Sabtu, 25 Mei 2019
AKAD WADIAH DI BANK SYARIAH
Barang titipan dikenal dalam bahasa
fiqh dengan al-wadi’ah, menurut bahasa al-wadi’ah ialah sesuatu
yang ditempatkan bukan pada pemiliknya supaya dijaganya,[1]
berarti bahwa al-wadi’ah ialah menitipkan. Makna yang kedua al-wadi’ah
dari segi bahasa ialah menerima, seperti seseorang berkata, “awda’tuhu”
artinya aku menerima harta tersebut darinya. Secara bahasa al-wadi’ah memiliki
dua makna, yaitu memberikan harta untuk dijaganya dan pada penerimaannya.[2]
Menurut Syafiiyah dan Malikiyyah,
wadi’ah adalah pemberian mandat untuk menjaga sebuah barang yang dimiliki
atau barang yang secara khusus dimiliki seseorang dengan cara-cara tertentu.
Untuk itu diperbolehkan menitipkan kulit bangkai yang telah disucikan, atau
juga seekor anjing yang telah dilatih untuk berburu atau berjaga-jaga. Tidak
boleh menitipkan baju yang sedang terbang ditiup angin, karena ini termasuk
dalam kategori harta yang sia-sia (tidak ada kekhususan untuk dimiliki), yang
bertentangan dengan prinsip wadi’ah.[3]
Ketika kontrak wadi’ah telah disepakati kedua pihak, pemilik aset
memiliki hak penjagaan aset yang dititipkan, sedangkan penerima titipan
berkewajiban untuk menjaganya. Jikalau ada dua orang menitipkan asetnya kepada
seseorang, kemudian datang salah satu dari mereka dan meminta aset mereka
kembali, maka aset itu tidak boleh dikembalikan, sehingga pihak kedua datang
menemui mereka.[4]
Wadi’ah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak
lain, baik individu ataupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan
kapan saja si penitip menghendakinya. Wadi’ah juga dapat diartikan akad
seseorang kepada pihak lain dengan menitipkan suatu barang untuk dijaga secara
layak (menurut kebiasaan). Dari pengertian ini, dapat dipahami bahwa apabila
ada kerusakan pada benda titipan, padahal benda tersebut sudah dijaga
sebagaimana layaknya, maka si penerima titipan tidak wajib menggantinya, tetapi
apabila kerusakan itu disebabkan karena kelalainnya, maka ia wajib
menggantinya. Dengan demikian, akad wadi’ah ini mengandung unsur amanah,
kepercayaan.[5]
Jadi, wadi’ah atau titipan yaitu sesuatu yang dititipkan seseorang
kepada orang lain untuk menjaga dan memelihara barang titipan tersebut
sebagaimana dia menjaga miliknya sendiri.
2.
Dasar
Hukum Akad Wadi’ah
Secara umum, dasar hukum wadi’ah
lebih
mencerminkan anjuran untuk melakukan simpanan. Hal ini tampak dalam ayat-ayat
Al-Qur’an, Hadits, ijma’, hukum menerima benda titipan, rusaknya dan hilangnya
benda titipan sebagai berikut :
* bÎ)ur óOçFZä. 4n?tã 9xÿy öNs9ur (#rßÉfs? $Y6Ï?%x. Ö`»ydÌsù ×p|Êqç7ø)¨B ( ÷bÎ*sù z`ÏBr& Nä3àÒ÷èt/ $VÒ÷èt/ Ïjxsãù=sù Ï%©!$# z`ÏJè?øt$# ¼çmtFuZ»tBr& È,Guø9ur ©!$# ¼çm/u 3 wur (#qßJçGõ3s? noy»yg¤±9$# 4 `tBur $ygôJçGò6t ÿ¼çm¯RÎ*sù ÖNÏO#uä ¼çmç6ù=s% 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ÒOÎ=tæ ÇËÑÌÈ
Artinya: Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara
tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu
mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan
amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan
janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. dan barangsiapa yang
menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan
Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.[6] (Q.S. Al-Baqarah:
283).
Dari ayat di atas menjelaskan bahwa apabila kamu
dipercayai oleh seseorang untuk menjaga suatu barang milik orang lain, maka
hendaknya kamu menunaikan amanah dan menjaga barang titipan tersebut. Dan
menjaga sampai pemilik barang tersebut mengambilnya. Dan Allah Swt tidak
menyukai orang-orang yang menyembunyikan persaksian, karena Allah Swt mengetahui
yang kamu kerjakan.
Dalam surat lain juga menjelaskan tentang menunaikan amanah yaitu dalam surat an-Nisa ayat 58 Allah Swt berfirman:
* ¨bÎ) ©!$# öNä.ããBù't br& (#rxsè? ÏM»uZ»tBF{$# #n<Î) $ygÎ=÷dr& #sÎ)ur OçFôJs3ym tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# br& (#qßJä3øtrB ÉAôyèø9$$Î/ 4 ¨bÎ) ©!$# $KÏèÏR /ä3ÝàÏèt ÿ¾ÏmÎ/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $JèÏÿx #ZÅÁt/ ÇÎÑÈ
Artinya:
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya,
dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha
Melihat.[7](Q.S.
an-Nisa’: 58).
Dari ayat di atas menjelaskan, bahwa pentingnya menyampaikan amanah
kepada orang yang berhak menerimanya. Dengan demikian, orang yang menerima
titipan haruslah orang yang berakal dan orang yang dapat dipercaya untuk
dititipi amanah. Dan Allah Swt memerintahkan kepada orang yang menitipkan
barang titipan dan orang yang menerima barang titipan harus bersikap adil,
karena Allah Swt menyukai orang yang bersikap adil dan dapat menyampaikan
amanah dengan baik.
Sedangkan dalam hadits menjelaskan tentang akad wadi’ah,
Nabi Muhammad Saw bersabda:
اَدَّ اْلأَمَانَةَ
اِلَى مَنِ اْئتَمَنَكَ وَلَا تَخُنْ مَنْ خَنَكَ (رواه أبو داود والتر ميذى)
Artinya:
Tunaikanlah amanah kepada orang yang menyerahkannya kepadamu dan janganlah
engkau mengkhianati orang yang mengkhianatimu.[8]
(H.R. Abu Dawud dan at-Tirmidzi)
Dari hadis di atas menerangkan bahwa apabila kamu dititipi orang
lain suatu barang, maka kamu harus memelihara, menjaga dan merawatnya dengan
sebaik baiknya seperti kamu menjaga barang milik kamu sendiri. Meskipun orang
yang meminta kamu untuk menjaga dan memelihara barang miliknya pernah
mengkhianati kamu tetapi kamu jangan sekali kali membalas dengan mengkhianati
orang tersebut.
3.
Rukun dan Syarat Akad Wadi’ah
Rukun merupakan hal yang sangat
penting yang harus dilakukan, jika rukun tersebut tidak ada salah satu, maka
akad wadi’ah tidak sah. wadi’ah mempunyai tiga rukun yang harus
dilaksanakan. Adapun rukun yang harus dipenuhi dalam transaksi dengan prinsip wadi’ah
menurut jumhur ulama adalah sebagai berikut:
a.
Orang
yang menitipkan barang (muwaddi’ ).
b.
Orang
yang dititip barang (wadi’).
c.
Barang
yang dititipkan (Wadi’ah).
d.
Ijab
qabul (sighat).[9]
Menurut ulama Mazhab Hanafi menyatakan bahwa rukun wadi’ah hanya
satu, yaitu ijab dan qabul, sedangkan yang lainnya termasuk syarat bukan rukun.
Dalam akad wadi’ah memiliki dua syarat, yaitu:
a.
Ijab
dari penitip dan qabul dari penjaga, baik dengan ucapan maupun perbuatan. Lebih
dari sekali telah kami jelaskan bahwa ijabdan qabul termasuk rukun. Sekedar
izin dari pemilik untuk menjaga hartanya itu tidaklah cukup. Untuk itu, harus
terdapat kesepakatan antara kehendaknya dan kehendak penjaga untuk menjaga
harta akad akan terjadi.
b.
Kedua
belah pihak harus memiliki kelayakan untuk melakukan akad-akad yang berkaitan
dengan harta. Jika seseorang yang balig dan berakal menerima titipan dari anak kecil
atau orang gila maka dia harus menjamin barang tersebut meskipun bukan karena
kesalahan atau kelalaiannya.
Menurut para
ulama Hanafi. Dua orang yang melakukan akad wadi’ah disyaratkan harus
berakal, sehingga tidak sah penitipan anak kecil yang tidak berakal dan orang
gila. Sebagaimana tidak sah juga menerima titipan dari orang gila dan anak
kecil yang tidak berakal. Tidak disyaratkan sifat bilang dalam hal ini,
sehingga sah penitipan dari anak kecil yang dibolehkan untuk berjualan, karena
penitipan ini termasuk yang diperlukan oleh seorang penjual. Sebagaimana sah
juga penitipan kepada anak kecil yang telah diperbolehkan melakukan jual beli, karena
ia termasuk yang biasa melakukan penjagaan.
Adapun anak
kecil yang mahjur dihalangi untuk membelanjakan harta, maka tidak sah
menerima titipan darinya, karena umumnya anak kecil tersebut tidak mampu
menjaga harta. Menurut jumhur ulama, dalam akad wadi’ah disyaratkan pula
hal-hal yang disyaratkan dalam wakalah, seprti balig, berakal, dan bisa
mengatur pembelanjaan harta.
Dalam akad wadi’ah
sesuatu yang dititipkan disyaratkan dapat diterima, sehingga jika seorang
menitipkan budak yang sedang melarikan diri untuk burung yang sedang terbang di
udara atau harta yang jatuh di dalam laut maka orang yang dititipi tidak wajib
memberikan gnati jika terjadi hal-hal yang tidak dinginkan pada titipan itu.
4.
Macam-Macam Wadi’ah
Ada dua tipe wadi’ah, yaitu wadi’ah yad
amanah dan wadi’ah yad dhamanah.
a.
Wadi’ah Yad Amanah
Wadi’ah yad amanah adalah akad titipan di mana penerima titipan (custodian)
adalah penerima kepercayaan (trustee), artinya ia tidak diharuskan
mengganti segala resiko kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada aset
titipan, kecuali bila hal itu terjadi pada asset titipan, karena akibat
kelalaian atau kecerobohan yang bersangkutan atau bila status titipan telah
berubah menjadi wadi’ah yad dhamanah.[10] Wadi’ah
jenis ini memiliki karakteristik sebagai berikut:
1)
Harta atau barang yang dititipkan tidak boleh dimanfaatkan dan
digunakan oleh penerima titipan.
2)
Penerima titipan hanya berfungsi sebagai penerima amanah yang
bertugas dan berkewajiban untuk menjaga barang yang dititipkan tanpa boleh
memanfaatkannya.
3)
Sebagai konpensasi, penerima titipan diperkenankan untuk
membebankan biaya kepada yang menitipkan.
4)
Oleh penerima titipan atau harta yang dititipkan tidak boleh
dimanfaatkan oleh penerima titipan, aplikasi perbankan yang memungkinkan untuk
jenis ini adalah jasa penitipan atau safe deposit box.[11]
b.
Wadi’ah Yad
Dhamanah
Wadi’ah yad dhamanah
adalah akad titipan dimana penerima titipan (custodian) adalah trustee
yang sekaligus penjamin (guarantor) keamanan asset yang dititipkan.
Penerima simpanan bertanggung jawab penuh atas segala kehilangan atau kerusakan
yang terjadi pada asset titipan tersebut.[12]
Wadi’ah
jenis ini memiliki karakteristik berikut ini :
1)
Harta
dan barang yang dititipkan boleh dan dapat dimanfaatkan oleh yang menerima
titipan.
2)
Karena,
dimanfaatkan, barang dan harta yang dititipkan tersebut tentu dapat
menghasilkan manfaat. Sekalipun demikian, tidak ada keharusan bagi penerima
titipan untuk memberikan hasil pemanfaatan kepada si penitip.
3)
Produk
perbankan yang sesuai dengan akad ini yaitu giro dan tabungan.
4)
Bank
konvensional memberikan jasa giro sebagai imbalan yang dihitung berdasarkan
persentase yang telah ditetapkan. Adapun pada bank syariah, pemberian bonus
tidak boleh disebutkan dalam kontrak ataupun dijanjikan dalam akad, tetapi
benar-benar pemberian sepihak sebagai tanda terima kasih dari pihak bank.
5)
Jumlah
pemberian bonus sepenuhnya merupakan kewenang manajemen bank syariah karena
pada prinsipnya dalam akad ini penekanannya adalah titipan.
6)
Produk
tabungan juga dapat menggunakan akad wadi’ah karena pada prinsipnya
tabungan mirip dengan giro, yaitu simpanan yang bisa diambil setiap saat.
Perbedaanya, tabungan tidak dapat ditarik dengan cek atau alat lain yang
dipersamakan.
5. Giro Wadiah dan
Giro Mudharabah
a. Giro wadiah adalah simpanan dana yang bersifat titipan yang
penarikannya dapat di lakukan sestiap saat dengan mengunakan cek, bilyet giro,
sarana pemerintah pembayaran lainnya, atau dengan pemindah bukuan dan terhadap
titipan tersebut tidak di persyaratkan imbalan kecuali dalam bentuk pemberian
sukarela. Dalam kaitannya dengan produk giro, Bank Syariah menerapkan
dua prinsip wadi’ah, yaitu Wadiah Yad al amanah dan Wadiah Yad
al-Dhamanah.[13]
b. Giro Mudharabah yakni giro yang dijalankan
berdasarkan akan mudharabah. Seperti yang sudah kita ketahui, mudharabah
mempunyai 2 bentuk, yakni mudharabah mutlaqoh dan mudharabah
muqayyadah, yang menjadi perbedaan diantara keduanya adalah terletak pada
ada atau tidaknya persyaratan yang diberikan pemilik dana kepada bank dalam mengelola
hartanya, baik dari sisi tempat, waktu maupun objek investasinya.
Dalam transaksi ini, nasabah bertindak
sebagai shahibul maal atau pemilik dana, dan bank bertindak sebagai mudharib/pengelola
dana. Dalam kapasitasnya sebagai mudharib, bank dapat melakukan berbagai
macam usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan
mengembangkannya.[14]
Dari
hasil pengelolaan mudharabah, Bank Syariah akan memberi bagi hasil
kepada pemilik dana sesuai dengan nisbah yang telah disepakati dan dituangkan
dalam akad pembuatan rekening.[15]
Dalam
mengelola dana tersebut, bank tidak bertanggung jawab terhadap kerugian yang
bukan disebabkan oleh kelalaiannya.
[2] Hendi Suhendi,
Fiqh Muamalah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h. 179
[3]
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2008), h. 175
[5] Nurul Huda, Lembaga
Keuangan Islam: Tinjauan Teori dan Praktis,...h. 85
[6] Departemen
Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemah, Tafsir
Perkata, (Bandung: PT. Sygma Examedia Arkenleema, 2010) h. 49
[12] Zainul Arifin,
Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah, (Jakarta : Azkia Publisher, April
2009), h. 32
[13]
Wiroso, Penghimpunan Dana dan Distribusi Hasil Usaha Bank Syariah, (Jakarta:
PT Grasindo, 2005), h. 22
[14] Ibid,
h. 43
[15]
Adiwarman A.Karim, Bank Islam (Analisis Fiqih dan Keuangan), (Jakarta:
PT.Raja Grafindo Persada, 2004), h. 272
Author: Mohammad
Mohammad is the founder of STC Network which offers Web Services and Online Business Solutions to clients around the globe. Read More →
Related Posts:
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar: