Download this Blogger Template by Clicking Here!

PROFIL

https://web.facebook.com/irwan.a.lovers

Senin, 04 Mei 2015

Widgets

ILMU HADITS




A.    Pendahuluan
 Ilmu Hadis adalah Ilmu yang berkaitan dengan Hadis Nabi SAW.  untuk mengetahui mana yang sebenarnya hadis yang dari Nabi Muhammad SAW, mana meragu-ragukan dan mana yang tidak benar atau dipalsukan orang, dan lain sebagainya, maka harus ada ilmu untuk mempelajari itu (Ilmu Hadis). Karena banyak macam yang harus dipelajari tentang hadis, maka banyak pula ilmu atau istilah yang berkaitan dengannya, salah satu disebut dengan istilah Ulumul Hadis seperti yang sedang kita pelajari sekarang ini.
Berikut ini akan dibahas tentang pengertian Ilmu Hadis : Ilmu Hadis Riwayah dan Ilmu Hadis Dirayah dan Ilmu Hadis dalam arti umum, sejarah dan perkembangan hadis, ruang lingkup kajian Ilmu Hadis, dan arti penting Ilmu Hadis dalam kajian keislaman.

B.     Ilmu Hadis Pengertian Ilmu Hadis : Ilmu Hadis Riwayah dan Ilmu Hadis  Dirayah dan Ilmu Hadis dalam arti umum.

1. Pengertian Ilmu Hadis
Ilmu Hadis (‘Ulum Al-Hadis) secara kebahasaan berarti ilmu-ilmu tentang Hadis. Kata ‘ulum adalah bentuk jamak dari kata ‘ilm (ilmu).[1]
Secara etimologis, seperti yang diungkapkan oleh As-sayuti, Ilmu Hadis adalah;
علم يُبحث فيه عن كيفية إتصال الحديث برسول الله ص.م. من حيث أحوال رُواتِه ضبطًا وعدالةً ومن حَيثُ كيفيةِ
السّندِ اِتصالاً وانقطاعا وغير ذلك.
Ilmu pengetahuan yang membicarakan cara-cara persambungan hadis sampai kepada Rasululla SAW dari segi hal ihwal para rawinya, yang menyangkut kedhbithan dan ke’adil-annya dan dari bersambung dan terputusnya sanad, dan sebaginya.[2]
                
Dalam hubungannya dengan pengetahuan tentang hadis, ada ulama-ulama yang menggunakan beberapa istilah terhadap ilmu ini seperti‘Ulum Al-Hadis, seperti Ibnu Salah (w.642 H/1246 M) dalam kitabnya ‘Ulum Al-Hadis.‘Ilm Al-Hadis, seperti Jalaluddin As-Sayuthi dalam mukaddimah kitab hadisnya, Tadrib Ar-Rawi.Ilmu Mushthalah Ahli Atsar, Ibnu Hajar Al-‘Asqalany. ‘ilmu Ushul Al-Hadis. Ilmu Dirayah Al- Hadis. Ilmu Mushthalah Al-Hadis.
Secara garis basar ulama hadis mengelompokkan Ilmu Hadis tersebut ke dalam dua bidang pokok, yakni  Ilmu Hadis Riwayah dan Ilmu Hadis Dirayah.

1.2. Pengertian Ilmu Hadis Riwayah
Kata riwayah artinya periwayatan atau cerita. Ilmu Hadis Riwayah, secara bahasa, berarti Ilmu Hadis yang berupa periwayatan.
Para ulama berbeda-beda dalam mendefenisikan Ilmu Hadis Riwayah, yang paling terkenal di antara defenisi-defenisi tersebut adalah defenisi Ibnu Al-Akhfani, yaitu ;
علم الحديث الخاصُّ بالرِّوايته علمٌ يشتمل على أقوالِ النبيِّ ص.م. وأفعاله وروايتها وضبطِها
وتحرير ألفاظها.
Ilmu Hadis Riwayah adalah ilmu yang membahas ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan Nabi SAW, periwayatannya, pencatatannya, dan penelitian lafazh-lafazhnya.[3]

Namun, menurut Nuruddin ‘Itr, defenisi ini mendapat sanggahan dari beberapa ulama hadis lainya karena defenisi ini tidak komprehensif, tidak menyebutkan ketetapan dan sifat-sifat Nabi SAW. Defenisi ini juga tidak mengindahkan pendapat-pendapat yang menyatakan bahwa hadis itu mencakup segala apa yang dinisbatkan ke[ada sahabat atau tabiin sehingga pengertian yang lebih tepat, menurut Nuruddin ‘Itr, adalah ;
علمٌ يشتمل على أقوالِ النبيِّ صلى الله عليه وسلّم. وأفعاله وتقريراته وصفاته وروايتها وضبطِها
وتحرير ألفاظها.
Ilmu yang membahas ucapan, perbuatan, ketetapan, dan sifat-sifat Nabi SAW, periwayatannya, pencatatannya, dan penelitian lafazh-lafazhnya.[4]
Ilmu Hadis Riwayah ini sudah ada sejak periode Rasulullah SAW., bersamaan dimulainya periwayatan hadis itu sendiri. Para shahabat menyampaikan hadis dengan sangat hati-hati kepada shahabat yang lain atau kepada tabi’in, para tabi’inpun melakukan hal yang sama, memahami hadis, memeliharanya, dan menyampaikannya kepada tabi’in lain atau tabi’at tabi’in (generasi sesudah tabi’in).
Demikian periwayatan hadis Nabi SAW berlangsung hingga usaha penghimpunan yang dipelopori ulama hadis terkenal Abu Bakar Muhammad bin Syihab Az-Zuhri (51-124 H) atas perintah Khalifah Umar bin abdul Aziz. Usaha penghimpunan, penyeleksian, penulisan, dan pembukuan hadis secara besar-besaran dilakukanoleh ulama hadis pada abad ke 3 Hijriah, seperti Imam Al-Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, Imam At-Tirmidzi, Imam An-Nasa’i, Imam Ibnu Majah, Imam Malik, Imam Ahmad, dan ulama-ulama hadis lainnya melalui kitab hadis masing-masing.
1.3. Pengertian Ilmu Hadis Dirayah
Istilah Ilmu Hadis Dirayah, menurut As-Sayuthi, muncul setelah masa Al-Khatib Al-Baghdadi, yaitu pada masa Al-Akfani. Ilmu ini dikenal juga dengan sebutan ilmu ushul al-hadis, ulum al-hadis, musthalah al-hadis, dan qawa’id al-tahdis.[5]   
Defenisi yang paling baik, seperti yang diungkapkan oleh ‘Izzuddin bin Jam’ah, yaitu ;
 علم بقوانين يعرف بها أحوالُ السّند والمتن .
Ilmu yang membahas pedoman-pedoman yang dengannya dapat diketahui keadaan sanad dan matan.[6]

Dari pengertian tersebut, kita bisa mengetahui bahwa Ilmu Hadis Dirayah adalah ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah untuk mengetahui hal ihwal sanad, matan, cara menerima dan menyampaikan hadis, sifat rawi, dan lain-lain

1.4. Ilmu Hadis dalam arti umum
Banyak macam istilah yang digunakan para ulama untuk menyebut ilmu hadis. Prof. Dr. Hasbi al-Siddiqi, sebagaimana dikutib Syuhudi Ismail dan  Nur Sulaiman, mengartikan ilmu Hadis sebagai segala pengetahuan yang berhubungan dengan hadits Nabi.[7] Dari definisi ini, maka cakupan (obyek) ilmu hadits itu sangat luas. Ia tidak saja menyangkut matan dan sanad hadits, tetapi juga menyangkut setting social-budaya, pilitik dan social ekonomi yang melingkupi hadits Nabi. Berangkat dari pengertian ini, maka ilmu hadits bisa mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan ilmu itu sendiri. Misalnya ilmu sosiologi Hadits, Ilmu Pilitik Hadits dan sebagainya.
Definisi ini senada dengan pengertian yang dirumuskan oleh Ibnu Hajar al-Atsqalani.[8]
معرفة القواعد التى يتوصل بها الى معرفة الراوي والمروي
Pengetahuan tentang kaidah-kaidah yang dapat dipergunakan untuk mengetahui kaadaan para perawi dan apa yang diriwayatkan (matan hadits).
C. Sejarah dan Perkembangan Ilmu Hadits
Ilmu ini sebenarnya telah tumbuh sejak zaman Rasulullah saw masih hidup. Perkembangan ilmu hadits selalu beriringan dengan pertumbuhan pembinaan hadits itu sendiri. Hanya saja ia belum wujud sebagai suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Pada saat Rasulullah saw masih hidup ditengah-tengah kaum muslimin, ilmu ini masih wujud dalam bentuk prinsip-prinsip dasar, yang merupakan emberio bagi pertumbuhan ilmu hadis dikemudian hari. Misalnya tentang pentingnya pemeriksaan dan tabayyun, terhadap setiap berita yang didengar, atau pentingnya persaksian orang adil dan sebagainya. Firman Allah dalam surat al-Hujurat ayat 6 menyatakan:
ياأيها الذين ءامنوا إن جاءكم فاسق بنبأ فتبينوا أن تصيبوا قوما بجهالة فتصبحوا على ما فعلتم نادمين
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.

Demikian pula dalam surat al-Thalaq : 2
وأشهدوا ذوي عدل منكم وأقيموا الشهادة لله ذلكم يوعظ به من كان يؤمن بالله واليوم الآخرومن
يتق الله يجعل له مخرجا
Persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar.

Ayat di atas jelas memberikan perintah kepada kaum muslimin supaya memeriksa, meneliti dan mengkaji berita yang datang, khususnya berita yang dibawa oleh orang-orang fasiq. Tidak semua berita yang datang pasti diterima sebelum diperiksa siapa pembawanya dan apa materi isinya. Jika pembawanya orang terpercaya dan adil , maka pasti diterima. Tetapi sabaliknya, jika mereka tidak jujur dan fasik, tidak obyektif, maka berita akan ditolak. [9]
            Sepeninggal Rasulullah saw , para sahabat Nabi sangat hati-hati dalam periwayatan hadits, karena konsentrasi mereka masih banyak tercurahkan kepada al-Qur’an, yang baru mulai dibukukan pada zaman khalifah Abu Bakar dan disempurnakan pada saat sahabat Utsman bin Affan menjadi Khalifah. Selanjutnya ketika mulai terjadi konflik politik , yang memicu munculnya firqah di kalangan kaum muslimin ; Syi’ah, Murji’ah dan Jama’ah, dan pada gilirannya mendorong timbulnya periwayatan yang dimanipulasi, dipalsukan dan direkayasa, maka para ulama bangkit untuk membendung pemalsuan dan menjaga kemurnian hadits Nabi. Dari usaha ini, terbentuklah teori-teori tentang periwayatan. Keharusan menyertakan sanad menjadi bagian penting yang dipersyaratakan dalam setiap periwayatan. Hal ini telah dilakukan antara lain oleh Ibnu Syihab al-Zuhri ketika menghimpin hadits dari para ulama.[10]
            Ketika para ulama hadits membahas tentang kemampuan hafalan / daya ingat para perawi (dhabit), membahas bagaimana system penerimaan dan penyampaian yang dipergunakan (tahammul wa ada’ al-hadits), bagaimana cara menyelesaikan hadits yang tampak kotradiktif, bagaimana memahami hadits yang musykil dan sebagainya, maka perkembangan ilmu hadits semakin meningkat. Ketika Imam al-Syafi’i (w. 204 H) menulis kitab al-Risalah, sebenarnya ilmu hadits telah mengalami perkembangan lebih maju, sebab di dalam kitab tersebut telah dibahas kaidah-kaidah tentang periwayatan, hanya saja masih bercampur dengan kaidah ushul fiqih. Demikian pula dalam kitab al-Umm. Di sana telah ditulis pula kaidah yang berkaitan dengan cara menyelesaikan haadits-hadits yang bertentangan, tetapi masih bercampur dengan fiqih. Artinya ilmu hadits pada saat itu sudah mulai tampak bentuknya, tetapi masih belum terpisah dengan ilmu lain, belum menjadi disiplin ilmu yang berdiri sendiri.
            Sesudah generasi al-Syafi’i, banyak sekali para ulama yang menulis ilmu hadits, misalnya Ali bin al-Madini menulis kitab Mukhtalif al-Hadits, Ibnu Qutaibah (w. 276 H ) menyusun kitab Ta’wil Mukhtalif al-Hadits. Imam Muslim dalam Muqaddimah kitab shahihnya, Al-Turmudzi menulis al-Asma’ wa al-Kuna, Muhammad bin Sa’ad menulis al-Thabaqat al-Kubra. Demikian pula al-Bukhari menulis tentang rawi-rawi yang lemah dalam kitab al-Dlu’afa’. Dengan banyaknya ulama yang menulis tentang persoalan yang menyangkut ilmu hadits pada abad III H ini, maka dapat difahami mengapa abad ini disebut sebagai awal kelahiran Ilmu Hadits, walaupun tulisan yang ada belum membahas ilmu hadits secara lengkap dan sempurna.
            Penulisan ilmu hadits secara lebih lengkap baru terjadi ketika Al-Qadli Abu Muhammad al-Hasan bin Abd. Rahman al-Ramahurmudzi (w. 360 H) menulis buku  Al-Muhaddits al-Fashil Baina al-Rawi wa al-Wa’i. Kemudian disusul al-Hakim al-Naisaburi (w. 405 H) menulis Ma’rifatu Ulum al-Hadits,al-Khathib Abu Bakar al-Baghdadi menulis kitab Al-Jami’ li Adab al-Syaikh wa al-Sami’, al-Kifayah fi Ilmi al-Riwayat dan al-Jami’ li Akhlaq al-Rawi wa Adab al-Sami.[11]

D. Ruang lingkup kajian Ilmu Hadits

            Sebagaimana telah diuraikan di atas, secara garis besar Ilmu Hadis dibagi atas Ilmu Hadis Riwayah dan Ilmu Hadis Dirayah. Jika Ilmu Hadis Riwayah membahas materi hadis yang menjadi kandungan makna, maka Ilmu Hadis Dirayah mengambil pembahasan mengenai kaidah-kaidahnya, baik yang berhubungan dengan sanad atau matan hadis.
Ilmu Hadis Riwayah  ini titik tekannya pada materi hadits itu sendiri. Wilayah dan ruang lingkup pembahasan Ilmu ini tidak menyinggung apakah hadits itu mutawatir atau ahad, dan juga tidak mempersoalkan apakan hadits tersebut shahih atau tidak, maqbul atau mardud, tetapi pembahasannya lebih pada apa saja penuturan yang berasal dari nabi saw. Hal ini dilakukan kerena ditujukan agar supaya mengetahui apa saja sikap dan prilaku nabi yang dapat dicontoh dan diteladani. Dengan demikian maka obyek Ilmu Hadis Riwayah adalah pribadi Nabi, baik dari segi perkataan, perbuatan, penetapan dan sifat-sifat Nabi saw.
Ruang lingkup kajian Ilmu Hadis Riwayah adalah segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi SAW, shahabat, dan tabi’in, yang meliputi :
  1. Cara periwayatannya, yakni cara menerima dan penyampaian hadis dari seorang rawi kepada rawi lain.
  2. Cara pemeliharaan, yakni penghafalan, penulisan, dan pembukuan hadis,
Berbeda dengan Ilmu Hadis Riwayah diatas, Ilmu Hadis Dirayah berkisar pada kaidah-kaidah untuk mengetahui kaadaan matan dan sanad hadits, bagaimana cara-cara penukilan hadis yang dilakukan oleh para ahli hadis, bagaimana cara menyampaikan kepada orang lain, tentang sifat-sifat rawi, bagaimana cara memahami hadits dan sebagainya.
Ruang lingkup kajian ilmu hadis Dirayah adalah sanad dan matan dengan segala persolan yang dikandungnya yang turut mempengaruhi kwalitas hadis tersebut, meliputi;
1.      Ittishal As-sanad (persambungan sanad), tidak dibenarkan adanya rangkaian sanad yang terputus, tersembunyi, tidak diketahui identitasnya (wahm), atau samar.
2.      Tsiqat As-Sanad, yakni sifat ‘adl (adil), dhabit (cermat dan kuat), dan tsiqah (terpercaya) yang harus dimiliki seorang periwayat hadis Nabi.
3.      Syadz, yakni kejanggalan yang terdapat atau bersumber dari sanad. Misalnya, hadis yang diriwayatkan oleh seorang tsiqah, tetapi menyendiri dan bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh periwayat-periwayat tsiqah lainnya.
4.      ‘illat, yakni cacat yang tersembunyi pada suatu hadis yang kelihatannya baik atau sempurna. Syadz dan ‘illat adakalanya terdapat juga pada matan dan untuk menelitinya diperlukan penguasaan ilmu hadis secara mendalam.
5.      Hubungannya dengan matan, redaksi dan makna tidak janggal menurut Al-Hiss(indra), akal, Al-Qur’an, dan fakta sejarah pada masa Nabi SAW.
D. Arti Penting Ilmu Hadis dalam Kajian Keislaman
Ilmu Hadis merupakan salah satu disiplin ilmu agama yang sangat penting, terutama sekali untuk mempelajari dan menguasai hadis secara baik dan tepat. Dilihat dari fungsinya ilmu hadis mempunyai peran sangat penting terhadap hadis. Karena antara hadis dan ilmu hadis (‘Ulum Al-Hadis) terdapat kaiatan yang sangat erat. Ilmu hadis dapat memelihara hadis-hadis Nabi SAW  dari kesalahan dalam proses periwayatan atau dalam penulisan dan pembukuan. Dengan mengetahui ilmu hadis kita bisa mengetahui dan menetapkan maqbul (ditrima) dan mardud (ditolak)-nya suatu hadis. Apalagi dalam perkembangannya, hadis-hadis Nabi SAW telah dikacaukan dengan munculnya hadis-hadis palsu. Mengetahui dan menguasai ilmu hadis sangatlah penting dan besar manfaatnya, diantarany ;
1.      Dapat meneladani akhlak Nabi saw, baik dalam hal ibadah maupun muamalah, secara benar.
2.      Menjaga dan memelihara hadits Nabi dari segala kesalahan dan penyimpangan
3.      Menjaga kemurnian syariat Islam dari berbagai penyimpangan
4.      Melaksanakan Syari’at sesuai dengan sunnah Nabi saw.
5.      Mengetahu upaya dan jerih payah para ulama dalam menjaga dan melestarikan hadits Nabi
6.      Dapat mengetahui istilah-istilah yang dipergunakan para ulama hadits
7.      Mengetahui kriteria yang dipergunakan para ulama dalam mengklasifikasikan kaadaan hadist, baik dari sisi kuantitas / jumlah sanad maupun dari sisi kualitas sanad dan matannya.
8.      Dapat mengetahui periwayatan yang maqbul (diterima) dan yang mardud (tertolak)
9.      Dapat melakukan penelitian hadits sesuai dengan kaidah-kaidah dan syarat-syarat yang disepakati para ulama
10.  mampu bersikap kritis dan proporsional terhadap periwayatan hadits Nabi saw.









DAFTAR PUSTAKA
1.                    Al-Qaththan, Syaikh Manna. Mabahits fi ‘Ulum Al-Hadis. Terj. Mifdhol Abdurrahman. Pustaka Al-Kautsar: Jakarta, 2005
2.                    Ash-Shiddieqy, M. Hasbi. Sejarah dan pengantar Ilmu Hadis. Bulan Bintang: Jakarta, 1987.
3.                     __________ , M. Hasbi. Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadis. Bulan Bintang: Jakarta, 1987.
4.                    ___________ , M. Hasbi. Sejarah Perkembangan Hadis. Bulan Bintang: Jakarta, 1987.
5.                    As-Sayuthi. Tadrib Ar-Rawi fi Syarh Taqrib An-Nawawi. Dar Al-Fikr: Beirut. 1409 H/1988 M.
6.      Ismail, Syuhudi. Pengantar Ilmu Hadis. Angkasa: Bandung,1991.
7.                     ____ , Syuhudi. Metodologi Penelitian Hadis Nabi. Angkasa: Bandung,1991.
8.                    ‘Itr, Nuruddin. Manhaj An-Naqd fi ‘Ulum Al-Hadis. Terj. Mujio. Remaja Rosada Karya: Bandung, 1994.
9.                    Khon, Abd. Majid. Ulumul Hadis. Amzah: Jakarta, 2008.
10.                Rahman, Fatchur. Ikhtishar Mushthalah Al-Hadis. Al-Ma’arif: Bandung, 1974.
11.                Solahudin, M; Agus Suyadi. Ulumul Hadis. Pustaka Setia: Bandung, 2009
12.  Sulaiman, M. Nur. Antologi Ilmu Hadis. GP Press: Bandung, 2010.
13.  Ranuwijaya, Utang. Ilmu Hadis. Gaya Media Pratama: Jakarta, 1996.



[1] Nuruddin ‘Itr. Manhaj An-Naqd fi ‘Ulum Al-Hadis. Terj. Mujio. Bandung: Remaja Rosda karya. 1994. hlm. 13.
[2] As-Sayuti. Tadrib Ar-Rawi fi Syarh Tarqib An-Nawawi. Beirut: Dar Al-Fikr. 1409 H/1988. hlm. 5-6.
[3] Ibid. hlm. 4.
[4] Ibid. hlm. 4.
[5] As-Sayuthi. op.cit. hlm. 5.
[6]  Nuruddin ‘Itr. op.cit. hlm. 14.
 [7] Lihat Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadits ( Bandung : Angkasa, 1991), hal. 61;   Bandingkan pula dengan Prof.  Dr. H. M. Nur Sulaiman (Jakarta:  Gaung Persada Press, 2008) hal. 76
[8] Dr. Abd. Majid Khon, Ulumul Hadits ( Jakarta : AMZAH, 2008) hal.  68

 [9]Sbd. Majid Khon. Dr. Op.cit, hal.  78-79

 [10] Ibid, hal. 80

 [11]Ibid, hal. 82

SHARE THIS POST   

  • Facebook
  • Twitter
  • Myspace
  • Google Buzz
  • Reddit
  • Stumnleupon
  • Delicious
  • Digg
  • Technorati
Author: Mohammad
Mohammad is the founder of STC Network which offers Web Services and Online Business Solutions to clients around the globe. Read More →

1 komentar: