Minggu, 24 April 2016
METODE INTEGRATIF-HOLISTIK DAN PARADIGMA TEO-ANTROPOSENTRIS AL-QURAN TENTANG KESETARAAN GENDER DALAM PEMBARUAN HUKUM ISLAM INDONESIA
METODE INTEGRATIF-HOLISTIK DAN PARADIGMA TEO-ANTROPOSENTRIS
AL-QURAN TENTANG KESETARAAN GENDER DALAM PEMBARUAN HUKUM ISLAM INDONESIA
A. PENDAHULUAN
Pada
dua abad terakhir, di kalangan umat Islam muncul gerakan pembaruan pada
berbagai bidang kehidupan. Gerakan-gerakan tersebut ditandai dengan munculnya
tokoh-tokoh maupun kelompok cendekiawan Islam yang menggagas pembaruan
pemikiran-pemikiran Islam untuk disesuikan dengan perkembangan abad modern.
Khusus dalam lapangan hukum, upaya pembaruan dilakukan akibat munculnya
kesenjangan antara materi hukum, khususnya fikih, dengan kenyataan sosial
dewasa ini. Di samping untuk merespon perkembangan dan tuntutan zaman, pembaruan
hukum Islam, khususnya hukum keluarga, juga bertujuan untuk mengangkat status
perempuan.
Fikih
keluarga yang ada selama ini cenderung berwajah patriarkhis sebagaimana
terpancar dari wacana-wacana superioritas suami atas istri, domestikasi
terhadap perempuan serta berbagai wacana yang cenderung merugikan perempuan,
seperti kebolehan nikah di bawah umur, hak ijbar bagi wali, nikah sebagai akad
kepemilikan, kelonggaran poligami, konsep nusyus, dan lain-lain. Semangat patriarkhis
misalnya tampak dalam Kitab Uqud al-Lujjain yang ditulis oleh Imam Nawawi
al-Bantani. Dalam kitab ini, antara lain disebutkan bahwa suami boleh memukul
istri manakala ia nusyus, menolak bersolek seperti yang diinginkannya atau menolak
diajak ke tempat tidur.[1] Imam
Nawawi mengharuskan adanya kepatuhan total seorang istri terhadap suami tanpa
memerhitungkan kondisi si istri dan hak-haknya sebagai manusia di lain sisi.
Seolah-olah posisi istri hanya sekedar obyek belaka, kehadirannya seakan-akan
hanya sebagai pelayan atau pelengkap bagi kesempurnaan hidup suami.
Pola
hubungan seperti itu jelas menampakkan ketimpangan dalam relasi suami istri
yang seharusnya memiliki posisi setara dan saling melengkapi satu sama lain, tanpa
ada yang menempati posisi superior dan yang lainnya dalam posisi inferior. Hal ini
jelas-jelas bertentangan dengan nilai-nilai keadilan dan persamaan sebagai
salah satu prinsip ajaran Islam. Apalagi untuk konteks negara Indonesia yang
telah meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap
Perempuan (CEDAW) ke dalam UU RI No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi
Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on
The Elimination of All Forms of Discrimination Against Women), yang antara lain
menyatakan bahwa: “Negara-negara peserta wajib membuat peraturan yang tepat untuk
menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam semua urusan yang berhubungan
dengan perkawinan dan hubungan kekeluargaan atas dasar persamaan antara pria
dan wanita.[2]
Dengan ratifikasi tersebut, berarti Indonesia mempunyai komitmen bahwa segala
langkah-langkah termasuk dalam pembuatan dan pelaksanaan hukum akan dilakukan
untuk menjamin supaya tidak lagi terjadi diskriminasi terhadap perempuan.
Bahkan, beberapa waktu yang lalu telah disahkan Undang-Undang RI No. 23 Tahun
2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
Relevansinya
dengan hal di atas, jelas dibutuhkan langkah signifikan dalam menjembatani
ajaran-ajaran hukum Islam tentang perempuan dalam karya-karya ulama klasik
dengan perkembangan masyarakat kontemporer. Akan tetapi, rancangan pembaruan
KHI, baik draft Undang-undang Hukum Materil Pengadilan Agama yang diusulkan Tim
Departemen Agama maupun Counter Legal Draft (CLD) KHI yang diusulkan Tim Pengarusutamaan
Gender Departemen Agama menuai kontroversi.
Sementara
itu, akhir-akhir ini di Indonesia terdapat pula gejala menguatnya pemikiran dan
aksi dari kelompok umat Islam tertentu yang cenderung tekstualis dalam
menafsirkan syari’ah. Gejala ini tampak pada kelompok masyarakat tertentu yang
memproklamirkan “poligami sebagai sunnah Rasulullah yang wajib diikuti”.
Akibatnya, tak jarang terjadi ketegangan antara dua kelompok yang saling berseberangan,
yakni kelompok yang dicap liberal di satu sisi dan kelompok yang dicap fundamentalis
di lain sisi.
Realitas
ini memerlukan kajian mendalam, yakni pentingnya menggali gagasan yang transpormatif
tetapi tidak menimbulkan resistensi di masyarakat. Oleh karena itu, pembaruan
hukum Islam Indonesia mengenai kedudukan perempuan memerlukan kajian khusus
dari sisi epistemologisnya, sebagai kerangka pikir dalam melahirkan formula-formula
hukum yang sesuai dengan perkembangan dan aplicable pada masyarakat Indonesia
yang memiliki kultur tersendiri.
B. Sekilas mengenai Pembaruan Hukum Islam
Istilah “pembaruan” memiliki arti proses, cara, perbuatan membarui.[3]
Jika istilah ini dibawa ke dalam konteks hukum Islam, maka yang dimaksud adalah
upaya untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian ajaran Islam di bidang hukum
dengan kemajuan modern, sehingga hukum Islam dapat menjawab segala tantangan
yang ditimbulkan oleh perubahan-perubahan sosial sebagai akibat perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi modern.[4]
Sedangkan istilah “hukum Islam” merupakan istilah khas Indonesia,
sebagai terjemahan dari al-fiqh al-Islami atau dalam konteks tertentu
dari al-syari’ah al-Islami. Istilah ini dalam wacana ahli hukum Barat digunakan
Islamic Law. Dalam Al-Qur’an maupun Al-Sunnah, istilah al-hukm al-Islami tidak
dijumpai, tetapi yang digunakan adalah kata syari’ah yang dalam penjabarannya
kemudian lahir istilah fikih.[5]
Untuk konteks Indonesia, dapat dipahami bahwa hukum Islam adalah
peraturan-peraturan yang diambil dari wahyu dan diformulasikan dalam keempat
produk pemikiran hukum yakni fikih, fatwa, keputusan pengadilan dan
undang-undang yang dipedomani dan diberlakukan bagi umat Islam Indonesia.[6]
Pembaruan hukum Islam, menurut Abdul Manan, adalah upaya dan
perbuatan melalui proses tertentu dengan penuh kesungguhan oleh pihak-pihak
yang memiliki kompetensi dan otoritas dalam pengembangan hukum Islam
(mujtahid), melalui caracara yang telah ditentukan berdasarkan kaidah-kaidah
istinbat hukum, agar hukum Islam dapat disesuaikan dengan perkembangan zaman.[7]
Sasaran pembaruan hukum Islam dalam hal ini adalah fikih. Fikih
merupakan hasil pemikiran dari para ahli. Dalam penggalian fikih, para ulama
sangat dipengaruhi kondisi sosialnya, sehingga kadang-kadang terjadi perbedaan
pemikiran di kalangan para fukaha yang berada dalam kondisi zaman dan tempat
yang berbeda. Hal ini sekaligus menandaskan bahwa pada fikih terbuka peluang untuk
diadakan pemikiran ulang atau dilakukan pembaruan-pembaruan.
Menurut Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah:
Bahwasanya fatwa dapat berubah karena adanya perubahan zaman,
tempat, keadaan, niat dan kebiasaan.
Berdasarkan penelitian Ibnu al-Qayyim terhadap teks-teks Al-Qur’an
dan Al- Sunnah, akhirnya beliau menyimpulkan bahwa syari’at Islam dibangun
untuk kepentingan manusia dan tujuan-tujuan kemanusiaan yang universal yakni keadilan,
kerahmatan, kemaslahatan dan kebijaksanaan atau mengandung makna (hikmah) bagi kehidupan.
Jadi, prinsip-prinsip ini harus menjadi dasar dan substansi dari seluruh persoalan
hukum Islam. Penyimpangan terhadap prinsip-prinsip ini berarti bertentangan
dengan cita-cita syari’at atau agama. Dengan demikian, setiap hal yang zhalim,
tidak memberi rahmat, bukanlah hukum Islam.[9]
Selanjutnya dipertegas Al-Syatibi, bahwa syariat diadakan untuk
kemas}lah}atan hamba, baik di dunia maupun di akhirat yang meliputi tiga
tingkatan yakni daruriyat, hajiyat dan tahsiniyat.[10]
Ketiganya diurut berdasarkan tingkat kepentingannya dari yang sifatnya paling
urgen, urgen dan pelengkap.
Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut, pemikiran-pemikiran fikih
yang cenderung memarjinalkan perempuan harus dikaji ulang, antara lain nikah
sebagai akad kepemilikan suami atas istri,[11]
superioritas suami atas istri dalam keluarga, domestikasi perempuan, nikah di
bawah umur dan hak ijbar bagi wali, poligami, nusyuz dan lain-lain. Apalagi
jika dikaitkan dengan prinsip nas dan fakta historis. Secara umum,
aturan-aturan hukum keluarga dalam Al-Qur’an maupun sunah menggambarkan
kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Adanya ayat-ayat atau hadis tertentu
yang dinilai diskriminatif oleh kaum feminis harus dipahami secara filosofis
dan kontekstual. Fakta sejarah juga menjelaskan pembatasan aktivitas perempuan
di ranah domestik muncul pada masa kekuasaan pasca masa kenabian dan diduga
kuat dipengaruhi oleh peradaban luar Islam akibat melebarnya kekuasaan Islam.
Inilah yang menjadi dasar pentingnya upaya-upaya pembaruan
tersebut. Menurut Amir Syarifuddin, perlunya pembaruan pemikiran hukum Islam
(fikih) dalam rangka tercapainya kemaslahatan masyarakat sesuai dengan tujuan
hukum diturunkan Allah swt. Sementara kemaslahatan umat banyak ditentukan oleh
faktor waktu, tempat dan keadaan. Kemaslahatan dapat berubah bila waktu sudah
berubah dan kondisi masyarakat juga sudah mengalami perubahan. Apa yang
dianggap maslahat dalam waktu tertentu, dalam waktu berikutnya mungkin tidak
dianggap maslahat lagi dan begitu pula sebaliknya.[12] Demikian
halnya perbedaan situasi sebuah wilayah atau tempat juga menjadi salah satu
pertimbangan pentingnya pembaruan hukum Islam. Apalagi disadari adanya
perbedaan budaya Indonesia dengan budaya masyarakat Timur Tengah (Arab) tempat
fikih global dirumuskan.
Pembaruan hukum Islam khususnya mengenai kedudukan perempuan,
penting untuk dilakukan dalam rangka penyesuaian pemikiran pemikiran hukum
Islam dengan perkembangan kontemporer dan keindonesiaan pada berbagai bidang,
antara lain politik, hukum, ekonomi, sosial budaya dan lain-lain. Upaya ini menjadi
penting agar kemaslahatan yang menjadi tujuan hukum Islam dapat terwujud dan
menyentuh seluruh lapisan masyarakat, laki-laki maupun perempuan.
C. Pembaruan Hukum Islam Indonesia mengenai Kedudukan Perempuan
melalui Metode Integratif-Holistik dan Paradigma Teo-Antroposentris
a. Pentingnya Pendekatan Sejarah Sosial Hukum Islam
Pentingnya penafsiran kontekstual antara lain menjadi tinjauan
penting dalam pemikiran Fazlur Rahman melaui teori Gerak Gandanya. Fazlur
Rahman sangat menitikberatkan analisisnya pada pendekatan sejarah sosial dalam
mengkaji produk pemikiran hukum Islam melalui penafsiran terhadap ayat-ayat
Al-Qur’an yang harus melibatkan dimensi historis kurun waktu diturunkannya
Al-Qur’an.
Rahman menjelaskan teori Gerak Gandanya sebagai berikut: The
Process of interpretation proposed here consists of a double movement, from the
present situation to Qur’anic times, than back to the present.[13]
Menurut Rahman, unsur pokok di dalam memahami Al-Qur’an dan pesan kenabian
adalah menganalisanya sesuai dengan latar belakangnya, yakni kondisi masyarakat
Arab di mana Islam pertama kali tumbuh. Oleh karena itu, memahami kondisi
sosial, ekonomi dan institusi kesukuan Mekkah menjadi sangat penting dalam rangka
memahami apa yang diserap oleh ayat melalui konteks nabi.[14]
Rahman mencontohkan pembahasan Al-Qur’an tentang poligami. Menurut Rahman,
poligami tidak diperkenankan dalam situasi normal. Namun karena institusi ini
sudah terlanjur mengakar pada masa itu, poligami tetap diakui secara hukum.
Pesan terdalam Al-Qur’an sebenarnya tidak menganjurkan poligami. Ia justru
memerintahkan sebaliknya, monogami. Itulah ideal moral yang hendak dituju
Al-Qur’an, Al-Quran menerima ketentuan hukum untuk beristri lebih dari satu
(dua, tiga, atau empat), itu karena ketidakmungkinan menghapus praktek poligami
seketika itu juga. Hal ini mengingat praktek poligami telah dikenal jauh
sebelum Islam datang dan telah mentradisi di kalangan masyarakat Arab. Dalam
hal ini, ideal moral Al-Qur’an harus berkompromi dengan kondisi aktual
masyarakat Arab pada abad VII, ketika poligami berakar kuat di masyarakat,
sehingga secara legal tidak bisa dicabut seketika sebab justru akan
menghancurkan ideal moral itu sendiri.[15]
Jadi, semacam strategi yang harus ditempuh Al-Qur’an agar misi yang diembannnya
berjalan dengan sukses dan tidak menemui resistensi dari masyarakat ketika itu.
Jelaslah bahwa pendekatan sosio-historis tidak hanya menelusuri pada peristiwa yang
menjadi latar belakang atau sebab turunnya sebuah ayat atau diutarakannya sebuah
hadis, tetapi dalam skala yang lebih luas berusaha menelaah kondisi sosial budaya
bangsa Arab saat diturunkannya Al-Qur’an. Untuk pengembangan hukum Islam
mengenai kedudukan perempuan, sisi kajian hukum ini harus lebih banyak dieksplorasi.
b. Pentingnya perpaduan model normatif-deduktif dan empiris
induktif
Metode penggalian hukum Islam yang banyak diterapkan selama ini
lebih banyak didominasi oleh metode normatif deduktif dan kurang didekatkan dengan
realitas empiris. Akibatnya, lebih banyak diprioritaskan pada aturan-aturan formalnya
dan kurang digali ruhnya (nilai-nilai filosofis) yang hendak diwujudkan dari adanya
aturan formal tersebut. Selama ini, hukum Islam lebih banyak dikaitkan dengan masalah
norma, menyangkut persoalan halal-haram, boleh tidak dan lain-lain. Padahal, di
balik norma-norma tersebut, terdapat illat, hikmah-hikmah, tujuan-tujuan
tertentu yang ingin dicapai.
Menurut Akh. Minhaji, dalam konteks kajian persoalan gender dalam
Islam, tawaran kombinasi antara model normatif-deduktif dan empiris induktif,
merupakan satu keniscayaan, sebab perdebatan seputar perempuan dalam fikih
tidak bisa didekati secara normatif an sich tetapi harus melalui realitas. Oleh
karena itu, kajian usul fikih sudah seharusnya memberikan perhatian terhadap
metodologi kajian keagamaan yang secara tradisional berkembang di kalangan
masyarakat (normatif) sekaligus mencoba mengembangkannya dengan memperhatikan
perkembangan metodologi kajian-kajian ilmu sosial budaya pada umumnya yang
berkembang saat ini.[16]
Model pendekatan empiris historis induktif, menurut Minhaji, sangat
menekankan pada pengamatan terhadap realitas sosial yang berkembang di
tengahtengah masyarakat dilanjutkan dengan identifikasi masalah sekaligus
menawarkan alternatif solusi yang dibutuhkan.[17]
Jadi, diperlukan semacam perpaduan antara
pendekatan normatif dan historis, perkembangan realitas harus juga
diikutsertakan dalam menelaah nas-nas syar’i.
Gagasan tersebut tampaknya senada dengan model metode dan pendekatan
yang diusulkan Qodry Azizy melalui gagasan al-ijtihad al-‘Ilmi al-as}ri atau
modern scientific ijtihad, yakni pengembangan pendekatan induktif atau metode
ilmiah modern, namun harus tetap dengan landasan utama wahyu atau nas. Jadi, ketersambungan
sejarah pemikiran tetap dilaksanakan. Demikian pula primary sources dan
komparasi antar pendapat dari klasik sampai modern juga tetap dilakukan. Jadi, tidak
terjadi lompatan analisis atau tidak memerhatikan atau memerhitungkan pendapat
atau analisis yang sudah ada, namun tidak juga menjadikan hasil pemikiran ulama
klasik sebagai dogma agama.[18]
Penjabaran metode integratif-holistik menurut kajian ini adalah
pengintegrasian antara analisis teks dan konteksnya dengan analisis realitas
kekinian dalam bingkai maqasid al-syari’ah serta keterkaitannya dengan
prinsip-prinsip atau ajaran-ajaran Islam yang lain yakni tauhid dan akhlaq
al-karimah. Cara kerjanya diawali dengan analisis teks. Analisis teks meliputi
analisis makna lafaz, ayat dan tema dirangkai dengan analisis historis yang
terdiri dari asbab al-nuzul atau asbab al-wurud serta kondisi sosial bangsa
Arab saat diturunkannya Al-Qur’an. Analisis teks, menurut Cik Hasan Bisri,
idealnya menggunakan pendekatan teologis, filosofis, yuridis dan logis.
Sedangkan analisis konteks melalui pendekatan historis, antropologis dan
soslogis.19
Setelah analisis teks dan konteksnya, dilanjutkan dengan analisis
realitas baik yang bersifat lokalitas maupun globalitas. Pada level ini,
komponen-komponen yang perlu menjadi perhatian adalah perkembangan kontemporer
atau dunia global saat ini, baik di bidang sosial politik, ekonomi, hukum
maupun isu-isu lokal, nasional dan internasional. Selanjutnya adalah konteks
keindonesiaan, baik dari sisi perkembangan sosial, budaya maupun hukum. Pada
level ini dibutuhkan pendekatan ilmu-ilmu modern seperti sosiologi/antropologi,
filsafat, hukum, psikologi dan lain-lain.
Langkah berikutnya adalah hasil yang diperoleh dari analisis teks
selanjutnya
diintegrasikan dengan analisis realitas untuk merangkai sebuah
kesimpulan hukum. Hal yang terpenting dari proses ini adalah pelaksanaan dari
tahapan-tahapan tersebut harus dalam bingkai kemaslahatan atau maqasid al-syari’ah.
Unsur ini harus selalu menjadi patokan pokok dalam setiap perumusan pemikiran
hukum Islam. Inilah makna dari kata “holistik” dalam metode ini. Jadi, baik
pada tahapan analisis teks maupun pada analisis realitas, hingga pada tahap
penarikan kesimpulan, harus di dalam kerangka pencapaian cita-cita utama hukum
Islam yaitu terwujudnya kemaslahatan umat di dunia maupun di akhirat. Dari sisi
penerapan hukum, holistik dimaknai dengan keterpaduan dari ketiga sub sistem
hukum sebagaimana digagas Lawrence M. Friedman yang meliputi struktur,
substansi, serta kultur (budaya) hukum masyarakat.
Melalui prinsip ini, maka setiap produk pemikiran hukum Islam
(fikih, fatwa, undang-undang dan yurisprudensi) yang dihasilkan harus
disesuaikan dengan terpeliharanya kelima unsur tersebut. Bahkan, hal-hal yang
dikhawatirkan akan menimbulkan kemafsadatan atau menghalangi pada tercapainya
kemaslahatan harus dicegah. Prinsip-prinsip yang cenderung diskriminatif
seperti menghalangi anak perempuan untuk menempuh pendidikan, aturan-aturan
yang dikhawatirkan bisa memicu penganiayaan secara fisik terhadap istri (kdrt)
dan lain-lain harus dihindarkan.
Cara kerja dari metode integratif-holistik sebagaimana telah digambarkan
di atas dapat diterapkan dalam pembaruan hukum Islam Indonesia mengenai
kedudukan perempuan. Beberapa pemikiran hukum Islam mengenai poligami, nusyuz/kdrt,
domestikasi perempuan, ijbar dan lain-lain yang selama ini dipahami secara bias
sehingga cenderung merugikan perempuan, dapat dilakukan telaah ulang
berdasarkan metode di atas dalam rangka melahirkan pemikiran-pemikiran tentang
hukum Islam yang sesuai dengan semangat atau prinsip-prinsip tujuan hukum Islam,
yakni terwujudnya kemaslahatan bagi umat laki-laki maupun perempuan.
Berangkat dari pembahasan-pembahasan di atas, bisa ditarik benang
merah yang menghubungkan semua pembahasan yang ada, bahwa kaitannya dengan epistemologi
pembaruan hukum Islam Indonesia, khususnya mengenai kedudukan perempuan,
idealnya digunakan paradigma Teo-Antroposentris.
Paradigma Teo-Antroposentris yang merupakan gabungan dari
Teosentris dan Antroposentris. Hal ini didasarkan pada posisi hukum Islam yang
meliputi dimensi Ilahiah dan dimensi insaniah. Bahwasanya hukum Islam bersumber
dari Allah swt. sehingga harus selalu didasarkan pada sumber utamanya yakni
Al-Qur’an dan kemudian sunah. Namun, di lain sisi, hukum Islam dibuat untuk
kemaslahatan manusia, untuk diterapkan di alam manusia, sehingga
pemikiran-pemikiran yang bersentuhan dengan pelaksanaannya harus
mempertimbangkan realitas yang melingkupi kehidupan manusia, terutama yang
berkaitan dengan bidang hukum muamalah, yakni terkait dengan interaksi antar
manusia. Kedua sisi tersebut, Ilahiah dan insaniah, harus selalu digandengkan
dalam setiap pengkajian hukum Islam khususnya mengenai pembaruan atau penerapan
hukum Islam. Inilah yang mendasari penggunaan paradigma Teo-Antroposentris
tersebut.
Berdasar pada pemikiran-pemikiran yang telah dikemukakan di atas,
terkait konsep metodologis yang telah ditawarkan kajian ini, epistemologi
pembaruan hukum Islam Indonesia khususnya mengenai kedudukan perempuan harus
memerhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. Nas sebagai landasan utama
Kategorisasi nas yang meliputi konsep qat}’i> dan z}anni>,
yang selama ini menjadi perdebatan dalam setiap pembahasan mengenai pembaruan
hukum Islam, hal tersebut tetap harus menjadi perhatian penting. Nas yang sudah
qat}’i> harus dipahami apa adanya, terutama yang terkait dengan masalah
ibadah atau prinsipprinsip akidah. Namun yang terkait dengan masalah muamalah,
khususnya dalam hal penerapannya, dapat saja disesuaikan dengan kasus-kasus
yang terjadi melalui pertimbangan kemaslahatan. Misalnya dalam masalah
kewarisan antara anak laki-laki dan perempuan. Meskipun nas menyatakan pola
pembagian 2 banding 1, namun untuk penerapannya bisa saja ditempuh sistem
pembagian secara damai atau melalui pola pembagian yang lain jika dianggap
lebih mewujudkan keadilan.
2. Memosisikan pemikiran-pemikiran ulama klasik
Pemikiran-pemikiran tentang perempuan yang terdapat dalam
karya-karya fukaha sebelumnya (fikih global) harus tetap menjadi referensi
penting bagi upayaupaya pengembangan pemikiran hukum tentang perempuan saat
ini, khususnya di Indonesia. Pemikiran ini relevan dengan pandangan Yusuf
al-Qardawi yang dikenal dengan ijtihad tarji>hi> intiqa>’i dan ijtihad
insya>’i,[19]
bahwa pemikiran-pemikiran ulama terdahulu bisa diseleksi untuk dipilih yang
paling sesuai dengan kondisi kekinian.
Namun pemikiran-pemikiran tersebut harus dikaji secara kritis,
pemikiran pemikiran yang masih relevan harus tetap diambil atau
dipertimbangkan. Sedangkan pemikiranpemikiran yang dianggap sudah tidak relevan
untuk diterapkan pada masa sekarang, tidak ada salahnya juga ditinggalkan untuk
memilih atau merumuskan sebuah pemikiran baru yang lebih sesuai dengan kondisi
kontemporer.
3. Pertimbangan kultur dan perkembangan kontemporer
Pada proses ini, aspek dasar yang harus menjadi pertimbangan selain
nas adalah
kultur keindonesiaan dan perkembangan kontemporer. Ketiga aspek
inilah yang harus dijadikan dasar sekaligus pertimbangan dalam pembaruan hukum
Islam Indonesia mengenai kedudukan perempuan. Demikian pula penggunaan
ilmu-ilmu umum seperti sosiologi, psikologi, antropologi, sejarah dan lain-lain
bisa saja dilibatkan dalam upaya pengkajian, mengingat secara hakiki semua ilmu
bersumber dari Allah swt.
4. Pendekatan sistem hukum
Setelah melewati prosesi tersebut, hal penting lainnya adalah
upaya-upaya legislasi. Perumusan pemikiran belaka tidaklah cukup, tak kalah
pentingnya pula
adalah upaya-upaya transformatif agar hukum tersebut memiliki
kekuatan mengikat bagi masyarakat. Untuk tujuan ini, upaya legislasi harus
menjadi agenda berikutnya. Pengkajian hukum Islam di Indonesia harus
berorientasi pada hukum nasional, sejauhmana hukum Islam mampu mengisi hukum
nasional. Upaya terpenting dalam hal ini adalah upaya-upaya formulatif yang
bisa diadaptasikan dengan sistem pembentukan hukum nasional sebagaimana
tercakup dalam teori eksistensi. Hukum Islam harus sebanyak mungkin mewarnai
hukum nasional Indonesia baik sebagai hukum yang mandiri maupun sebagai bahan
baku dan penyaring hukum nasional. Untuk tujuan tersebut, hukum Islam harus
lebih banyak digali dari sisi filosofisnya. Seperti diketahui, nilai-nilai
hukum Islam, prinsip-prinsip hukum Islam
bahkan tujuan hukum Islam mencakup nilai-nilai universal seperti
keadilan, persamaan dan HAM. Dengan demikian, sangat terbuka peluang untuk
mengakomodir hukum Islam tidak hanya dalam hukum nasional tapi juga hukum
internasional. Isu-isu kontemporer seperti pluralitas, demokrasi, kesetaraan
gender dan HAM, telah dibahasakan Al-Qur’an dan sunah nabi sejak beberapa abad
yang lalu. Hanya saja, dibutuhkan pengemasan secara modern dan tidak harus
dicantumkan dalam label, tetapi yang terpenting adalah upaya-upaya penyerapan
nilai-nilai hukum Islam sebanyak-banyaknya dalam produk-produk hukum
kontemporer yang akan diberlakukan secara nasional maupun internasional. Pada
proses ini dibutuhkan kerja keras dan kebersamaan pihak-pihak yang berkompeten.
Unsur-unsur terkait seperti para akademisi, ulama, hakim dan pemerintah harus
melakukan pengkajian secara serius dan yang terpenting adalah upaya menyatukan
persepsi masing-masing. Di sinilah pentingnya ditempuh ijtihad jama>’i
(kolektif) yang melibatkan semua pihak yang berkompeten agar hasilnya bisa dipertanggungjawabkan
secara bersama-sama.
Berdasarkan uraian-uraian di atas, jelaslah bahwa pembaruan hukum
Islam Indonesia, khususnya mengenai kedudukan perempuan, melalui
tahapan-tahapan
reposisi, kontekstualisasi, reaktualisasi, reinterpretasi dan
reformulasi. Selain upaya yang bersifat formal, tak kalah pentingnya adalah upaya-upaya
kultural. Intinya adalah membangun pola pikir dan membentuk kesadaran
masyarakat secara luas agar menaati hukum-hukum yang ada dan di lain sisi
pembenahan integritas aparatur penegak hukum. Hal ini terkait dengan teori
sisitem hukum yang meliputi struktur, substansi dan budaya hukum masyarakat
sebagaimana digagas Lawrence M. Friedman. Ini pulalah yang menjadi bagian
cakupan makna “holistik” dari konsep integratif-holistik yang dibahasakan dalam
makalah ini.
Paradigma Teo-Antroposentris dan metode integratif-holistik di
sangat tepat untuk dijadikan kerangka dalam kegiatan pembaruan fikih perempuan
Indonesia. Paradigma dan pendekatan ini sekaligus bisa menjadi pengurai
ketegangan antara dua kutub ekstrim selama ini yakni kaum literal dan kaum liberal.
Kaum literal identik dengan corak Timur Tengah, sedangkan kaum liberal sering
diasosiasikan dengan dunia Barat. Jika kaum literal cenderung harfiah dalam
memaknai nas, kaum liberal cenderung mengabaikan nas. Seperti telah diuraikan
sebelumnya, upaya-upaya pengembangan hukum Islam harus selalu mengacu kepada
nas namun di lain sisi harus juga memertimbangkan kondisi-kondisi sosial yang
mengitarinya saat hukum tersebut akan diterapkan karena hukum pada dasarnya
untuk mengatur kehidupan masyarakat.
D. Agenda Pengembangan
Untuk pengembangan ke depan, terdapat ide-ide tertentu khususnya
dalam KHI yang perlu dipikirkan ulang, di antaranya adalah:
1. Reposis wali nikah
Wali nikah dalam KHI mengadopsi pendapat Jumhur, khususnya
Syafi’iah. Dalam KHI, wali nikah ditegaskan sebagai salah satu rukun pernikahan
dan syaratnya harus laki-laki. Pihak-pihak yang berhak menjadi wali nikah
ditegaskan KHI harus dari kelompok kerabat garis laki-laki, yakni ayah, kakek
dari ayah, saudara laki-laki kandung, saudara laki-laki seayah dan keturunan
laki-laki mereka, saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan
laki-laki mereka, saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah
kakek dan keturunan laki-laki mereka (Pasal 21).
Penetapan wali nikah tersebut oleh Jumhur didasarkan atas ijtihad
karena dalam Al-Qur’an tidak disebutkan siapa-siapa yang berhak menjadi wali
dan juga tidak ada petunjuk dari hadis Nabi saw. Makanya masalah wali menjadi
perdebatan di kalangan fukaha. Menurut Hanafiah, seluruh kerabat nasab, baik
sebagai asabah maupun zawil arha>m berhak menjadi wali. Jadi, tidak mesti
dari garis laki-laki sebagaimana pendapat Jumhur. Bahkan, Hanafiah memposisikan
wali hanya sebagai syarat, bukan rukun.
Telaah mendalam terhadap nas mengenai wali, tampaknya yang bisa disimpulkan
bahwa baik ayat-ayat Al-Qur’an maupun sunnah nabi memiliki semangat untuk
membatasi otoritas wali yang secara sosiologis saat itu dalam budaya Arab memiliki
otoritas penuh. Secara kutural, untuk konteks Indonesia, institusi wali tidak
bisa dihapuskan begitu saja, setidaknya untuk saat ini, mengingat kultur
ketimuran yang memandang pernikahan sebagai sebuah peristiwa penting sehingga
harus melibatkan keluarga. Hal ini juga sebagai upaya antisipasi kalau pernikahan
tersebut menemui masalah di kemudian hari, pihak keluarga otomatis akan ikut
membantu mengupayakan jalan keluar. Di samping itu, kemajemukan masyarakat
Indonesia termasuk kondisi kaum perempuannya yang cenderung beragam. Pada
lingkungan masyarakat tertentu khususnya di kota metropolitan, mungkin
keberdaan wali sudah tidak dibutuhkan, tapi masyarakat di tempat lain seperti
di pelosok pedesaan justru masih membutuhkannya.
Namun yang harus ditegaskan, keberadaan wali tidak boleh mereduksi
hak otonom pihak perempuan untuk menentukan pendapatnya terhadap pernikahan
yang akan dijalaninya. Wali tepatnya diposisikan sebagai “wakil” dari pihak
keluarga dan sama sekali tidak memiliki kewenangan untuk memaksa seorang anak
perempuan menikah dengan laki-laki yang tidak disukainya. Wali hanya
diperkenankan memberikan saran atau masukan, terutama menyangkut calon suami,
tetapi tidak boleh memaksakan pendapatnya. Keputusan akhir harus tetap
diserahkan kepada si anak perempuan.
Sedangkan menyangkut siapa-siapa yang berhak menjadi wali, mengingat
tidak ada dalil qat}’i> mengenai hal tersebut, hendaknya lebih ditekankan
pada pihak pihak kerabat yang dianggap bisa menjalankan fungsi perwalian
tersebut. Dalam hal ini, wali harus dimaknai sebagai sebuah fungsi, bukan
sekedar simbol. Jadi harus diangkat dari kerabat dekat yang dinilai mampu
melaksanakan fungsi tersebut. Untuk efektifnya, hendaknya dilakukan semacam
musyawarah keluarga atau diserahkan langsung kepada anak perempuan untuk
memutuskan siapa yang akan menjadi walinya. Merujuk pada hasil penelitian
Hazairin bahwa sistem kekeluargaan yang dikehendaki Al-Qur’an,adalah sistem
bilateral, sudah sepantasnya dilakukan kajian mendalam mengenai
kemungkinan melibatkan pihak kerabat dari garis ibu sebagai wali.
Jika dalam hukum
kewarisan KHI telah menerapkan asas bilateral, seharusnya demikian
halnya dalam
hukum perkawinan.
2. Pola Relasi Suami Istri
Selama ini, Pasal 79 yang menegaskan suami adalah kepala keluarga
dan istri
ibu rumah tangga, telah menjadi sasaran kritikan dari berbagai
pihak, khususnya
pemerhati masalah perempuan karena dinilai membakukan pembagian
peran antara
laki-laki dan perempuan dengan mengukuhkan peran istri pada sektor
domestik
kerumahtanggaan.
Terkait dengan perdebatan mengenai kepemimpinan dalam keluarga,
untuk
menghindari ketegangan-ketegangan tertentu, istilah pemimpin itu
sendiri hendaknya
diarahkan pada pemaknaan yang tidak hirarkhial seperti “penguasa”
yang cenderung
dominatif agar tidak mereduksi ide kesetaraan yang dicanangkan.
Istilah pemimpin
tepatnya dimaknai sebagai “penanggung jawab”. Dalam hal ini, suami
merupakan
penanggung jawab dalam keluarga khususnya menyangkut nafkah karena
di lain sisi
istri harus menjalankan fungsi reproduksi. Namun jika pasal
tersebut dianggap cukup
mengganjal secara psikologis, tidak ada salahnya dihilangkan.
Selanjutnya Pasal 80 berbunyi:
(1) Suami adalah pembimbing terhadap istri dan rumah tangganya,
akan tetapi
mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting
diputuskan oleh
suami istri bersama
(2) Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu
keperluan hidup
berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
(3) Suami wajib memberi pendidikan agama kepada istrinya dan
memberi kesempatan
belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama dan
bangsa.22
Ide dalam pasal ini mencerminkan suasana ketika akses bagi
perempuan untuk
memperoleh pendidikan masih terbatas, tapi untuk saat sekarang
sudah tidak relevan
lagi. Rasanya yang lebih tepat adalah suami istri harusnya selalu
saling membimbing
dan mengingatkan dalam berbagai hal, termasuk dalam urusan rumah
tangga
hendaknya selalu dimusyawarahkan dan diputuskan bersama. Saling
membimbing
maksudnya adalah boleh jadi dalam suatu masalah suami yang lebih
paham karena
terkait dengan bidang keilmuannya, namun tidak menutup kemungkinan
pada bidang
yang lainnya istri lebih mengetahui karena sesuai dengan ilmu dan
profesi yang
ditekuninya selama ini. Yang terpenting adalah semuanya harus
berlangsung dalam
suasana saling menghormati dan menghargai di atara suami istri.
22Lihat KHI Pasal 80
538
Demikian halnya pernyataan “suami harus melindungi istrinya” (pasal
80), ada
baiknya kalau digunakan istilah “suami istri harus saling
melindungi” dan ini tidak
hanya diarahkan pada perlindungan fisik tapi tak kalah pentingnya
adalah psikis, oleh
karena pernikahan tidak hanya terkait dengan masalah fisik tapi
juga banyak terkait
dengan masalah-masalah psikis. Keharusan menjaga perasaan cinta
kasih, menjaga
kehormatan pasangan, saling menghargai, menjaga perasaan
masing-masing pihak,
menyembunyikan aib pasangan, saling amanah dan saling support
merupakan pilarpilar
penting yang menopang tegaknya sebuah rumah tangga. Jika dibatasi
pada
perlindungan fisik rasanya sudah tidak relevan lagi karena
realitasnya sekarang banyak
suami istri yang terpaksa hidup berjauhan, antara lain karena
tuntutan profesi atau
menempuh pendidikan. Kondisi keamanan juga sudah berbeda dengan
masa-masa
sebelumnya. Saat ini banyak perempuan (istri) yang harus
melaksanakan perjalanan
jauh, misalnya keluar negeri, karena urusan pekerjaan tanpa
didampingi suaminya.
Saling melindungi juga lebih sesuai dengan ayat Al-Qur’an Surat
Al-Baqarah/2: 187:
mereka adalah pakaian bagimu dan kamu adalah pakaian bagi mereka.
Suami isteri harus saling melindungi hendaknya juga dimaknai bahwa
suami
tidak boleh melakukan tindakan kekerasan terhadap istri, demikian
pula sebaliknya.
Sedangkan Pasal 83 menyatakan:
(1) Kewajiban utama bagi seorang istri adalah berbakti lahir dan
batin kepada suami
di dalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum Islam
(2) Istri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga
sehari-hari dengan
sebaik-baiknya23
Kemudian dilanjutkan pada pasal 84:
(1) Istri dapat dianggap nusyu>z jika ia tidak mau melaksanakan
kewajiban-kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (1) kecuali dengan alasan
yang sah.24
Penegasan “istri wajib berbakti lahir batin” di samping bersifat
multitafsir juga
berpotensi melahirkan KDRT.25 Suami bisa saja menerjemahkan istilah
ini menurut
perspektifnya termasuk merumuskan sendiri kategori nusyu>z
tersebut. Lagipula,
seolah-olah yang dibebankan atau diancam nusyu>z hanya pihak
istri, padahal
realitasnya cukup banyak suami yang lalai dari tanggung jawabnya.
Demikian halnya, pernyataan “istri menyelenggarakan dan mengatur
keperluan
rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya” seolah-olah mematok
urusan
domestik kerumahtanggaan hanya dibebankan kepada istri. Idealnya,
masalah urusan
kerumahtanggan diserahkan kepada masing-masing keluarga untuk
disesuaikan dengan
kondisi keluarga yang bersangkutan karena masing-masing keluarga
tidak memiliki
23Lihat KHI Pasal 83
24Ibid . Pasal 84
25Seorang korban KDRT yang telah bercerai dari suaminya menuturkan
kepada penulis, dia sering
disiksa oleh suaminya karena dianggap tidak berbakti, durhaka
kepada suami. Sementara standar
“berbakti” yang dipakai suaminya sangat ketat, misalnya harus
didampingi dan ditunggui sampai selesai
makan. Ia bahkan harus memisahkan daging ikan dari tulangnya untuk
sang suami. Wawancara dengan
ABN (Korban KDRT) pada Tgl 13 April di Warong Pojok Arratiga
Watampone.
539
kondisi yang sama. Saat sekarang ini, struktur keluarga sudah
mengalami
perkembangan pesat. Terkadang sebuah keluarga justru istri yang
disibukkan dengan
urusan mencari nafkah di luar rumah dan suami yang lebih banyak
berada di rumah
entah karena suami tidak bekerja atau terkadang juga suami istri
sama-sama bekerja
tapi istri yang lebih banyak tersita waktunya di luar rumah
dibanding suaminya. Jika
demikian keadaannya, rasanya tidak adil jika si istri harus
dibebani sepenuhnya
pelaksanaan urusan rumah tangga. Bahkan, banyak kasus KDRT yang
disebabkan
suami merasa istri tidak becus mengurus rumah tangga karena istri
disibukkan
pekerjaan mencari nafkah, sementara suami hanya tinggal menganggur
di rumah.
Kesimpulannya, KHI seharusnya lebih mengakomodir realitas yang
berkembang dalam masyarakat Indonesia, khususnya mengenai aktivitas
kaum
perempuan yang kini telah banyak merambah dunia kerja di area
publik. Di samping
itu, KHI juga harus disesuaikan dengan perkembangan legislasi
nasional seperti
Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga, Undang-Undang Republik Indonesia No.
23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-undang Republik Indonesia
No. 20 tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Khusus yang terkait dengan
PKDRT, ideide
tersebut harusnya diakomodir dalam KHI karena hal tersebut sangat
urgen dan
mempengaruhi tercapainya tujuan perkawinan. Dalam KHI harus
ditegaskan
pelarangan hal-hal yang mengarah pada KDRT dan unsur KDRT bisa
ditambahkan
pada poin-poin alasan yang membolehkan pengajuan perceraian oleh
istri.
3. Pembatasan nikah di bawah umur
Pengaturan nikah di bawah umur harus lebih diperketat lagi.
Misalnya dengan
menambah batas usia dari 16 tahun menjadi 20 tahun, mengingat pada
usia itulah
terbentuk kematangan biologis, psikologis, sosiologis dan ekonomis.
KHI juga perlu
memertimbangkan mekanisme pemberian peringatan bagi orang tua yang
menikahkan
anaknya pada usia belum matang mengingat dampak yang akan
ditimbulkannya yang
bisa saja akan berdampak secara luas di masyarakat.
4. Poligami
Mengenai poligami, aturannya harus lebih dipertegas juga.
Syarat-syaratsyaratnya
harus lebih diperketat. Alasan ketidakmampuan istri melahirkan
keturunan
harus melampirkan hasil pemeriksaan medis suami istri dari dokter
karena boleh jadi
ketidakmampuan justru datang dari pihak suami. Selanjutnya soal
izin tidak cukup
hanya dari istri tapi harus juga mendengarkan aspirasi anak-anak,
khususnya anak-anak
yang sudah dewasa, mengingat keberadaan mereka juga terkait erat.
Pada kasus-kasus
poligami yang tidak bertanggung jawab, bukan hanya istri yang
dikorbankan tapi juga
anak-anak. Bahkan, dampak bagi anak-anak akan lebih besar karena
akan memengaruhi
perkembangan jiwanya. Di samping itu, keterlibatan aparatur yang
berwenang, dalam
hal ini Pengadilan Agama, tidak hanya pada proses pemberian izin,
tapi harus ada
semacam pengawasan setelah pelaksanaannya.
Hal penting lain yang perlu dipikirkan adalah upaya antisipatif
terhadap
pemalsuan identitas. Selama ini pihak KUA dalam memproses sebuah
perkawinan
hanya berpatokan pada syarat administratif sehingga membuka peluang
terjadinya
540
kasus-kasus penyelundupan hukum di KUA. Sanksinya juga terlalu
kecil sehingga
orang gampang melanggar.
Demikian pula seharusnya pada produk-produk pemikiran hukum Islam
Indonesia yang lain yaitu fikih, fatwa dan yurisprudensi. Di
samping harus didasarkan
pada nas, produk-produk tersebut harus disesuaikan dengan
perkembangan sosial
masyarakat Indonesia dan perkembangan kontemporer, termasuk
perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Tak kalah pula pentingnya adalah
kesesuaiannya dengan
aturan-aturan lainnya yang berlaku secara nasional maupun
internasional, maupun
wacana-wacana internasional seperti isu-isu HAM dan demokratisasi,
agar hukum
Islam bisa selalu mengambil bagian dalam perkembangan masyarakat
dan senantiasa
menyertai kehidupan umat Islam di segala zaman dan tempat.
E. PENUTUP
Pembaruan hukum Islam, khususnya mengenai kedudukan perempuan,
penting
untuk dilakukan karena adanya perkembangan kontemporer yang
menghadirkan
kondisi-kondisi yang berbeda dari masa-masa sebelumnya. Untuk
konteks Indonesia,
pembaruan hukum Islam khususnya mengenai kedudukan perempuan, di
samping
karena adanya perkembangan kontemporer, juga dalam rangka
penyesuaian pemikiran
hukum Islam dengan kultur masyarakat Indonesia yang memiliki
kekhasan tersendiri
dan berbeda dengan kondisi wilayah-wilayah muslim lainnya seperti
Timur Tengah,
tempat fikih global dirumuskan. Jadi, pembaruan pemikiran hukum
Islam, khususnya
mengenai kedudukan perempuan, diadakan dalam rangka penyesuaian
pemikiranpemikiran
hukum Islam dengan perkembangan kontemporer dan keindonesiaan pada
berbagai bidang, antara lain politik, hukum, ekonomi, sosial budaya
dan lain-lain.
Pembaruan hukum Islam Indonesia, khususnya mengenai kedudukan
perempuan, idealnya melalui metode integratif-holistik dengan
paradigma Teo-
Antroposentris. Metode integratif-holistik adalah pengintegrasian
analisis teks dan
analisis realitas dalam kerangka maqa>sid al-syari>’ah serta
keterkaitannya dengan
prinsip-prinsip atau ajaran-ajaran Islam yang lain seperti dimensi
tauhid dan akhlak.
Sedangkan paradigma Teo-Antroposentris didasarkan atas keberadaan
hukum Islam
yang meliputi dimensi Ilahiah dan insaniah, yakni aturan-aturan
yang bersumber atau
berdasar pada wahyu yang ditegakkan untuk kepentingan manusia
sehingga menuntut
pula keterlibatan pemikiran dalam proses-proses perumusan dan
penerapannya.
Rekomendasi Khusus Penelitian
Adapun rekomendasi khusus dalam penelitian ini adalah:
1. Syariah hendaknya dikembalikan pada defenisi awal yang meliputi
keseluruhan
dari ajaran Islam, baik yang bersifat praktis amaliah, maupun yang
terkait dengan
akidah (ketauhidan) dan akhla>q al-karimah, demi menghindari
parsialisasi yang
menjadikan hukum Islam kering dari nilai-nilai spiritual. Ketiga
pilar tersebut
merupakan pilar pokok yang menjadikan Islam sebagai pedoman hidup
yang
lengkap.
541
2. Pengembangan maqa>sid al-syari>’ah, khususnya poin hifz}
al-nasl (memelihara
keturunan) diperluas cakupannya menjadi hifz} al-ahl (memelihara
keluarga),
dengan dasar bahwa memelihara keluarga sudah mencakup memelihara
keturunan
dan secara normatif ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an sebagian
besarnya
menyangkut hukum keluarga. Hal ini menjadi indikasi pentingnya
masalah
pengaturan hidup berkeluarga menurut Al-Qur’an dan pentingnya
posisi keluarga
sebagai penyangga utama kehidupan masyarakat. Penegasan ini
diharapkan dapat
berimplikasi pada penguatan basis pembinaan keluarga, sehingga
sekaligus dapat
mengurai persoalan-persoalan kemasyarakatan saat ini seperti KDRT,
terorisme,
narkoba, tawuran pelajar/mahasiswa dan lain-lain. Wallahu A’lam.
DAFTAR PUSTAKA
Ainurrofiq. “Menawarkan Epistemologi Jama’i sebagai Epistemologi
Usul Fikih:
Sebuah Tinjauan Filosofis” dalam Ainurrofiq, ed., Madzhab Jogja:
Menggagas
Paradigma Usul Fikih Kontemporer. Cet. I; Jogjakarta: Ar-Ruzz
Press, 2002.
Anderson, Norman. Law Reform in The Muslim World. London: The
Athlone Press,
1976.
Athiyah, Jamaluddin. “Pembaruan Fikih yang Ideal” dalam
Fathurrahman Yahya dan
Sayed Mahdi. ed., Tajdi>d al-Fiqh al-Isla>mi. terj. Ahmad
Mulyadi. Kontroversi
Pembaruan Fikih .Cet. IV; t.t : Erlangga, 2011.
Azizy, Qodri. Pengembangan Ilmu-ilmu Keislaman. Cet. I; Jakarta:
Direktorat
Perguruan Tinggi Agama Islam Departemen Agama, 2003.
--------._Reformasi Bermazhab: Sebuah Ikhtiar Menuju Ijtihad
Saintifik Modern. Cet.
II; Jakarta: Teraju, 2003.
al-Bantany, Syaikh Muhammad bin Umar al-Nawawi. Uqu>d al-Lujjai>n
: Kalung perak
Kebahagiaan Rumah Tangga. terj. M. Humaidy, Cet. I; Jakarta:
Wangsamerta,
2005.
Bisri, Cik Hasan. Model Penelitian Fikih : Paradigma Penelitian
Fikih dan Fikih
Penelitian. Ed. I; Cet. I, Bogor: Kencana, 2003.
Halim, Abdul. “Ijtihad Kontemporer: Kajian Terhadap Beberapa Aspek
Hukum
Keluarga Islam Indonesia” dalam Mazhab Jogja: Menggagas Paradigma
Usul
Fikih Kontemporer. Cet. I; Jogjakarta: Al-Ruzz Press, 2002.
Hallaq, Wael B. A History of Islamic Legal Theories : an
Introduction to Sunni Us}ul
al-Fiqh. Cet. I; Cambridge: University Press, 1997.
al-Jauziyah, Ibnu Qayyim. I’la>m al-Muwaqqi’i>n ‘an Rabb
al-‘A>lami>n, Juz III; Cet. II;
Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993M-1414H.
Rahman, Fazlur. Islam : Second Edition. Chicago: University of
Chicago Press, 1979.
542
-------. Islam and Modernity : Transformation of an Intellectual
Tradition. London: The
University of Chicago, 1982.
al-Syat}ibi. Al-Muwa>faqa>t fi> Us}u>l al-Syari>’ah.
Jilid I, Juz II, Beirut: al-Maktabah al-
'As}riyyah, 1423 H-2003 M.
Al-Jaziri, ‘Abd a-Rahman, Kita>b al-Fiqh ‘ala> al-Maza>hib
al-Arba’ah. Juz IV (Kita>b al-
Nika>h wa al-T}ala>q), Cetakan Baru, Beirut: Da>r al-Kutub
al-‘Ilmiyah, t.th.
Kasim, Ifdhal (Edit.). Islam and Justice, terj. Nug Katjasungkana,
Hak atas Keadilan
dalam Wacana Islam. Cet. I; Jakarta: Elsam, 1998.
Manan, Abdul. Reformasi Hukum Islam di Indonesia: Tinjauan dari
Aspek
Metodologis, Legalisasi dan Yurisprudensi. Ed. I; Cet. II, Jakarta:
PT. Raja
Grafindo Persada, 2007.
Mas’udi, Masdar F. Islam dan Hak-Hak Reproduksi Perempuan: Dialog
Fikih
Pemberdayaan. Cet. II; Bandung: Mizan, 1997.
Minhaji, Akh. “Persoalan Gender dalam Perspektif Metodologi Studi
Hukum Islam“
dalam Ema Marhumah dan Latiful Khuluq, eds., Rekonstruksi
Metodologis
Wacana Kesetaraan Gender dalam Islam. Cet. I; Yogyakarta: PSW IAIN
Sunan
Kalijaga dan Pustaka Pelajar, 2002.
-------. "Reorientasi Kajian Usul Fiqh" dalam Amin
Abdullah, dkk, Restrukturisasi
Metodologi Islamic Studies Mazhab Yogyakarta. Cet. I; Yogyakarta:
SUKA
Press, 2007.
Muhammad, K.H. Husein. Fikih Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana
Agama dan
Gender. Cet. I; Yogyakarta: Lkis, 2001.
Mulia, Siti Musdah. Muslimah Reformis: Perempuan Pembaru Keagamaan.
Cet. I;
Bandung: Mizan, 2005.
Mz, Shofiyullah. "Us}ul Fikih Integratif-Humanis: Sebuah
Rekonstruksi Metodologis"
dalam Amin Abdullah, dkk, Islamic Studies dalam Paradigma
Integrasi-
Interkoneksi (Sebuah Antologi). Cet. I; Yogyakarta: SUKA Press,
2007.
Qardawi, Yusuf. Al-Ijtiha>d al-Mu'a>s}ir Baina
al-Ind}iba>t wa al-Infira>t. Da>r al-Tauzi' wa
al-Nasyr al-Isla>miyyah, 1414 H/ 1994.
Rofiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia. Ed. I; Cet. VI; Jakarta:
PT. Raja Grafindo
Persada, 2003.
-------. Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia. Cet. I; Yogyakarta:
Gama Media,
2001.
Rusli, Nasrun. Konsep Ijtihad Al-Syaukani : Relevansinya bagi
Pembaruan Hukum
Islam di Indonesia. Cet. I; Jakarta: Logos, 1999.
Al-Syafi’i. al-Ima>m Abi> ‘abd Alla>h Muh}ammad bin
Idri>s. Al-Umm, Juz V, Cet. I;
Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1413 H/1993 M.
Syarifuddin, Amir. Pembaruan Pemikiran dalam Hukum Islam. Padang:
Angkasa Raya,
1999.
543
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Ed.
III; Cet. IV;
Jakarta: Balai Pustaka, 2007.
Umar, Nasaruddin. “Metode Penelitian Berperspektif Gender tentang Literatur
Islam”
dalam Ema Marhumah dan Latiful Khuluq, ed., Rekonstruksi
Metodologis
Wacana Kesetaraan Gender dalam Islam. Cet. I; Yogyakarta: PSW IAIN
Sunan
Kalijaga dan Pustaka Pelajar, 2002.
Wajidi, Farid. ed. Knowing Our Rights: Women, Family, Laws and
Costums in The
Muslim World, terj. Suzanna Eddyono, Mengenali Hak Kita: Perempuan,
Keluarga, Hukum dan adat di Dunia Islam. Cet. I; Yogyakarta: LKiS
Perempuan, 2007.
Yanggo, Huzaemah Tahido. Fikih Perempuan Kontemporer. Cet. I;
Jakarta: Ghalia
Indonesia, 2010.
al-Zuhaily, Wahbah. al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuh. Juz
VII. Cet. XXXI; Damsyik: Dar
al-Fikr, 1430 H/2009 M.
[1]Muhammad
bin Umar al-Nawawi al-Bantany, Uqud al-Lujjain : Kalung perak Kebahagiaan Rumah
Tangga,terj. M. Humaidy (Cet. I; Jakarta: Wangsamerta, 2005). 524
[2] 2 Lihat Nursyahbani Katjasungkana,
“Kebijakan Pemerintah tentang Perempuan Hamil di Luar Nikah, Nikah di Bawah
Tangan, Pelecehan Seksual dan Korban Kekerasan” dalam Atho Mudzhar, Wanita
dalam Masyarakat Indonesia: Akses, Pemberdayaan dan Kesempatan (Cet. I;
Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2001), h. 126.
[3] 3 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Ed. III; Cet. IV;
Jakarta: Balai Pustaka, 2007), h. 109.
[4] 4Lihat Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad
Al-Syaukani : Relevansinya bagi Pembaruan Hukum Islam di Indonesia (Cet. I;
Jakarta: Logos, 1999), h. 170.
[5] 5Lihat Ahmad Rofiq, Hukum Islam di
Indonesia (Ed. I; Cet. VI; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), h. 3.
[7] 7 Lihat Abdul Manan, Aspek-aspek
Pengubah Hukum (Ed. I; Cet. III; Jakarta: Kencana Prenada Media, 2005), h. 225.
[8] 8Ibnu al-Qayyim Al-Jauziyah,
I’la>m al-Muwaqqi’i>n ‘an Rabb al-‘A>lami>n, Juz III (Cet. II;
Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993M-1414H), h. 11.
[10] 10Lihat al-Syatibi,
Al-Muwa>faqa>t fi> Us}u>l al-Syari>’ah, Ditahqiq oleh Muhammad
‘Abd al-Qadir al- Fadili, Jilid I, Juz II (Beirut: al-Maktabah al-As}riyyah,
t.th), h. 7-9.
[11] 11Lihat Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh
al-Islami wa Adillatuh, Juz VII (Cet.XXXI; Damsyik: Dar al-Fikr, 1430H/2009M),
h. 33.
[12] 12Lihat Amir Syarifuddin,
Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam (Cet. II; Padang: Angkasa Raya, 1993),
h. 120.
[13] 13Fazlur Rahman, Islam and Modernity
: Transformation of an Intellectual Tradition (London: The University of
Chicago, 1982), h. 5.
[14] 14Lihat Wael B. Hallaq, A History of
Islamic Legal Theories: an Introduction to Sunni Us}u>l Fiqh (t.c;Melbourne:
Cambridge University Press, 1997), h. 242 .
[15] Lihat Fazlur Rahman, Islam: Second
Edition (Chicago: University of Chicago Press, 1979), h. 38.Lihat juga
Sibawaihi, Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman (Cet. I; Yogyakarta: Jalasutra,
2007), h.77.
[16] 16Lihat Akh. Minhaji, “Persoalan
Gender dalam Perspektif Metodologi Studi Hukum Islam “ dalam Ema Marhumah dan
Latiful Khuluq (Edit.), Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender dalam
Islam (Cet. I; Yogyakarta: PSW IAIN Sunan Kalijaga dan Pustaka Pelajar, 2002),
h. 213.
[17] 17 Lihat Idem, “Reoriantasi Kajian
Usul Fikih” dalam Amin Abdullah dkk, Metodologi Islamic Studies Mazhab
Yogyakarta (Cet. I; Yogyakarta: 2007), h. 120.
[18] 18Lihat Qodri Azizy, Reformasi
Bermazhab: Sebuah Ikhtiar Menuju Ijtihad Saintifik Modern (Cet.II; Jakarta:
Teraju, 2003), h. 98-99.
[19]
20Lihat Yusuf al-Qardawi, Al-Ijtiha>d al-Mu'a>s}ir Baina
al-Ind}iba>t wa al-Infira>t (Da>r al-Tauzi' wa al- Nasyr al-Isla>miyyah,
1414 H/ 1994), h. 20.
Author: Mohammad
Mohammad is the founder of STC Network which offers Web Services and Online Business Solutions to clients around the globe. Read More →
Related Posts:
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar: