Kamis, 26 November 2015
MEMBANGUN KARAKTER UMAT DALAM MENGHADAPI PERDAGANGAN BEBAS MASYARAKAT EKONOMI ASEAN
Oleh: IRWANTO, S.Sy, M.A[1]
A.
Pendahuluan
Masyarakat ekonomi asean
(MEA) merupakan upaya penyatuan dan penguatan kerjasama ekonomi yang menjadi
gerbang kesuksesan dan meningkatnya kemakmuran negara-negara ASEAN. Masyarakat
Ekonomi ASEAN (AEC) akan menjadi tujuan dari integrasi ekonomi regional pada
tahun 2015. Negara-negara anggota membayangkan bahwa AEC akan memiliki
karakteristik kunci berikut: (a) Pasar dan basis produksi tunggal (b) Wilayah
ekonomi yang sangat kompetitif, (c) Wilayah pembangunan ekonomi yang adil, dan
(d) Daerah sepenuhnya terintegrasi ke dalam ekonomi global. Terkait dengan itu,
setiap negara anggota akan meningkatkan konsentrasi (focus) pada bagaimana
memposisikan dirinya di antara negara anggota lainnya. Daya saing akan
senantiasa menjadi issu utama pada setiap implementasi kebijakan dan strategi
dunia usaha. Selain itu, setiap negara juga penting untuk memerhatikan
kecenderungan-kecenderungan yang terjadi di pasar sebagai stimulus dari
perkembangan permintaan terhadap sebuah produk atau jasa. Dalam artian, produk
dan jasa yang ditransaksikan baik secara langsung dan terbuka maupun
praktik-praktik transaksi produk dan jasa yang kemungkinan bertentangan dengan
ketentuan di negara dan daerah tertentu harus menjadi perhatian bagi setiap
pelaku ekonomi dan pemangku kepentingan dalam bisnis dan negara. Minimalisasi
dampak eksternalities yang cenderung merugikan juga akan menjadi perhatian
bersama dalam mewujudkan AEC yang berdaulat di antara kekuatan-kekuatan ekonomi
lainnya.
Tanggal 31 Desember 2015 akan menjadi titik awal pewujudan ASEAN
Economic Community (AEC). Sejak hari itu, sepuluh anggota ASEAN akan
bersaing satu sama lain dalam hal integrasi ekonomi regional, untuk memperkuat
diri dalam menghadapi era globalisasi. Tentu, kemakmuran yang diharapkan merata
bagi setiap anggota tidak akan terjadi dengan mudah karena proses pencapaiannya
melalui kompetisi yang tinggi. Keunggulan atau daya saing yang akan menjadi
ukuran dari kompetisi dapat diwujudkan apabila negara mengelola setiap
sumberdayanya dengan kapabilitas yang optimal. Indonesia sebagai salah satu
negara anggota AEC dengan sumberdaya yang melimpah seharusnya memanfaatkan kesempatan untuk menjadi the
First and the Winner. Optimisme pemerintah dari setiap pernyataan dan data
yang disampaikan seakan-akan memposisikan Indonesia sebagai salah satu negara
yang tumbuh dan berkembang cepat.
Perdagangan
bebas MEA seharusnya membangkitkan serta mengembangkan karakter dan ciri khas
indonesia di mata dunia khususnya asean, dimana indonesia memiliki penduduk
yang beragama islam terbesar di dunia akan menjadi patokan terbentuknya
masyarakat ekonomi asean yang berbasis islami, tentu dalam perdagangan bebas
MEA ini akan mengedepankan bagaimana bertransaksi berdasarkan syariat islam.
Untuk mencapai tujuan yang merupakan karakter umat islam tentu memerlukan
berbagai trik dan strategi dalam penerapannya, dengan mengedepankan keunggulan
dan prinsip ekonomi islam yang jujur dan mengedepankan prinsip suka sama suka,
maka akan terbentuklah karakter umat dalam menghadapi perdagangan bebas
masyarakat ekonomi asean, salah satunya adalah mengembangkan produk-produk
ekonomi berazaskan islam seperti perbankan syariah, serta hal lain yang
pengelolaannya berazaskan islam.
Oleh karena itu
tulisan ini akan mengangkat dan menjelaskan bagaimana membangun karakter umat
islam di indonesia dalam menghadapi perdagangan bebas antara negara-negara
asean dalam MEA, tentu akan lebih menarik jika pembahasan ini diuraikan melalui
pendekatan sistemik dalam bentuk makalah.
B.
Pembahasan
1.
Karakter umat Islam
Secara harfiah, istilah karakter berasal dari bahasa Inggris ‘character’
yang berarti watak, karakter, atau sifat.[2]
Dalam Kamus Bahasa Indonesia, watak diartikan sebagai sifat batin
manusia yang mempengaruhi segenap pikiran dan perbuatannya, atau berarti
tabiat, dan budi pekerti.[3]
Karakter adalah tabiat, sifat-sifat kejiwaan, akhlak, atau budi pekerti yang
membedakan seseorang dengan yang lain. orang yang berperilaku tidak jujur,
curang, kejam, dan rakus dikatakan sebagai orang yang berkarakter jelek.
Sebaliknya, yang berkelakuan baik, jujur, dan suka menolong dikatakan sebagai
orang yang memiliki karakter baik atau mulia. Dengan demikian, karakter
merupakan sifat alami seseorang dalam merespon situasi secara bermoral, yang
terwujud dalam tindakan nyata melalui perilaku jujur, baik, bertanggung jawab,
hormat terhadap orang lain, dan nilai-nilai karakter mulia lainnya. Dalam
konteks pemikiran Islam, karakter berkaitan erat dengan iman dan ihsan. Hal ini
sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Aristoteles, bahwa karakter erat
kaitannya dengan “habit” atau kebiasan yang terus-menerus dipraktikkan
dan diamalkan.[4]
Untuk mewujudkan nilai-nilai karakter dalam kepribadian perlu
ditekankan tiga komponen (components of good character) penting yakni;
moral knowing (pengetahuan
tentang moral), moral feeling (perasaan tentang moral), dan moral
action (tindakan moral). Moral knowing adalah adanya kemampuan
seseorang membedakan nila-nilai akhlak mulia dan akhlak tercela serta nilai-nilai
universal. Termasuk memahami secara logis dan rasional (bukan secara dogmatis
dan doktrinis) pentingnya akhlak mulia dan bahaya akhlak tercela dalam
kehidupan. Hal itu dilakukan lewat pengenalan sosok Nabi Muhammad saw. sebagai
figur teladan akhlak mulia melalui hadis-hadis dan sunahnya. Sedangkan moral
feeling dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa cinta dan rasa butuh terhadap
nilai-nilai akhlak mulia, sehingga tumbuh kesadaran dan keinginan serta
kebutuhan untuk menilai dirinya sendiri.[5]
Adapun moral doing adalah menampakkan pembiasaan perilaku-perilaku yang
baik dan terpuji pada diri seseorang dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan ketiga komponen ini dapat dinyatakan bahwa karakter
yang baik harus didukung oleh pengetahuan tentang kebaikan, keinginan untuk
berbuat baik, dan kemampuan melakukan perbuatan baik. Dengan kata lain,
indikator manusia yang memiliki kualitas pribadi yang baik adalah mereka yang
mengetahui kebaikan, memiliki keinginan untuk berbuat baik, dan nyata
berperilaku baik, yang secara koheren memancar sebagai hasil dari 5 (lima)
olah, yaitu: olah pikir, olah hati, olah raga, olah rasa, dan olah karsa. Dan
hal ini sesuai dengan grand design yang dikembangkan oleh kemendiknas tahun 2010 dalam upaya
pembentukan karakter dalam diri tiap individu.[6]
Poin selanjutnya adalah bagaimana kriteria dan tolok ukur dari
sikap yang dikategorikan berkarakter. Azhar Arsyad menjelaskan bahwa para ulama
memberikan rumusan ukuran baik dan buruk dalam perilaku manusia mestilah
merujuk kepada ketentuan Tuhan. Apa yang dinilai baik oleh Tuhan, pasti baik
dalam esensinya. Demikian pula sebaliknya, tidak mungkin Tuhan menilai
kebohongan sebagai kelakuan baik, karena kebohongan esensinya buruk. Itulah
sebabnya mengapa manusia dianjurkan untuk meneladani dan berakhlaq dengan
akhlak Allah dan apa yang tertuang dalam kitab suci, dengan sifat-sifat Allah
yang disebut dengan al-asmaa ul-Husna, seperti pemaaf, aktif hidup,
bijaksana, pengasih, penyayang, dan seterusnya.[7] Dengan
demikian, di sinilah perlunya langkah penelusuran nilai-nilai dan konsep
Karakter berbasis Al-Qur’an yang dinilai sebagai sumber kebenaran hakiki dalam
kehidupan.
Persepsi atau gambaran masyarakat tentang karakter umat Islam memang
berbeda-beda. Bahkan banyak yang pemahamannya sempit sehingga seolah-olah
pribadi muslim itu tercermin pada orang yang hanya rajin menjalankan Islam dari
aspek ubudiyah-nya saja. Padahal, itu hanyalah salah satu aspek saja dan masih banyak aspek lain
yang harus melekat pada pribadi seorang muslim. Bila disederhanakan, setidaknya
ada sepuluh karakter umat Islam
a. Salimul Aqidah (Aqidah yang bersih)
Salimul aqidah merupakan sesuatu yang harus ada pada
setiap muslim. Dengan aqidah yang bersih, seorang muslim akan memiliki ikatan
yang kuat kepada ALLAH SWT. Dengan ikatan yang kuat itu dia tidak akan
menyimpang dari jalan dan ketentuan-ketentuanNya. Dengan kebersihan dan
kemantapan aqidah, seorang muslim akan menyerahkan segala perbuatannya kepada Allah.
ö@è% ¨bÎ) ÎAx|¹ Å5Ý¡èSur y$uøtxCur ÎA$yJtBur ¬! Éb>u tûüÏHs>»yèø9$# ÇÊÏËÈ
Katakanlah:
Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah,
Tuhan semesta alam. (QS. Al-An’aam [6]:162).
b. Shahihul Ibadah (ibadah yang benar)
Shahihul ibadah merupakan salah satu perintah
Rasulullah SAW yang penting. Dalam satu haditsnya, beliau bersabda:
“Shalatlah kamu sebagaimana melihat aku shalat”.
Dari ungkapan ini maka dapat disimpulkan bahwa dalam
melaksanakan setiap peribadatan haruslah merujuk kepada sunnah Rasul SAW yang
berarti tidak boleh ada unsur penambahan atau pengurangan.
c. Matinul Khuluq (akhlak yang kokoh)
Matinul khuluq merupakan sikap dan perilaku yang harus
dimiliki oleh setiap muslim, baik dalam hubungannya kepada ALLAH SWT maupun
dengan makhluk-makhlukNya. Dengan akhlak yang mulia, manusia akan bahagia dalam
hidupnya, baik di dunia apalagi di akhirat.
Rasulullah SAW diutus untuk memperbaiki akhlak dan
beliau sendiri telah mencontohkan kepada kita akhlaknya yang agung sehingga diabadikan
oleh ALLAH SWT di dalam Al Qur’an. ALLAH berfirman
y7¯RÎ)ur 4n?yès9 @,è=äz 5OÏàtã ÇÍÈ
Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung. (QS. Al-Qalam
[68]:4).
d. Qowiyyul Jismi (kekuatan jasmani)
Qowiyyul jismi merupakan salah satu sisi pribadi
muslim yang harus ada. Kekuatan jasmani berarti seorang muslim memiliki daya
tahan tubuh sehingga dapat melaksanakan ajaran Islam secara optimal dengan
fisiknya yang kuat. Shalat, puasa, zakat dan haji merupakan amalan di dalam
Islam yang harus dilaksanakan dengan fisik yang sehat dan kuat. Apalagi
berjihad di jalan ALLAH dan bentuk-bentuk perjuangan lainnya. Karena itu,
kesehatan jasmani harus mendapat perhatian seorang muslim dan pencegahan dari
penyakit jauh lebih utama daripada pengobatan. Karena kekuatan jasmani juga
termasuk hal yang penting, maka Rasulullah SAW bersabda yang artinya:
“Mukmin yang kuat lebih aku cintai daripada mukmin yang lemah. (HR. Muslim)
e. Mutsaqqoful Fikri (intelek dalam berfikir)
Mutsaqqoful fikri merupakan salah satu sisi pribadi
muslim yang juga penting. Karena itu salah satu sifat Rasul adalah fatonah
(cerdas). Al Qur’an juga banyak mengungkap ayat-ayat yang merangsang manusia
untuk berfikir, misalnya firman Allah
ö@è% ö@yd ÈqtGó¡o tûïÏ%©!$# tbqçHs>ôèt tûïÏ%©!$#ur w tbqßJn=ôèt 3 $yJ¯RÎ) ã©.xtGt (#qä9'ré& É=»t7ø9F{$#
Katakanlah: “samakah
orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui?”‘, sesungguhnya
orang-orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran”. (QS. Az-Zumar [39]:
9)
f. Mujahadatul Linafsihi (berjuang melawan hawa nafsu)
Mujahadatul linafsihi merupakan salah satu kepribadian
yang harus ada pada diri seorang muslim karena setiap manusia memiliki
kecenderungan pada yang baik dan yang buruk. Melaksanakan kecenderungan pada
yang baik dan menghindari yang buruk amat menuntut adanya kesungguhan.
Kesungguhan itu akan ada manakala seseorang berjuang
dalam melawan hawa nafsu. Hawa nafsu yang ada pada setiap diri manusia harus
diupayakan tunduk pada ajaran Islam. Rasulullah SAW bersabda yang artinya:
“Tidak beriman
seseorang dari kamu sehingga ia menjadikan hawa nafsunya mengikuti apa yang aku
bawa (ajaran Islam)” (HR. Hakim)
g. Harishun Ala Waqtihi (pandai menjaga waktu)
Harishun ala waqtihi merupakan faktor penting bagi
manusia. Hal ini karena waktu mendapat perhatian yang begitu besar dari ALLAH
dan Rasul-Nya. ALLAH SWT banyak bersumpah di dalam Al Qur’an dengan menyebut
nama waktu seperti wal fajri, wad dhuha, wal asri, wallaili dan seterusnya.
h. Munazhzhamun fi Syuunihi (teratur dalam suatu urusan)
Munazhzhaman fi syuunihi termasuk kepribadian seorang
muslim yang ditekankan oleh Al Qur’an maupun sunnah. Oleh karena itu dalam
hukum Islam, baik yang terkait dengan masalah ubudiyah maupun muamalah harus
diselesaikan dan dilaksanakan dengan baik. Ketika suatu urusan ditangani secara
bersama-sama, maka diharuskan bekerjasama dengan baik sehingga ALLAH menjadi
cinta kepadanya.
i.
Qodirun Alal Kasbi
(memiliki kemampuan usaha sendiri/mandiri)
Qodirun alal kasbi merupakan ciri lain yang harus ada
pada diri seorang muslim. Ini merupakan sesuatu yang amat diperlukan.
Mempertahankan kebenaran dan berjuang menegakkannya baru bisa dilaksanakan
manakala seseorang memiliki kemandirian terutama dari segi ekonomi. Tak sedikit
seseorang mengorbankan prinsip yang telah dianutnya karena tidak memiliki
kemandirian dari segi ekonomi.
Karena, pribadi muslim tidaklah mesti miskin, seorang
muslim boleh saja kaya bahkan memang harus kaya agar dia bisa menunaikan ibadah
haji dan umroh, zakat, infaq, shadaqah dan mempersiapkan masa depan yang baik.
Oleh karena itu perintah mencari nafkah amat banyak di dalam Al Qur’an maupun
hadits dan hal itu memiliki keutamaan yang sangat tinggi.
Dalam kaitan menciptakan kemandirian inilah seorang
muslim amat dituntut memiliki keahlian apa saja yang baik. Keahliannya itu
menjadi sebab baginya mendapat rizki dari ALLAH SWT. Rezeki yang telah ALLAH
sediakan harus diambil dan untuk mengambilnya diperlukan skill atau
keterampilan.
j.
Nafi’un Lighoirihi
(bermanfaat bagi orang lain)
Nafi’un lighoirihi merupakan sebuah tuntutan kepada
setiap muslim. Manfaat yang dimaksud tentu saja manfaat yang baik sehingga
dimanapun dia berada, orang disekitarnya merasakan keberadaan. Jangan sampai
keberadaan seorang muslim tidak menggenapkan dan ketiadaannya tidak
mengganjilkan.
Ini berarti setiap muslim itu harus selalu berfikir,
mempersiapkan dirinya dan berupaya semaksimal untuk bisa bermanfaat dan
mengambil peran yang baik dalam masyarakatnya. Dalam kaitan ini, Rasulullah SAW
bersabda yang artinya:
“Sebaik-baik manusia
adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain” (HR. Qudhy dari Jabir)
Demikian secara umum karakter seorang muslim yang
disebutkan dalam Al Qur’an dan Hadits. Sesuatu yang perlu kita standarisasikan
pada diri kita masing-masing.
2.
Perdagangan bebas menurut Islam
Islam merupakan
agama yang sempurna, karena setiap aktivitas manusia telah diatur oleh Allah
SWT. melalui agama yang dirid}ai-Nya yaitu Islam. Sehingga setiap
aktivitas yang dilakukan mengandung sebuah keberkahan dan kemashlahatan bagi
kehidupan di dunia maupun di akhirat, karena setiap aktivitas yang diniatkan
untuk meraih rid}a-Nya, maka itu tentunya akan menjadi nilai ibadah. Begitu pun
dalam aktivitas ekonomi, setiap aktivitas ekonomi jika dilaksanakan sesuai
dengan apa yang telah disyariatkan maka itu akan mejadi nilai ibadah pula,
itulah uniknya ekonomi Islam, yang akan senantiasa mendapatkan dua kebaikan
yaitu kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat. Salah satu aktivitas ekonomi
yang sangat penting adalah aktivitas perdagangan bebas.
Perdagangan
bebas adalah suatu konsep ekonomi yang mengacu kepada Harmonized Commodity
Description and Coding System (HS) atau Sistem
Persandian Dan Uraian Komoditas Yang diselaraskan dengan ketentuan
penjualan produk antar negara tanpa pajak ekspor-impor atau hambatan
perdagangan lainnya. Perdagangan bebas dapat juga didefinisikan sebagai tidak
adanya hambatan buatan (hambatan yang diterapkan pemerintah) dalam perdagangan
antar individual-individual dan perusahaan-perusahaan yang berada di negara
yang berbeda.1
Dalam hal
perdagangan Allah Swt telah memberikan keterangan dalam sebuah ayat Wa
ahallallaahul bai’a wa haraamar ribaa’, dan Allah menghalalkan
jual-beli dan mengharamkan riba. Maka jelaslah bahwa perdagangan, perniagaan
atau jual-beli sangat dianjurkan dan merupakan jalan yang diperintahkan oleh
Allah. Namun perdagangan juga harus diperhatikan dalam mengimplementasikannya
untuk menghindarkan manusia dari jalan yang bathil dalam pertukaran sesuatu
yang menjadi milik di antara sesama manusia. Allah Swt berfirman:
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãYtB#uä w (#þqè=à2ù's? Nä3s9ºuqøBr& Mà6oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ HwÎ) br& cqä3s? ¸ot»pgÏB `tã <Ú#ts? öNä3ZÏiB 4
wur (#þqè=çFø)s? öNä3|¡àÿRr& 4
¨bÎ) ©!$# tb%x. öNä3Î/ $VJÏmu ÇËÒÈ
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perdagangan yang
berlaku dengan suka samasuka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu,
sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (QS. An-Nisa’: 29)
Adapun perdagangan internasional adalah aktivitas perdagangan yang
dilakukan dan berlangsung antarwarga negara dan bangsa yang berbeda, bukan
antarindividu dalam negara. Dalam perdagangan internasional setiap warga negara
baik orang Islam maupun non Islam berhak dan bebas untuk mengimpor dan
mengekspor barang dari atau ke negara manapun yang mereka sukai tanpa ada
ikatan maupun syarat mubah, dengan catatan barang yang diekspor maupun yang
diimpor tidak memberikan dampak negatif sesuai dengan kaidah fiqih (qawaidul
fiqhiyyah):
Setiap bagian
dari bagian sesuatu yang mubah, apabila padanya terdapat kerusakan (dharar),
maka bagian itu saja yang dilarang, sedang sesuatu itu tetap mubah”(Al-Maliki).[8]
Dalam kaitanya dengan ekspor impor dengan negara non muslim. Islam
memperbolehkannya, selama barang yang diekspor bukan barang yang strategis6 dan
tidak digunakan untuk memerangi kaum muslimin, sebab dahulu Rasulullah pernah
meminta Tsunamah untuk mengirim makanan pada penduduk Mekah, padahal mereka
adalah musuh Rasulullah, dan pada waktu itu kaum muslimin dan para sahabat
keluar masuk negara lain (non muslim) untuk berdagang. Begitupun dengan impor,
selama barang tersebut diperlukan dan untuk kemaslahatan masyarakat maka tidak
ada larangan.7
Meskipun ada kebebasan, tetapi peran pemerintah dalam Islam tetap
diperlukan sebagai pengarah perdagangan serta pengawas terhadap para pelaku
bisnis dalam hal keluar masuknya beberapa komoditi terutama yang strategis.
Dalam kaitannya sebagai pengarah, apabila negara menetapkan syarat tertentu
dalam perdagangan internasional dan warga merasa dizalimi8 dengan syarat
tersebut, maka warga negara dapat mengajukan gugatan ke mahkamah mazhalim.9
Dan pada zaman kekhalifahan dahulu, para khalifah memiliki masalih (tempat
untuk mengawasi) di tiap-tiap perbatasan negara serta tempat-tempat yang
dilalui oleh negara lain, sehingga setiap pelaku bisnis dari negara lain yang melewati
tempat-tempat tersebut diperiksa. Tujuan utama dari kebijakan liberalisasi
perdagangan tidak lain agar negara-negara berkembang di seluruh dunia dapat
membuka pasar mereka terhadap barang dan investasi AS dan negara-negara maju
yang memiliki superioritas atas negara-negara berkembang. Akibatnya
negaranegara berkembang akan terus menjadi konsumen utama dari komoditas dan
investasi negara-negara maju. Di sisi lain kebijakan tersebut membuat negara-negara
berkembang semakin sulit dalam membangun fondasi ekonomi yang tangguh sebab
mereka terus bergantung kepada negaranegara industri. Dengan demikian mereka
tidak akan pernah bergeser menjadi negara industri yang kuat dan berpengaruh.
Dari uraian dapat disimpulkan pada dasarnya, Islam juga mengenal perdagangan
bebas karena prinsip perdagangan dalam Islam sebenarnya adalah kebebasan,
kebebasan dalam melakukan transaksi antara penjual dan pembeli dengan
berdasarkan keridhaan (keikhlasan) serta tidak ada pemaksaan.
Pada zaman Rasulullah perdagangan yang dilakukan selalu didasarkan
pada prinsip kebebasan, artinya kebebasan tersebut dilakukan oleh pihak yang
bersangkutan, yaitu antara penjual dan pembeli. Kebebasan perdagangan tersebut
dapat dilihat dari tindakan Rasulullah yang melarang orang kota menjemput
pedagang-pedagang dari desa yang masih berada di luar kota untuk membeli barang
dengan harga murah di mana orang desa tersebut tidak diberi kebebasan atau
kesempatan untuk masuk kota untuk menjual barang dagangannya di pasar.
Sistem kebebasan merupakan suatu upaya untuk mempersingkat mata
rantai antara penjual dan pembeli.11 Sekarang ini mata rantai perdagangan
panjang sekali, sehingga banyak orang yang mengambil keuntungan di antara mata
rantai itu. Hal ini perlu kita perbandingkan dengan sistem perdagangan bebas
sekarang yang penuh dengan ikatanikatan dan peraturan. Lembaga-lembaga
perdagangan bebas memuat banyak aturan dan tidak membebaskan penjual dan
pembeli langsung melaksanakan transaksi.
Keseluruhan aktivitas perdagangan bebas menurut versi modern merupakan
bagian penting dari globalisasi. Sementara globalisasi menghapus seluruh
otoritas yang ada, kecuali otoritas perdagangan. Oleh karena itu, banyak
gerakan anti-Globalisasi, karena memahaminya seperti itu. Khususnya umat islam,
agar memahami masalah perdagangan bebas ini. Dalam hal ini, kita harus mampu
melindungi umat islam dari dampak negatif yang ditimbulkan oleh perdagangan
bebas menurut versi modern yang merupakan bagian dari globalisasi.
3.
Masyarakat ekonomi asean (MEA)
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) adalah bentuk integrasi ekonomi
ASEAN dalam sistem perdagaangan bebas antara negara-negara ASEAN. MEA adalah
komunitas ASEAN (ASEAN Community) di bidang Ekonomi atau ASEAN Economic
Community (AEC) yang dicanangkan pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN
ke-9 di Bali pada tahun 2003, atau dikenal sebagai Bali Concord II.
Pembentukan komunitas tersebut diprakarsai oleh para Kepala Negara ASEAN pasca
krisis ekonomi tahun 1997 di kawasan Asia Tenggara.[9]
MEA diharapkan dapat mewujudkan tercapainya suatu kawasan stabil,
makmur, berdaya saing tinggi dengan pertumbuhan ekonomi yang berimbang serta
berkurangnya kemiskinan dan kesenjangan sosial ekonomi. Bali Concord II tidak
hanya menyepakati pembentukan MEA, namun juga menyepakati pembentukan komunitas
ASEAN di bidang Keamanan Politik (ASEAN Political-Security Community)
dan Sosial Budaya (ASEAN Socio- Culture Community). Empat pilar utama
dalam AEC Blueprint yaitu:
a.
ASEAN
sebagai pasar tunggal dan berbasis produksi tunggal yang didukung dengan elemen
aliran bebas barang, jasa, investasi, tenaga kerja terdidik dan aliran modal
yang lebih bebas;
b.
ASEAN
sebagai kawasan dengan daya saing tinggi, dengan elemen peraturan kompetisi,
perlindungan konsumen, hak atas kekayaan intelektual, pengembangan
infrastruktur, perpajakan dan e-commerce;
c.
ASEAN
sebagai kawasan dengan pengembangan ekonomi yang merata dengan elemen
pengembangan usaha kecil dan menengah serta pemrakarsa integrasi ASEAN untuk
negara-negara CMLV (Cambodia, Myanmar, Laos dan Vietnam); dan
d.
ASEAN
sebagai kawasan yang terintegrasi secara penuh dengan perekonomian global
dengan elemen pendekatan yang koheren dalam hubungan ekonomi di luar kawasan dan
meningkatkan peran serta dalam jejaring produksi global.[10]
4.
Membangun karakter umat dalam menghadapi perdagangan bebas MEA
Di tengah kehancuran moral, maraknya tindak kekerasan, intoleransi,
dan perilaku keseharian, membangun karakter yang berbasis al-Qur’an menjadi
relevan untuk diterapkan dalam rangka membangun karakter umat. Untuk membangun
sebuah umat yang berkarakter, ada
beberapa identitas utama yang harus dimiliki oleh umat Islam tersebut
sebagaimana yang diperoleh dari isyarat-isyarat Al-Qur’an.
a.
Kemantapan
Persatuan. Al-Qur’an dengan tegas mengingatkan perlunya persatuan dan kesatuan
(QS. al-Anfal: 46).[11]
b.
Adanya
Nilai-nilai luhur yang disepakati. Untuk memantapkan dan mewujudkan persatuan
dan kesatuan diperlukan nilai-nilai yang menjadi pandangan hidup bangsa dan
menjadi pegangan bersama. Dalam QS. al-An’am: 108 dinyatakan bahwa bagi setiap
bangsa mempunyai nilai-nilai yang mereka anggap baik dan indah.
c.
Kerja
keras, disiplin, dan menghargai waktu. QS. al-Isra’: 19 menegaskan pentingnya
ciri ini. Ayat tersebut menegaskan bahwa orang yang punya visi ukhrawi ialah
orang yang mau berusaha keras dan sungguh- sungguh ke arah itu. Artinya,
seseorang harus selalu punya kesibukan positif secara berkesinambungan agar
waktunya tidak ada yang sia-sia. Surah al- Insyirah: 7-8 memberi petunjuk bahwa
bila telah berakhir suatu pekerjaan, kita harus bersiap memulai lagi dengan
pekerjaan yang lain sehingga waktunya selalu terisi. Itulah usaha yang
disyukuri atau terpuji.
d.
Kepedulian.
Maksudnya, untuk melahirkan umat yang unggul diperlukan kepedulian dan kontrol
sosial masyarakat secara umum. Yakni kepedulian dalam menganjurkan kebaikan dan
mencegah kemungkaran di manapun ia berada dengan cara bahu membahu dan saling mengingatkan
tentang kebenaran, kesabaran, ketabahan, dan kasih sayang antar mereka sebagai
bentuk pembelaan terhadap nilai-nilai agama yang bersifat universal serta
pembelaan terhadap nilai-nilai budaya masyarakat yang tidak bertentangan dengan
nilai-nilai agama. Termasuk kepedulian dalam bentuk pemenuhan kebutuhan pokok
masyarakat lemah, sebagaimana ditegaskan dalam QS. al-Maun: 1-2. Menurut
Quraish Shihab, ayat itu tidak memberi peluang sekecil apapun bagi setiap orang
yang beragama untuk tidak berpartisipasi dalam bentuk kepedulian sosial dalam
kehidupannya.[12]
e.
Moderasi
dan keterbukaan. Karakter ini akan membawa suatu umat tidak hanyut oleh
materialisme dan tidak pula membumbung tinggi ke alam malakut/ruhani yang tidak
membutuhkan materi. Tetapi moderasi yang mampu memadukan antara keduanya dalam
segala sikap dan aktifitas mereka. Sementara keterbukaan membuatnya tidak
ekslusif atau menutup diri dari lingkungan dan kemajemukan serta perkembangan
global. Sikap ini akan menjadikan umat menjadi kompetitif karena dapat menerima
yang baik dan bermanfaat serta menolak yang buruk melalui filter pandangan
hidupnya. Dalam konteks ini, al-Qur’an melukiskannya dalam surah Ali Imran: 110
dan al-Fath: 29.39
f.
Kesediaan
Berkorban. Karakter ini dibutuhkan mengingat manusia memiliki banyak kebutuhan
hidup di samping sikap egois. Bila kesediaan berkorban tidak ada, maka peluang
terjadinya perselisihan dan permusuhan sangat rawan. Pengorbanan adalah benih
dari lahirnya akhlak mulia dan stabilitas hidup suatu bangsa. Ilustrasi
pengorbanan ini telah dipraktekkan oleh kaum Anshar dan Muhajirin di Madinah
yang digambarkan dalam QS. al-Hasyr: 9.
g.
Ketegaran
dan keteguhan dalam menghadapi tantangan. Dalam konteks ini, al-Qur’an
mengingatkan agar kaum muslim tidak mudah terperdaya oleh kekuatan lawan yang
banyak jumlahnya, lebih kuat balatentara dan dukungan finansialnya, atau lebih
tinggi kedudukan sosialnya. Umat yang berkarakter haruslah tegar dan teguh
menghadapi berbagai rayuan dan tantangan. Walaupun secara fisik mereka
terkalahkan oleh kekuatan musuh, namun sebagai bangsa yang bermartabat ia tidak
boleh mengorbankan harga dirinya dan nilai-nilai yang dianutnya demi meraih kepentingan
duniawi sesaat. Karakter ini terukir melalui pesan Allah dalam surah Ali Imran:
139. sesaat setelah selesai perang Uhud, serta dalam surah an-Nahl: 92.41
Selanjutnya, untuk mewujudkan karakter tersebut ke dalam tatanan umat
Islam dan bertanah air maka setidaknya ada tiga komponen utama yang paling bertanggung
jawab menjalankannya, yaitu masyarakat (termasuk pribadi dan keluarga), dunia
pendidikan, dan pemerintah. Langkah itu harus dimulai dengan pendidikan
kejiwaan bagi setiap pribadi, keluarga dan masyarakat dengan menumbuhsuburkan
pengamalan aspek-aspek akidah dan akhlak lewat gerakan dakwah yang getol dan
tanpa kenal lelah. Baik dakwah bil lisan maupun dakwah bil hal. Untuk
memastikan ketiga komponen itu berfungsi, maka penyediaan mekanisme dan sarana
penunjang sangat dibutuhkan. Di sinilah peran dunia pendidikan, baik sekolah
maupun masjid, serta media massa untuk mengantarkan dan menjamin hadir dan
sampainya dakwah tersebut ke semua anak bangsa dan lapisan masyarakat. Adapun
peran pemerintah lewat tiga lembaga utamanya yaitu eksekutif, yudikatif dan
legislatifnya berperan untuk menggunakan political will dan tupoksinya
(dakwah bil fi’l) agar konsep pendidikan karakter berbasis Al-Qur’an
bisa dikawal dan diimplemetasikan dalam bentuk lahirnya Undang-undang dan
kebijakan strategis.
Metode yang digunakan tentu mencontoh langkah yang ditempuh oleh
Nabi dalam membentuk akhlak mulia. yaitu: 1) Mengubah pola pikir (mindset)
umat manusia yang bertumpu pada keharusan mempercayai dan mengikuti perintah Tuhan
dalam arti yang seluas-seluasnya, 2) Memberikan contoh-contoh konkret,
mempraktikkan dan membiasakan mengikuti perintah Tuhan tersebut dalam
hubungan-Nya berbuat baik kepada sesama manusia, dan dengan jagat alam raya.
Contoh dan pembiasaan akhlak mulia ini misalnya ia tunjukkan dalam hal berumah
tangga, bersikap baik terhadap keluarga, sahabat dan sesama, berjual beli,
bergaul dengan komunitas yang berbeda agama, dalam berdiplomasi, berperang, dan
memimpin Negara, 3) Melakukan proses seleksi, akomodasi dan reintegrasi dengan
nilai-nilai dan adat istiadat (‘uruf) yang sesuai dan relevan, 4)
Melakukan perubahan, modifikasi, difusi, pembatalan dan penghapusan terhadap
akhlak masa lalu yang tidak baik dengan
cara evolutif, 5) Berpijak pada konsep fitrah manusia sebagai makhluk yang
mencintai kebaikan (etika), keindahan (estetika), dan kebenaran (logika), dan
6) Memberikan reward dan funishment secara bijaksana terhadap
setiap orang yang melakukan pelanggaran terhadap ajaran Tuhan.
Dengan demikian, konsep dan langkah pendidikan karakter berbasis nilai-nilai
Qur’ani yang telah diuraikan di atas diharapkan dapat melahirkan sebuah bangsa
yang unggul dan bermartabat yang ditandai dengan tingkat pelanggaran-pelanggaran
dan penyimpangan-penyimpangan, baik terkait agama, sosial dan budaya, termasuk
perilaku pribadi menunjukkan grafik menurun. Bahkan, tidak menutup kemungkinan
grafik itu akan menghilang sehingga muncul bangsa (ummat) dan negara yang dalam
Al-Qur’an diidentifikasi sebagai Baldatun Thayyibah Wa Rabbun Ghafur.
C.
Penutup
Kesimpulan
Untuk membangun
sebuah umat yang berkarakter, ada
beberapa identitas utama yang harus dimiliki oleh umat Islam tersebut
sebagaimana yang diperoleh dari isyarat-isyarat Al-Qur’an.
a.
Kemantapan
Persatuan.
b.
Adanya
Nilai-nilai luhur yang disepakati.
c.
Kerja
keras, disiplin, dan menghargai waktu.
d.
Kepedulian.
e.
Moderasi
dan keterbukaan.
f.
Kesediaan
Berkorban.
g.
Ketegaran
dan keteguhan dalam menghadapi tantangan.
[1]
Makalah ini dilombakan di MTQ Kab. Kerinci dan Mendapat juara 1.
[2]
John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Cet. VII; Jakarta:
Gramedia, 1979), h. 107.
[3] Tim
Penyusun, Kamus Bahasa Indonesia, (Cet. XVI; Jakarta: Pusat
Bahasa,
2008), h. 1811.
[4] E.
Mulyasa, Manajemen Pendidikan Karakter, (Jakarta: Bumi Aksara. 2011), h.
3.
[5]
Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, (Cet.
II: Bandung: Remaja Rosdakaya, 2012), h. 112.
[6] 9Kementerian
Pendidikan Nasional Dirjen Pendidikan Dasar Direktorat Pembinaan Sekolah
Menengah Pertama, Panduan Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah
Pertama, Jakarta: Diknas, 2011, h. 16.
[7]
10Nasih A. Ulwan, Tarbiyatul Awlaad fi al-Islaam, Cet.XXI , Jilid I,
Jeddah:
Daarussalaam, 1992. h. 177.
[8] Abdurrahman
Maliki, Politik Ekonomi Islam, Ahli Bahasa Ibnu Sholah, Baghil: al-
Izzah, 2001, hal. 229.
[9]Ana
Syukriah, Peningkatan Eksistensi UMKM Melalui Comparative Advantage Dalam
Rangka
Menghadapi MEA 2015 di Temanggung, Unnes, 2013,
hal. 45
[10] Ibid, h
[11] M.
Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudu’i Atas Pelbagai Persoalan
Umat, (Bandung: Mizan, 2003) h. 696-711.
[12] M. Quraish
Shihab, Membumikan Al-Qur’an; Memfungsikan Wahyu Dalam Kehidupan, Jilid
II (Cet. I; Jakarta: Lentera Hati, 2011), h. 703.
Author: Mohammad
Mohammad is the founder of STC Network which offers Web Services and Online Business Solutions to clients around the globe. Read More →
Related Posts:
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar: