab Zahiriyyah.
B.
Pengertian Qiyas
Qiyas dalam bahasa Arab berasal dari
kata “qasa, yaqisu, qaisan” artinya mengukur, menyamakan dan ukuran. Secara
etimologi qiyas berarti pengukuran sesuatu dengan yang lainnya atau penyamaan
sesuatu dengan sejenisnya[3].
Qiyas berarti, membandingkan atau mengukur, seperti menyamakan si
A dengan si B, karena kedua orang itu mempunyai tinggi yang sama, bentuk tubuh
yang sama, wajah yang sama dan sebagainya. Qiyas juga berarti mengukur, seperti
mengukur tanah dengan meter atau alat pengukur yang lain. Demikian pula
membandingkan sesuatu dengan yang lain dengan mencari persamaan-persamaannya.
Sedangkan menurut ulama’ ushul fiqih qiyas berarti menetapkan hukum
suatu kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dengan cara
membandingkannya kepada suatu kejadian atau peristiwa yang lain yang telah
ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan illat antara kedua
kejadian atau peristiwa itu[4]
Jadi qiyas merupakan mashodirul ahkam
yang keempat setelah Al-Qur’an, As-Sunnah dan ijma’. Yakni cara
mengishtinbatkan suatu hukum dengan cara menganalogikan antara dua hal yang
memiliki kesamaan illat tetapi yang satu belum ada ketentuan hukumnya dalam
nash.
الكتاب
من المتقدم خبر على الموافقة الدلائل طلب ما هو والقياس
والسنة
“Qiyas
adalah metode berfikir untuk menemukan petunjuk makna yang sesuai dengan khabar
yang sudah ada dalam al-Qur’an dan sunnah”.
B.
Rukun Qiyas
Dari pengertian qiyas yang dikemukakan
di atas dapat disimpulkan bahwa unsur pokok (rukun) qiyas terdiri atas empat
unsur berikut:
1. Ashal
(asal); yaitu sesuatu yang dinashkan hukumnya yang menjadi ukuran atau tempat
menyerupakan/ menqiyaskan. Dalam istilah ushul disebut ashal (الاصل)
atau maqis ‘alaih (المقيس عليه) atau musyabbah bih (مشبه به).
2. Faru’
(cabang); yaitu sesuatu yang tidak dinashkan hukumnya yang diserupakan atau
yang diqiyaskan. Di dalam istilah ushul disebut al-far’u (الفرع) atau al-maqis
(المقيس) atau al-musyabbah (المشبه).
3. Hukum
ashal (حكم الاصل); yaitu hukum syara’ yang dinashkan pada pokok yang kemudian
akan menjadi hukum pula bagi cabang.
4. Illat
(العلة); yaitu sebab yang menyambungkan pokok dengan cabangnya atau suatu sifat
yang ada pada ashal dan sifat yang dicari pada far’.[5]
Syarat-syarat
illat antara lain adalah:
1. Illat
itu adalah sifat yang jelas, yang dapat dicapai oleh panca indra
2. Merupaka
sifat yang tegas dan tidak elastis yakani dapat dipastiakan berwujudnya pada
furu’ dan tidak mudah berubah
3. Merupakan
sifat yang munasabah , yakni ada persesuian antara hukum da sifatnya
4. Merupakan
sifat yang tidak terbatsas pada aslnya, tapi bisa juaga berwujud pada beberapa
satuan hukum yang bukan asl
Sebagai contoh ialah menjual harta anak
yatim adalah suatu peristiwa yang perlu ditetapkan hukumnya karena tidak ada
nash yang dapat dijadikan sebagai dasarnya. Peristiwa ini disebut far’u. untuk
menetapkan hukumnya dicari suatu peristiwa yang lain yang telah ditetapkan
hukumnya berdasar nash yang ‘illatnya sama dengan peristiwa pertama. Peristiwa
kedua ini memakan harta anak yatim yang disebut ashal. Peristiwa kedua ini
telah ditetapkan hukumnya berdasar nash yaitu haram (hukum ashal) berdasarkan
firman Allah SWT:
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ
الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ
سَعِيرًا
Artinya:
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim,
sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke
dalam api yang menyala-nyala (neraka). (Q.S an-Nisa’: 10).
Persamaan
‘illat antara kedua peristiwa ini, ialah sama-sama berakibat berkurang atau
habisnya harta anak yatim. Karena itu ditetapkanlah hukum menjual harta anak
yatim sama dengan memakan harta anak yatim yaitu sama-sama haram.
Dari
keterangan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
-
Ashal, ialah memakan harta anak yatim
-
Far’u, ialah menjual harta anak yatim
-
Hukum ashal, ialah haram
-
‘Illlat, ialah mengurangi atau menghabiskan harta anak yatim.[6]
C.
Pembagian qiyas
Qiyas dapat dibagi menjadi tiga macam yaitu: Qiyas ‘illat, Qiyas dalalah dan Qiyas
syibih.
- Qiyas ‘illat
Qiyas ‘illat
ialah qiyas yang mempersamakan ashl dengan far’u, karena keduanya mempunyai persamaan
‘illat. Qiyas ‘illat terbagi:
a. Qiyas
jali, ialah qiyas yang ‘illatnya berdasarkan dalil yang pasti, tidak ada
kemungkinan lain selain dari ‘illat yang ditunjukkan oleh dalil itu. Qiyas jali
terbagi menjadi:
- Qiyas
yang ‘illatnya ditunjuk dengan kata-kata, seperti memabukkan adalah ‘illat
larangan minum khamr, yang disebut dengan jelas dalam nash.
- Qiyas
mulawi ialah yang hukum pada far’u sebenarnya lebih utama ditetapkan dibanding
dengan hukum pada ashal. Seperti haramnya hukum mengucapkan kata “ah” kepada
kedua orang tua berdasarkan firman Allah SWT:
فَلَا تَقُلْ
لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا
Artinya: Maka sekali-kali janganlah
kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan “ah” (Q.S al-Isra’: 23)
‘illatnya ialah menyakiti hati kedua
orang tua. Bagaimana hukum memukul orang tua? Dari kedua peristiwa itu nyatalah
bahwa hati orang tua lebih sakit bila dipukul anaknya dibanding dengan ucapan
“ah” yang diucapkan anaknya kepadanya. Karena itu sebenarnya hukum yang
ditetapkan bagi far’u lebih utama dibanding dengan hukum yang ditetapkan pada
ashal.
- Qiyas
musawi, ialah qiyas hukum yang ditetapkan pada far’u sebanding dengan hukum
yang ditetapkan pada ashal, seperti menjual harta anak yatim diqiyaskan kepada
memakan harta anak yatim. ‘illatnya adalah sama-sama menghabiskan harta anak
yatim.
Memakan
harta anak yatim haram hukumnya berdasarkan firman Allah SWT:
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ
الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ
سَعِيرًا
Artinya:
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim,
sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke
dalam api yang menyala-nyala (neraka). (Q.S an-Nisa’: 10).
Karena
itu ditetapkan pulalah haram hukumnya menjual harta anak yatim. Dari kedua
peristwa ini nampak hukum yang ditetapkan pada ashal sama pantasnya dengan
hukum yang ditetapkan pada far’u.
b. Qiyas
khafi, ialah qiyas yang ‘illatnya munkin dijadikan ‘illat dan munkin pula tidak
dijadikan ‘illat, seperti mengqiyaskan sisa minuman burung buas kepada sisa
minuman binatang buas. ‘illatnya ialah kedua binatang itu sama-sama minum
dengan mulutnya, sehingga air liurnya bercampur dengan sisa minumannya itu.
‘illat ini mungkin dapat digunakan untuk sisa burung buas dan mungkin pula
tidak, karena mulut burung buas berbeda dengan mulut binatang buas. Mulut
burung buas terdiri dari tulang atau zat tanduk. Tulang atau zat tanduk adalah
suci, sedang mulut binatang buas adalah daging, daging binatang buas adalah
haram, namun kedua-duanya adalah mulut, dan sisa minuman. Yang tersembunyi di
sini adalah keadaan mulut burung buas yang berupa tulang atau zat tanduk.
- Qiyas dalalah
Qiyas dalalah
ialah qiyas yang ‘illatnya tidak disebut, tetapi merupakan petunjuk yang
menunjukkan adanya ‘illat untuk menetapkan sesuatu hukum dari suatu peristiwa.
Seperti harta kanak-kanak yang belum baligh, apakah wajib ditunaikan zakatnya
atau tidak. Cara ulama yang menetapkannya wajib mengqiyaskannya kepada harta
orang yang telah baligh, karena ada petunjuk yang menyatakan ‘illatnya, yaitu
kedua harta itu sama-sama dapat bertambah atau berkembang. Tetapi madzhab
Hanafi, tidak mengqiyaskannya kepada harta orang yang telah baligh, tetapi
kepada ibadat, seperti shalat, puasa dan sebagainya. Ibadat hanya diwajibkan
kepada orang mukallaf, termasuk di dalamnya orang yang telah baligh, tetapi
tidak diwajibkan kepada anak kecil (orang yang belum baligh). Karena itu ia
anak kecil tidak wajib menunaikan zakat hartanya yang telah memenuhi
syarat-syarat zakat.
- Qiyas syibih
Qiyas syibih
adalah qiyas yang far’u dapat diqiyaskan kepada dua ashal atau lebih, tetapi
diambil ashal yang lebih banyak persamaannya dengan far’u. seperti hukum
merusak budak dapat diqiyaskan kepada hukum merusak orang merdeka, karena
kedua-duanya adalah manusia. Tetapi dapat pula diqiyaskan kepada harta benda,
karena sama-sama merupakan hak milik. Dalam hal ini budak diqiyaskan kepada
harta benda karena lebih banyak persamaannya dibanding dengan diqiyaskan kepada
orang merdeka. Sebagaimana harta budak dapat diperjual-belikan, diberikan
kepada orang lain, diwariskan, diwakafkan dan sebagainya.[7]
Dilihat
dari segi kekuatan ‘illat yang terdapat pada far’u dibandingkan yang terdapat
pada ashal. Dari segi ini qiyas dibagi kepada tiga segi, yaitu:
1. Qiyas al-Aulawi, yaitu qiyas yang
hukumnya pada far’u lebih kuat daripada hukum ashl, karena ‘illat yang terdapat
pada far’u lebih kuat dari yang ada pada ashl. Misalnya, mengqiyaskan memukul
pada ucapan “ah”.
Dalam
surat al-Isra’, 17:23 Allah berfirman:
Artinya
: Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah”
(Q.S al-Isra’, 17: 23)
Para
ulama ushul fiqh mengatakan bahwa ‘illat larangan ini adalah menyakiti orang
tua. Keharaman memukul orang tua lebih kuat daripada sekedar mengatakan “ah”
karena sifat “menyakiti” melalui pukulan lebih kuat dari ucapan “ah”.
- Qiyas al-Musawi, yaitu hukum pada far’u sama kualitasnya dengan hukum yang ada pada ashl, karena kualitas ‘illat pada keduanya juga sama. Misalnya Allah berfirman dalam surat al-Nisa’, 2:2:
وَءَاتُوا الْيَتَامَى أَمْوَالَهُمْ
وَلَا تَتَبَدَّلُوا الْخَبِيثَ بِالطَّيِّبِ وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَهُمْ
إِلَى أَمْوَالِكُمْ إِنَّهُ كَانَ حُوبًا كَبِيرًا
Dan berikanlah kepada anak-anak yatim
(yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang
buruk dan jangan kamu Makan harta mereka bersama hartamu.
(Q.S an-Nisa’, 4: 2)
Ayat
ini melarang memakan harta anak yatim secara tidak wajar, para ulama ushul
fiqh, mengqiyaskan membakar harta anak yatim kepada memakan harta anak yatim secara
tidak wajar, sebagaimana yang disebutkan dalam ayat, karena kedua sikap itu
sama-sama menghabiskan harta anak yatim dengan cara zalim.
- Qiyas al-adna, yaitu ‘illat yang ada pada far’u lebih lemah dibandingkan dengan ‘illat yang ada pada ashl. Artinya ikatan ‘illat yang ada pada far’u sangat lemah disbanding ikatan ‘illat yang ada pada ashl. Misalnya, mengqiyaskan apel pada gandum dalam hal berlakunya riba fadhl, karena keduanya mengandung ‘illat yang sama yaitu sama-sama jenis makanan. Dalam hadits Rosulullah saw. Dikatakan bahwa benda sejenis apabila dipertukarkan dengan berbeda kuantitas, maka perbedaan itu menjadi riba fadhl. Dalam hadits tersebut diantaranya disebutkan gandum (H.R Bukhori Muslim). Oleh sebab itu, Imam al-Syafi’I mengatakan bahwa dalam jual beli apel pun bisa berlaku riba fadhl. Akan tetapi, berlakunya hukum riba pada apel lebih lemah dibandingkan dengan yang berlaku pada gandum, karena ‘illat riba al-fadhl pada gandum lebih kuat.[8]
D. Kehujjahan Qiyas dan Pembatalannya
Ulama ushul fiqih berbeda pendapat
terhadap kehujjahan qiyas dalam menetapkan hukum syara’. Jumhur ulama
ushul fiqih berpendirian bahwa qiyas bisa dijadikan sebagai metoda atau
sarana untuk mengistinbathkan hukum syara’ Sedangkan sebahagian ulama berpenderian
bahwa qiyas tidak dapat dijadikan sebagai hujjah dalam penetapan hukum syara’.[9]
Pandangan ulama mengenai kehujjatan
qiyas qiyas ini terbagi menjadi tiga kelompok:
1. Kelompok
jumhur, mereka menggunakan qiyas sebagai dasar hukum pada hal-hal yang tidak
jelas nashnya baik dalam Al Qur’an, hadits, pendapat shahabat maupun ijma
ulama.
2. Mazhab
Zhahiriyah dan Syiah Imamiyah, mereka sama sekali tidak menggunakan qiyas.
Mazhab Zhahiri tidak mengakui adalanya illat nash dan tidak berusaha mengetahui
sasaran dan tujuan nash termasuk menyingkap alasan-alasannya guna menetapkan
suatu kepastian hukum yang sesuai dengan illat. Sebaliknya, mereka menetapkan
hukum hanya dari teks nash semata.
3. Kelompok
yang lebih memperluas pemakaian qiyas, yang berusaha berbagai hal karena
persamaan illat. Bahkan dalam kondisi dan masalah tertentu, kelompok ini
menerapkan qiyas sebagai pentakhsih dari keumuman dalil Al Qur’an dan hadits
4. Ulama mu’tazilah berpendapat bahwa qiyas wajib
diamalkan dalam dua hal saja, yaitu :
1. Illatnya manshush
(disebutkan dalam nash) baik secara nyata maupun melalui isayrat.
2. Hukum
far’u harus lebih utama daripada hukum ashl.
Wahbah al-Zuhaili
mengelompokkan pendapat ulama ushul fiqh tentang kehujjahan qiyas menjadi
dua kelompok, yaitu kelompok yang menerima qiyas sebagai dalil hukum yang
dianut mayoritas ulama ushul fiqih dan kelompok yang menolak qiyas sebagai
dalil hukum yaitu ulama – ulama syi’ah al-Nazzam, Dhahiriyyah dan ulama
mu’tazilah Irak.
Alasan
penolakan qiyas sebagai dalil dalam menetapkan hukum syara’ menurut
kelompok yang menolaknya adalah :
•
Firman Allah dalam surat al-Hujurat, 49 : 1
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تُقَدِّمُوا
بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ
عَلِيمٌ
Artiny
: “Hai orang – orang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya…”.
Ayat ini menurut mereka melarang
seseorang untuk beramal dengan sesuatu yang tidak ada dalam al-Qur'an dan
sunah Rasul. Mempedomani qiyas merupakan sikap beramal dengan sesuatu
diluar al-Qur'an dan sunnah Rasul, dan karenanya dilarang. Selanjutnya dalam
surat al-Isra’, 17:36 Allah berfirman :
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ
إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
Artinya
: “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan
tentangnya “.
Ayat
tersebut menurut mereka melarang seseorang untuk beramal dengan sesuatu yang
tidak diketahui secara pasti. Oleh sebab itu berdasarkan ayat tersebut qiyas
dilarang untuk diamalkan.
Alasan
– alasan mereka dari sunnah Rasul antara lain adalah sebuah hadits yang
diriwayatkan Daruquthni yang artinya adalah sebagai berikut :
“Sesungguhnya
Allah Ta’ala menentukan berbagai ketentuan, maka jangan kamu abaikan,
menentukan beberapa batasan, jangan kamu langgar, dia haramkan sesuatu, maka
jangan kamu langgat larangan itu, dia juga mendiamkan hukum sesuatu sebagai
rahmat bagi kamu, tanpa unsur kelupaan, maka janganlah kamu bahas hal itu”.
Hadits tersebut menurut mereka
menunjukkan bahwa sesuatu itu ada kalanya wajib, adakalanya haram dan
adakalanya di diamkan saja, yang hukumnya berkisar antara di ma’afkan dan mubah
(boleh). Apabila di qiyaskan sesuatu yang didiamkan syara’ kepada wajib,
misalnya maka ini berarti telah menetapkan hukum wajib kepada sesuatu yang
dima’afkan atau dibolehkan.
Sedangkan
jumhur ulama ushul fiqih yang membolehkan qiyas sebagai salah satu metode dalam
hukum syara’ mengemukakan beberapa alasan diantaranya adalah :
Surat
al-Hasyr, 59 : 2
فَاعْتَبِرُوا يَاأُولِي الْأَبْصَار
Artinya
: “maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang – orang yang
mempunyai pandangan”.
Ayat
tersebut menurut jumhur ushul fiqih berbicara tentang hukuman Allah terhadap
kaum kafir dari Bani Nadhir di sebabkan sikap buruk mereka terhadap Rasulullah.
Di akhir ayat, Allah memerintahkan agar umat Islam menjadikan kisah ini sebagai
I’tibar (pelajaran). Mengambil pelajaran dari suatu peristiwa menurut jumhur
ulama, termasuk qiyas. Oleh sebab itu penetapan hukum melalui qiyas yang
disebut Allah dengan al-I’tibar adalah boleh, bahkan al-Qur'an memerintahkannya
Ayat
lain yang dijadikan alasan qiyas adalah seluruh ayat yang mengandung
illat sebagai penyebab munculnya hukum tersebut, misalnya :
•
Surat al-Baqarah 2 : 222 :
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى
فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ
فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ
يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
“Mereka
bertanya kepadamu (Muhammad tentang haid. Katakanlah, “haid itu adalah
kotoran”, oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu
haid”.
• Surat
al-Maidah 5 : 91 :
“Sesungguhnya
setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian diantara kamu,
lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat
Allah dan sembahyang, maka berhentilah kamu (dari mengerjakan perbuatan itu).
•
Surat al-Maidah 5:6
.”Allah
tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan
menyempurnakan nikmat-Nya bagimu … “
Alasan
jumhur ulama dari hadits rasululah adalah riwayat dari Muadz Ibn Jabal yang
amat populer. Ketika itu Rasulullah mengutusnya ke Yaman untuk menjadi qadli.
Dalam hadits tersebut menurut jumhur ulama ushul fiqih, Rasulullah mengakui
ijtihad berdasarkan pendapat akal, dan qiyas termasuk ijtihad melalui
akal. Begitu juga dalam hadits lain Rasulullah menggunakan metode qiyas dalam
menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya. Suatu hari Umar bin Khatthab
mendatangi Rasulullah seraya berkata :
“Pada
hari ini saya telah melakukan suatu kesalahan besar, saya mencium istri saya,
sedangkan saya dalam keadaan berpuasa”. Lalu Rasulullah mengatakan pada Umar :
“bagaimana
pendapatmu jika kamu berkumur – kumur dalam keadaan berpuasa, apakah puasamu
batal ?, Umar menjawab, “tidak”, lalu Rasulullah saw berkata : kalau begitu
kenapa engkau sampai menyesal ?”. (H.R Ahmad Ibn Hanbal dan Abu Daud dari Umar
Ibn al-Khatthab)
Dalam
hadits tersebut Rasulullah mengqiyaskan mencium istri dengan berkumur – kumur,
yang keduanya sama – sama tidak membatalkan puasa.
Contoh Penerapan Qiyas dalam Ekonomi
Islam
Memahami bunga bank dari aspek legal-formal
dan secara induktif, berdasarkan pelarangan terhadap larangan riba yang diambil
dari teks (nas), dan tidak perlu dikaitkan dengan aspek moral dalam
pengharamannya[10].
Paradigma ini berpegang pada konsep bahwa setiap utang-piutang yang disyaratkan
ada tambahan atau manfaat dari modal adalah riba, walaupun tidak berlipat
ganda. Oleh karena itu, betapapun kecilnya, suku bunga bank tetap haram. Karena
berdasarkan teori qiyâs, kasus yang akan di-qiyas-kan (fara’) dan kasus yang
di-qiyas-kan (asal) keduanya harus disandarkan pada illat jâlî (illat yang
jelas). Dan kedua kasus tersebut (bunga bank dan riba) disatukan oleh illat
yang sama, yaitu adanya tambahan atau bunga tanpa disertai imbalan. Dengan
demikian, bunga bank sama hukumnya dengan riba.
Adapun
di antara tokoh-tokoh fikih Islam kontemporer yang menganut paradigma ini
adalah Abû Zahrah, Wahbah Zuhayli, Yûsûf al-Qardawi (masing-masing ahli fikih
Timur Tengah), Abdul Mannan, Syafi’i Antonio, Adiwarman Azwar Karim
(masing-masing ahli hukum Islam dan praktisi perbankan Islam Indonesia).
Yûsûf al-Qardawi berpendapat bahwa riba
yang diharamkan dalam Al-quran tidak membutuhkan penjelasan dan pembahasan
lebih lanjut, karena tidak mungkin Allah mengharamkan sesuatu kepada manusia
yang tidak mereka ketahui bentuknya. Pemahaman riba sesuai yang tertuang dalam
Q.S Al-Baqarah [2]:278-279
الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ
وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ ( فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ
مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا
تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ
menunjukkan segala kelebihan dari modal
adalah riba, sedikit maupun banyak. Maka setiap tambahan bagi modal yang
disyaratkan atau ditentukan terlebih dahulu, karena adanya unsur tenggang waktu
semata adalah riba[11].
Adapun Syafi'i Antonio yang merupakan
praktisi dan akademisi ekonomi Islam di Indonesia, terkait dengan bunga bank,
mengatakan bahwa kriteria berlipat-ganda bukanlah syarat terjadinya riba, tapi
itu hanya sifat. Artinya, besar atau kecil, bunga bank tetap riba, sebab sifat
umum riba adalah berlipat ganda (Antonio, 1999:82).
Sementara
dari segi konteks atau illat, pengharaman riba dalam Alquran adalah
karena adanya faktor zulm, yaitu memungut tambahan utang dari
pihak-pihak yang seharusnya ditolong. Sementara konteks bank adalah niaga (tijârah)
untuk mencari keuntungan bersama antara pihak yang punya modal (investor),
pihak yang membutuhkan modal (debitur/pengusaha), dan pihak perbankan sebagai
mediator dan penyedia jasa. Sehingga sama sekali tidak ada kaitannya dengan
tolong menolong antara si kaya dan si miskin, melainkan upaya kerjasama dalam
mengembangkan modal dengan menjadikan bank sebagai mediator antara penabung,
pengusaha dan bank [12].
Karena itu, aspek aniaya (ketidakadilan) di sini amat kecil kemungkinan terjadi
sebab masing-masing pihak telah saling rela dan mengetahui hak serta
kewajibannya masing-masing.
Dengan
konsep seperti itu, akhirnya mereka sampai kepada satu kesimpulan bahwa antara
riba dengan bunga bank memiliki konteks dan esensi yang berbeda. Riba dianggap
kelebihan yang diambil dari pinjaman yang ditujukan untuk keperluan konsumtif,
sedangkan bunga bank adalah kelebihan atas pinjaman yang ditujukan dalam
rangka, kebutuhan produktif.
Dengan analisis seperti itu, penganut
paradigma ini mengharuskan mereka, meninggalkan qiyâs dan lebih memilih
mengambil metode istihsân sebagai dasar untuk sampai kepada suatu
konklusi hukum yang dianggap lebih tepat untuk dijalankan[13].
Di antara tokoh dan ahli hukum Islam yang menganut paradigma kontekstual dalam
menilai permasalahan bunga bank adalah Munawir Syadzali, Quraish Shihab, Umar
Shihab dan M. Dawam Raharjo (masing-masing adalah ulama fikih dan
cendekiawan muslim Indonesia). Demikian pula, Fazlur Rahman, Mahmoud Syaltout,
dan Mustafa Ahmad al-Zarqa'.
III.
PENUTUP
Allah Swt mensyariatkan hukum tak
lain adalah untuk kemaslahatan. Kemaslahatan manusia merupakan tujuan yang
dimaksud dalam menciptakan hukum.
Nash baik Al Qur’an maupun hadits
jumlahnya terbatas dan final. Tetapi, permasalahan manusia lainnya tidak
terbatas dan tidak pernah selesai. Mustahil jika nash-nash tadi saja yang
menjadi sumber hukum syara’. Karenanya qiyas merupakan sumber hukum syara’ yang
tetap berjalan dengan munculnya permasalahan-permasalahan yang baru. Yang
kemudian qiyas menyingkap hukum syara’ dengan apa yang terjadi yang tentunya
sesuai dengan syariat dan maslahah.
Begitu juga halnya dalam kegiatan
muamalah, semua tidak terlepas dari hukum-hukum yang telah ditetatpkan,
terutama dalam mencari sulusi-sulusi dalam pemecahan permasalah ekonomi ummat.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad
Saebani, Ilmu Ushul Fiqh (Bandung : Pustaka Setia. 2008)
Muin
Umar, dkk, Ushul Fiqh 1 (Jakarta : Departemen Agama, 1986)
Djazuli,
Ushul Fiqih (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2000)
Harun
Nasrun, Ushul Fiqh 1(Jakarta. Logos Wacana Ilmu: 1995)
Ahmad
Hanafie, Ushul Fiqih (Jakarta : Widjaya, 1962)
Amir
Syarifuddin,. Ushul Fiqh Jilid 1. (Jakarta Wacana Ilmu:1997)
Tajuddin
‘Abdul Wahab al-Subki, Jam’u al-Jawani, (Beirut : Dar al-Fikr ,1974)
Mas'adi, Ghufton A, Fiqh
Muamalah Kontekstual. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002)
al-Qardawi, Yûsûf. 1993. Fawâ’id
al-Bunûk Hiya al-Ribâ al-Harâm; Dirâsat al-Fiqhiyyah fî Dau' al-Qur’ân wa
al-Sunnah wa al-Waqi'. Beirut: Mu'assasat al-Risâlah, 1993)
D.
Syarat-syarat qiyas
Setelah diterangkan rukuk-rukun qiyas,
berikut akan diterangkan syarat-syarat dari masing-masing rukun qiyas tersebut.
1)
Ashal
Menurut
Imam al-Ghozali dan Syaifuddin al-Amidi yang keduanya adalah ahli ushul fiqh
Syafiiyyah[7] syarat-syarat ashal
itu adalah:
·
Hukum ashl itu
adalah hukum yang telah tetap dan tidak mengandung kemungkinan dinasakhkan
·
Hukum itu
ditetapkan berdasarkan syara’
·
Ashal itu bukan
merupakan far’u dari ashl lainnya
·
Dalil yang
menetapkan ‘illat pada ashal itu adalah dalil khusus, tidak bersifat umum
·
Ashl itu tidak
berubah setelah dilakukan qiyas
·
Hukum ashl itu
tidak keluar dari kaidah-kaidah qiyas far’u.
2)
Al-Far’u
Para ulama ushul fiqh mengemukakan
beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh al-far’u[8] yaitu:
- Illat yang ada pada far’u harus sama dengan illat yang ada pada ashal. Contoh ‘illat yang sama dzatnya adalah mengqiyaskan wisky pada khamr, karena keduanya sama-sama memabukkan dan yang memabukkan itu sedikit atau banyak, apabila diminum hukumnya haram (H.R Muslim, Ahmad ibn Hanbal, al-Tirmidzi, Ibnu Majah dan al-Nasa’i). ‘illat yang ada pada wisky sama dengan zatnya/materinya dengan ‘illat yang ada pada khamr. Contoh ‘illat yang jenisnya sama adalah mengqiyaskan wajib qishas atau perbuatan sewenang-wenang terhadap anggota badan kepada qishas dalam pembunuhan, karena keduanya sama-sama perbuatan pidana.
- Hukum ashl tidak berubah setelah dilakukan qiyas. Misalnya, tidak boleh mengqiyaskan hukum mendzihar wanita dzimmi kepada mendzihar wanita muslimah dalam keharaman melakukan hubungan suami istri. Karena kaharaman hubungan suami istri dalam mendzihar suami istri yang bersifat muslimah bersifat sementara, yaitu sampai suami membayar kafarat. Sedangkan keharaman melakukan hubungan dengan istri yang berstatus dzimmi bersifat selamanya, karena orang kafir tidak dibebani membayar kafarat, dan kafarat merupkan ibadah, sedangkan mereka tidak dituntut untuk beribadah. Apabila qiyas ini ditetapkan, maka menurut ulama Hanafiyyah tidak sah. Akan tetapi menurut ulama Syafi’iyyah hukumnya sah karena orang dzimmi dikenakan kafarat.
- Tidak ada nash atau ijma’ yang menjelaskan hukum far’u itu. Artinya tidak ada nash atau ijma’ yang menjelaskan hukum far’u dan hukum itu bertentangan dengan qiyas, karena jika demikian, maka status qiyas ketika itu bisa bertentangan dengan nash atau ijma’. Qiyas yang bertentangan dengan nash atau ijma’, disebut para ulama’ ushul fiqh sebagai qiyas fasid. Misalnya, mengqiyaskan hukum meninggalkan shalat dalam perjalanan kepada hukum bolehnya musafir tidak berpuasa, karena qiyas seperti ini bertentangan dengan nash dan ijma’.
Bahkan
dalam literature lain ditambahkan beberapa syarat-syarat far’u[9], antara lain:
- Hukum furu’ tidak mendahului hukum ashl. Artinya hukum far’u itu harus datang kemudian dari hukum ashl. Contohnya adalah mengqiyaskan wudhu’ dengan tayammum dalam wajibnya niat, karena keduanya sama-sama taharah (suci). Qiyas tersebut tidak benar, karena wudlu’ (far’u) diadakan sebelum hijrah, sedang tayammum (ashl) diadakan sesudah hijrah. Lagipula ditetapkannya tayammum itu adalah sebagai pengganti wudlu’ di saat tidak dapat melakukan wudlu’. Bila qiyas itu dibenarkan, maka berarti menetapkan hukum sebelum ada illatnya.
- Cabang tidak mempunyai hukum yang tersendiri. Ulama usul berkata: “apabila datang nash maka qiyas menjadi batal.
- Hukum cabang sama dengan hukum ashl.
3)
Hukum Ashl
Syarat-syarat
hukum ashal[10], antara lain:
- Hukum syara’ itu hendaknya hukum syara’ yang amaly yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Hal ini diperlukan karena yang akan ditetapkan itu adalah hukum syara’, sedang sandaran hukum syara’ itu adalah nash. Atas dasar yang demikian, maka jumhur ulama’ berpendapat bahwa ijma’ tidak boleh menjadi sandaran qiyas. Mereka menyatakan bahwa hukum yang ditetapkan berdasarkan ijma’ adalah hukum yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan, tidak mempunyai sandaran, selain dari kesepakatan para mujtahid. Karenanya hukum yang ditetapkan secara ijma’tidak dapat diketahui dengan pasti, sehingga tidak mungkin mengqiyaskan hukum syara’ yang amaly kepada hukum yang mujmal ‘alaih. Asy-Syaukani membolehkan ijma’ sebagai sandaran qiyas.
- Hukum ashl harus ma’qul al-ma’na, artinya pensyari’atannya harus rasional
- Hukum ashl itu tidak merupakan hukum pengecualian atau hukum yang berlaku khusus untuk peristiwa atau kejadian tertentu.
Hukum
ashl macam ini ada dua macam, yaitu:
a. ‘Illat
hukum itu hanya ada pada hukum ashl saja, tidak mungkin pada yang lain. Seperti
dibolehkannya mengqoshor sholat bagi orang musafir. ‘Illat yang masuk akal
dalam hal ini ialah untuk menghilangkan kesukaran atau kesulitan (masyaqqot).
Tetapi Al-Qur’an dan dan hadits menerangkan bahwa illatnya itu bukan karena
masyaqqat tetapi karena adanya safar (perjalanan)
b. Dalil
(Al-Qur’an dan Hadits) menunjukkan bahwa hukum ashl itu berlaku khusus, tidak
berlaku pada kejadian atau peristiwa yang lailn. Misalnya dalam sebuah riwayat
dikatakan: Kesaksian Khuzaimah sendirian sudah cukup. (H.R. Abu Daud,
Ahmad ibn Hanbal, al-Hakim, al-Tirmidzi dan al-Nasa’i)
Ayat Al-Qur’an menentukan bahwa
sekurang-kurangnya saksi itu adalah dua orang laki-laki atau satu orang
laki-laki bersama dua orang wanita (Q.S Al-Baqarah, 2: 282), tetapi RAsulullh
saw. Menyatakan bahwa apabila Khuzaimah (sahabat) yang menjadi saksi, maka
cukup sendirian. Hukum kesaksian secara khusus ini tidak bisa dikembangkan dan
diterapkan kepada far’u, karena hukum ini hanya berlaku untuk pribadi
Khuzaimah. Demikian juga hukum-hukum yang dikhususkan bagi Rosululloh saw.,
seperti kawin lebih dari empat orang tanpa mahar.
Ada juga syarat lain yang disebutkan
dari sumber lain[11] bahwa syarat hukum
ashal adalah: Hukum ashl itu adalah hukum yang tetap berlaku, bukan hukum yang
telah dinasakhkan, sehingga masih mungkin dengan hukum ashl itu membangun
(menetapkan) hukum. Alasannya ialah bahwa perentangan hukum dari ashl kepada
far’u adalah didasarkan kepada adanya sifat yang menyatu pada keduanya. Hal ini
sangat tergantung kepada pandangan (i’tibar) dari pembuat hukum ashl yang telah
dimansukh, tidak ada lagi pandangan pembuat hukum terhadap sifat yang menyatu
pada hukum ashl tersebut.
4)
‘illat
Secara etimologi ‘illat berarti nama
bagi sesuatu yang menyebabkan berubahnya keadaan sesuatu yang lain dengan
keberadaannya. Misalnya penyakit itu dikatakan ‘illat, karena dengan adanya
penyakit tersebut tubuh manusia berubah dari sehat menjadi sakit.
Secara termenologi, terdapat beberapa
definisi ‘illat yang dikemukakan ulama ushul fiqh. Akan tetapi pada makalah ini
akan kami sebutkan definisi ‘illat menurut imam al-Ghozali, yaitu: Sifat
yang berpengaruh terhadap hukum, bukan karena dzatnya, melainkan karena
perbuatan syar’i.
Menurutnya, ‘illat itu bukanlah hukum,
tetapi merupakan penyebab munculnya hukum, dalam arti: adanya suatu ‘illat
menyebabkan munculnya hukum. Al-Ghozali berpendapat bahwa pengaruh ‘illat
terhadap hukum bukan dengan sendirinya, melainkan harus karena adanya izin
Allah. Maksudnya, Allah-lah yang menjadikan ‘illat itu berpengaruh terhadap
hukum[12].
Misalnya seorang pembunuh terhalang
mendapatkan warisan dari harta orang yang ia bunuh, disebabkan pembunuhan yang
ia lakukan. Dalam kasus ini bukan karena membunuh semata-mata yang menjadi
‘illat yang menyebabkan ia tidak mendapat warisan, tetapi atas perbuatan dari
kehendak Allah. Dengan demikian, ‘illat ini hanya merupakan indikasi, penyebab
dan motif dalam suatu hukum, yang dijadikan ukuran untuk mengetahui suatu
hukum.
Adapun cara mengoperasionalkan qiyas ini
yakni dimulai dengan mengeluarkan hukum yang ada pada kasus yang disebutkan
dalam nash, setelah itu kita teliti illatnya. Selanjutnya kita cari dan teliti
illat yang ada pada kasus yang tidak disebutkan dalam nash, sama ataukah tidak.
Jika sudah diyakini bahwa illat yang ada dalam kedua kasus tersebut ternyata
sama maka kita menggunakan ketentuan hukum pada kedua kasus itu
berdasarkan keadaan illat.
Supaya lebih mudah memahaminya, akan
kami kemukakan beberapa contoh berikut: Memakai (mengkonsumsi) narkotik adalah suatu perbuatan yang perlu ditetapkan
hukumnya, karena tidak ada satu nashpun yang dapat dijadikan sebagai dasar
hukumnya. Untuk menetapkan hukumnya dapat ditempuh cara qiyas dengan mencari
perbuatan yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash, yaitu
perbuatan minum khamr, yang diharamkan berdasarkan firman Allah SWT:
Artinya:
Hai
orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban
untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan.
Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.
(Q.S al-Ma’idah: 90)
Antara Memakai (mengkonsumsi) narkotika
dan minum khamr ada persamaan ‘illat, yaitu sama-sama berakibat memabukkan para
peminumnya, sehingga dapat merusak akal. Berdasarkan persamaan ‘illat itu,
ditetapkanlah hukum Memakai (mengkonsumsi) narkotik yaitu haram, sebagaimana
haramnya minum khomr.
Dalam contoh yang lain : Si A telah
menerima wasiat dari B bahwa ia akan menerima sebidang tanah yang telah
ditentukan, jika B meninggal dunia. A ingin segera memperoleh tanah yang
diwasiatkan itu, karena itu dibunuhnyalah B. Timbul persoalan: apakah A tetap
memperoleh tanah yang diwasiatkan itu? Untuk menetapkan hukumnya dicarilah
kejadian yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash dan ada pula
persamaan ‘illatnya. Perbuatan itu ialah pembunuhan yang dilakukan oleh ahli
waris terhadap orang yang akan diwarisinya, karena ingin segera memperoleh
harta warisan. Sehubungan dengan ini Rosulullah saw bersabda:
الْقَاتِلُ
لاَيَرِثُ
Orang
yang membunuh (orang yang akan diwarisinya) tidak berhak mewarisi. (H.R
Tirmidzi)
Antara kedua peristiwa itu ada persamaan
illatnya, yaitu ingin segera memperoleh sesuatu sebelum sampai waktu yang
ditentukan. Berdasarkan persamaan ‘illat itu dapat ditetapkan hukum bahwa si A
haram memperoleh tanah yang diwasiatkan B untuknya, karena ia telah membunuh
orang yang telah berwasiat untuknya, sebagaiman orang yang telah membunuh orang
yang akan diwarisinya, diharamkan memperoleh harta warisan dari orang yang
telah dibunuhnya.
Dari
contoh-contoh di atas dapat dilihat bahwa dalam melakukan qiyas ada satu
peristiwa atau kejadian yang perlu ditetapkan hukumnya sedang tidak ada satupun
nash yang dapat dijadikan dasar hukumnya untuk menetapkan hukum dari peristiwa
atau kejadian itu, dicarilah peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya
berdasar nash. Kedua peristiwa atau kejadian itu mempunyai ‘illat yang sama
pula. Kemudian ditetapkanlah hukum peristiwa atau kejadian yang pertama sama
dengan hukum peristiwa atau kejadian yang kedua[3].
Berhubung qiyas merupakan aktivitas
akal, maka
Beberapa ulama berselisih faham dengan
ulama jumhur. Pandangan ulama mengenai kehujjatan qiyas qiyas ini terbagi
menjadi tiga kelompok:
1. Kelompok
jumhur, mereka menggunakan qiyas sebagai dasar hukum pada hal-hal yang tidak
jelas nashnya baik dalam Al Qur’an, hadits, pendapat shahabat maupun ijma
ulama.
2. Mazhab
Zhahiriyah dan Syiah Imamiyah, mereka sama sekali tidak menggunakan qiyas.
Mazhab Zhahiri tidak mengakui adalanya illat nash dan tidak berusaha mengetahui
sasaran dan tujuan nash termasuk menyingkap alasan-alasannya guna menetapkan
suatu kepastian hukum yang sesuai dengan illat. Sebaliknya, mereka menetapkan
hukum hanya dari teks nash semata.
3. Kelompok
yang lebih memperluas pemakaian qiyas, yang berusaha berbagai hal karena
persamaan illat. Bahkan dalam kondisi dan masalah tertentu, kelompok ini
menerapkan qiyas sebagai pentakhsih dari keumuman dalil Al Qur’an dan hadits
B.
Dasar Hukum Qiyas
Sebagian besar para ulama fiqh dan para
pengikut madzhab yang empat sependapat bahwa qiyas dapat dijadikan salah satu
dalil atau dasar hujjah dalam menetapkan hukum dalam ajaran Islam. Hanya mereka
berbeda pendapat tentang kadar penggunaan qiyas atau macam-macam qiyas yang
boleh digunakan dalam mengistinbathkan hukum, ada yang membatasinya dan ada
pula yang tidak membatasinya, namun semua mereka itu barulah melakukan qiyas
apabila ada kejadian atau peristiwa tetapi tidak diperoleh satu nashpun yang
dapat dijadikan dasar. Hanya sebagian kecil para ulama yang tidak membolehkan
pemakaian qiyas sebagai dasar hujjah, diantaranya ialah salah satu cabang
Madzhab Dzahiri dan Madzhab Syi’ah.
Mengenai dasar hukum qiyas bagi
yang membolehkannya sebagai dasar hujjah, ialah al-Qur’an dan al-Hadits dan
perbuatan sahabat yaitu:
a. Al-Qur’an
Allah
SWT berfirman:
Artinya: “Hai orang-orang yang
beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan ulil amri kamu, kemudian jika
kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan
Rasul, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat. Yang demikian itu lebih
baik (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (an-Nisâ’: 59)
Dari ayat di atas dapat diambilah
pengertian bahwa Allah SWT memerintahkan kaum muslimin agar menetapkan segala
sesuatu berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits. Jika tidak ada dalam al-Qur’an dan
al-Hadits hendaklah mengikuti pendapat ulil amri. Jika tidak ada pendapat ulil
amri boleh menetapkan hukum dengan mengembalikannya kepada al-Qur’an dan
al-Hadits, yaitu dengan menghubungkan atau memperbandingkannya dengan yang
terdapat dalam al-Qur’an dan al-Hadits. Dalam hal ini banyak cara yang dapat dilakukan
diantaranya dengan melakukan qiyas.
Dalam
ayat yang lain Allah berfirman
Artinya:
“Dialah yang mengeluarkan orang-orang kafir ahli kitab dari kampung halaman
mereka pada pengusiran pertama kali[4]. Kamu tidak mengira
bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin bahwa benteng-benteng mereka akan
dapat menghindarkan mereka dari (siksaan) Allah, akan tetapi Allah mendatangkan
kepada mereka (siksaan) dari arah yang tidak mereka sangka. Dan Allah
menanamkan ketakutan ke dalam hati mereka, dan mereka membinasakan rumah-rumah
mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan-tangan orang yang beriman. Maka
ambillah tamsil dan ibarat (dari kejadian itu) hai orang-orang yang mempunyai
pandangan yang tajam.” (al-Hasyr: 2)
Pada ayat di atas terdapat perkataan
fa’tabirû yâ ulil abshâr (maka ambillah tamsil dan ibarat dari kejadian itu hai
orang-orang yang mempunyai pandangan tajam). Maksudnya ialah: Allah SWT
memerintahkan kepada manusia agar membandingkan kejadian yang terjadi pada diri
sendiri kepada kejadian yang terjadi pada orang-orang kafir itu. Jika
orang-orang beriman melakukan perbuatan seperti perbuatan orang-orang kafir
itu, niscaya mereka akan memperoleh azab yang serupa. Dari penjelmaan ayat di
atas dapat dipahamkan bahwa orang boleh menetapkan suatu hukum syara’ dengan
cara melakukan perbandingan, persamaan atau qiyas.
b. Al-Hadits.
Setelah Rasulullah SAW melantik Mu’adz
bin Jabal sebagai gubernur Yaman, beliau bertanya kepadanya:
Artinya: “Bagaimana (cara) kamul
menetapkan hukum apabila dikemukakan suatu peristiwa kepadamu? Mu’adz menjawab:
Akan aku tetapkan berdasar al-Qur’an. Jika engkau tidak memperolehnya dalam
al-Qur’an? Mu’adz berkata: Akan aku tetapkan dengan sunnah Rasulullah. Jika
engkau tidak memperoleh dalam sunnah Rasulullah? Mu’adz menjawab: Aku akan
berijtihad dengan menggunakan akalku dengan berusaha sungguh-sungguh. (Mu’adz
berkata): Lalu Rasulullah menepuk dadanya dan berkata: Segala puji bagi Allah
yang telah memberi petunjuk petugas yang diangkat Rasulullah, karena ia berbuat
sesuai dengan yang diridhai Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Ahmad Abu Daud dan
at-Tirmidzi)
Dari hadits ini dapat dipahami bahwa
seorang boleh melakukan ijtihad dalam menetapkan hukum suatu peristiwa jika
tidak menemukan ayat-ayat al-Qur’an dan al-Hadits yang dapat dijadikan sebagai
dasarnya. Banyak cara yang dapat dilakukan dalam berijtihad itu. Salah satu
diantaranya ialah dengan menggunakan qiyas.
Dalam peristiwa yang lain Rasulullah SAW
pernah menggunakan qiyas waktu menjawab pertanyaan yang dikemukakan sahabat kepadanya,
seperti:
Artinya:“Sesungguhnya seorang wanita
dari qabilah Juhainah pernah menghadap Rasullah SAW ia berkata: sesungguhnya
ibuku telah bernadzar melaksanakan ibadah haji, tetapi ia tidak sempat
melaksanakannya sampai ia meninggal dunia, apakah aku berkewajiban melaksanakan
hajinya? Rasullah SAW menjawab: Benar, laksanakanlah haji untuknya, tahukah
kamu, seandainya ibumu mempunnyai hutang, tentu kamu yang akan melunasinya.
Bayarlah hutang kepada Allah, karena hutang kepada Allah lebih utama untuk dibayar.”
(HR. Bukhari dan an-Nasâ’i)
Pada hadits di atas Rasulullah
mengqiyaskan hutang kepada Allah dengan hutang kepada manusia. Seorang anak
perempuan menyatakan bahwa ibunya telah meninggal dunia dalam keadaan berhutang
kepada Allah, yaitu belum sempat menunaikan nadzarnya untuk menunaikan ibadah
haji. Kemudian Rasulullah SAW menjawab dengan mengqiyaskannya kepada hutang.
Jika seorang ibu meninggal dunia dalam keadaan berhutang, maka anaknya wajib
melunasinya. Beliau menyatakan hutang kepada Allah lebih utama dibanding dengan
hutang kepada manusia. Jika hutang kepada manusia wajib dibayar tentulah hutang
kepada Allah lebih utama harus dibayar. Dengan cara demikian seakan-akan
Rasulullah SAW menggunakan qiyas aulawi.
c. Perbuatan sahabat
Para sahabat Nabi SAW banyak melakukan
qiyas dalam menetapkan hukum suatu peristiwa yang tidak ada nashnya. Seperti
alasan pengangkatan Khalifah Abu Bakar. Menurut para sahabat Abu Bakar lebih
utama diangkat menjadi khalifah dibanding sahabat-sahabat yang lain, karena dialah
yang disuruh Nabi SAW mewakili beliau sebagai imam shalat di waktu beliau
sedang sakit. Jika Rasulullah SAW ridha Abu Bakar mengganti beliau sebagai imam
shalat, tentu beliau lebih ridha jika Abu Bakar menggantikan beliau sebagai
kepala pemerintahan.
Khalifah Umar bin Khattab pernah
menuliskan surat kepada Abu Musa al-Asy’ari yang memberikan petunjuk bagaimana
seharusnya sikap dan cara seorang hakim mengambil keputusan. Diantara isi surat
beliau itu ialah:
Artinya: “kemudian pahamilah
benar-benar persoalan yang dikemukakan kepadamu tentang perkara yang tidak
terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah. Kemudian
lakukanlah qiyas dalam keadaan demikian terhadap perkara-perkara itu dan
carilah contoh-contohnya, kemudian berpeganglah kepada pendapat engkau yang paling
baik di sisi Allah dan yang paling sesuai dengan kebenaran…”
d. Akal
Tujuan Allah SWT menetapakan syara’ bagi
kemaslahatan manusia. Dalam pada itu setiap peristiwa ada yang diterangkan
dasarnya dalam nash dan ada pula yang tidak diterangkan. Peristiwa yang tidak
diterangkan dalam nash atau tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai
dasarnya ada yang ‘illatnya sesuai benar dengan ‘illat hukum dari peristiwa
yang ada nash sebagai dasarnya. Menetapkan hukum dari peristiwa yang tidak ada
nash sebagai dasarnya ini sesuai dengan hukum yang telah ditetapkan berdasar
nash karena ada persamaan ‘illatnya diduga keras akan memberikan kemaslahatan
kepada hamba. Sebab itu tepatlah kiranya hukum dari peristiwa itu ditetapkan
dengan cara qiyas.
C. Rukun Qiyas
Dari pengertian qiyas yang dikemukakan
di atas dapat disimpulkan bahwa unsur pokok (rukun) qiyas terdiri atas empat
unsur[5] berikut:
5. Ashal
(asal); yaitu sesuatu yang dinashkan hukumnya yang menjadi ukuran atau tempat
menyerupakan/ menqiyaskan. Dalam istilah ushul disebut ashal (الاصل)
atau maqis ‘alaih (المقيس عليه) atau musyabbah bih (مشبه به).
6. Far’
(cabang); yaitu sesuatu yang tidak dinashkan hukumnya yang diserupakan atau
yang diqiyaskan. Di dalam istilah ushul disebut al-far’u (الفرع) atau al-maqis
(المقيس) atau al-musyabbah (المشبه).
7. Hukum
ashal (حكم الاصل); yaitu hukum syara’ yang dinashkan pada pokok yang kemudian
akan menjadi hukum pula bagi cabang.
8. Illat
(العلة); yaitu sebab yang menyambungkan pokok dengan cabangnya atau suatu sifat
yang ada pada ashal dan sifat yang dicari pada far’.
Syarat-syarat
illat antara lain adalah:
5. Illat
itu adalah sifat yang jelas, yang dapat dicapai oleh panca indra
6. Merupaka
sifat yang tegas dan tidak elastis yakani dapat dipastiakan berwujudnya pada
furu’ dan tidak mudah berubah
7. Merupakan
sifat yang munasabah , yakni ada persesuian antara hukum da sifatnya
8. Merupakan
sifat yang tidak terbatsas pada aslnya, tapi bisa juaga berwujud pada beberapa
satuan hukum yang bukan asl
Sebagai contoh ialah menjual harta anak
yatim adalah suatu peristiwa yang perlu ditetapkan hukumnya karena tidak ada
nash yang dapat dijadikan sebagai dasarnya. Peristiwa ini disebut far’u. untuk
menetapkan hukumnya dicari suatu peristiwa yang lain yang telah ditetapkan
hukumnya berdasar nash yang ‘illatnya sama dengan peristiwa pertama. Peristiwa
kedua ini memakan harta anak yatim yang disebut ashal. Peristiwa kedua ini
telah ditetapkan hukumnya berdasar nash yaitu haram (hukum ashal) berdasarkan
firman Allah SWT:
Artinya:
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim,
sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke
dalam api yang menyala-nyala (neraka). (Q.S an-Nisa’: 10).
Persamaan
‘illat antara kedua peristiwa ini, ialah sama-sama berakibat berkurang atau
habisnya harta anak yatim. Karena itu ditetapkanlah hukum menjual harta anak
yatim sama dengan memakan harta anak yatim yaitu sama-sama haram.
Dari
keterangan di atas dapat disimpulkan[6]
sebagai berikut:
-
Ashal, ialah memakan harta anak yatim
-
Far’u, ialah menjual harta anak yatim
-
Hukum ashal, ialah haram
-
‘Illlat, ialah mengurangi atau menghabiskan harta anak yatim.
D.
Syarat-syarat qiyas
Setelah diterangkan rukuk-rukun qiyas,
berikut akan diterangkan syarat-syarat dari masing-masing rukun qiyas tersebut.
1)
Ashal
Menurut
Imam al-Ghozali dan Syaifuddin al-Amidi yang keduanya adalah ahli ushul fiqh
Syafiiyyah[7] syarat-syarat ashal
itu adalah:
·
Hukum ashl itu
adalah hukum yang telah tetap dan tidak mengandung kemungkinan dinasakhkan
·
Hukum itu
ditetapkan berdasarkan syara’
·
Ashal itu bukan
merupakan far’u dari ashl lainnya
·
Dalil yang
menetapkan ‘illat pada ashal itu adalah dalil khusus, tidak bersifat umum
·
Ashl itu tidak
berubah setelah dilakukan qiyas
·
Hukum ashl itu
tidak keluar dari kaidah-kaidah qiyas far’u.
2)
Al-Far’u
Para ulama ushul fiqh mengemukakan
beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh al-far’u[8] yaitu:
- Illat yang ada pada far’u harus sama dengan illat yang ada pada ashal. Contoh ‘illat yang sama dzatnya adalah mengqiyaskan wisky pada khamr, karena keduanya sama-sama memabukkan dan yang memabukkan itu sedikit atau banyak, apabila diminum hukumnya haram (H.R Muslim, Ahmad ibn Hanbal, al-Tirmidzi, Ibnu Majah dan al-Nasa’i). ‘illat yang ada pada wisky sama dengan zatnya/materinya dengan ‘illat yang ada pada khamr. Contoh ‘illat yang jenisnya sama adalah mengqiyaskan wajib qishas atau perbuatan sewenang-wenang terhadap anggota badan kepada qishas dalam pembunuhan, karena keduanya sama-sama perbuatan pidana.
- Hukum ashl tidak berubah setelah dilakukan qiyas. Misalnya, tidak boleh mengqiyaskan hukum mendzihar wanita dzimmi kepada mendzihar wanita muslimah dalam keharaman melakukan hubungan suami istri. Karena kaharaman hubungan suami istri dalam mendzihar suami istri yang bersifat muslimah bersifat sementara, yaitu sampai suami membayar kafarat. Sedangkan keharaman melakukan hubungan dengan istri yang berstatus dzimmi bersifat selamanya, karena orang kafir tidak dibebani membayar kafarat, dan kafarat merupkan ibadah, sedangkan mereka tidak dituntut untuk beribadah. Apabila qiyas ini ditetapkan, maka menurut ulama Hanafiyyah tidak sah. Akan tetapi menurut ulama Syafi’iyyah hukumnya sah karena orang dzimmi dikenakan kafarat.
- Tidak ada nash atau ijma’ yang menjelaskan hukum far’u itu. Artinya tidak ada nash atau ijma’ yang menjelaskan hukum far’u dan hukum itu bertentangan dengan qiyas, karena jika demikian, maka status qiyas ketika itu bisa bertentangan dengan nash atau ijma’. Qiyas yang bertentangan dengan nash atau ijma’, disebut para ulama’ ushul fiqh sebagai qiyas fasid. Misalnya, mengqiyaskan hukum meninggalkan shalat dalam perjalanan kepada hukum bolehnya musafir tidak berpuasa, karena qiyas seperti ini bertentangan dengan nash dan ijma’.
Bahkan
dalam literature lain ditambahkan beberapa syarat-syarat far’u[9], antara lain:
- Hukum furu’ tidak mendahului hukum ashl. Artinya hukum far’u itu harus datang kemudian dari hukum ashl. Contohnya adalah mengqiyaskan wudhu’ dengan tayammum dalam wajibnya niat, karena keduanya sama-sama taharah (suci). Qiyas tersebut tidak benar, karena wudlu’ (far’u) diadakan sebelum hijrah, sedang tayammum (ashl) diadakan sesudah hijrah. Lagipula ditetapkannya tayammum itu adalah sebagai pengganti wudlu’ di saat tidak dapat melakukan wudlu’. Bila qiyas itu dibenarkan, maka berarti menetapkan hukum sebelum ada illatnya.
- Cabang tidak mempunyai hukum yang tersendiri. Ulama usul berkata: “apabila datang nash maka qiyas menjadi batal.
- Hukum cabang sama dengan hukum ashl.
3)
Hukum Ashl
Syarat-syarat
hukum ashal[10], antara lain:
- Hukum syara’ itu hendaknya hukum syara’ yang amaly yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Hal ini diperlukan karena yang akan ditetapkan itu adalah hukum syara’, sedang sandaran hukum syara’ itu adalah nash. Atas dasar yang demikian, maka jumhur ulama’ berpendapat bahwa ijma’ tidak boleh menjadi sandaran qiyas. Mereka menyatakan bahwa hukum yang ditetapkan berdasarkan ijma’ adalah hukum yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan, tidak mempunyai sandaran, selain dari kesepakatan para mujtahid. Karenanya hukum yang ditetapkan secara ijma’tidak dapat diketahui dengan pasti, sehingga tidak mungkin mengqiyaskan hukum syara’ yang amaly kepada hukum yang mujmal ‘alaih. Asy-Syaukani membolehkan ijma’ sebagai sandaran qiyas.
- Hukum ashl harus ma’qul al-ma’na, artinya pensyari’atannya harus rasional
- Hukum ashl itu tidak merupakan hukum pengecualian atau hukum yang berlaku khusus untuk peristiwa atau kejadian tertentu.
Hukum
ashl macam ini ada dua macam, yaitu:
a. ‘Illat
hukum itu hanya ada pada hukum ashl saja, tidak mungkin pada yang lain. Seperti
dibolehkannya mengqoshor sholat bagi orang musafir. ‘Illat yang masuk akal
dalam hal ini ialah untuk menghilangkan kesukaran atau kesulitan (masyaqqot).
Tetapi Al-Qur’an dan dan hadits menerangkan bahwa illatnya itu bukan karena
masyaqqat tetapi karena adanya safar (perjalanan)
b. Dalil
(Al-Qur’an dan Hadits) menunjukkan bahwa hukum ashl itu berlaku khusus, tidak
berlaku pada kejadian atau peristiwa yang lailn. Misalnya dalam sebuah riwayat
dikatakan: Kesaksian Khuzaimah sendirian sudah cukup. (H.R. Abu Daud,
Ahmad ibn Hanbal, al-Hakim, al-Tirmidzi dan al-Nasa’i)
Ayat Al-Qur’an menentukan bahwa
sekurang-kurangnya saksi itu adalah dua orang laki-laki atau satu orang
laki-laki bersama dua orang wanita (Q.S Al-Baqarah, 2: 282), tetapi RAsulullh
saw. Menyatakan bahwa apabila Khuzaimah (sahabat) yang menjadi saksi, maka
cukup sendirian. Hukum kesaksian secara khusus ini tidak bisa dikembangkan dan
diterapkan kepada far’u, karena hukum ini hanya berlaku untuk pribadi
Khuzaimah. Demikian juga hukum-hukum yang dikhususkan bagi Rosululloh saw.,
seperti kawin lebih dari empat orang tanpa mahar.
Ada juga syarat lain yang disebutkan
dari sumber lain[11] bahwa syarat hukum
ashal adalah: Hukum ashl itu adalah hukum yang tetap berlaku, bukan hukum yang
telah dinasakhkan, sehingga masih mungkin dengan hukum ashl itu membangun
(menetapkan) hukum. Alasannya ialah bahwa perentangan hukum dari ashl kepada
far’u adalah didasarkan kepada adanya sifat yang menyatu pada keduanya. Hal ini
sangat tergantung kepada pandangan (i’tibar) dari pembuat hukum ashl yang telah
dimansukh, tidak ada lagi pandangan pembuat hukum terhadap sifat yang menyatu
pada hukum ashl tersebut.
4)
‘illat
Secara etimologi ‘illat berarti nama
bagi sesuatu yang menyebabkan berubahnya keadaan sesuatu yang lain dengan
keberadaannya. Misalnya penyakit itu dikatakan ‘illat, karena dengan adanya
penyakit tersebut tubuh manusia berubah dari sehat menjadi sakit.
Secara termenologi, terdapat beberapa
definisi ‘illat yang dikemukakan ulama ushul fiqh. Akan tetapi pada makalah ini
akan kami sebutkan definisi ‘illat menurut imam al-Ghozali, yaitu: Sifat
yang berpengaruh terhadap hukum, bukan karena dzatnya, melainkan karena
perbuatan syar’i.
Menurutnya, ‘illat itu bukanlah hukum,
tetapi merupakan penyebab munculnya hukum, dalam arti: adanya suatu ‘illat
menyebabkan munculnya hukum. Al-Ghozali berpendapat bahwa pengaruh ‘illat
terhadap hukum bukan dengan sendirinya, melainkan harus karena adanya izin
Allah. Maksudnya, Allah-lah yang menjadikan ‘illat itu berpengaruh terhadap
hukum[12].
Misalnya seorang pembunuh terhalang
mendapatkan warisan dari harta orang yang ia bunuh, disebabkan pembunuhan yang
ia lakukan. Dalam kasus ini bukan karena membunuh semata-mata yang menjadi
‘illat yang menyebabkan ia tidak mendapat warisan, tetapi atas perbuatan dari
kehendak Allah. Dengan demikian, ‘illat ini hanya merupakan indikasi, penyebab
dan motif dalam suatu hukum, yang dijadikan ukuran untuk mengetahui suatu
hukum.
1)
Bentuk-bentuk ‘illat
‘illat
adalah sifat yang menjadi kaitan bagi adanya suatu hukum. Ada beberapa bentuk
sifat yang munkin menjadi ‘illat bagi hukum bila telah memenuhi syarat-syarat
tertentu[13]. Di antara bentuk
sifat itu adalah:
- Sifat haqiqi, yaitu yang dapat dicapai oleh akal dengan sendirinya, tanpa tergantung kepada ‘urf (kebiasaan) atau lainnya. Contohnya: sifat memabukkan pada minuman keras.
- Sifat hissi, yaitu sifat atau sesuatu yang dapat diamati dengan alat indera. Contohnya: pembunuhan yang menjadi penyebab terhindarnya seseorang dari hak warisan, pencurian yang menyebabkan hukum potong tangan, atau sesuatu yang dapat dirasakan, seperti senang atau benci.
- Sifat ‘urfi, yaitu sifat yang tidak dapat diukur, namun dapat dirasakan bersama. Contohnya: buruk dan baik, mulia dan hina.
- Sifat lughowi, yaitu sifat yang dapat diketahui dalam penamaannya dalam artian bahasa. Contohnya: diharamkannya nabiz karena ia bernama khomr.
- Sifat syar’i, yaitu sifat yang keadaannya sebagai hukum syar’i dijadikan alasan untuk menetapkan sesuatu hukum. Contohnya: menetapkan bolehnya mengagungkan barang milik bersama dengan alasan bolehnya barang itu dijual.
- Sifat murakkab, yaitu bergabungnya beberapa sifat yang menjadi alasan adanya suatu hukum. Contohnya: sifat pembunuhan secara sengaja, dan dalam bentuk permusuhan, semuanya dijadikan alasan berlakunya hukum qishos.
Semua sifat tersebut dapat menjadi
‘illat. Tetapi mengenai kemungkinannya untuk menjadi ‘illat bagi suatu hukum,
para ulama berbeda pendapat. Bagi ulama yang dapat menerima sifat tersebut
sebagai ‘illat, masih diperlukan beberapa syarat yang akan dijelakan di bawah
ini.
2)
Syarat-syarat ‘illat
Syarat-suarat
‘illat[14] adalah sebagai berikut:
1.‘illat itu mengandung motivasi hukum,
bukan sekedar tanda-tanda atau indikasi hukum. Maksudnya, fungsi ‘illat adalah
bagian dari tujuan disyari’atkannya hukum, yaitu untuk kemashlahatan umat
manusia. Contohnya: sifat “menjaga diri” merupakan hikmah diwajibkannya
qishosh. Maksudnya, bila seseorang pembunuh diqishosh, maka orang akan menjauhi
pembunuhan, sehingga diri (jiwa) manusia akan terpelihara dari pembunuhan.
2. Illat itu jelas, nyata,
dan bisa ditangkap indera manusia, karena ‘illat merupakan pertanda adanya
hukum. Misalnya sifat memabukkan dalam khamr. Apabila ‘illat itu tidak nyata,
tidak jelas, dan tidak bisa ditangkap indera manusia, maka sifat seperti itu
tidak bisa dijadikan ‘illat. Contoh sifat yang tidak nyata, adalah sifat
“sukarela” dalam jual beli. Sifat “sukarela” ini tidak bisa dijadikan ‘illat
yang menyebabkan pemindahan hak milik dalam jual beli, karena “sukarela’ itu
masalah batin yang sulit diindera. Itulah sebabnya para ahli fiqh menyatakan
bahwa “sukarela” itu harus diwujudkan dalam bentuk perkataan “ijab” dan
”qobul”.
Dalam literature lain[15]
ditambahkan bahwa syarat ‘illat itu antara lain:
3. ‘illat itu harus dalam bentuk
sifat yang terukur (منضبطه), keadaannya jelas dan terbatas, sehingga tidak
bercampur dengan yang lainnya. Contohnya: keadaan dalam perjalanan menjadi
‘illat untuk bolehnya mengqashar sholat. Qashar sholat diperbolehkan bagi orang
yang melakukan perjalanan, karena keadaan dalam perjalanan itu menyulitkan
(masyaqqah), namun masyaqqah itu sendiri tidak dapat diukur dan ditentukan
secara pasti, karena berbeda antara seseorang dengan lainnya, antara satu
situasi dan situasi lainnya. Karenanya, masyaqqah itu tidak dapat dijadikan
‘illat hukum. Sifatnya sama dengan sifat yang batin (tidak dhahir), sehingga
harus diambil sifat lain yang dhahir sebagai patokan yang alasan di dalamnya
terdapat alasan yang sebenarnya, yaitu “keberadaan dalam perjalanan” yang
sifatnya jelas dan terukur.
4. Harus ada hubungan kesesuaian dan
kelayakan antara hukum dengan sifat yang akan menjadi ‘illat (مناسبه و ملائمه).
Adanya kesesuaian hubungan antara sifat dengan hukum itu menjadikannya
rasional, diterima semua pihak, dan mendorong seseorang untuk lebih yakin dalam
berbuat.
Contohnya: sakit menjadi ‘illat bolehnya
seseorang membatalkan puasa, karena sakit itu menyulitkan seseorang untuk
berpuasa. Seandainya dilakukan juga, malah akan merusak dirinya, padahal syara’
melarang merusak dan melarang mencelakakan diri. Sifat yang tidak ada hubungan
kesesuaian dengan hukum tidak dapat dijadikan ‘illat bagi bolehnya berbuka
puasa, karena antara mengantuk dan puasa tidak mempunyai hubungan kesesuaian
apa-apa.
3)
Fungsi ‘illat
Pada dasanya setiap ‘illat menimbulkan
hukum. Antara ‘illat dan hukum mempunyai kaitan yang erat. Dalam kaitan itulah
terlihat fungsi tertentu dari ‘illat,[16]
yaitu sebagai:
- Penyebab/penetap yaitu ‘illat yang dalam hubungannya dengan hukum merupakan penyebab atau penetap (yang menetapkan) adanya hukum, baik dengan nama mu’arrif, mu’assir, atau ba’its. Contohnya ‘illat memabukkan menyebabkan berlakunya hukum haram pada makanan dan minuman yang memabukkan.
- Penolak yaitu ‘illat yang keberadaannya menghalangi hukum yang akan terjadi, tetapi tidak mencabut hukum itu seandainya ‘illat tersebut terdapat pada saat hukum tengah berlaku. Contohnya dalam masalah iddah. Adanya iddah menolak dan menghalangi terjadinya perkawinan dengan laki-laki yang lain, tetapi iddah itu tidak mencabut kelangsungan perkawinan bila iddah itu terjadi dalam perkawinan. Iddah dalam hal ini adalah iddah syubhat.
- Pencabut yaitu ‘illat yang mencabut kelangsungan suatu hukum bila ‘illat itu terjadi dalam masa tersebut, tetapi ‘illat itu tidak menolak terjadinya suatu hukum. Contohnya: sifat thalaq dalam hubungannya dengan kebolehan bergaul. Adanya thalaq itu mencabut haq bergaul suami istri (jika mereka telah menikah atau rujuk), karena memang mereka boleh menikah lagi sesudah adanya thalaq itu.
- Penolak dan pencabut yaitu ‘illat yang dalam hubungannya dengan hukum dapat mencegah terjadinya suatu hukum dan sekaligus dapat mencabutnya bila hukum itu telah berlangsung. Contohnya sifat radha’ (hubungan persusuan) berkaitan dengan hubungan perwakinan. Adanya hubungan susuan mencegah terjadinya hubungan perkawinan antara orang yang sepersusuan dan sekaligus mencabut atau membatalkan hubungan perkawinan yang sedang berlangsung, bila hubungan susunan itu terjadi (diketahui) waktu berlangsungnya perkawinan.
E.
Pembagian qiyas
Qiyas dapat dibagi menjadi tiga macam[17], yaitu: Qiyas ‘illat, Qiyas dalalah
dan Qiyas syibih.
- Qiyas ‘illat
Qiyas ‘illat
ialah qiyas yang mempersamakan ashl dengan far’u, karena keduanya mempunyai
persamaan ‘illat. Qiyas ‘illat terbagi:
a. Qiyas
jali, ialah qiyas yang ‘illatnya berdasarkan dalil yang pasti, tidak ada
kemungkinan lain selain dari ‘illat yang ditunjukkan oleh dalil itu. Qiyas jali
terbagi menjadi:
- Qiyas
yang ‘illatnya ditunjuk dengan kata-kata, seperti memabukkan adalah ‘illat
larangan minum khamr, yang disebut dengan jelas dalam nash.
- Qiyas
mulawi ialah yang hukum pada far’u sebenarnya lebih utama ditetapkan dibanding
dengan hukum pada ashal. Seperti haramnya hukum mengucapkan kata “ah” kepada
kedua orang tua berdasarkan firman Allah SWT:
Artinya: Maka sekali-kali janganlah
kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan “ah” (Q.S al-Isra’: 23)
‘illatnya ialah menyakiti hati kedua
orang tua. Bagaimana hukum memukul orang tua? Dari kedua peristiwa itu nyatalah
bahwa hati orang tua lebih sakit bila dipukul anaknya dibanding dengan ucapan
“ah” yang diucapkan anaknya kepadanya. Karena itu sebenarnya hukum yang
ditetapkan bagi far’u lebih utama dibanding dengan hukum yang ditetapkan pada
ashal.
- Qiyas
musawi, ialah qiyas hukum yang ditetapkan pada far’u sebanding dengan hukum
yang ditetapkan pada ashal, seperti menjual harta anak yatim diqiyaskan kepada
memakan harta anak yatim. ‘illatnya adalah sama-sama menghabiskan harta anak
yatim.
Memakan
harta anak yatim haram hukumnya berdasarkan firman Allah SWT:
Artinya:
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim,
sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke
dalam api yang menyala-nyala (neraka). (Q.S an-Nisa’: 10).
Karena
itu ditetapkan pulalah haram hukumnya menjual harta anak yatim. Dari kedua
peristwa ini nampak hukum yang ditetapkan pada ashal sama pantasnya dengan
hukum yang ditetapkan pada far’u.
b. Qiyas
khafi, ialah qiyas yang ‘illatnya munkin dijadikan ‘illat dan munkin pula tidak
dijadikan ‘illat, seperti mengqiyaskan sisa minuman burung buas kepada sisa
minuman binatang buas. ‘illatnya ialah kedua binatang itu sama-sama minum
dengan mulutnya, sehingga air liurnya bercampur dengan sisa minumannya itu.
‘illat ini mungkin dapat digunakan untuk sisa burung buas dan mungkin pula
tidak, karena mulut burung buas berbeda dengan mulut binatang buas. Mulut
burung buas terdiri dari tulang atau zat tanduk. Tulang atau zat tanduk adalah
suci, sedang mulut binatang buas adalah daging, daging binatang buas adalah
haram, namun kedua-duanya adalah mulut, dan sisa minuman. Yang tersembunyi di
sini adalah keadaan mulut burung buas yang berupa tulang atau zat tanduk.
- Qiyas dalalah
Qiyas dalalah
ialah qiyas yang ‘illatnya tidak disebut, tetapi merupakan petunjuk yang
menunjukkan adanya ‘illat untuk menetapkan sesuatu hukum dari suatu peristiwa.
Seperti harta kanak-kanak yang belum baligh, apakah wajib ditunaikan zakatnya
atau tidak. Cara ulama yang menetapkannya wajib mengqiyaskannya kepada harta
orang yang telah baligh, karena ada petunjuk yang menyatakan ‘illatnya, yaitu
kedua harta itu sama-sama dapat bertambah atau berkembang. Tetapi madzhab
Hanafi, tidak mengqiyaskannya kepada harta orang yang telah baligh, tetapi
kepada ibadat, seperti shalat, puasa dan sebagainya. Ibadat hanya diwajibkan
kepada orang mukallaf, termasuk di dalamnya orang yang telah baligh, tetapi
tidak diwajibkan kepada anak kecil (orang yang belum baligh). Karena itu ia
anak kecil tidak wajib menunaikan zakat hartanya yang telah memenuhi
syarat-syarat zakat.
- Qiyas syibih
Qiyas syibih
adalah qiyas yang far’u dapat diqiyaskan kepada dua ashal atau lebih, tetapi
diambil ashal yang lebih banyak persamaannya dengan far’u. seperti hukum merusak
budak dapat diqiyaskan kepada hukum merusak orang merdeka, karena kedua-duanya
adalah manusia. Tetapi dapat pula diqiyaskan kepada harta benda, karena
sama-sama merupakan hak milik. Dalam hal ini budak diqiyaskan kepada harta
benda karena lebih banyak persamaannya dibanding dengan diqiyaskan kepada orang
merdeka. Sebagaimana harta budak dapat diperjual-belikan, diberikan kepada
orang lain, diwariskan, diwakafkan dan sebagainya.
Dilihat
dari segi kekuatan ‘illat yang terdapat pada far’u dibandingkan yang terdapat
pada ashal. Dari segi ini qiyas dibagi kepada tiga segi[18], yaitu:
1. Qiyas al-Aulawi, yaitu qiyas
yang hukumnya pada far’u lebih kuat daripada hukum ashl, karena ‘illat yang
terdapat pada far’u lebih kuat dari yang ada pada ashl. Misalnya, mengqiyaskan
memukul pada ucapan “ah”.
Dalam
surat al-Isra’, 17:23 Allah berfirman:
Artinya
: Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah”
(Q.S al-Isra’, 17: 23)
Para
ulama ushul fiqh mengatakan bahwa ‘illat larangan ini adalah menyakiti orang
tua. Keharaman memukul orang tua lebih kuat daripada sekedar mengatakan “ah”
karena sifat “menyakiti” melalui pukulan lebih kuat dari ucapan “ah”.
2.
Qiyas al-Musawi, yaitu hukum pada far’u sama kualitasnya dengan hukum yang ada
pada ashl, karena kualitas ‘illat pada keduanya juga sama. Misalnya Allah
berfirman dalam surat al-Nisa’, 2:2:
Dan berikanlah kepada anak-anak yatim
(yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang
buruk dan jangan kamu Makan harta mereka bersama hartamu.
(Q.S an-Nisa’, 4: 2)
Ayat
ini melarang memakan harta anak yatim secara tidak wajar, para ulama ushul
fiqh, mengqiyaskan membakar harta anak yatim kepada memakan harta anak yatim
secara tidak wajar, sebagaimana yang disebutkan dalam ayat, karena kedua sikap
itu sama-sama menghabiskan harta anak yatim dengan cara zalim.
3.
Qiyas al-adna, yaitu ‘illat yang ada pada far’u lebih lemah dibandingkan dengan
‘illat yang ada pada ashl. Artinya ikatan ‘illat yang ada pada far’u sangat
lemah disbanding ikatan ‘illat yang ada pada ashl. Misalnya, mengqiyaskan apel
pada gandum dalam hal berlakunya riba fadhl, karena keduanya mengandung ‘illat
yang sama yaitu sama-sama jenis makanan. Dalam hadits Rosulullah saw. Dikatakan
bahwa benda sejenis apabila dipertukarkan dengan berbeda kuantitas, maka
perbedaan itu menjadi riba fadhl. Dalam hadits tersebut diantaranya disebutkan
gandum (H.R Bukhori Muslim). Oleh sebab itu, Imam al-Syafi’I mengatakan bahwa
dalam jual beli apel pun bisa berlaku riba fadhl. Akan tetapi, berlakunya hukum
riba pada apel lebih lemah dibandingkan dengan yang berlaku pada gandum, karena
‘illat riba al-fadhl pada gandum lebih kuat.
F. Kehujjahan
Qiyas
Ulama ushul fiqih berbeda pendapat
terhadap kehujjahan qiyas dalam menetapkan hukum syara’. Jumhur ulama
ushul fiqih berpendirian bahwa qiyas bisa dijadikan sebagai metoda atau
sarana untuk mengistinbathkan hukum syara’[19]
Berbeda
dengan jumhur para ‘ulama mu’tazilah berpendapat bahwa qiyas wajib diamalkan
dalam dua hal saja, yaitu :
1. Illatnya
manshush (disebutkan dalam nash) baik secara nyata maupun melalui isayrat.
2. Hukum far’u harus lebih utama
daripada hukum ashl.
Wahbah al-Zuhaili mengelompokkan
pendapat ulama ushul fiqh tentang kehujjahan qiyas menjadi dua kelompok,
yaitu kelompok yang menerima qiyas sebagai dalil hukum yang dianut
mayoritas ulama ushul fiqih dan kelompok yang menolak qiyas sebagai dalil hukum
yaitu ulama – ulama syi’ah al-Nazzam, Dhahiriyyah dan ulama mu’tazilah Irak.
Alasan
penolakan qiyas sebagai dalil dalam menetapkan hukum syara’ menurut
kelompok yang menolaknya adalah :
•
Firman Allah dalam surat al-Hujurat, 49 : 1
Artiny
: “Hai orang – orang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya…”.
Ayat ini menurut mereka melarang
seseorang untuk beramal dengan sesuatu yang tidak ada dalam al-Qur'an dan
sunah Rasul. Mempedomani qiyas merupakan sikap beramal dengan sesuatu
diluar al-Qur'an dan sunnah Rasul, dan karenanya dilarang. Selanjutnya dalam
surat al-Isra’, 17:36 Allah berfirman :
Artinya
: “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan
tentangnya “.
Ayat
tersebut menurut mereka melarang seseorang untuk beramal dengan sesuatu yang
tidak diketahui secara pasti. Oleh sebab itu berdasarkan ayat tersebut
qiyas dilarang untuk diamalkan.
Alasan
– alasan mereka dari sunnah Rasul antara lain adalah sebuah hadits yang
diriwayatkan Daruquthni yang artinya adalah sebagai berikut :
“Sesungguhnya
Allah Ta’ala menentukan berbagai ketentuan, maka jangan kamu abaikan, menentukan
beberapa batasan, jangan kamu langgar, dia haramkan sesuatu, maka jangan kamu
langgat larangan itu, dia juga mendiamkan hukum sesuatu sebagai rahmat bagi
kamu, tanpa unsur kelupaan, maka janganlah kamu bahas hal itu”.
Hadits tersebut menurut mereka menunjukkan
bahwa sesuatu itu ada kalanya wajib, adakalanya haram dan adakalanya di diamkan
saja, yang hukumnya berkisar antara di ma’afkan dan mubah (boleh). Apabila di
qiyaskan sesuatu yang didiamkan syara’ kepada wajib, misalnya maka ini berarti
telah menetapkan hukum wajib kepada sesuatu yang dima’afkan atau dibolehkan.
Sedangkan
jumhur ulama ushul fiqih yang membolehkan qiyas sebagai salah satu metode dalam
hukum syara’ mengemukakan beberapa alasan diantaranya adalah :
Surat
al-Hasyr, 59 : 2
Artinya
: “maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang – orang yang
mempunyai pandangan”.
Ayat
tersebut menurut jumhur ushul fiqih berbicara tentang hukuman Allah terhadap
kaum kafir dari Bani Nadhir di sebabkan sikap buruk mereka terhadap Rasulullah.
Di akhir ayat, Allah memerintahkan agar umat Islam menjadikan kisah ini sebagai
I’tibar (pelajaran). Mengambil pelajaran dari suatu peristiwa menurut jumhur
ulama, termasuk qiyas. Oleh sebab itu penetapan hukum melalui qiyas yang
disebut Allah dengan al-I’tibar adalah boleh, bahkan al-Qur'an memerintahkannya
Ayat
lain yang dijadikan alasan qiyas adalah seluruh ayat yang mengandung
illat sebagai penyebab munculnya hukum tersebut, misalnya :
•
Surat al-Baqarah 2 : 222 :
“Mereka
bertanya kepadamu (Muhammad tentang haid. Katakanlah, “haid itu adalah
kotoran”, oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu
haid”.
•
Surat al-Maidah 5 : 91 :
“Sesungguhnya
setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian diantara kamu,
lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat
Allah dan sembahyang, maka berhentilah kamu (dari mengerjakan perbuatan itu).
•
Surat al-Maidah 5:6
.”Allah
tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan
menyempurnakan nikmat-Nya bagimu … “
Alasan
jumhur ulama dari hadits rasululah adalah riwayat dari Muadz Ibn Jabal yang
amat populer. Ketika itu Rasulullah mengutusnya ke Yaman untuk menjadi qadli.
Dalam hadits tersebut menurut jumhur ulama ushul fiqih, Rasulullah mengakui
ijtihad berdasarkan pendapat akal, dan qiyas termasuk ijtihad melalui
akal. Begitu juga dalam hadits lain Rasulullah menggunakan metode qiyas dalam
menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya. Suatu hari Umar bin Khatthab mendatangi
Rasulullah seraya berkata :
“Pada
hari ini saya telah melakukan suatu kesalahan besar, saya mencium istri saya,
sedangkan saya dalam keadaan berpuasa”. Lalu Rasulullah mengatakan pada Umar :
“bagaimana
pendapatmu jika kamu berkumur – kumur dalam keadaan berpuasa, apakah puasamu
batal ?, Umar menjawab, “tidak”, lalu Rasulullah saw berkata : kalau begitu
kenapa engkau sampai menyesal ?”. (H.R Ahmad Ibn Hanbal dan Abu Daud dari Umar
Ibn al-Khatthab)
Dalam
hadits tersebut Rasulullah mengqiyaskan mencium istri dengan berkumur – kumur,
yang keduanya sama – sama tidak membatalkan puasa.
G. Penerapan Qiyas dalam Ekonomi
Islam
Memahami bunga bank dari aspek
legal-formal dan secara induktif, berdasarkan pelarangan terhadap larangan riba
yang diambil dari teks (nas), dan tidak perlu dikaitkan dengan aspek moral
dalam pengharamannya[20].
Paradigma ini berpegang pada konsep bahwa setiap utang-piutang yang disyaratkan
ada tambahan atau manfaat dari modal adalah riba, walaupun tidak berlipat
ganda. Oleh karena itu, betapapun kecilnya, suku bunga bank tetap haram. Karena
berdasarkan teori qiyâs, kasus yang akan di-qiyas-kan (fara’) dan kasus yang
di-qiyas-kan (asal) keduanya harus disandarkan pada illat jâlî (illat yang
jelas). Dan kedua kasus tersebut (bunga bank dan riba) disatukan oleh illat
yang sama, yaitu adanya tambahan atau bunga tanpa disertai imbalan. Dengan
demikian, bunga bank sama hukumnya dengan riba.
Adapun
di antara tokoh-tokoh fikih Islam kontemporer yang menganut paradigma ini
adalah Abû Zahrah, Wahbah Zuhayli, Yûsûf al-Qardawi (masing-masing ahli fikih
Timur Tengah), Abdul Mannan, Syafi’i Antonio, Adiwarman Azwar Karim
(masing-masing ahli hukum Islam dan praktisi perbankan Islam Indonesia).
Yûsûf al-Qardawi berpendapat bahwa riba
yang diharamkan dalam Al-quran tidak membutuhkan penjelasan dan pembahasan
lebih lanjut, karena tidak mungkin Allah mengharamkan sesuatu kepada manusia
yang tidak mereka ketahui bentuknya. Pemahaman riba sesuai yang tertuang dalam
Q.S Al-Baqarah [2]:278-279 menunjukkan segala kelebihan dari modal adalah riba,
sedikit maupun banyak. Maka setiap tambahan bagi modal yang disyaratkan atau
ditentukan terlebih dahulu, karena adanya unsur tenggang waktu semata adalah
riba[21].
Adapun Syafi'i Antonio yang merupakan
praktisi dan akademisi ekonomi Islam di Indonesia, terkait dengan bunga bank,
mengatakan bahwa kriteria berlipat-ganda bukanlah syarat terjadinya riba, tapi
itu hanya sifat. Artinya, besar atau kecil, bunga bank tetap riba, sebab sifat
umum riba adalah berlipat ganda (Antonio, 1999:82).
Sementara
dari segi konteks atau illat, pengharaman riba dalam Alquran adalah
karena adanya faktor zulm, yaitu memungut tambahan utang dari
pihak-pihak yang seharusnya ditolong. Sementara konteks bank adalah niaga (tijârah)
untuk mencari keuntungan bersama antara pihak yang punya modal (investor),
pihak yang membutuhkan modal (debitur/pengusaha), dan pihak perbankan sebagai
mediator dan penyedia jasa. Sehingga sama sekali tidak ada kaitannya dengan
tolong menolong antara si kaya dan si miskin, melainkan upaya kerjasama dalam
mengembangkan modal dengan menjadikan bank sebagai mediator antara penabung,
pengusaha dan bank [22].
Karena itu, aspek aniaya (ketidakadilan) di sini amat kecil kemungkinan terjadi
sebab masing-masing pihak telah saling rela dan mengetahui hak serta
kewajibannya masing-masing.
Dengan
konsep seperti itu, akhirnya mereka sampai kepada satu kesimpulan bahwa antara
riba dengan bunga bank memiliki konteks dan esensi yang berbeda. Riba dianggap
kelebihan yang diambil dari pinjaman yang ditujukan untuk keperluan konsumtif,
sedangkan bunga bank adalah kelebihan atas pinjaman yang ditujukan dalam
rangka, kebutuhan produktif.
Dengan analisis seperti itu, penganut
paradigma ini mengharuskan mereka, meninggalkan qiyâs dan lebih memilih
mengambil metode istihsân sebagai dasar untuk sampai kepada suatu
konklusi hukum yang dianggap lebih tepat untuk dijalankan[23]. Di antara tokoh dan ahli hukum
Islam yang menganut paradigma kontekstual dalam menilai permasalahan bunga bank
adalah Munawir Syadzali, Quraish Shihab, Umar Shihab dan M. Dawam
Raharjo (masing-masing adalah ulama fikih dan cendekiawan muslim Indonesia).
Demikian pula, Fazlur Rahman, Mahmoud Syaltout, dan Mustafa Ahmad al-Zarqa'.
III. PENUTUP
Allah Swt mensyariatkan hukum tak lain
adalah untuk kemaslahatan. Kemaslahatan manusia merupakan tujuan yang dimaksud
dalam menciptakan hukum.
Nash baik Al Qur’an maupun hadits
jumlahnya terbatas dan final. Tetapi, permasalahan manusia lainnya tidak
terbatas dan tidak pernah selesai. Mustahil jika nash-nash tadi saja yang
menjadi sumber hukum syara’. Karenanya qiyas merupakan sumber hukum syara’ yang
tetap berjalan dengan munculnya permasalahan-permasalahan yang baru. Yang
kemudian qiyas menyingkap hukum syara’ dengan apa yang terjadi yang tentunya
sesuai dengan syariat dan maslahah.
Begitu juga halnya dalam kegiatan
muamalah, semua tidak terlepas dari hukum-hukum yang telah ditetatpkan,
terutama dalam mencari sulusi-sulusi dalam pemecahan permasalah ekonomi ummat.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad
Saebani, Ilmu Ushul Fiqh (Bandung : Pustaka Setia. 2008)
Muin
Umar, dkk, Ushul Fiqh 1 (Jakarta : Departemen Agama, 1986)
Djazuli,
Ushul Fiqih (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2000)
Harun
Nasrun, Ushul Fiqh 1(Jakarta. Logos Wacana Ilmu: 1995)
Ahmad
Hanafie, Ushul Fiqih (Jakarta : Widjaya, 1962)
Amir
Syarifuddin,. Ushul Fiqh Jilid 1. (Jakarta Wacana Ilmu:1997)
Tajuddin
‘Abdul Wahab al-Subki, Jam’u al-Jawani, (Beirut : Dar al-Fikr ,1974)
Mas'adi, Ghufton A, Fiqh
Muamalah Kontekstual. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002)
al-Qardawi, Yûsûf. 1993. Fawâ’id
al-Bunûk Hiya al-Ribâ al-Harâm; Dirâsat al-Fiqhiyyah fî Dau' al-Qur’ân wa
al-Sunnah wa al-Waqi'. Beirut: Mu'assasat al-Risâlah, 1993)
[1].
.Abdul Dahlan, Enseklopidi Hukum Islam , Jakarta : Ikhtiar Baru Van Hoeve,
2006 h.198
[2].
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa adillatuhu, Bairut : Dar al-Fikr, 1994
h.56
[3]
. Saebani, Ilmu Ushul Fiqh (Bandung : Pustaka Setia. 2008) h.172
[4].
Muin Umar, dkk, Ushul
Fiqh 1 (Jakarta : Departemen Agama, 1986) h.107
[5]
. Djazuli, Ushul Fiqih
(Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2000) h. 136-137
[6]
. Muin Umar, dkk. Ushul Fiqh
1…….h.118-119
[7]
. Muin Umar, dkk. Ushul
Fiqh……. h.139-142
[8]
. Nasrun Haroen. Ushul
Fiqh……. h.75-76
[9]
. Tajuddin ‘Abdul Wahab
al-Subki, Jam’u al-Jawani, (Beirut : Dar al-Fikr ,1974), hlm. 177. Lihat juga
Ibn Qudamah, Raudlah al-Nadkir wa Jannah al-Munadhir, (Beirut : Mu’assasah
al-Risalah, 1978), hlm. 234
[10]
. Mas'adi, Ghufton A, Fiqh
Muamalah Kontekstual. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002)
[11]
. al-Qardawi, Yûsûf. 1993. Fawâ’id
al-Bunûk Hiya al-Ribâ al-Harâm; Dirâsat al-Fiqhiyyah fî Dau' al-Qur’ân wa
al-Sunnah wa al-Waqi'. Beirut: Mu'assasat al-Risâlah, 1993)
[12]
. Mas'adi, Fiqh Muamalah
[13]
. Ibid
[7] Harun Nasrun, Ushul
Fiqh 1(Jakarta. Logos Wacana Ilmu: 1995) h. 73
[8] Nasrun Haroen. Ushul
Fiqh……. h. 75-76
[9] Ahmad Hanafie, Ushul
Fiqih (Jakarta : Widjaya, 1962) h.129
[10] Muin Umar,
dkk. Ushul Fiqh……. h.119-120
[11] Amir
Syarifuddin,. Ushul Fiqh Jilid 1. (Jakarta Wacana Ilmu:1997) h. 170
[12] Nasrun Haroen.
Ushul……. h. 77
[3] Muin Umar, dkk.
Ushul Fiqh…….h.107
[4]
Yang dimaksud dengan ahli kitab ialah orang-orang Yahudi Bani Nadhir, merekalah
yang mula-mula dikumpulkan untuk diusir keluar dari Madinah.
[5] Djazuli, Ushul
Fiqih (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2000) h. 136-137
[6] Muin Umar, dkk.
Ushul Fiqh 1…….h.118-119
[7] Harun Nasrun, Ushul
Fiqh 1(Jakarta. Logos Wacana Ilmu: 1995) h. 73
[8] Nasrun Haroen. Ushul
Fiqh……. h. 75-76
[9] Ahmad Hanafie, Ushul
Fiqih (Jakarta : Widjaya, 1962) h.129
[10] Muin Umar,
dkk. Ushul Fiqh……. h.119-120
[11] Amir
Syarifuddin,. Ushul Fiqh Jilid 1. (Jakarta Wacana Ilmu:1997) h. 170
[12] Nasrun Haroen.
Ushul……. h. 77
[13] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh…….h.
173
[14] Nasrun Haroen,
Ushul …….h.75-76
[15] Amir
Syarifuddin,. Ushul Fiqh Jilid……. h. 176
[16] Amir
Syarifuddin,. Ushul Fiqh…….h. 174
[17] Muin Umar,
dkk. Ushul Fiqh……. h.139-142
[18] Nasrun Haroen.
Ushul Fiqh……. h.75-76
[19]
Tajuddin ‘Abdul Wahab al-Subki, Jam’u al-Jawani, (Beirut : Dar al-Fikr ,1974),
hlm. 177. Lihat juga Ibn Qudamah, Raudlah al-Nadkir wa Jannah al-Munadhir,
(Beirut : Mu’assasah al-Risalah, 1978), hlm. 234
[20] Mas'adi, Ghufton A, Fiqh Muamalah Kontekstual. (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2002)
[21] al-Qardawi, Yûsûf. 1993. Fawâ’id al-Bunûk Hiya al-Ribâ
al-Harâm; Dirâsat al-Fiqhiyyah fî Dau' al-Qur’ân wa al-Sunnah wa al-Waqi'. Beirut:
Mu'assasat al-Risâlah, 1993)
[22] Mas'adi,
Fiqh Muamalah……………………
[23] Ibid
Author: Mohammad
Mohammad is the founder of STC Network which offers Web Services and Online Business Solutions to clients around the globe. Read More →
Related Posts:
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar: