Download this Blogger Template by Clicking Here!

PROFIL

https://web.facebook.com/irwan.a.lovers

Senin, 18 September 2017

Widgets

BIAYA PERNIKAHAN PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DI INDONESIA



1.      Pengertian Biaya  Pernikahan

Tata cara pernikahan adalah salah satu materi yang perlu diketahui oleh penasehat pernikahan dan calon mempelai yang akan melakukan suatu proses pernikahan. Tata cara pernikahan tersebut antara lain meliputi pemberitahuan kehendak nikah, pemeriksaan nikah, pengumuman kehendak nikah, akad nikah dan pencatatannya, penolakan kehendak nikah, pencegahan pernikahan, pembatalan pernikahan.[1]
Dari beberapa tata cara pernikahan di atas, untuk memperoleh kepastian hukum akad nikah harus dilangsungkan di bawah pengawasan atau di hadapan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N). Hal itu dilakukan untuk memperoleh pencatatan akta nikah.[2] Akta nikah yang merupakan akta otentik, harus memuat hal-hal sebagaimana tersebut dalam Pasal 12 Peraturan Pemerintah (PP) nomor 9 tahun 1975 dan penjelasannya serta ditambah pula dengan hal-hal lain yang dianggap perlu. Akta nikah ini dibuat dalam rangkap dua. Helai pertama disimpan oleh PPN. Helai kedua disimpan pada panitera pengadilan dalam wilayah kantor pencatat pernikahan itu berada. Sedangkan suami istri masing-masing diberikan kutipannya.[3]
Sebagaimana dipaparkan oleh Riduan Syahrani dalam bukunya, bahwa hakikat adanya pencatatan nikah itu sendiri antara lain dapat dikemukakan sebagai berikut:
a.       Agar dapat kepastian hukum dengan adanya alat bukti yang kuat bagi yang berkepentingan mengenai pernikahannya, sehingga memudahkannya dalam melakukan hubungan dengan pihak ketiga.
b.      Agar lebih terjamin ketertiban masyarakat dalam hubungan kekeluargaan sesuai dengan akhlak dan etika yang dijunjung tinggi oleh masyarakat dan negara.
c.       Agar ketentuan undang-undang yang bertujuan membina perbaikan sosial lebih efektif.
d.      Agar nilai-nilai dan norma keagamaan dan kepentingan umum lainnya sesuai dengan dasar negara pancasila lebih dapat ditegakkan.[4]
Suatu proses pencatatan pernikahan yang telah terjadi dan telah dilakukan pencatatan pernikahan untuk dijadikan alat bukti atas keabsahan pernikahan antara masing-masing mempelai dikenakan biaya. Sesuai dengan peraturan yang berlaku pencatatan pernikahan tersebut dikenai suatu biaya pencatatan pernikahan.
Masyarakat sering menyebut biaya pencatatan pernikahan ini dengan biaya nikah, biaya talak, atau biaya rujuk. Penyebutan istilah yang kurang tepat dalam hukum dapat memberikan penafsiran yang salah dan dapat mengacaukan pengertian dalam masyarakat.[5] Dengan menyebut biaya nikah, seolah-olah untuk nikah itu perlu dipungut biaya, padahal dalam Islam ada yang mengatakan haram adanya biaya nikah. Dalam penjelasan pasal 23 UUD 1945, hal keuangan dijelaskan bahwa segala tindakan yang menempatkan beban kepada masyarakat, seperti pajak dan lain-lain harus ditetapkan dengan undang-undang. Maka dalam penetapan pungutan biaya Nikah Talak Cerai dan Rujuk (NTCR) ini harus pula berdasarkan Undang- Undang. Karena pembayaran biaya merupakan beban bagi masyarakat. Tentang biaya ini telah ditetapkan dalam UU No. 22 Tahun 1946 pada pasal 1 ayat 4, yang berbunyi: “seorang yang nikah, menjatuhkan talak atau merujuk diwajibkan membayar biaya pencatatan yang banyaknya ditetapkan oleh Meteri Agama”.
Jadi jelas yang dimaksud dalam Undang-undang adalah menerangkan biaya pencatatan bukan NTCR-nya. Dalam skripsi ini penulis mencoba untuk mendefinisikan biaya pencatatan pernikahan per-frase. Biaya sendiri diartikan sebagai ongkos, belanja, pengeluaran, uang yang dikeluarkan untuk membayar suatu keperluan.[6] Sedangkan pencatatan pernikahan sendiri memiliki arti sebagai suatu proses mencatatkan atau menuliskan tentang suatu kejadian pernikahan yang telah terjadi dan dilakukan oleh kedua pihak yang bersangkutan dalam sebuah akta nikah.[7]  Dalam Peraturan Menteri Agama (PERMA) nomor 71 tahun 2009, biaya pencatatan pernikahan diartikan sebagai penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang berasal dari biaya yang dipungut dari masyarakat atas pencatatan pernikahan atau rujuk.[8] Jadi dapat penulis simpulkan bahwa “biaya pencatatan pernikahan didefinisikan sebagai suatu ongkos atau uang yang dikeluarkan untuk membayar proses penulisan atau pencatatan terhadap kejadian pernikahan yang telah terjadi”.
2.      Dasar Hukum Biaya Pernikahan
Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa segala tindakan yang menempatkan beban kepada masyarakat, seperti pajak dan lain-lain harus ditetapkan dengan undang-undang. Begitu juga halnya dengan masalah biaya pencatatan pernikahan. Jika melihat masyarakat yang berbeda keadaan sosialnya, yang terdiri dari kalangan bawah menengan, dan kalangan atas. Hal pembiayaan pernikahan ini pasti akan dirasa membebankan bagi kalangan masyarakat bawah. Dalam skripsi ini penulis akan mencoba memaparkan beberapa peraturan perundang-undangan terkait yang mengatur tentang biaya pernikahan.
a.       Ketetapan Menteri Agama (KEMA) nomor 122 tahun 1978 tentang Biaya Pencatatan Pernikahan.
Keputusan Menteri Agama (KEMA) ini diterangkan biaya pencatatan pernikahan diatur sebagai berikut:[9]

Peristiwa
Kas Negara
Formulir
Pengantar
BKM
Materai
Jumlah
Nikah
500
300
200
1000
200
2000
Talak
500
300
-
1000
200
2000
Cerai
500
300
-
1000
200
2000
Rujuk
500
300
200
1000
200
2000

b.      Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan Biaya Pencatatan Nikah dan Rujuk.
Peraturan Mentreri Agama (PERMA) nomor 71 tahun 2009 ini disahkan oleh Menteri Agama Republik Indonesia, yaitu Muhammad M. Basyuni pada tanggal 13 Mei 2009. Selain itu, PERMA ini pun merupakan hasil revisi atas PERMA No. 46 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Biaya Pencatatan Pernikahan. Dalam PERMA No. 71 Tahun 2009 ini, mengenai penerimaan tentang biaya pencatatan pernikahan tercantum dalam Pasal 2 ayat 1, BAB II; Penerimaan dan Penyetoran yang berbunyi “catin membayar biaya NR kepada bendahara penerima pada Kandepag melalui bendahara pembantu pada KUA”.[10]
c.       Peraturan Pemerintah Nomor 47 tahun 2004 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNPB) di Departemen Agama.
Biaya atau ongkos pencatatan pernikahan ini sudah barang tentu bukanlah pungutan wajib atau semata-mata atas permintaan/kehendak dari yang bersangkutan, karena ingin melaksanakan pernikahan di luar Kantor Urusan Agama (KUA) setempat. Oleh karena itu, bagi mereka yang ingin melangsungkan pernikahan di luar KUA, diwajibkan pula membayar ongkos jalan bagi PPN/P3N sebesar yang ditentukan oleh Kepala KUA setempat.
Biaya pencatatan nikah dan rujuk biasa disingkat NR yang diatur dalam PP No. 47 Tahun 2004, dengan besaran Rp 30.000,00 per peristiwa. Uang yang masuk dari masyarakat ini dikategorikan sebagai PNBP dari KUA Kecamatan dan harus disetor seluruhnya ke kas negara. Atas izin Menteri Keuangan, setoran yang masuk dapat digunakan kembali oleh Departemen Agama maksimal 80%.[11]
JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK
SATUAN
TARIF
(Rp)
II. PENERIMAAN DARI KANTOR URUSAN AGAMA KECAMATAN
per peristiwa
30.000,00

d.      Peraturan Pemerintah Nomor 48 tahun 2014 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 47 tahun 2004
Peraturan pemerintah ini merupakan peraturan baru yang merevisi atas PP No. 47 Tahun 2004. PP No. 48 Tahun 2014 ini baru disahkan pada tanggal 27 Juni 2014 kemarin. Dalam revisinya lebih difokuskan merevisi Pasal 6 ayat 1. Perubahan itu dilakukan pada ketentuan Pasal 6 (enam), sehingga dalam PP No. 48 Tahun 2014 berbunyi sebagai berikut:
1)      Setiap warga negara yang melaksanakan nikah atau rujuk di Kantor Urusan Agama Kecamatan atau di luar Kantor Urusan Agama Kecamatan tidak dikenakan biaya pencatatan nikah atau rujuk.
2)      Dalam hal nikah atau rujuk dilaksanakan di luar Kantor Urusan Agama Kecamatan dikenakan biaya transportasi dan jasa profesi sebagai penerimaan dari Kantor Urusan Agama Kecamatan.
3)      Terhadap warga negara yang tidak mampu secara ekonomi dan/atau korban bencana yang melaksanakan nikah atau rujuk di luar Kantor Urusan Agama Kecamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dikenakan tarif Rp 0,00 (nol rupiah).
4)      Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara untuk dapat dikenakan tarif Rp 0,00 (nol rupiah) kepada warga negara yang tidak mampu secara ekonomi dan / atau korban bencana yang melaksanakan nikah atau rujuk di luar Kantor Urusan Agama Kecamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri Agama setelah berkoordinasi dengan Menteri Keuangan.
JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK
SATUAN
TARIF
(Rp)
II. PENERIMAAN DARI KANTOR URUSAN AGAMA KECAMATAN
per peristiwa nikah atau rujuk
600.000,00

e.       Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak Atas Biaya Nikah dan Rujuk di Luar Kantor Urusan Agama Kecamatan.
PERMA No. 24 Tahun 2014 merupakan peraturan perundang-undangan yang menindaklanjuti atas PP No. 48 Tahun 2014 tentang PNBP di Kementerian Agama yang membahas pengelolaan biaya nikah dan rujuk. Dalam PERMA No. 24 Tahun 2014. Mengenai mekanisme pengelolaan penerimaan PNBP biaya nikah dan rujuk tertuang dalam BAB III Pasal 6, dimana bunyi pasal tersebut sebagai berikut:
1)      Catin wajib menyetorkan biaya nikah atau rujuk ke rekening Bendahara Penerimaan sebesar Rp 600.000 (enam ratus ribu rupiah)
2)       Apabila kondisi geografis, jarak tempuh, atau tidak terdapat dalam layanan Bank pada wilayah kecamatan setempat, Catin menyetorkan biaya nikah atau rujuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melalui PPN pada KUA kecamatan
3)      PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib menyetorkan biaya nikah atau rujuk yang diterimanya ke rekening Bendahara Penerimaan paling lambat 5 (lima) hari kerja
4)      Dalam hal nikah atau rujuk dilakukan di luar negeri, biaya nikah atau rujuk disetor ke rekening Bendahara Penerimaan.[12]
Sedangkan untuk masalah pembiayaan pencatatan biaya nikah gratis Rp 0,00,- bagi orang yang dikatakan secara ekonomi dianggap miskin, dalam PERMA Nomor 24 Tahun 2014 ini pun diatur dalam BAB VII Pasal 19 tentang syarat dan tata cara dikenakan tarif Rp 0,00 (Nol Rupiah). Berikut bunyi Pasal 19 tersebut:
1)      Catin yang tidak mampu secara ekonomi dan/atau korban bencana dapat dikenakan biaya nikah atau rujuk tarif Rp 0,00 (nol rupiah)
2)      Kriteria tidak mampu sebagaimana dimaksud pada ayat 1 didasarkan pada surat keterangan tidak mampu dari lurah/kepala desa yang diketahui oleh camat
3)      Bencana sebagaimana dimaksud pada ayat 1 merupakan bencana alam yang menyebabkan catin tidak dapat melaksanakan pernikahan secara wajar
4)      Catin korban bencana sebagaimana dimaksud pada ayat 1 wajib memperoleh surat keterangan dari lurah/kepala desa.[13]
Peraturan perundang-undangan yang telah peneliti paparkan di atas merupakan sebagaian kecil dari banyaknya peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang biaya pencatatan pernikahan yang berada di Indonesia. Dan dari beberapa peraturan perundang-undangan yang peneliti berikan akan menjadi salah satu bahan informasi bagi masyarakat Kecamatan Sumber khususnya, dan umumnya bagi seluruh warga negara Indonesia.
3.      Biaya Pencatatan Pernikahan dalam Pandangan Hukum Nasional dan Hukum Islam.

a.    Dalam Pandangan Hukum Nasional
Biaya pencatatan perkawinan berdasarkan tarif resmi diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 48 tahun 2014 merupakan perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 47 tahun 2004 tentang Tarif atas Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kementerian Agama. Pasal 1 berbunyi:
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2004 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Departemen Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 149, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4455) diubah sebagai berikut:

1.      Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 6
(1) Setiap warga negara yang melaksanakan nikah atau rujuk di Kantor Urusan Agama Kecamatan atau di luar Kantor Urusan Agama Kecamatan tidak dikenakan biaya pencatatan nikah atau rujuk.
(2) Dalam hal nikah atau rujuk dilaksanakan di luar Kantor Urusan Agama Kecamatan dikenakan biaya transportasi dan jasa profesi sebagai penerimaan dari Kantor Urusan Agama Kecamatan.
(3) Terhadap warga negara yang tidak mampu secara ekonomormi dan/atau korban bencana yang melaksanakan nikah atau rujuk di luar Kantor Urusan Agama Kecamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dikenakan tarif Rp0,00 (nomorl rupiah).
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara untuk dapat dikenakan tarif Rp0,00 (nomorl rupiah) kepada warga negara yang tidak mampu secara ekonomormi dan/atau korban bencana yang melaksanakan nikah atau rujuk di luar Kantor Urusan Agama Kecamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri Agama setelah berkoordinasi dengan Menteri Keuangan.

2.      Ketentuan dalam Lampiran angka II mengenai Penerimaan dari Kantor Urusan Agama Kecamatan diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK
SATUAN
TARIF
(Rp)
II. PENERIMAAN DARI KANTOR URUSAN AGAMA KECAMATAN
per peristiwa nikah atau rujuk
600.000,00

Peraturan tersebut di atas sudah sangat jelas, dengan adanya peraturan tersebut bertujuan untuk meningkatkan pelayanan pencatatan nikah atau rujuk serta untuk melakukan penyesuaian jenis dan tarif atas penerimaan negara bukan pajak sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 47 tahun 2004 tentang Tarif  atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Departemen Agama, perlu dilakukan penyesuaian jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada kementerian agama.
Penetapan tarif pencatatan perkawinan yang tertera pada lampiran sebesar Rp. 600.000 merupakan biaya transportasi dan jasa profesi terhadap pagawai KUA yang menikahkan, dalam hal ini adalah penghulu. Hal ini dilakukan sejalan dengan upaya mengoptimalkan penerimaan negara bukan pajak guna menunjang pembangunan nasional, sebagai salah satu sumber penerimaan negara yang perlu dikelola dan di manfaatkan untuk peningkatan pelayanan kepada masyarakat.
b.   Dalam Pandangan Hukum Islam
Al-Qur’an dan Hadis tidak mengatur secara rinci mengenai pencatatan perkawinan. Namun dirasakan masyarakat mengenai pentingnya itu, sehingga diatur melalui perundang-undangan, baik Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 maupun melalui Kompilasi Hukum Islam.[14]
Pada masa Nabi Muhammad SAW, pernikahan tidak dicatatkan karena masyarakat masih banyak yang ummy (tidak mengetahui huruf) sehingga kesaksian dan sumoah masih diterima sebagai alat bukti hukum di pengadilan. Sekarang kondisinya berbeda, alat bukti tertulis lebih kuat dari sekedar kesaksian dan sumpah, karena itu pencatatan nikah menjadi sangat penting.[15]
Dalam al-Qur’an dan Hadis maupun pendapat ulama dalam kitab-kitab fikih klasik, secara eksplisit tidak didapatkan ketentuan dalil hukum pencatatan perkawinan. Tetapi ada beberapa faktor yang menjadi penyebab perkawinan itu tidak dicatat pada masa dahulu.
a)      Budaya baca tulis, khususnya dikalangan orang Arab Jahiliyah masih jarang. Oleh karena itu, orang Arab mengandalkan pada ingatan (hafalan) ketimbang menulis.
b)      Perkawinan bukan syariat baru dalam Islam. Ia merupakan syariat nabi-nabi terdahulu yang secara terus-menerus diturunkan. Ketika Islam datang, Islam berlahan-lahan membenahi hal-hal yang bertentangan dengan prisnsip-prinsip Islam. Namun hal-hal yang bersesuaian masih tetap dipelihara dan dipertahankan.
c)      Pada masyarakat zaman dahulu nilai-nilai kejujuran dan ketulusan dalam menjalankan kehidupan masih kuat. Sikap saling percaya dan tidak saling mencurigai menjadi fundamen kehidupan masyarakat ketika terjadi akad perkawinan yang disaksikan oleh dua orang saksi dan para handai taulan, serta masyarakat sekitarnya sudah cukup membuktikan bahwa pasangan suami istri itu telah melakukan perkawinan yang sah, oleh karena itu tidak bisa dianggap pasangan kumpul kebo.
d)     Problematika hidup pada zaman sekarang ini. Jaman semakin maju, persaingan semakin ketat, rasa makin percaya kepada manusia semakin luntur, ketakutan untuk ditipu dan dizalimi oleh orang lain atau keraguan atas kejujuran orang lain mulai bangkit, sehingga tuntutan atas legalitas hukum secara tertulis menjadi hal yang niscaya. Tanpa adanya legalitas hukum dengan pencatatan resmi, suatu kepemilikan dianggap tidak sempurna.
Siatuasi, kondisi dan kebutuhan zaman berubah. Apa yang dahulu tidak penting, apa yang dahulu sia-sia, mungkin sekarang menjadi suatu yang beranfaat. Kalau zaman dahulu pencatatan perkawinan tidak terlalu penting untuk diadakan, karena kondisi sosiologisnya memungkinkan. Namun, ketika zaman sudah berubah justeru pencatatan perkawinan merupakan hal yang sangat penting dan harus dilakukan.
Biaya pencatatan perkawinan di dalam Islam baik dalam Al-Qur’an dan Hadis tidak ada yang mengaturnya, begitu juga dengan sumber hukum Islam yang dijadikan patokan dalam menetapkan hukum baik di persidangan di pengadilan agama maupun urusan lain di lingkungan kementerian agama dan warga negara Indonesia yang beragama Islam, yakni Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dalam KHI juga tidak dijelaskan bagaimana dan berapa tarif pernikahan.
4.      Faktor-Faktor yang Menyebabkan Perubahan PP No. 47 Tahun 2004 Menjadi PP No. 48 Tahun 2014.
Perubahan PP No. 47 Tahun 2004 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Departemen Agama menjadi PP No. 48 Tahun 2014 ini pada intinya hanya terjadi perubahan pada Pasal 6. Perubahan tersebut terjadi karena beberapa faktor. Berikut Penulis paparkan faktor-faktor yang menyebabkan perubahan PP No. 47 Tahun 2004 menjadi PP No. 48 Tahun 2014:
a.       Adanya perbedaan tarif pencatatan pernikahan pada tiap-tiap provinsi.
b.      Belum adanya peraturan yang mengatur tentang besaran tarif pencatatan pernikahan yang dilangsungkan di luar jam kerja dan di luar Kantor Urusan Agama (KUA).
c.       Keluhan para penghulu, dengan alasan harus menanggung biaya transportasi dengan biaya sendiri serta jarak tempuh ke tempat pernikahan yang jauh.
d.      Adanya isu gratifikiasi kepada para PPN/P3N.


[1] BP4 Pusat, Pedoman Penasehatan Perkawinan, (Jakarta: BP4 Propinsi Jawa Barat Jakarta, 1985), h. 25
[2] Ibid.
[3] Riduan Syahrani, Seluk-Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, (Bandung: Penerbit ALUMNI, 1989), h. 86-87
[4] Saidus Syahar, Undang-Undang Perkawinan dan Masalah Pelaksanaanya (Ditinjau Dari Segi Hukum Islam), (Bandung: Penerbit Alumni, 1976), h. 119
[5] BP4 Pusat, Pedoman Penasehatan Perkawinan, h. 44
[6] Daryanto, Kamus Bahasa Indonesia Lengkap, (Surabaya: APOLLO, 1997), h. 102
[7] Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 56
[8] Kementrian Agama Republik Indonesia, Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2009 Tentang Pengeloaan Biaya Pencatatan Nikah dan Rujuk, (Jakarta: 2009), h. 3
[9] BP4 Pusat, Pedoman Penasehatan Perkawinan, h. 45
[10] Kementrian Agama Republik Indonesia, Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2009…h. 1-2
[11] Diyya Zahratun Nisa, Biaya Bedolan Pendaftaran Nikah Pada Masyarakat Desa Beran Kecamatan Ngawi, Yogyakarta: Skripsi tidak diterbitkan, 2009, diakses tanggal 24 Agustus 2016, pukul 16.15 WIB.
[12] Kementerian Agama Republik indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2014, (Jakarta: Departemen Agama, 2014), h. 6
[13] Ibid, h. 11
[14] Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar grafika, 2007), h. 26
[15] Muhammad Zain dan Mukhtar Alshodiq, Membangun Keluarga Harmonis, (Jakarta; Graha Cipta, 2005), h. 40

SHARE THIS POST   

  • Facebook
  • Twitter
  • Myspace
  • Google Buzz
  • Reddit
  • Stumnleupon
  • Delicious
  • Digg
  • Technorati
Author: Mohammad
Mohammad is the founder of STC Network which offers Web Services and Online Business Solutions to clients around the globe. Read More →

1 komentar: