Rabu, 12 Oktober 2016
TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP MENJAMAK, QASHAR DAN MENQADHA SHALAT BAGI PENGANTIN SAAT MELAKSANAKAN PESTA PERNIKAHAN
Abstrak
Pada era modern nilai materialisme (madiyyah)
lebih dominan dibandingkan spiritualisme (ruhiyyah), sehingga orang berpegang
teguh pada agama seperti memegang bara api. Praktek nilai-nilai agama selalu
ingin mengambil jalan termudah dan terlalu cepat dikondisikan sebagai
masyaqqah. Kasus pada saat resepsi pernikahan (walimah al-`urs) menjadi bukti
nyata bahwa setengah orang-orang besar yang terlibat didalamnya, termasuk
pengantin, sering mengabaikan shalat bahkan meninggalkannya dengan alasan bahwa
alasan untuk mendapatkan rukhshah sehingga mempluralkan atau make up sholat.
Kondisi aktual di pengantin sibuk walimah al`urs tidak dapat dikategorikan
sebagai alasan yang mengarah kepada masyaqqah. Abstract The modern era
materialism value (madiyyah) is more dominant than in spiritualism (ruhiyyah),
so the majority of people cling to religion is like holding hot coals. Thus in
practice the values of religion have always wanted to take the easiest path and
too fast conditioned as a masyaqqah. Cases at the time of the wedding reception
(walimah al-`urs) be concrete evidence that a large
half people involved in it, including the bride, often neglecting prayer even
leave it with reason that excuse to get rukhshah so that pluralize or make up
the prayers. Actual conditions in the busy bride walimah al `urs can not be
categorized as an excuse leads to masyaqqah.
Kata Kunci: Jamak,
qadha, shalat
A. Pendahuluan
Hukum Islam adalah hukum yang didasarkan atas
wahyu Allah. Sumber pokoknya adalah al-Qur`an dan al-Sunnah. Allah SWT dalam
menetapkan hukum selalu memperhatikan kemampuan manusia dan memberikan
kemudahan pada saat manusia menghadapi kesulitan.[1] Allah
SWT tidak serta merta menetapkan hukum tanpa memperdulikan sisi kemanusiaan
manusia. Bahkan Allah menghendaki yang mudah dan sepadan dengan kemampuan
manusia.[2] Nabi
Muhammad juga selalu memilih yang termudah jika dihadapkan pada dua pilihan,
selama tidak mendatangkan dosa.[3] Sebagaimana
sabda Rasulullah SAW:[4]
حَدَّثَىَا عَبْدُ اللََِّّ بْهُ يُىسُفَ أَخْبَرَوَا مَالِكٌ عَهْ ابْهِ شِهَابٍ عَهْ عُرْوَةَ بْهِ الزُّبَيْرِ عَهْ عَائِشَتَ
اللََُّّ عَىْهَا أَوَّهَا الَ مَا خُيِّرَ سُىلُ اللََِّّ صَلَّى اللََُّّ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْهَ أَمْرَيْهِ إِلََّّ أَخَذَ
أَيْسَرَهُمَا مَا لَمْ يَكُهْ إِثْمًا فَإِنْ كَانَ إِثْمًا كَانَ أَبْعَدَ الىَّاسِ مِىْهُ
Artinya: “Tidak sekali-kali nabi dihadapkan
kepada dua pilihan kecuali beliau memilih yang lebih ringan sepanjang tidak jatuh kedalam
dosa. Tetapi jika menimbulkan dosa, maka nabi SAW adalah orang yang paling menjahuinya”.
Sebagai bukti bahwa Allah tidak memberikan
beban berat kepada hambahnya dan selalu memberikan kemudahan pada manusia
adalah pemberian keringan (rukhsah) terhadap orang yang berhalangan
melakukan ibadah shalat dengan jama` dan qashar juga mengqadha
shalatnya.
Menurut para ulama boleh menjama’ sholat ketika
dalam kondisi berikut: bahaya (takut), Safar (bepergian), sakit, hujan,
haji, selebihnya, mereka berbeda pandangan. Inilah syari’at yang sangat
memudahkan, walau bukan berarti mempermudah semuanya tanpa ada petunjuk yang
jelas.
Fenomena tersebut dapat dilihat dan dirasakan
ketika adanya pesta pernikahan (walimah al-`ursy), dimana dua orang
pengantin sebagai raja dan ratu sehari sangat sibuk dalam menyambut tamu dan
berdandan dengan serba mahal sehingga tak sedikit di antaranya yang
meninggalkan shalat.
Islam sangat menganjurkan untuk diadakannya
pesta pernikahan, bahkan walau hanya dengan menyembelih seekor kambing,
tujuannya selain sebagai ekspresi kebahagiaan dari kedua mempelai, juga agar
pernikahan itu diketahui oleh halayak ramai dan tidak terkesan disirrikan.
Walaupun demikian pada prinsipnya Islam juga tidak setuju jika itu diadakan
secara berlebihan, sehingga menyebabkan ada sebagian hak dan kewajiban yang
terlupakan. Padahal nikah pada prinsipnya adalah ibadah, bahkan separuh taqwa,
sejatinya mengharap pahala dan ridho-Nya, tetapi ternyata dihari itu banyak
dosa. Sehingga bagaimana mau mendapatkan sakinah, mawaddah, dan warahmah.
B. Pembahasan
1.
Pengertian Shalat Jamak, Qashar, dan Qadha
Jamak secara
bahasa berarti mengumpulkan. Maksudnya ialah mengumpulkan dua shalat yang
dikerjakan pada satu waktu. Shalat jamak ada dua macam, yaitu jamak
taqdim dan jamak takhir. Jamak taqdim adalah mengumpulkan dua shalat
yang dikerjakan sekaligus di waktu shalat yang lebih awal, seperti mengumpulkan
shalat Zuhur dan ashar yang dikerjakan di waktu Zuhur atau mengumpulkan shalat
maghrib dan isya yang dikerjakan di waktu Maghrib. Sedangkan jamak takhir ialah
mengumpulkan dua shalat yang dikerjakan sekaligus di waktu shalat yang
terakhir, seperti mengumpulkan shalat zuhur dan ashar yang dikerjakan di waktu
Ashar atau mengumpulkan shalat maghrib dan isya yang dikerjakan di waktu Isya.
Shalat yang boleh dijamak hanyalah yang waktunya berdekatan dan ditentukan,
yaitu shalat Zuhur dengan Ashar dan shalat Maghrib dengan Isya.[5]
Qashar secara
bahasa berarti memperpendek atau meringkas. Shalat qashar artinya
memendekkan shalat wajib, yang jumlahnya empat rakaat menjadi dua rakaat bagi
musafir. Shalat qashar merupakan salah satu keringanan yang diberikan
Allah SWT kepada hambah-Nya yang sedang musafir dalam melaksanakan kewajiban
shalat.[6]
Qadha secara
bahasa adalah memutuskan dan memisahkan.[7] Sedangkan
menurut istilah fiqh adalah mengerjakan shalat diluar waktu yang telah disyari’atkan.[8] Maka
shalat qadha’ diartikan dengan melaksanakan shalat di luar waktu yang
ditentukan sebagai pengganti shalat yang ditinggalkan karena unsur kesengajaan,
lupa, memungkinkan atau tidak memunginkan dalam pelaksanaan shalat tersebut.
2. Syarat-syarat Jama`, Qashar, dan Qadha
Shalat
Ulama mazhab Maliki mengatakan bahwa menjamak
shalat dibolehkan karena enam hal, yaitu: (1) dalam perjalanan; (2) hujan; (3)
sakit; (4) wukuf di Arafah; (5) berada di Muzdalifah; dan (6) berada dalam
keadaan yang sangat gelap.[9] Dalam
kitab Fiqh al-Sunnah karya Sayyid Sabiq dijelaskan bahwa boleh untuk
menjamak shalat Zuhur dan Ashar, Maghrib dan Isya`, baik taqdim maupun takhir,
jika berada dalam kondisi berikut ini:[10]
a. Jama`ah haji yang sedang berada di Arafah
dan Muzdalifah. Sepakat para ulama bahwa ketika berada di Arafah hendaklah
menjamak shalat Zuhur dan Ashar dengan jamak taqdim, sedangkan ketika
berada di Muzdalifah hendaklah menjamak shalat Maghrib dan Isya dengan jamak
takhir. Hal ini merupakan sunnah Rasulullah SAW.
b. Ketika dalam perjalanan (safar). Menjamak
shalat baik taqdim maupun takhir bagi musafir hukumnya boleh (jaiz)
sebagaimana hadits yang diriwayatkan Mu`az bin Jabal.
c. Pada saat hujan lebat. Hal ini sesuai dengan
hadits rasulullah SAW:
أَ ان ثَُِّ ص
و جَ عًََ تَْٛ
انْ غًَْشِبِ أَْنعِشَاءِ فِ نَْٛهَحٍ يَطِْٛشَجٍ )س أ انثخاس (ٖ
“Sesungguhnya nabi SAW menjamak shalat Maghrib
dan Isya ketika hujan pada suatu malam”
d. Disebabkan sakit atau uzur. Menurut ulama
mazhab Hanbali kebolehan bagi orang sakit untuk menjamak shalat karena kondisi
sakit itu pada hakikatnya lebih dahsyat dari pada kondisi hujan lebat. Kemudian
yang termasuk kategori uzur diantaranya orang yang menyusui anak karena sulit
membersihkan diri dan pakaian dari najis air kencing anak pada setiap waktu
shalat, wanita yang istihadhah, sering keluar mazi (lendir yang keluar
mengawali keluarnya mani) juga seringnya keluar mani, atau sering keluar air
kencing, sehingga sulit untuk bersuci, juga orang yang khawatir terhadap
keselamatan diri, harta, dan kehormatan, atau juga pekerja berat yang apabila
meninggalkan pekerjaannya untuk melaksanakan shalat akan membawa mudharat pada
dirinya dan pekerjaannya.[11]
e. Karena ada keperluan (hajat) yang
mendesak. Keperluan (hajat) yang dimaksud adalah keperluan yang jika
tidak dilakukan maka akan berakibat pada keadaan yang lebih buruk.
Menurut ulama mazhab Maliki, menjamak shalat
dalam perjalanan dibolehkan secara mutlak, baik perjalanan yang panjang (jauh)
maupun dekat. Orang sakit boleh melakukan jamak shalat apabila sulit melakukan
shalat pada waktunya atau merasa khawatir terhadap penyakitnya bertambah parah
atau membuatnya hilang akal. Adapun dalam keadaan hujan lebat, musim
dingin/salju, atau hari yang sangat gelap, yang dibolehkan hanya jamak taqdim.
Untuk melakukan shalat jamak taqdim dalam perjalanan menurut ulama mazhab
Maliki disyaratkan dua hal, yakni tergelincir/condongnya matahari ke arah Barat
pertanda masuknya waktu Zuhur dan berniat berangkat sebelum waktu ashar.
Kemudian ulama mazhab Maliki menyatakan bahwa shalat jamak dilakukan dengan
satu kali azan dan iqamat bagi setiap shalat. Menurut ulama
mazhab Syafi`i, shalat jamak boleh dikerjakan dalam perjalanan, karena hujan
lebat, dan ketika mengerjakan manasik haji di Arafah dan Muzdalifah. Shalat
jamak karena dingin, musim salju, dan hujan lebat hanya boleh dengan jamak taqdim
yang dilakukan secara berjama`ah di mesjid yang jauh. Menurut ulama mazhab
Syafi`i, untuk melaksanakan jamak taqdim disyaratkan enam hal, yaitu:
(1) niat jamak taqdim; (2) shalat itu dilakukan secara berurutan sesuai
dengan urutannya, seperti mendahulukan Zuhur daripada Ashar; (3) kedua shalat
itu dilaksanakan tanpa tenggang waktu yang panjang; (4) perjalanan yang
dilakukan masih berlanjut ketika shalat yang kedua dimulai; (5) waktu shalat
pertama masih ada ketika shalat kedua dikerjakan; dan (6) yakin bahwa shalat
pertama yang dikerjakan adalah sah.
Sedangkan syarat jamak takhir ada dua
hal, yaitu niat jamak takhir sebelum habisnya waktu shalat pertama dan
perjalanan masih berlanjut sampai selesainya shalat kedua. Urutan dalam
mengerjakan shalat jamak takhir tidaklah wajib.
Seseorang boleh mendahulukan Ashar dari Zuhur
dalam jamak takhir, demikian juga mendahulukan Isya dari Maghrib. Akan
tetapi, ulama mazhab Syafi`i tetap mengatakan bahwa mengikuti urutan waktu
shalat hukumnya sunnah, bukan syarat sahnya shalat jamak takhir.
Menurut ulama mazhab Hanbali, jamak taqdim dan
takhir boleh dilakukan dalam tujuh hal berikut: (1) perjalanan menempuh
jarak yang jauh yang menyebabkan seseorang boleh mengqashar shalatnya; (2)
sakit yang membawa kesulitan bagi penderitanya untuk melaksanakan shalat pada
waktunya; (3) orang yang menyusui anak karena sulit membersihkan diri dari
najis anak setiap waktu shalat; (4) orang yang tak mampu bersuci dengan air
atau bertayamum pada setiap shalat karena mengalami kesulitan; (5) orang yang
tidak bisa mengetahui masuknya waktu shalat; (6) wanita yang istihadhah (wanita
yang mengeluarkan darah terus menerus dari vaginanya karena penyakit); dan (7)
sering keluar mazi (lendir yang keluar mengawali keluarnya mani) juga seringnya
keluar mani, atau ada uzur, seperti orang khawatir terhadap keselamatan diri,
harta, dan kehormatan, atau juga pekerja berat yang apabila meninggalkan
pekerjaannya untuk melaksanakan shalat akan membawa mudharat pada dirinya dan
pekerjaannya itu.
Adapun syarat-syarat shalat qashar, para ahli
fiqh mengemukakan beberapa syarat sahnya shalat qashar, yakni:
a. Menurut jumhur ulama, perjalanan yang
dilakukan itu adalah perjalanan yang panjang, yaitu dua marhalah (perjalanan
dua hari, tidak termasuk malamnya) atau menurut ulama mazhab Hanafi, 16 farsakh
atau tiga marhalah (tiga hari tiga malam).
b. Menurut jumhur ulama, perjalanan yang
dilakukan itu merupakan perjalanan yang mubah (boleh), bukan perjalanan yang
makruh atau haram, seperti merampok dan berjudi. Menurut ulama mazhab Syafi`i
dan Hanbali, apabila perjalanan yang dilakukan itu bertujuan untuk maksiat,
maka tidak sah shalat qasharnya. Akan tetapi bagi ulama mazhab Maliki, shalat
qasharnya tetap sah tetapi berdosa. Menurut ulama mazhab Hanafi, asal
perjalanan itu selama tiga hari tiga malam, maka boleh melakukan qashar tanpa
membedakan apakah perjalanan itu perjalanan mubah atau tidak.
c. Ulama mazhab Hanafi mensyaratkan perjalanan
tersebut melampaui batas desanya sendiri dan desa-desa sekitarnya, sehingga ia
telah keluar dari daerah huniannya. Ulama mazhab Maliki membedakan antara
perjalanan yang dilakukan oleh penduduk kota, masyarakat pedalaman, dan
masyarakat pegunungan. Bagi masyarakat kota, baru dikatakan musafir apabila
telah melampaui batas kota. Untuk masyarakat pedalaman, seseorang baru
dikatakan musafir apabila perkampungan masyarakat pedalaman telah dilewatinya.
Adapun bagi masyarakat pegunungan, seseorang baru dikatakan musafir apabila
telah meninggalkan pemukiman mereka. Menurut ulama mazhab Syafi`i, apabila
daerah tempat tinggal yang akan musafir ini dipagar, maka ia dikatakan musafir
apabila telah keluar dari pagar tersebut. Apabila derah tersebut tidak dipagar,
maka dapat dikatakan musafir apabila telah melampaui bangunan paling akhir dari
batas daerah tersebut. Menurut ulama mazhab Hanbali, dapat dikatakan musafir
apabila perkampungannya atau rumah terakhir di pinggiran daerah tersebut telah
dilaluinya, baik masih dalam pagar/batas desa maupun telah melampauinya. Ulama
mazhab Hanbali berpendapat bahwa batas-batas daerah tersebut diserahkan
sepenuhnya kepada kebiasaan setempat.
d. Perjalanan tersebut bermaksud menuju tempat
tertentu, sehingga tidak ragu-ragu dalam perjalanannya. Jika perjalanan tanpa
tujuan dan tidak menuju tempat tertentu, maka tidak dikatakan musafir atau
tidak boleh melakukan shalat qashar. Akan tetapi ulama mazhab Hanafi menyatakan
bahwa orang yang ragu-ragu dan tidak memiliki tujuan perjalanan berhak
mengqashar shalat apabila telah sampai dan berhenti di daerah tertentu.
e. Ulama mazhab Syafi`i mensyaratkan shalat
qashar itu hanya dilakukan oleh orang yang secara sengaja melakukan perjalanan,
bukan bagi orang yang mengikuti perjalanan orang lain. Menurut ulama mazhab
Hanafi, jika orang yang mengikuti musafir tersebut mengetahui niat yang
diikutinya, maka boleh mengqashar shalat.
f. Menurut ulama mazhab Syafi`i dan Hanbali, orang
yang mengqashar shalat tidak boleh menjadi makmum orang yang mukim (orang yang
tidak musafir). Akan tetapi ulama mazhab Hanafi menyatakan bahwa apabila
musafir menjadi makmum orang yang mukim di awal awaktu shalat, maka shalatnya
sah, tetapi bila shalat berjamaah tersebut dilakukan bukan di awal waktu,
musafir tidak boleh mengikutinya.
g. Menurut ulama mazhab Syafi`i dan mazhab
Hanbali, niat mengqashar shalat harus ditegaskan ketika takbiratul ihram. Ulama
mazhab Maliki menyatakan niat itu cukup di luar shalat. Sedangakn ulama mazhab
Hanafi menyatakan niat itu boleh ketika akan melakukan dan dalam perjalanan
tersebut.
h. Ulama mazhab Hanafi mensyaratkan bahwa orang
yang melakukan perjalanan haruslah orang yang baligh dan berakal. Dengan
demikian anak kecil tidak boleh mengqashar shalat. Akan tetapi jumhur ulama
tidak mengemukakan syarat ini.
Berdasarkan hadits rasulullah SAW, bahwa
syarat-syarat mengqadha shalat ada dua hal, yaitu tertidur dan lupa. Sabda
rasulullah SAW:[12]
يَ اََوَ عَ صَلََجٍ أَ سََِْٛ آَ فَهُْٛصَهِّ آَ إِرَا رَكَشَ اَْ )س أ انثخاس ئسهى(
“Barang siapa yang meninggakan shalat karena
tidur atau lupa maka hendaknya ia sholat bila ingat”. (HR. Bukhari Muslim)
Hadits ini menunjukan bahwa siapa yang
meninggalkan shalat dengan uzur maka wajib menggantinya bila mengingatnya. secara
tersirat dapat dipahami bahwa orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja
maka kewajiban menggantinya lebih utama dari pada yang meninggalkannya karena
uzur.
3. Analisis
Sebagai agama yang kaffah,[13] Islam
selalu menjadi rujukan umatnya untuk menjawab persoalan-persoalan yang selalu
berkembang seiring dengan pergeseran zaman dan perubahan tempat. Apakah
persoalan itu menyangkut akidah, ibadah ataupun hubungan kemanusian yang begitu
kompleks. Dalam tradisi syari`at Islam, ada ibadah langsung (mahdhah) dan
ada pula yang dikategorikan ibadah tidak langsung (ghair mahdhah). Ibadah
langsung ini, menyangkut hubungan manusia dengan Allah tanpa melalui perantara,
seperti shalat, zakat, puasa dan haji. Sedangkan ibadah yang tidak langsung
harus melalui kontrak sosial, seperti muamalah, munakahat, jihad, dan siyasat.
Pernikahan yang merupakan sunnah rasul
hendaklah diumumkan dan diberitahukan kepada masyarakat. Islam pada prinsipnya
sangat menganjurkan untuk diadakannya pesta pernikahan (walimah al-`ursy),[14] bahkan
walau hanya dengan menyembelih seekor kambing, tujuannya selain sebagai
ekspresi kebahagiaan dari kedua mempelai, juga agar pernikahan itu diketahui
oleh halayak ramai dan tidak terkesan disirrikan.[15] Bahkan
menurut Imam Syafi’i makanan yang dihidangkan dalam acara walimah setidaknya
adalah satu ekor kambing. Pendapat tersebut sesuai dengan apa yang telah
disabdakan oleh Rasul SAW sebagai berikut:[16]
قَالَ سَسُ لُْٕ اللهِ صَهَّ اللهُ عَهَْٛ سََٔهَّىَ نِعَثْذِانشَّحْ تْ عَ فٍْٕ أَ نِْٔىْ نََٔ تِانشَّاجِ )يتفق عهٛ (ّ
“Rasulullah saw bersabda kepada „Abdurrahman
bin „Auf: Adakanlah walimah, sekalipun hanya memotong seekor kambing”. (HR. Bukhari Muslim).
Bahkan nabi SAW sendiri pernah menyelenggarakan
walimah untuk Shafiyah dengan Hais yaitu berupa adonan tepung, lemak, dan susu
kering dan ditaruh di atas permadani kecil.[17] Akan
tetapi, walimah boleh saja diadakan seadanya, yang penting dengan sesuatu yang
bisa dimakan.[18]
Dalam hadits nabi yang lain bahwa Rasulullah
SAW menyuruh agar pernikahan itu diberitahukan secara terbuka dan jangan
disembunyikan. Secepat mungkin diramaikan atau digembirakan dengan berbaagi
cara. Sebagaimana yang telah disabdakan dalam haditsnya sebagai berikut:[19]
ع عا ئشح سضٙ الله ع آُ ع ان ثُٙ صه الله عهٛ سٔهى قال أَعْهِ إُُْ زَْا ان كَُِّاحَ
أَجْعَهُ إْ فِٙ انْ سًََاجِذِ أَضْشِتُ إْعَهَْٛ تِانذُّفُ فْْٕ )س أ أح ذً أنتشيز (٘
“Dari Aisyah r.a dari Nabi SAW, beliau
bersabda, “Beri tahukanlah pernikahan dan jadikanlah pernikahanmu di mesjid
serta bunyikanlah rebana dalam pernikahan itu”. (HR. Ahmad dan Turmudzi)
Disamping Rasulullah SAW menganjuran untuk
mengadakan walimah, beliau juga menganjurkan untuk menghadiri undangan
pada suatu pesta pernikahan. Bahkan ulama menyatakan hukum mendatangi walimah
(pesta pernikahan) adalah fardu kifayah. Sebagian ulama lagi
mengatakan fardu ‘ain. Artinya wajib bagi setiap induvidu yang mendapat
undangan untuk menghadirinya. Dalam sebuah hadits disebutkan:[20]
ات ع شً سضٙ الله ع آًُ ع ان ثُٙ صه الله عهٛ سٔهى اِرَادَعَا اَحَذُكُىْ اَخَا فَهُْٛجِةْ
عُشْسًا كَا اَ حََْْٔ )س أ يسهى إٔت دا دٔ(
“Dari Ibnu Umar r.a dari Nabi SAW bersabda: “Apabila
seseorang mengundang saudaranya, hendaklah saudaranya itu memperkenankannya,
baik undangan itu untuk walimah al-`urs atau yang lainnya. (HR. Imam Muslim dan Abu Daud).[21]
Telah menjadi tradisi dalam kehidupan di
masyarakat Indonesia secara umum bahwa acara pernikahannya sangat sakral dan
esensial, sehingga menghabiskan waktu yang lama dan biayanyapun besar. Kondisi
seperti ini bahkan menjadi tren dan dibangga-banggakan sebagian orang. Dengan
demikian orang yang terlibat langsung dalam acara walimah al-`urs, seperti
semua panitia, kedua keluarga dari pihak laki-laki dan perempuan, lebih khusus
kedua mempelai (pasangan suami isteri) yang dijadikan raja dan ratu sehari,
diliputi rasa senang dan bahagia. Namun tidak sedikit di antara
pengantin-pengantin tersebut lalai, lupa, bahkan dengan sadar meninggalkan
shalat fardhu, dengan alasan sibuk melayani tamu dan repot untuk melepaskan
pakaian pengantin juga karena dandanan yang serba mahal.
Di antara beberapa alasan tersebut dijadikan
sebagai alasan untuk menjamak bahkan mengqadha shalat. Dalil yang menjadi
alasan mereka tentang jamak shalat karena kesibukan ialah hadits riwayat Ibn
Abbas ra:[22]
عَ اتْ عَثَّاسٍ سَضَِٙ اللهَُّ عَ آًَُُْ قَال: إِ ان ثََُِّّٙ صَهَّ اللهَُّ عَهَْٛ سََٔهَّىَ جَ عًََ تَْٛ انظُّ شِْٓ أَنْعَصْشِ
أَنْ غًَْشِبِ أَنْعِشَاءِ تِانْ ذًَِٚ حَُِ يِ ْٛشِ خَ فٍْٕ يَطَشٍ
“Dari Ibn Abbas ra, ia berkata: sesungguhnya
nabi SAW menjamak shalat zuhur dan ashar, shalat maghrib dan isya ketika tiba
di Madinah tidak dalam kondisi takut juga tidak hujan” Hadits di atas tidak memberikan penjelasan
rincinya, para ulama’ banyak memberikan penafsiran tentang hadits ini. Ada yang
mengatakan hadits ini dipakai dalam kondisi hujan, ada lagi yang menjelaskan
bahwa hadits ini teruntuk bagi mereka yang sedang melaksanakan hal-hal yang
sangat penting sekali, sehingga jika ditinggalkan maka akan terjadi perkara
yang besar, misalnya kondisi dokter yang sedang mengoperasi pasiennya, namun
ada juga yang memaknainya secara umum yaitu kondisi dimana tidak memungkinkan
untuk mengerjakan sholat pada waktunya, akan tetapi dengan syarat:
a. Kejadiannya harus bersifat di luar
perhitungan dan terjadi tiba-tiba begitu saja. Seperti yang terjadi pada diri
Rasulullah SAW tatkala terlewat dari shalat Zuhur, Ashar, Maghrib dan Isya
sekaligus, gara-gara ada serangan atau kepungan musuh dalam perang Azhab
(perang Khandaq). Beliau saat itu menjama’ shalat yang tertinggal setelah lewat
tengah malam, bukan ketika perjalanan, sebab beliau SAW dan para shahabat
bertahan di dalam kota Madinah Al-Manuwwarah.
b. Syarat kedua adalah bersifat sangat memaksa,
yang tidak ada alternatif lain kecuali harus menjama’. Sifat memaksa disini
bukan disebabkan karena kepentingan biasa, misalnya sekedar karena ada rapat,
atau pesta pernikahan, atau kemacetan rutin yang melanda kota-kota besar.
Kejadian yang memaksa itu semsisal Tsunami yang menimpa Aceh dan Mentawai,
dokter yang sedang mengoperasi, gempa bumi yang berkepanjangan, kerusuhan
massa.
Selanjutnya dalam pembahasan yang telah
disajikan pada syarat-syarat jamak, qashar, dan qadha shalat tidak ada pendapat
ulama yang menyatakan bahwa kesibukan dalam resepsi pernikahan dapat dijadikan illat
(alasan) untuk menjamak, menqashar, dan mengqadha shalat. Dalam kaidah fiqh
disebutkan: اَنْحُكْىُ َٚذُ سُْٔ يَعَ عِهَّتِ
“Hukum
itu berputar bersama ilatnya” Berdasarkan
kaidah di atas, jika ada ‘ilat maka ada hukum dan jika tidak ada maka tidak ada
hukum. Oleh karena itu seorang pengantin (pasangan suami isteri yang sah)
ketika merayakan resepsi pernikahan (walimah al-`ursy) yang diliputi
rasa bahagia dan kesibukkan dalam menyambut tamu serta mengikuti acara tersebut
hingga sore hari, juga karena hiasan dandanan yang mahal, tidak dapat hal itu
dijadikan alasan („ilat) dan uzur secara syar`i untuk mengerjakan shalat
dengan jamak, qadha, apalagi qashar.
Kesibukkan dalam resepsi pernikahan (walimah
al-`ursy) tidak bisa dikategorikan dalam kondisi masyaqqah,[23] sehingga
tidak bisa dihilangkan dengan rukhshah. Pada prinsipnya dalam menghadapi
masyaqqah, jumhur ulama ushul fiqh berpendapat bahwa ada dua solusi yang
diberikan agama: pertama, rukhshah[24]
(keringan dari taklif yang semula), seperti shalat fardhu yang empat
reka`at dijadikan dua reka`at (qashar) ketika dalam perjalanan (safar),
kedua, menghentikan taklif, seperti bebas shalat wajib bagi wanita yang
sedang haidh dan nifas.[25] Sesungguhnya
kewajiban mengerjakan shalat fardhu merupakan kewajiban mutlak. Jika tidak
mampu berdiri lakukan dengan duduk, jika tidak bisa duduk lakukan dengan
berbaring, jika tidak bisa berbaring, shalatlah dengan isyarat. Allah SWT
berfirman: “Maka ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di
waktu berbaring. kemudian apabila kamu telah merasa aman, Maka dirikanlah
shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang
ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.”
Juga hadits nabi SAW:[26]
عَ عِ
شًَْا تْ حَصِْٛ قَالَ كَا
تِٙ تَ إَسِْٛش فَسَ نْ
ان ثَُِّ ص و عَ
انصَّلََجِ فَ الَ : صَمِّ
قَائِ اًً فَإِ نَىْ
تَسْتَطِعْ فَ اعِذًا فَإِ نَىْ
تَسْتَطِعْ فَعَهَ جَ ثُِْكَ )س أ انج اًعح ا
يسهى(
“Dari Imran bin Hashin bahwa ia terkena
penyakit bawasir (embeyen), maka ia bertanya kepada rasulullah SAW perihal
shalatnya. Rasulullah SAW menjawab: “shalatlah dalam keadaan berdiri, jika
engkau tidak mampu maka shalatlah dengan cara duduk, dan jika engkau tidak bisa
maka shalatlah dengan berbaring” (HR.
Jama`ah kecuali Muslim)
C. Penutup
Berdasarkan hasil pembahasan dan analisis di
atas dapat disimpulkan:
a. Bahwa Islam memperbolehkan untuk mengadakan
resepsi pernikahan (walimah al-`urs) dengan ketentuan sesuai dengan
syari`at Islam. Bahkan anjuran tersebut sesuai dengan hadits nabi SAW yang
menganjurkan walimah al-`urs walaupun dengan menyembelih seekor kambing.
Hal mengisyaratkan bahwa nikah itu perlu diumumkan pada khalayak ramai dan
tidak terkesan dirahasiakan (al-sirr).
b. Pengantin laki-laki dan perempuan sebagai
raja dan ratu sehari, walaupun diliputi kebahagiaan namun jangan melalaikan
tujuan utama pernikahan yakni mencapai bahtera rumah tangga yang sakinah,
mawaddah, dan warahmah. Sebagai langkah awal menggapai hal tersebut
tidaklah diperkenankan melalaikan dan meninggalkan kewajiban shalat fardhu.
Karena kewajiban menjalankan shalat fardhu adalah mutlak.
c. Pengantin laki-laki dan perempuan yang sibuk
melayani tamu undangan dan berdandan dengan peralatan serba mahal, tidak boleh
dijadikan alasan (ilat) untuk menjamak, mengqashar, dan mengqadha
shalat, karena kondisi tersebut tidak termasuk kategori masyaqqah untuk
mendapatkan rukhshah.
DAFTAR PUSTAKA
Abi Isa Muhammad Ibn Isa Ibn Surah (Imam
al-Tirmizi), al-Jami` al-Shahih Sunan al-Tirmizi, Beirut: Dar al-Fikr,
tt
Abdul `Aziz Muhammad `Azam, Qawa`id al-Fiqh
al-Islamy, Maktabah al-Risalah al-Dauliyah, 1998
Ahsin W. Al-Hafidz, Kamus Ilmu al-Qur`an, Jakarta:
Amzah, 2006
Ali Ahmad al-Nadwi, al-Qawaid al-Fiqhiyyah
Mafhumuha, Nasyatuha, Tathawwuruha, Dirasatu Muallafatiha Adillatuha,
Muhimmatuha, Tathbiqatiha, Dimsyiq: Dar al-Qalam, 1414 H/1994 M
Al-Imam Abi Abdillah Muhammad bin Ismail bin
Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardazbah al-Bukhori al-Ju`fi (wafat 256 H), Shahih
al-Bukhari, Beirut-Libanon: Dar al-fikr, 1415 H/ 1995 M
Al-Imam al-Hafizh Abi al-Fadl Jalaluddin bin
Abdirrahman al-Suyuthi (w. 911 H), Tausyih Syarh al-Jami` al-Shahih, Arriyadh:
al-Mamlakah al-Arabiyah al-Su`udiyah, 1998 M/1419 H
Al-Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad
al-Ghazali, (445-505 H), al-Mustashfa fi `Ilm al-Ushul, Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyyah, 1413 H/1996M
Al-Hafizh Abi Daud Sulaiman bin al-Asy`ats
al-Sajistani (w 275 H), Sunan Abi Daud, Beirut: Dar al-Fikr, 1414 H/
1994
Hukum Islam, Vol. XIV No. 1 Juni 2014 Jamak dan
Qadha........Arisman 12
Al-Hafiz Jalaluddin al-Suyuthi, Sunan
al-Nasa`i, Kairo: Dar al-Hadits, tt
Asmuni, Terjemah Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, Jakarta:
Darul Falah, 2005
Anshori Umar, Terjemah Fiqhu Al- Mar‟ah Al-Muslimah,
Semarang: As-Syifa’, 1986
Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2006
Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin, Fiqih Madzhab
Syafi‟i, Bandung: Pustaka Setia, 2007
Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, Dar
al-Fikri al-Araby, 1377 H/1957 M
Muhammad al-Hajjaj al-Qusyairi, Shahih
Muslim, Beirut: Dar al-Fikr, tt
Nur al-Din Mukhtar al-Khadimi, al-Muyassar
fi `Ilmi al-Qawaid al-Fiqhiyyah, Dimsyiq: al-Yamamah, 1428 H/2007 M
Sa`di Abu Jaib, al-Qamus al-Fiqhiy Lughatan
wa Ishtilahan, Dimsyiq-Suriah: 1419 H/ 1998 M
Sayyid Sabiq, Fiqih al-Sunnah, Bab al-Jam`u
Baina Shalatain, Kairo: Dar al-Fath lil-I`lam al-`Arabi, 1418 H/ 1998 M
Suprapta dan Djedjen Zainuddin, Fiqih, Semarang:
Karya Toha Putra, 2004
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa
Ushuluhu, Dimsyiq: Dar al-Fikr, 1427 H/2006 M
Yusuf
al-Qaradhawi, Min Hady al-Islam Fatawa Mu`ashirah, Kairo: Dar al-Qalam,
1430 H/2009 M
[1] Lihat QS. al-Baqarah (2) juz ke-2: 185,
h. 45 dan Lihat QS. al-Baqarah (2) juz ke-3: 286, h. 72, QS. al-Nisa`
(4) juz ke-5: 28, h. 122, dan QS. al-Maidah (5) juz ke-6: 6, h. 159.
[2] Ali Ahmad al-Nadwi, al-Qawaid al-Fiqhiyyah
Mafhumuha, Nasyatuha, Tathawwuruha, Dirasatu Muallafatiha Adillatuha,
Muhimmatuha, Tathbiqatiha, (Dimsyiq: Dar al-Qalam, cet. Ke-3, 1414 H/1994
M), h. 302.
[3] Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, (Dar
al-Fikri al-Araby, 1377 H/1957 M), h. 320.
[4] Shahih
al-Bukhari, Kitab al-Manaqib Bab Sifat al-Nabi, No.
Hadits 3560, (Beirut-Libanon: Dar al-fikr, jilid ke-2, 1415 H/ 1995 M), h, 309.
Juga dalam kitab yang sama pada Kitab al-Adab Bab Qauli al-Nabi “Yassiru wa
la Tu`assiru”, no. Hadits 6126, jilid ke-4, h. 80
[5] Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT.
Ichtiar Baru Van Hoeve, jilid 4, 2006), h. 1572
[6] Ibid,
h. 1591.
[7] Sa`di
Abu Jaib, al-Qamus al-Fiqhiy Lughatan wa Ishtilahan, (Dimsyiq-Suriah:
1419 H/ 1998 M), h. 305.
[8] Ibid.,
h. 306.
[10] Sayyid
Sabiq, Fiqih al-Sunnah, Bab al-Jam`u Baina Shalatain, Jilid ke-1, (Kairo:
Dar al-Fath lil-I`lam al-`Arabi, 1418 H/ 1998 M), h. 204.
[12] Al-Hafiz Jalaluddin al-Suyuthi, Sunan
al-Nasa`i Juz 1, Bab fi Man Nasiya Shalat, op. Cit., h. 293.
[13] Istilah Kaffah
disebut dalam QS. al-Baqarah (2): 208. Menurut bahasa, artinya utuh,
keseluruhan, dan integral. Maksudnya adalah memahami dan mengikuti Islam secara
utuh dan menyeluruh, tidak sepotong atau secara parsial. (lihat, Ahsin W.
Al-Hafidz, Kamus Ilmu al-Qur`an, Jakarta: Amzah, cet. Ke-2, 2006), h.
143.
[14] Sayyid
Sabiq, Fiqih al-Sunnah, Bab I`lan al-Zawaj Jilid ke-2, op. Cit., h. 148
[15] Walimah
diartikan sebagai makanan yang dihidangkan pada acara pernikahan (lihat:
Muhammad bin Qosim, Fathal Qorib, (Libanon: Darul Kutub Alamiah, 2008),
h. 326. secara bahasa, walimah diartikan dengan pesta, kenduri, atau resepsi.
Dengan demikian Walimatun nikah adalah pesta yang diselenggarakan setelah
dilaksanakannya aqad nikah dengan menghidangkan berbagai jamuan yang biasanya
disesuaikan menurut adat setempat. Adapun hukum melaksanakannya adalah sunnah.
(lihat: Suprapta dan Djedjen Zainuddin, Fiqih, (Semarang: Karya Toha
Putra, 2004), h.103
[16] Al-Imam al-Hafizh Abi al-Fadl Jalaluddin bin
Abdirrahman al-Suyuthi (w. 911 H), Tausyih Syarh al-Jami` al-Shahih, Bab
al-Walimah Hak, Kitab Nikah juz ke-7(Arriyadh: al-Mamlakah al-Arabiyah
al-Su`udiyah, 1998 M/1419 H), h. 3250.
[17] Asmuni, Terjemah
Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi Jilid II, (Jakarta: Darul Falah, 2005) h. 862.
[18] Anshori
Umar, Terjemah Fiqhu Al- Mar‟ah Al-Muslimah, (Semarang: As-Syifa’, 1986)
h.382
[19] 19 Sayyid
Sabiq, Fiqih al-Sunnah, Bab I`lan al-Zawaj Jilid ke-2, op. Cit., h. 149
[20] 20 Muhammad
al-Hajjaj al-Qusyairi, Shahih Muslim, Kitab Nikah Bab al-Amr bi Ijabah
al-Da`i ila al-Da`wah, No. Hadits 1429, (Beirut: Dar al-Fikr, tt), h. 1052
[21] Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin, Fiqih Madzhab
Syafi‟i Jilid II, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), h. 309.
[22] Abi Isa
Muhammad Ibn Isa Ibn Surah (Imam al-Tirmizi), op. Cit., Bab Ma Ja`a fi
al-Jam`i baina al-Shalatain fi al-Hadhr, no. Hadits 187, (Beirut: Dar
al-Fikr, tt), h. 355.
[23] Abdul `Aziz
Muhammad `Azam, Qawa`id al-Fiqh al-Islamy, Maktabah al-Risalah
al-Dauliyah, 1998-1999, h. 133).
[24] Rukhsah menurut
bahasa adalah: عثاسج ع انٛسش
انس نٕٓح (kemudahan
dan keringanan), menurut syara` عثاسج ع اً سٔع
نه كًهف ف فعه نعزس
عٔجز عُّ (Lihat:
al-Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, (445-505 H), al-Mustashfa
fi `Ilm al-Ushul, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1413 H/1996 M), h.
329-330. Menurut Wahbah al-Zuhaili, rukhshah secara bahasa artinya انتٛسٛش أنتس
ٛٓم (kemudahan atau keringan). Menurut istilah
ulama ushul artinya: الأحكاو انت ششع
آ الله تعان ت اُء
عه أعزاس انعثاد سعاٚح نحاجت
ىٓ يع ت اء انسثة
ان جًٕة نهحكى الأصه (hukum-hukum pengecualian yang
disyari`atkan oleh Allah SWT sebagai keringanan kepada manusia karena keadaan
dan kebutuhan tertentu). ((Lihat: Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa
Ushuluhu, op. cit., h. 114-115). Rukhshah dapat berlaku dalam
keadaan yang tidak normal yang menjadi penyebab diberikannya keringanan kepada
manusia. (Lihat: Ensiklopedi Hukum Islam, op. cit., h. 157.)
[26] . 26 Sayyid Sabiq, op. Cit., Bab Shalat
al-Maridh, h. 198.
Author: Mohammad
Mohammad is the founder of STC Network which offers Web Services and Online Business Solutions to clients around the globe. Read More →
Related Posts:
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Assalamualaikum... Maaf ya SOBAT saya mau jujur bahwa awalnya saya hanya mencoba-coba bermain togel karna saya terlilit hutang yang sangat banyak sekitar Rp 235 juta karna hutang saya banyak akhirnya saya mencari jalan pintas meskipun itu dilarang agama islam apa boleh buat nasi sudah jadi bubur dan akhirnya saya menemukan seorang dukun yang bisa membantu saya melalui jalan togel dengan lantaran bantuan MBAH WIRANG kehidupan saya sudah jauh lebih baik dari sebelumnya karna itu semua berkat bantuan MBAH WIRANG dengan waktu yang singkat saya sudah membuktikan namanya keajaiban satu hari bisa merubah hidup kita menjadi kaya, buktinya angka pemberian MBAH 4D nya pada tanggal 23/10/2016 yaitu 9512 tembus alhamdulillah saya menang sebanyak Rp.480 juta dan alhamdulillah semua hutang-hutang saya sudah bisa terlunasih juga... Mungkin saudara/saudari diluar sana lagi butuh angka togel 2D|3D|4D silahkan konsultasi atau minta bantuan dengan MBAH WIRANG jangan takut anda bisa hubungi di nomer ( 082346667564 / +6282346667564 )
BalasHapusTetap Semangat Semua Permasalahan Pasti Ada Jalan KeluarNya...