Selasa, 30 Maret 2021
Hukum Poligami Dalam Perundang-Undangan di Indonesia
Ada beberapa aturan atau undang-undang yang merupakan dasar dalam menentukan hukum dari poligami antara lain:
a. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Dalam UU No.1 Tahun 1974, yang berkaitan dengan poligami adalah pasal 3, 4 dan 5[1]. Adapun bunyi pasal tersebut sebagai berikut:
-Pasal 3 (1) Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. seorang isteri hanya boleh mempunyai seorang suami.
(2) Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang berkepentingan.
-Pasal 4 (1) Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, sebagaimana tersebuta dalam pasal 3 (2) UU ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya.
(2) Pengadilan dimaksud dalam dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila :
a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri.
b. issteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tak dapat disembuhkan
c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
-Pasal 5 (1) Untuk mengajukan permohonan kepada pengadilan, sebagaimana dimaksud dalan pasal 4 (1) UU ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri.
b. adanya kepastian bahwa suami menjamin keperluankeperluan hidup, isteri-isteri danak-anak mereka.
c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteriisteri dan anak-anak mereka.
(2) Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selam sekurang-kurangnya 2 (dua tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim pengadilan.
b. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No.1 tahun 1974. Dalam PP No.9 Tahun 1975, yang berkaitan dengan poligami adalah pasal 40, 41, 42, 43 dan 44[2].
c. Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1983 tentang izin perkawian dan Perceraian
Pegawai Negeri Sipil. Dalam PP No.10 Tahun 1983, yang berkaitan dengan poligami adalah pasal 4,5,6,7,8,9,10 dan 11[3].
d. Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1990 tentang Perubahan atas PP No 10 /1983 tentang izin perkawian dan Percraian Pegawai Negeri Sipil.
Dalam pasal 1 disebutkan bahwa mengubah beberapa ketentuan dalam PP No 10 /1983, sehingga berbunyi sebagai berikut:
-Pasal 3 (1) Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan perceraian wajib memperoleh izin atau surat keterangan terlebih dahulu dari pejabat.
(2) Bagi PNS yang berkedudukan sebagai penggugat atau PNS yang berkedudukan sebagai tergugat untuk memperoleh izin atau surat keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus mengajukan permintaan secara tertulis.
(3) Dalam surat permintaan izin atau pemberitahuan adanya gugatan perceraian untuk mendapatkan surat keterangan, harus dicantumkan alasan lengkap yang mendasarinya:
-Pasal 4 (1) PNS pria yang akan beristeri lebih dari seorang, wajib memperoleh izin lebih dahulu dari pejabat.
(2) PNS wanita tidak diizinkan untuk menjadi isteri kedua /ketiga/keempat.
(3) Perrmintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan secara tertulis
(4) Dalam surat permintaan dimaksud dalam ayat (3) harus dicantumkan alasan yang lengkap yang mendasari permintaan izin untuk beristeri lebih dari seorang.
-Pasal 5 (2) Setiap atasan yang menerima permintaan izin dari PNS dalam lingkungannya, baik untuk melakukan perceraian dan atau untuk beristeri lebih dari seorang, wajib memberikan pertmbangan dan meneruskannya kepada Pejabat melalui saluran hierarki dalam jangka waktu selambat-lambatnya tiga bulan terhitung mulai tanggal ia menerima permintaan izin dimaksud.
-Pasal 9 (1) Pejabat yang menerima permintaan izin untuk beristeri lebih dari seorang sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) wajib memperhatikan dengan saksama alasan-alasan yang dikemukakan dalam surat permintaan izin dan pertimbangan dari atasa PNS yang bersangkutan.
e. Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Adapun pasal-pasal KHI yang memuat tentang poligami adalah pasal 55, 56, 57, dan 58.[4] Dari beberapa dasar dan aturan yang telah dikemukakan dapat di pahami bahwa azas perkawinan adalah monogami yang tidak bersifat mutlak[5], tetapi monogami terbuka, sebab menurut pasal 3 (1) UU No.1/1974 dikatakan bahwa seorang suami hanya boleh mempunyai seorang isteri begitu pula sebaliknya. Tetapi pada pasal 3 (2) UU No.1/1974 yang menyatakan bahwa “ Pengadilan dapat memberi izin kepada seseorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Dengan adanya ayat (2) ini berarti undang-Undang ini menganut azas monogami terbuka, oleh karena itu tidak tertutup kemungkinan dalam keadaan tertentu seorang suami melakukan poligami yang tentunya dengan pengawasan pengadilan. Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya. Pengadilan dimaksud hanya memberi izin kepada suami yang beristeri lebih dari seorang apabila cukup alasan-alasannya (lihat pasal 4 ayat (1 dan 2) UU No.1/1974, pasal 41 PP No. 9/ 1975) sebagai berikut:
a). isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri
b). isteri mendapat cacat badan atau penyakit tidak dapat disembuhkan dan
c). isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Jadi seorang suami yang yang mempunyai isteri masih hidup, tetapi ternyata tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri, misalnya tidak dapat mendampingi dan melayani suami dengan baik, mengatur rumah tangga dengan baik, mengurus dan mendidik anak-anaknya dengan baik, termasuk tidak menjaga kehormatan dirinya dari makziat, begitu pula jika istercacat badannya, misalnya lumpuh, gila, lepra yang susah disembuhkan, apalagi jika isteri tak mendapatkan keturunan[6]. Dengan alasan-alasan demikian suami dapat beristeri lebih dari seorang dengan mengajukan permohonan kepada pengadilan.
[1] Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasinal (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1991), h. 289
[2] Ibid., h. 329
[3] Ibid., h.347
[4]Abd. Rahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Akademika Pressindo, 1992), h. 126
[5]Soemiyati, op. cit., h.77
[6] Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan di Indonesia: “Menurut Perundangan, Hukum Adat, Agama” (Bandung: Mandar Maju, 1990), h.35. Lihat Juga Ahmad Rafiq., Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995), h.73
0 komentar: