Download this Blogger Template by Clicking Here!

PROFIL

https://web.facebook.com/irwan.a.lovers

Kamis, 31 Maret 2016

Widgets

SHIQAQ DAN PERMASALAHANNYA


A.   Pengertian Shiqaq
Shiqaq    secara    etimologi     merupakan     masdar   dari    kata      kerja
شقا – و مشقة   شاق~يشاق~شقاقا يشق--شَقَّ   yang berarti perselisihan.[1] Menurut istilah fiqh berarti perselisihan suami isteri yang diselesaikan dua orang hakam, yaitu seorang hakam dari pihak suami dan seorang hakam dari pihak isteri.[2] Perselisihan suami istri bisa terjadi diakibatkan karena istri nusyuz. Menurut Rasyid Ridha, bahwa shiqaq adalah perselisihan antara suami dan isteri, perselisihan ini mungkin disebabkan karena isteri nusyuz atau mungkin juga karena suami berbuat kejam atau aniaya kepada isterinya.[3]
Al-Maraghi dalam tafsirnya menjelaskan permasalahan  shiqaq dengan cukup lugas. Al-shiqaq berarti perselisihan yang berpotensi membuat dua pihak berpisah, dan ketakutan masing-masing  pihak  akan  terjadinya  perpisahan  itu  dengan  lahirnya  sebab-sebab perselisihan. Pada ayat 35 surat an-Nisa tentang shiqaq, Allah menerangkan cara yang baik untuk diterapkan ketika terjadi pertengkaran dan ketika takut terjadi perpecahan: Shiqaq atau pertikaian di antara mereka kadang-kadang disebabkan oleh nusyuznya isteri,  kadang-kadang  pula  oleh  kezaliman  suami.  Jika  hal  pertama  yang  terjadi,  maka hendaknya  suami  mengatasinya  dengan  cara  yang  paling  ringan  di  antara  cara-cara  yang disebutkan di dalam ayat 34. Tetapi jika hal kedua  yang terjadi, dan dikhawatirkan suami akan  terus-menerus  berlaku  zalim  atau  sulit  menghilangkan  nusyuznya,  selanjutnya dikhawatirkan  akan terjadi perpecahan, maka kedua suami isteri dan kaum kerabat  wajib mengutus dua orang hakam yang bermaksud memperbaiki hubungan antara mereka. Dalam ayat  tersebut  juga  diisyaratkan  bahwa  dua  orang  hakam  mengetahui  masalah  pribadi pasangan  suami  isteri,  karena  dekatnya  hubungan  dengan  mereka,  sehingga  dapat  ikut membantu penyelesaian masalah.[4]
Sayid Sabiq mengkategorikan perceraian karena shiqaq ini sebagai perceraian karena dharar atau membahayakan. Lebih lanjut beliau mengemukakan bahwa Imam Malik dan Ahmad berpendapat sekiranya isteri mendapat perlakuan kasar dari suaminya maka ia dapat mengajukan gugatan perceraian dihadapan hakim agar perkawinannya diputus karena perceraian.[5] Adapun bentuk dharar menurut Imam Malik dan Ahmad adalah kata-kata kotor atau pukulan yang menyakiti atau meninggalkannya tanpa sebab, atau ia menyuruh isterinya melakukan sesuatu yang haram, atau lebih mementingkan isterinya yang lain, atau tidak mau menjenguk orang tuanya, atau merampas hartanya atau selain itu yang pokoknya menzhalimi, menyakiti atau membahayakan isteri. Jika suami melakukan itu dan isteri tidak terima dengan perlakuan ini lantas ia melapor pada hakim dan ia mampu membuktikan dakwaannya itu (menurut pendapat yang masyhur dalam madzhab ini) lantas isteri menuntut cerai, maka hakim dapat menceraikannya dengan talak satu ba’in [6]  
Di kalangan mazhab Syafi’iyah, shiqaq itu tidak lain adalah perselisihan antara suami isteri, dan perselisihan ini sangat memuncak serta dikhawatirkan terjadi kemudharatan apabila perkawinan itu diteruskan.[7] Golongan Syafi’iyah berpendapat bahwa dharar atau shiqaq atau buruk perlakuan kadang timbul dari pihak isteri sendiri, atau suami saja atau kedua-duanya. Jika sebab itu muncul dari pihak isteri, suami harus mendidik dan menasihati isteri dengan sebaik-baiknya. 
Jika hal itu timbul dari pihak suami seperti buruk dalam perlakuan dan berakibat dharar, maka isteri boleh melapor ke hakim. Jika laporan itu terbukti, hakim dapat melarang suami namun tidak dijatuhi ta’zir pada kasus yang pertama kali. Jika laporan terjadi lagi dan terbukti, hakim dapat menghukumnya dengan hukuman yang setimpal dengan kesalahannya. Jika shiqaq dan darar datang dari keduanya, misalnya suami menuduh isterinya tidak taat kepadanya, dan isteri menuduh suaminya memperlakukan buruk dan menyakitinya, hakim wajib mengutus dua orang hakam.[8]
Dari pemaparan pendapat ulama madzhab di atas kiranya terlihat jelas bahwa madzhab yang secara eksplisit membolehkan perceraian dengan alasan shiqaq atau dharar adalah madzhab Maliki. Sedang tiga madzhab yakni Hanafi, Syafi’i dan Hanbali tidak menghendaki perceraian sebagai jalan penyelesaian terjadinya shiqaq atau dharar dalam hubungan suami-isteri namun lebih menekankan perlunya perbaikan dan penyadaran serta perdamaian. Menurut ketiga madzhab tersebut, shiqaq bisa dihilangkan tidak mesti lewat perceraian, tetapi cukup dilaporkan ke pengadilan atau hakim, dan hakim dapat mendidik dan mengatur agar kehidupan suami-isteri itu normal kembali.
Penulis berpendapat bahwa menutup kebolehan perceraian bagi pasangan suami-isteri yang sering cekcok dan terus menerus dalam permusuhan, serta tidak ada harapan untuk rukun kembali sama saja dengan menyimpan bara api yang sewaktu-waktu dapat membakar isi rumah itu. Bukankah perkawinan yang selalu diwarnai keributan dan percekcokan sudah tidak  sesuai lagi  dengan tujuan perkawinan itu sendiri?. Atas dasar itu pendapat yang lebih maslahat dan mendekati kebenaran ( Insya Allah) adalah pendapat madzhab Maliki, selain lebih realistis dan mendekati maslahat juga lebih sesuai dengan isyarat yang diberikan al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 130, yang membolehkan perceraian. Allah  menjanjikan masing-masing akan mendapatkan kecukupan yang dalam penjelasan ulama tafsir berarti akan mendapatkan ganti suami atau isteri  yang lebih pas dan cocok.
Pada Pasal 76 UU No 7 Tahun 1989. Dijelaskan maksud shiqaq, sebagaimana dirumuskan dalam penjelasan Pasal 76 ayat (1). Di situ dikatakan “Shiqaq adalah perselisihan yang tajam dan terus-menerus antara suami isteri”.[9]
Kalau diperhatikan makna shiqaq yang dirumuskan dalam penjelasan Pasal 76 ayat (1), pengertian tersebut sudah memenuhi pengertian yang terkandung dalam surah Annisa : 35. Pengertian Shiqaq yang disebut dalam penjelasan dimaksud, sama makna dan hakikatnya dengan apa yang dirumuskan pada penjelasan pasal 39 ayat 2 huruf f UU No 1 Tahun 1974 jo. Pasal 19 huruf f PP No. 9 Tahun 1975 yang berbunyi: antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Menurut pasal 76 UU No 7 tahun 1989, apabila terjadi perkara perceraian atas dasar alasan yang disebutkan di atas, tata cara pemeriksaannya disamping tunduk kepada ketentuan-ketentuan hukum acara perdata pada umumnya, sekaligus harus menurut tata cara mengadili yang digariskan Pasal 76 itu sendiri.[10]
Gugatan perceraian dapat diajukan oleh suami atau pihak istri dengan alasan yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Secara lengkap alasan yang dijadikan dasar gugat perceraian dapat dijumpai dalam pasal 116 KHI dimana sifatnya boleh alternatif artinya salah satu alasan saja yang dimasukkan dalam gugatan perceraian dibolehkan, tentunya disesuaikan dengan fakta yang mengiringinya dalam Konkreto. Misalnya: Istri menggugat cerai suaminya dengan mencantumkan salah satu alasan saja dalam surat gugatan yaitu: di antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.(Point f pasal 116 KHI).
B.  Dalil dan Dasar Hukum Shiqaq
Adapun sumber hukum dalam Al-Qur'an yang menjelaskan tentang Syiqa,  diantaranya Surat Annisa’ ayat 34 sebagai berikut:
ãA%y`Ìh9$# šcqãBº§qs% n?tã Ïä!$|¡ÏiY9$# $yJÎ/ Ÿ@žÒsù ª!$# óOßgŸÒ÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ !$yJÎ/ur (#qà)xÿRr& ô`ÏB öNÎgÏ9ºuqøBr& 4 àM»ysÎ=»¢Á9$$sù ìM»tGÏZ»s% ×M»sàÏÿ»ym É=øtóù=Ïj9 $yJÎ/ xáÏÿym ª!$# 4 ÓÉL»©9$#ur tbqèù$sƒrB  Æèdyqà±èS  ÆèdqÝàÏèsù £`èdrãàf÷d$#ur Îû ÆìÅ_$ŸÒyJø9$# £`èdqç/ÎŽôÑ$#ur ( ÷bÎ*sù öNà6uZ÷èsÛr& Ÿxsù (#qäóö7s? £`ÍköŽn=tã ¸xÎ6y 3 ¨bÎ) ©!$# šc%x. $wŠÎ=tã #ZŽÎ6Ÿ2 ÇÌÍÈ

Artinya :  Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh   karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.[11]

Ayat di atas menunjukkan bahwa apabila istri melakukan nusyuz maka hal yang harus dilakukan suami agar istrinya tidak mengulangi dan kembali mentaati suami yaitu menasehati, nasehat ini dilakukan suami kepada istri dengan cara yang ma’ruf serta memberikan pengajaran dengan pisah ranjang dan memukul istri dengan pukulan yang tidak menyakiti istri tersebut. Berikut langkah-langkah yang harus dilakukan:.
a.       Memberi nasihat dan bimbingan dengan bijaksana dan tutur kata yang baik, sebagaimana difirmankan Allah, “Maka nasihatilah mereka itu.” (An-Nisa :34)
b.      Pisah ranjang dan tidak dicampuri, Allah swt berfirman, “Dan tinggalkanlah mereka di tempat-tempat tidur.” (An-Nisa : 34)
c.       Pukulan yang sekiranya tidak menyakitkan, misalnya dengan siwak, yang tujuannya untuk menyadarkan. Allah swt berfirman, “Dan pukullah mereka.” (An-Nisa : 34)
Tentang masalah memukul, Rasullullah saw bersabda, “Jika mereka (istri) itu tetap berbuat (durhaka), maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menyakitkan.” Akan tetapi mengenai interpretasinya, kalangan sahabat, Tabi’in dan para ulama berbeda pendapat :
a.    Ibnu Abbas dan ‘Atha : Pukulan yang tidak menyakitkan itu dengan siwak.
b.    Qatadah : Pukulan yang tidak membuat cedera.
c.    Para Ulama : Pukulan itu hendaknya di satu tempat, dan supaya dihindari memukul wajah, sebab wajah itu pusat kecantikan seseorang.[12]
Meskipun para ulama sepakat membolehkan memukul, tetapi meninggalkannya jauh lebih baik. Mengenai hak memukul ini, seorang sahabat pernah bertanya kepada Rasullullah saw, “Apakah hak seseorang dari istri kita itu?” Rasullullah saw menjawab, “Yaitu engkau beri makan dia apabila engkau makan, engkau beri pakaian dia apabila engkau berpakaian. Jangan memukul muka, jangan engkau cacati dan jangan engkau tinggalkan, melainkan (dia) tetap di rumah.” (H.R Para Pemilik Sunan, dari Mu’awaiyah bin Hidah)[13]
Apabila langkah-langkah tersebut tidak diindahkan oleh istri serta terjadi pertengkaran dan ketidakharmonisan suami istri maka Allah memberikan solusi lain yakni melalui Surat Al-Nisa’ Ayat 35.
÷bÎ)ur óOçFøÿÅz s-$s)Ï© $uKÍkÈ]÷t/ (#qèWyèö/$$sù $VJs3ym ô`ÏiB ¾Ï&Î#÷dr& $VJs3ymur ô`ÏiB !$ygÎ=÷dr& bÎ) !#yƒÌãƒ $[s»n=ô¹Î) È,Ïjùuqムª!$# !$yJåks]øŠt/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $¸JŠÎ=tã #ZŽÎ7yz ÇÌÎÈ

Artinya :  Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.[14]

Surat al-Nisa’ ayat 35 tersebut merupakan kelanjutan dari ayat 34 yang menerangkan cara-cara suami memberikan pelajaran kepada istrinya yang melalaikan kewajibannya. Kalau ketiga jalan di atas sudah tidak berguna maka dicari jalan dengan ber-tahkim yaitu, “Mengutus seorang hakam dari keluarga suami, dan seorang hakam dari keluarga suami, dan seorang hakam lagi dari keluarga istri.” (An-Nisa : 35).
Hakam diutus untuk mendamaikan atau menyelesaikan masalah antara suami istri. Dalam hal ini hakam tidak berhak menceraikan, kecuali dengan kerelaan suami istri. Sebab kedua juru damai ini hanya berstatus sebagai wakil suami istri, karena itu apapun yang diputuskan harus mendapat persetujuan dari suami istri. Putusan yang dilakukan oleh hakam harus sebaiknya menguntungkan kedua belah pihak seperti putusan ishlah atau damai. Untuk melaksanakan tugasnya, seorang hakam harus professional, dua orang laki-laki yang adil dan mengedepankan upaya damai.[15] Persyaratan professional seorang hakam dimaksudkan agar di dalam menangani kasus-kasus berat seperti shiqaq ini dapat mengatasinya dengan cepat, tepat dan baik.
C.      Shiqaq dalam Pandangan Perundang-undangan Nasional
Dalam Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ditentukan bahwa perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian dan atas putusan Pengadilan. Kemudian dalam pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut juga dikemukakan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan (Majelis Hakim) tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak, serta cukup alasan bagi mereka untuk bercerai karena tidak ada harapan lagi untuk dapat hidup rukun dalam sebuah suatu Rumah Tangga, perkawinan mereka betul-betul sudah pecah.[16]
Gugatan perceraian diajukan oleh pihak suami atau pihak isteri dengan alasan yang sudah ditentukan oleh Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Salah satu alasan perceraian sebagaimana tersebut dalam pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 adalah antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisiahan dan percekcokan dan tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Dalam pasal 22 ayat 2 disebutkan bahwa gugatan perceraian karena alasan sebagaimana disebutkan dalam pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah itu baru dapat diterima oleh Pengadilan apabila sudah cukup jelas mengenai sebab-sebab perselisihan dan pertengkarannya itu dan sudah mendengar pihak keluarga serta orang-orang yang dekat dengan suami isteri yang mengajukan perceraian.
Dalam praktik Pengadilan Agama, alasan perceraian sebagaimana tersebut dalam pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 itu tidak disebut shiqaq. Dikatakan shiqaq kalau gugatan perceraian itu dengan alasan telah terjadi percekcokan yang mengandung unsur-unsur yang membahayakan kehidupan suami isteri dan sudah terjadi pecahnya perkawinan, berakhirnya perkawinan mereka dengan putusan Pengadilan[17].
Sedangkan alasan perceraian yang didasarkan pada  pertengkaran dan percekcokan yang tidak mengandung unsur-unsur yang membahayakan dan belum sampai pada tingkat darurat, maka hal tersebut belum bisa dikatakan shiqaq. Hal yang terakhir ini gugatan diajukan oleh salah satu pihak dengan alasan percekcokan dan pertengkaran itu dengan alasan perceraian dengan alasan yang lain, seperti salah satu pihak melakukan zina, mabuk dan main judi. Terhadap hal ini putusnya perkawinan bisa berupa perceraian dan bisa dengan putusan Pengadilan.
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama telah menetapkan bahwa shiqaq merupakan alasan cerai yang diajukan kepada Pengadilan Agama sebagai perkara tersendiri. Mengajukan perkaranya ke perkara lain yang kemudian di shiqaqkan setelah berlangsungnya pemeriksaan perkara dalam persidangan sebagaimana lazimnya yang dilaksanakan oleh para hakim sebelum berlaku Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tersebut.
Substansial dari shiqaq sebagaimana tersebut dalam pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 sepanjang mengandung unsur-unsur yang membahayakan dan pecahnya perkawinan. Perkara shiqaq yang diajukan sejak awal ke Pengadilan Agama akan memudahkan pengisian laporan.
Menurut M Yahya Harahap, alasan shiqaq yang diatur dalam pasal 76 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 beserta penjelasannya sudah memenuhi pengertian yang terkandung dalam Surat Annisa ayat 3, juga sama makna dan hakekatnya dengan apa yang dirumuskan pada penjelasan pasal 39 ayat (2) huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Oleh karena itu tata cara pemeriksaannya disamping tunduk kepada ketentuan umum hukum acara perdata, sekaligus harus menurut tata cara mengadili yang digariskan oleh pasal 76 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 itu sendiri. Kelalailan mempergunakan tata cara yang telah ditentukan itu mengakibatkan keputusan yang dijatuhkan oleh hakim batal demi hukum atau sekurang-kurangnya pada tingkat banding harus diadakan pemeriksaan tambahan untuk menyempurnakan pemeriksaan tersebut.[18]
Penyelesaian perkara shiqaq merupakan pemeriksaan secara khusus (lex spesialis) dan agak menyimpang dari asas umum hukum acara perdata. Oleh karena perceraian karena shiqaq ini merupakan perceraian karena adanya mudharat yang menimpa pihak isteri dan pecahnya tali pernikahan. Maka hakim wajib mengkonstatir benar tidaknya peristiwa yang diajukan oleh pihak yang berperkara itu, kamudian mengkualifisir peristiwa tersebut dan akhirnya memberikan hukumnya terhadap peristiwa yang diajukan oleh pihak itu.



[1] Ahmad Warson Munawwir, Al Munawwir Kamus Arab Indonesia (Yogyakarta :Krapyak 1984) hlm 785
[2] Slamet Abidin, Aminuddin, Fiqh Munakahat 1, Pustaka Setia, Bandung, 1999, hlm.187
[3] Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Yayasan Al Hikmah, Jakarta, 2000, hlm. 237
[4] Ahmad Mustafa Al-Maragi, Tafsir Al-Maraghi, Juz V, Mesir: Mustafa Al-Babi Al-Halabi, 1394 H/1974 M, hlm.47.
[5] Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, (Bairut: Dar al-Fikr, 1404’/1983), Juz II, hlm. 248
[6]Alauddin Kharufa, Syarh Qanun al-Akhwal asy-Syahsiyyah, (Baghdad: Matba’ah al-Ma’arif, 1383/ 1963), Juz II, hlm. 31 dan Muhammad Abu Zahrah, Al-Ahwal asy-Syakhsiyyah, (T.Tp: Dar al-Fikr al-‘Arabi, T.Th), hlm. 423
[7] Ibid
[8] Alauddin Kharufa, Syarh Qanun al-Akhwal asy-Syahsiyyah, (Baghdad: Matba’ah al-Ma’arif, 1383/ 1963), Juz II, hlm. 30
[9]  Yahya Harahap,  Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hlm. 244
[10] Ibid
[11]  Kementerian Agama RI, Al-Qur’an d Tafsir Per Kata, PT. Suara Agung, Jakarta, 2014, hlm. 85
[12]  Ibid, hlm 988
[13] Ali Ash-Shabuni, Al-Qur’an d Tafsir Per Kata, PT. Suara Agung, Jakarta, 2014, hlm. 620
[14]  Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya,PT Syaamil Cipta Media, Bandung, 2005, hlm. 644
[15] Wahbah Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu. Juz VII, Beirut Dar el-Fikr, 1989 Hlm. 527.
[16] UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
[17] Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Yayasan Al Hikmah, Jakarta, 2000, hlm. 239
[18] Ibid

SHARE THIS POST   

  • Facebook
  • Twitter
  • Myspace
  • Google Buzz
  • Reddit
  • Stumnleupon
  • Delicious
  • Digg
  • Technorati
Author: Mohammad
Mohammad is the founder of STC Network which offers Web Services and Online Business Solutions to clients around the globe. Read More →

0 komentar: