Download this Blogger Template by Clicking Here!

PROFIL

https://web.facebook.com/irwan.a.lovers

Kamis, 31 Maret 2016

Widgets

PERNIKAHAN


1.      Pengertian Pernikahan
Kata nikah berasal dari bahas Arab nikaahun yang merupakan masdar atau kata asal dari kata nakaha. sinonimnya tazawwaja kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagaimana yang disebut perkawinan. Sedangkan secara bahasa kata nikah berarti adh-dhammu wattadakhul (bertindih dan memasukkan) oleh karena itu menurut kebiasaan Arab, pergesekan rumpun pohon seperti pohon bambu akibat tiupan angin diistilahkan dengan tanakahatil asyjar (rumpun pohon itu sedang kawin), karena tiupan angin itu terjadi pergesekan dan masuknya rumpun yang satu keruang yang lain.[1] Perkawinan menurut istilah sama dengan kata ”nikah” dan kata ”zawaj”.[2]
Ulama golongan syafi’iyah memberikan definisi nikah melihat kepada hakikat dari akad itu bila dihubungkan dengan kehidupan suami istri yang berlaku sesudahnya, yaitu boleh bergaul sedang sebelum akad berlangsung diantara keduanya tidak boleh bergaul. Sebagaimana dikalangan ulama Syafi’i merumuskan pengertian nikah adalah akad/perjanjian yang mengandung maksud membolehkan hubungan kelamin dengan menggunakan lafadz na-ka-ha atau za-wa-ja atau yang semakna dengan keduanya.[3]
Sejalan dengan pendapat di atas, ulama Hanafiyah juga memberikan definisi sebagai akad yang ditentukan untuk memberi hak kepada seorang lakilaki menikmati kesenangang dengan seorang perempuan secara sengaja.[4]
Definisi-definisi yang diberikan beberapa pendapat imam mazhab, para mujtahid sepakat bahwa nikah adalah suatu ikatan yang dianjurkan syariat. Orang yang sudah berkeinginan untuk menikah dan khawatir terjerumus ke dalam perbuatan zina, sangat dianjurkan untuk melaksanakan nikah. Yang demikian itu adalah lebih utama dari pada haji, sholat, jihat, dan puasa sunnah.[5]  Selain itu nikah dalam arti hukum ialah akad (perjanjian) yang menjadikan halal hubungan seksual sebagai suami istri antara seorang pria dan seorang wanita.[6]
Pengertian perkawinan menurut Undang-undang Perkawinan adalah : Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.[7] Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia disebutkan bahwa : Perkawinan menurut hukum Islam adalah “akad yang sangat kuat atau miitsaqon gholiidhon untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.[8]
Ungkapan “akad yang sangat kuat atau miitsaqon gholiidhon merupakan penjelasan dari Ungkapan ikatan lahir batin yang terdapat dalam rumusan UU No 1/1974 tentang Perkawinan yang mengandung arti bahwa akad perkawinan bukanlah semata perjanjian yang bersifat keperdataan. Sedangkan ungkapan “untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah” merupakan penjelasan dari ungkapan “Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam rumusan UU No 1/1974 tentang Perkawinan. Hal ini menjelaskan bahwa perkawinan bagi umat Islam adalah merupakan peristiwa agama dan oleh karena itu orang yang melaksanakannya telah melakukan perbuatan ibadah. Oleh karena perkawinan merupakan perbuatan ibadah maka perempuan yang telah menjadi istri merupakan amanah Allah yang harus di jaga dan diperlakukan dengan baik, karena ia di ambil melalui prosesi keagamaan dalam akad nikah. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi dari Ibnu Abbas yang di nukil oleh Prof. Dr. Amir Syarifuddin berikut :
اِنَّمَا اَخْذَتُمُوْهُنَّ بِأَ مَانَةِالله وَاستحللتم فروجهن بِكَلِمَاتِ الله
 Artinya : “Sesungguhnya kamu mengambilnya sebagai amanah Allah dan kamu menggaulinya dengan kalimat dan cara-cara yang telah ditetapkan Allah”.[9]

2.      Dasar hukum pernikahan
Perkawinan di samping sebagai perbuatan ibadah, ia juga merupakan sunnah Allah dan sunnah Rasul-Nya. Sebagai sunnah Allah, perkawinan merupakan qudrat dan irodat Allah dalam penciptaan alam semesta. Hal ini dapat kita lihat dari rangkaian ayat-ayat berikut:
$pkšr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# (#qà)®?$# ãNä3­/u Ï%©!$# /ä3s)n=s{ `ÏiB <§øÿ¯R ;oyÏnºur t,n=yzur $pk÷]ÏB $ygy_÷ry £]t/ur $uKåk÷]ÏB Zw%y`Í #ZŽÏWx. [ä!$|¡ÎSur 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# Ï%©!$# tbqä9uä!$|¡s? ¾ÏmÎ/ tP%tnöF{$#ur 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. öNä3øn=tæ $Y6ŠÏ%u ÇÊÈ
Artinya : Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (Q.S. An-Nisaa’ : 1). 11


÷bÎ)ur ÷LäêøÿÅz žwr& (#qäÜÅ¡ø)è? Îû 4uK»tGuø9$# (#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/âur ( ÷bÎ*sù óOçFøÿÅz žwr& (#qä9Ï÷ès? ¸oyÏnºuqsù ÷rr& $tB ôMs3n=tB öNä3ãY»yJ÷ƒr& 4 y7Ï9ºsŒ #oT÷Šr& žwr& (#qä9qãès? ÇÌÈ

Artinya : Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.[10] ( Q.S. An-Nisaa’ : 3).

(#qßsÅ3Rr&ur 4yJ»tƒF{$# óOä3ZÏB tûüÅsÎ=»¢Á9$#ur ô`ÏB ö/ä.ÏŠ$t6Ïã öNà6ͬ!$tBÎ)ur 4 bÎ) (#qçRqä3tƒ uä!#ts)èù ãNÎgÏYøóムª!$# `ÏB ¾Ï&Î#ôÒsù 3 ª!$#ur ììźur ÒOŠÎ=tæ ÇÌËÈ

Artinya :  Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberianNya) lagi Maha mengetahui.[11] (Q.S. An-Nuur : 32).

ô`ÏBur ÿ¾ÏmÏG»tƒ#uä ÷br& t,n=y{ /ä3s9 ô`ÏiB öNä3Å¡àÿRr& %[`ºurør& (#þqãZä3ó¡tFÏj9 $ygøŠs9Î) Ÿ@yèy_ur Nà6uZ÷t/ Zo¨Šuq¨B ºpyJômuur 4 ¨bÎ) Îû y7Ï9ºsŒ ;M»tƒUy 5Qöqs)Ïj9 tbr㍩3xÿtGtƒ ÇËÊÈ

Artinya : Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.[12] (Q.S. Ar-Ruum : 21).

 Sedangkan perkawinan sebagai sunnah rosul dapat dilihat dari beberapa hadits berikut :
عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ اْلبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَاِنَّهُ اَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَ اَحْصَنُ لِلْفَرْجِ. وَ مَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَاِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ.  مسلم

Artinya : Wahai para pemuda, siapa saja diantara kalian yang telah memiliki kemampuan untuk menikah, hendaklah dia menikah; karena menikah lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Adapun bagi siapa saja yang belum mampu menikah, hendaklah ia berpuasa; karena berpuasa itu merupakan peredam (syahwat)nya.[13](H.R. Muslim).

Ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadist Nabi di atas inilah yang dijadikan sebagai dasar di dalam melaksanakan perkawinan. Dari dasar-dasar di atas, golongan ulama jumhur (mayoritas ulama) berpendapat bahwa kawin itu hukumnya sunnat. Para ulama Malikiyah Muta’akhirin berpendapat bahwa kawin itu wajib untuk sebagian orang, sunnat untuk sebagian lainnya dan mubah untuk segolongan yang lainnya.[14] Hal ini ditinjau berdasarkan atas kekhawatiran (kesusahan) dirinya. Sedangkan ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa hukum asal melakukan perkawinan adalah mubah, disamping ada yang sunnat, wajib, haram dan makruh.[15]
Berkaitan dengan hal di atas, maka di sini perlu dijelaskan beberapa hukum dilakukannya perkawinan, yaitu :
a.       Wajib
Perkawinan berhukum wajib bagi orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk kawin dan dikhawatirkan akan tergelincir pada perbuatan zina seandainya tidak kawin. Hal ini didasarkan pada pemikiran hukum bahwa setiap muslim wajib menjaga diri untuk tidak berbuat yang terlarang, sedang menjaga diri itu wajib, maka hukum melakukan perkawinan juga wajib.[16]
b.      Sunnah
Perkawinan itu hukumnya sunnah menurut pendapat jumhur ulama’.[17] Yaitu bagi orang yang telah mempunyai kemauan dan  kemampuan untuk melangsungkan perkawinan tetapi kalau tidak kawin tidak dikhawatirkan akan berbuat zina.
c.       Haram
Bagi orang yang tidak mempunyai keinginan dan tidak mempunyai kemampuan serta tanggung jawab untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban dalam rumah tangga, sehingga apabila dalam melangsungkan perkawinan akan terlantarlah diri dan istrinya. Termasuk juga jika seseorang kawin dengan maksud untuk menelantarkan orang lain, masalah wanita yang dikawini tidak di urus hanya agar wanita tersebut tidak dapat kawin dengan orang lain.
d.      Makruh
Bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukan perkawinan juga cukup mempunyai kemampuan untuk menahan diri sehingga tidak memungkinkan dirinya tergelincir berbuat zina sekiranya tidak kawin. Hanya saja orang ini tidak mempunyai keinginan yang kuat untuk dapat memenuhi kewajiban sebagai suami istri yang baik.
e.       Mubah
Bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukannya, tetapi apabila tidak melakukannya tidak khawatir akan berbuat zina dan apabila melakukannya juga tidak akan menelantarkan istri. Perkawinan orang tersebut hanya didasarkan untuk memenuhi kesenangan bukan dengan tujuan menjaga kehormatan agamanya dan membina keluarga yang sejahtera.
3.      Rukun dan syarat pernikahan
a. Rukun nikah :
1) Calon mempelai laki-laki dan perempuan.
2) Wali dari calon mempelai perempuan.
3) Dua orang saksi (laki-laki).
4) Ijab dari wali calon mempelai perempuan atau wakilnya.
5) Kabul dari calon mempelai laki-laki atau wakilnya.
Syarat perkawianan dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 pasal 6 ayat (1) menyebutkan perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. Sedangkan di dalam hukum Islam syarat perkawinan dijelaskan secara detail, yaitu:
b. Syarat nikah :
1) Syarat calon mempelai laki-laki :
a) Beragama Islam.
b) Terang laki-lakinya (bukan banci)
c) Tidak dipaksa.
d) Tidak beristri empat orang.
e) Bukan mahram bakal istri.
f) Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon istri.
g) Mengetahui calon istri tidak haram untuk dinikahinya.
h) Tidak sedang dalam ihram haji atau umrah.[18]
2) Syarat calon mempelai wanita :
a) Beragama Islam.
b) Terang wanitanya (bukan banci).
c) Telah memberi izin kepada wali untuk menikahkannya.
d) Tidak bersuami dan tidak dalam iddah.
e) Bukan mahram bakal suami.
f) Belum pernah dili’an (sumpah li’an) oleh bakal suami.
g) Tidak sedang dalam ihram haji atau umrah.
3) Syarat wali
a) Beragama Islam.
b) Laki-laki
c) Baligh.
d) Berakal.
e) Tidak dipaksa.
f) Adil (bukan fasik).
g) Tidak sedang dalam ihram haji atau umrah.
4) Syarat saksi
a) Beragama Islam.
b) Laki-laki
c) Baligh.
d) Berakal.
e) Tidak dipaksa.
f) Adil (bukan fasik).
g) Dapat mendengar dan melihat.
h) Mengerti maksud ijab dan kabul.
i) Tidak sedang dalam ihram haji atau umrah.
5) Ijab dan kabul
Ijab dan kabul harus berbentuk dari asal kata inkah atau tazwij atau terjemahan dari kedua asal kata tersebut, yang dalam bahasa Indonesia berarti menikahkan.[19]
UU No. 1 Tahun 1974 telah mengatur tentang syarat-syarat perkawinan, yaitu dalam Pasal 6 sampai Pasal 11. Menurut UU No. 1 Tahun 1974 perkawinan harus berdasarkan adanya persetujuan kedua calon suami dan isteri. Calon suami dan isteri yang belum berusia 21 tahun harus mendapat izin dari orang tuanya. Jika calon suami belum mencapai usia 19 tahun dan calon isteri belum berusia 16 tahun dapat meminta dispensasi nikah ke Pengadilan.[20]
Calon suami dan isteri tidak boleh mempunyai hubungan darah, hubungan semenda dan sesusuan. Selain itu tidak boleh menikahi wanita yang mempunyai hubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang. Calon suami dan isteri tidak boleh mempunyai hubungan yang dilarang oleh agamanya dan peraturan lain yang berlaku.[21]
Dalam KHI Bab IV diatur tentang rukun dan syarat perkawinan, yaitu dalam Pasal 14 sampai Pasal 29. Menurut KHI Pasal 14, untuk melaksanakan perkawinan harus ada calon suami dan calon isteri, wali nikah, dua orang saksi serta ijab dan kabul.[22]
Calon suami harus berusia 19 tahun dan calon isteri harus berusia 16 tahun. Bagi yang belum berusia 21 tahun harus mendapat izin dari walinya sebagaimana diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974. Adanya persetujuan dari calon suami dan calon isteri dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan, lisan atau isyarat tapi dapat juga berupa diam dalam arti selama tidak ada penolakan yang tegas serta tidak terdapat halangan perkawinan sebagaimana diatur dalam Bab VI KHI.[23]
Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang betindak untuk menikahkannya. Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil dan baligh yang terdiri dari wali nasab dan wali hakim. Adanya dua saksi dengan syarat ialah laki-laki muslim, adil, akil baligh, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna rungu atau tuli serta harus menyaksikan secara langsung aqad nikah dan kemudian mendatangani Akta Nikah pada waktu dan di tempat akad nikah berlangsung.[24]
Ijab dan kabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun dan tidak berselang waktu. Wali nikah dapat mewakilkan kepada orang lain dan yang berhak mengucapkan kabul ialah calon mempelai pria secara pribadi, dalam hal-hal tertentu ucapan kabul nikah dapat diwakilkan kepada pria lain dengan ketentuan calon mempelai pria memberi kuasa yang tegas secara tertulis bahwa penerimaan wakil atas akad nikah itu adalah untuk mempelai pria serta adanya persetujuan dari calon mempelai wanita atau wali.[25]
4.      Tujuan pernikahan
Islam menganjurkan kawin karena mempunyai tujuan yang besar bagi pelakunya.
a.       Sesungguhnya naluri seks merupakan naluri yang kuat dan keras yang selamanya menuntut adanya jalan keluar. Bila mana jalan keluar tidak dapat memuaskan, maka banyak manusia yang mengalami goncangan dan kacau serta menerobos jalan yang jahat. Dan kawin merupakan jalan alami dan biologis yang paling baik dan sesuai untuk menyalurkan dan memuaskan naluri seks ini. Dengan kawin badan jadi segar, jiwa jadi tenang, mata terpelihara dari melihat yang haram.
b.      Kawin jalan terbaik untuk membuat anak-anak menjadi mulia, memperbanyak keturunan, melestarikan hidup manusia serta memelihara nasab yang oleh Islam sangat diperhatikan.
c.       Selanjutnya naluri kebapakan dan keibuan akan muncul saling melengkapi dalam suasana hidup dengan anak-anak dan akan tumbuh pula perasaan ramah, cinta dan sayang yang merupakan sifat-sifat baik manusia.
d.      Menyadari tanggung jawabnya sebagai isteri dan suami akan menimbulkan sikap yang sungguh-sungguh dalam memperkuat bakat. Ia akan cekatan bekerja, karena dorongan tanggung jawab dan memikul tanggung jawabnya.
e.       Pembagian tugas, dimana yang satu mengurusi dan mengatur rumah tangga sedangkan yang lainnya bekerja mencari nafkah.
f.       Dengan perkawinan diantaranya dapat membuahkan tali kekeluargaan, memperteguh kelanggengan rasa cinta antara keluarga dan memperkuat tali kemasyarakatan.[26]



[1] Rahmad Hakim, Hukum Perkawinan Islam (Bandung : Pustaka Setia, 2000), h. 11.
[2]Abd Shomat, Hukum Islam Penoraman Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, (Jakarta Prenada Media Goup, 2010), h. 272.
[3]Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan), (Jakarta: Kencana, 2009), h. 37.
[4] Ibid., h. 38
[5]Syaikh al-Allamah Muhammad bin Abdurrahman ad-Dimasyqi, (Bandung; al-Haromain), h. 318
[6] Mohd Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam Suatu Analisis dari Undang-Undang No 1 tahun 1994 dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta; Bumi Aksara), h. 1.
[7]Undang-undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, (Yogyakarta; Pustaka Yustisia), h. 7.
[8] Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta; Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1997), h. 14.
[9] Amir Syarifuddin,Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan), (Jakarta: Kencana, 2009), h.  41.
[10] Kementerian Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemah, Tafsir Perkata, (Bandung: PT. Sygma Examedia Arkenleema, 2010) h. 77
[11]Ibid., h. 354
[12] Ibid., h. 406
[13]Ibn Hajr Al-Asqolani, Bulughul Maraam, Terjemah Al-Hassan (Bangil: Pustaka Tamaam, 2001), h. 438
[14] Abd. Rahman Ghozaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta; Prenada Media, 2003), h. 16
[15] Ibid., h. 18
[16] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h. 139
[17] Al-Mawardi, Hukum Perkawinan dalam Islam, (Yogyakarta: BPFE, 1998), h. 1.
[18] Dirjen Bimas Islam, Pedoman Akad Nikah, (Jakarta : DEPAG, 2006), h. 23.

[19] Ibid, h.24.

[20] Pasal 6 dan 7 UU No. 1 Tahun 1974. Zainal Abidin Abubakar, Kumpulan Peraturan Perundang-undang Dalam Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Al-Hikmah, 1993) Cet. 3, h. 125.
[21] Pasal 8 UU No. 1 Tahun 1974. Ibid., h. 126.
[22] Departemen Agama RIDirektoratPembinaanBadanPeradilan Agama Islam, Op.Cit., h. 18.
[23] Ibid., h. 18.
[24] Pasal 19-26 KHI. Ibid., h. 20-22.
[25] Pasal 27, 28 dan 29 KHI. Ibid., h. 23-24.

[26] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Juz VI, (Bandung : PT. Al Ma’arif, 2000), h. 21

SHARE THIS POST   

  • Facebook
  • Twitter
  • Myspace
  • Google Buzz
  • Reddit
  • Stumnleupon
  • Delicious
  • Digg
  • Technorati
Author: Mohammad
Mohammad is the founder of STC Network which offers Web Services and Online Business Solutions to clients around the globe. Read More →

0 komentar: