Sabtu, 11 April 2015
NIKAH BERSYARAT MENURUT IBNU QUDAMAH DALAM KITAB AL-MUGHNIY
A.
PENDAHULUAN
Dalam kehidupan di dunia, semua makhluk hidup
tidak bisa terlepas dari pernikahan, demi kelestarian dan kelangsungan
lingkungan alam semesta. Pernikahan bagi umat manusia adalah sesuatu yang
sangat sakral dan mulia. Maka Islam memerintahkan kepada orang; yang telah
memiliki kemampuan (al-ba’ah) untuk menjalankan syari’at ini, karena
didalamnya terkandung tujuan yang sangat agung dan suci, serta mempunyai hikmah
yang begitu besar bagi kehidupan manusia. Tujuan dari pernikahan adalah untuk
menciptakan kehidupan rumah tangga yang tenang, tentram, damai dan bahagia
dalam bingkai mawaddah warahmah. Karena itu, pernikahan bukan
semata-mata untuk memuaskan nafsu birahi.[1]
Hal
ini merupakan prinsip dasar teori keluarga sakinah, sebagaimana termaktub secara jelas dalam firman Allah SWT.
ô`ÏBur
ÿ¾ÏmÏG»t#uä
÷br&
t,n=y{
/ä3s9
ô`ÏiB
öNä3Å¡àÿRr&
%[`ºurør&
(#þqãZä3ó¡tFÏj9
$ygøs9Î)
@yèy_ur
Nà6uZ÷t/
Zo¨uq¨B
ºpyJômuur
4
¨bÎ)
Îû
y7Ï9ºs
;M»tUy
5Qöqs)Ïj9
tbrã©3xÿtGt
ÇËÊÈ
Artinya:
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikannya di antaramu rasa kasih dan sayang, sesungguhnya pada
yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”
(Qs. Ar Ruum:21).
Menikah menurut Islam
adalah nikah yang sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT,
lengkap dengan syarat dan rukunnya, tidak ada satu hal yang menghalangi
keabsahannya, tidak ada unsur penipuan dan kecurangan dari kedua belah pihak,
serta niat dan maksud dari kedua mempelai sejalan dengan tuntunan syari’at
Islam.[2]
Oleh
karena itu, hubungan antara laki-laki dan perempuan diatur secara terhormat dan
berdasarkan saling rela, demi menjaga kehormatan dan martabat kemuliaan
manusia.[3]
Prinsip dasar akad
nikah diadakan adalah untuk langgengnya kehormatan perkawinan, suatu
“perjanjian atau ikatan yang kokoh”, maka tidak sepatutnya di rusak dan
disepelekan, apalagi akad nikah yang dilaksanakan dengan tujuan akhir
perceraian. Bahkan mayoritas ahli fiqh mengatakan bahwa talak adalah suatu hal
yang terlarang”, kecuali karena ada alasan yang benar atau darurat.[4]
Walaupun
dalam Islam persyaratan perceraian (talak) dan bahkan menghalalkannya, akan
tetapi hal ini bukan berarti Islam mencetuskan ide perceraian yang memang sudah
ada di segala kebudayaan pada tahap perkembangannya Islam mengalaminya akan
tetapi membatasi legitmasinya.[5]
Keutuhan dan
kelanggengan kehidupan merupakan suatu tujuan yang digariskan Islam. Karena
itu, perkawinan dinyatakan sebagai ikatan antara suami istri dengan ikatan yang
paling suci dan paling kokoh.[6]
Istilah
ikatan suci dan kokoh antara suami istri oleh Al-Qur'an disebut mitsa qun
ghalizah.[7]
Jika ikatan suami istri dinyatakan sebagai ikatan yang kokoh dan kuat, maka
tidak sepatutnya apabila ada pihak-pihak yang merusak ataupun menhancurkannya.
Karenanya, setiap usaha dengan sengaja untuk merusak hubungan antara suami
istri adalah dibenci oleh Islam, bahkan dipandang telah keluar dari Islam dan
tidak pula mempunyai tempat kehormatan di dalam Islam.[8]
B. PEMBAHASAN
1. Bibliografi Ibnu Qadamah
Ibnu Qudamah adalah
ulama besar dibidang ilmu fiqh, yang kitab-kitab fiqihnya merupakan kitab
standar bagi madzab Hambali nama lengkapnya adalah Muwaffiq Addin Abu Muhammad
Abdullah ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Qudamah, ia termasuk keturunan imam Ibnu
Ahmad ibn Muhammad ibn Qudamah ibn Miqdam ibn Nass Al Maqdisi ad-Damasqus
al-Hambali. Nama lengkapnya adalah Muwaffiq Addn Abu Muhammad Abd Allah ibn
Ahmad ibn Mahmud ibn Qudamah ibn Wiqdan ibn Nas Al Maqsidi ad-Dimasyqin
al-Hambali.[9]
Menurut
para serawan, ia termasuk Ibn la-Attab melalui jalur Abd Allah bin Umar.[10] Beliau
dilahirkan di kota Nablus (sebuah kota di negera Palestina).[11] Tepatnya
di sebuah desa di pegunungan yang bernama jamuma’il pada tahun 541 H/1147 M.[12]
Pada
usia 10 tahun (Tahun 551 H), bersama keluarganya pindah ke damaskus.[13]
Menurut
versi lainnya, ia hidup ketika Perang Salib
sedang berlangsung, khususnya di daerah Syam (Suriyah sekarang).
Sehingga keluarganya
terpaksa mengasingkan diri ke Yerusalem pada tahun 551 H dan bermukim di sana
selama 2 tahun. Kemudian keluarga ini pindah lagi ke Jabal Qasiyam, sebuah desa
di Lebanon. Di desa inilah ia memulai pendidikannya, dengan mempelajari
al-Qur'an dan hadits dari ayahnya sendiri,[14]
serta
beberapa ulama di daerah itu, yaitu Abu al-Mahasin ibn Hilal, Abu al-Ma’ali ibn
Sadin dan lain-lain.[15]
Pada tahun 561 H dengan
ditemani pamannya, Ibnu Qudamah berangkat ke Baghdad, Irak, untuk menambah ilmu
khususnya ilmu di bidang fiqh.[16]
Menurut
keterangan lain pada tahun 560 H Ibnu Qudamah pergi ke Baghdad bersama
sepupunya putra bibinya. Ia menambah ilmu di Irak selama 4 tahun dari Abd.
Al-Qadn al-Jaelani (seorang ahli ilmu).[17] Belajar
hadits pada Hibbat Allah ad-Daqaqa, Said Allah ad-Daruji dan lainlain[18]Setelah
itulah ia kembali ke Damaskus untuk menimbah ilmu lagi dari beberapa ulama, di
samping juga aktif menulis bukunya yang terkenal sampai selesai.[19]
Pada tahun 578 H ia
pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji, sekaligus menimba ilmu dari
al-Mubarak ibn A;i al-Husain ibn Abd. Allah Muhammad at-Tabbahah al-Baghdadi,
seorang ulama besar madzhab Hambali di bidang fiqh dan ushul fiqh.[20]
Sesudah
itu ia kembali ke Baghdad untuk kedua kalinya[21]
dan
berguru selama 2 tahun kepada Ibnu al-Marani yang juga seorang ulama madzhab
Hambali di bidang fiqh dan ushul fiqh. Kemudian ia kembali lagi ke Damaskus
untuk menyumbangkan ilmunya dengan mengajar dan menulis buku. Sejak mengabdikan
dirinya sebagai pengajar di daerah itu sampai akhir hayatnya. Ibnu Qudamah
tidak pernah lagi keluar dari Damaskus. Di samping mengajar dan menulis buku, sisa
hidupnya juga diabadikan untuk menghadapi perang Salib melalui pidato-pidatonya
yang tajam dan membakar semangat umat Islam.[22]
Diantara guru-guru yang
pernah mengajarnya adalah:[23]
1)
Hibbat Allah ibn
al-Hasan ad-Daqqaq
2)
Abu al-Fath ibn
al-Bati
3)
Abu Zariah ibn
Tahir
4)
Ahmad bin al-Muqarrib.
5)
Ahmad ibn
Muhammad at-Rahabi
6)
Hidanah ibn Umar
7)
Al-Mubarak ibn
Muhammad al-Badari
8)
Syahdah
al-Katibah
9)
Abu al-Makani
ibn Hilal al-Mubarak ibn al-Tibahah dan lain-lain.
Sedangkan
murid-muridnya diantaranya adalah:[24]
1)
Al-Baha’ Abd.
Ar-Rahman
2)
Ibnu Naqatah
3)
Ad-Riya’
al-Maqdisi
4)
Abu Syamunafi
5)
Ibnu an-Naja dan
lain-lain.
Ibnu
Qudamah dikenal oleh ulama sebagai ulama besar yang menguasai berbagai ilmu,
memiliki pengetahuan yang luas tentang persoalan-persoalan yang dihadapi umat,
seorang yang pandai, cerdas, argumentator madzhab Hambali.[25]
Pribadinya
yang sederhana, rendah hati dan sabar, teguh pendirian dan berwibawa membuatnya
dicintai dan dihormati teman-teman sejawatnya, tidak sedikit dan kalangan ulama
yang mengakui kecerdasannya dan keunggulannya. Berkenaan dengan kelebihannya
ad-Riya’ al Maqdisi ia adalah seorang ilmuwan yang ahli dalam bidang tafsir, ilmu
hadits dan segala permasalahannya. Ia seorang yang ahli dalam ilmu fiqh dan
faraid bahkan dikatakan sebagai satu-satunya pada massanya yang paling menguasai
dan paling ahli dalam ilmu fiqh dan ilmu mawaris, selain itu juga ahli dalam
ilmu ushul fiqh, ilmu nahwu dan ilmu hisab.[26]
Allah
memberikannya beberapa kelebihan dan keutamaan, yaitu hati yang bersih dan ilmu
yang sempurna. Kedua kelebihan ini diakui oleh seluruh negeri dan sepanjang
masa, ia memiliki kemampuan yang mudhu, menjelaskan berbagai realitas
berdasarkan ilmu naql (tradisional) dan ilmu aql (rasional). Seakan-akan pada
massanya tidak ada seorang pun yang mampu mengimbanginya dan menyainginya.
Pribadinya sangat baik, penyabar, pembawaannya tenang, santun dan berwibawa.
Mejelisnya senantiasa dipenuhi oleh ulama ahli dan ahli hadits.[27]
Bahkan
Ibnu Taimiyah mengakui tidak ada lagi ulama besar fiqh dan Suriah al-Muwafiq (Ibnu
Qudamah).[28]
Ibnu
Qudamah meninggal pada hari Sabtu,[29]
pada
saat subuh hari Idul fitri di Damaskus tahun 620 H/1224 M.[30]
Jenazahnya
di bawa ke kaki bukit Qasiyam (sebuah bukit yang terletak di dataran rendah
kota Damaskus) dan di bukit inilah ia di kebumikan.[31]
2.
Karya-karya
dan Metode Istinbath Hukum Ibnu Qudamah
Pengakuan
ulama terhadap keluasan ilmunya Ibnu Qudamah dapat dibuktikan melalui
karya-karya tulis yang ditinggalkannya. Ulama
besar di kalangan madzhab Hambali, ia meninggalkan beberapa karya besar yang
menjadi standar dalam madzhab Hambali.
Karya-karya
penting Ibnu Qudamah antara lain:[32]
1) Al-Mughni,
sebuah karya monumental yang memuat seluruh permasalahan fiqh dengan segala
aspeknya.
2) Al-Kafi,
kitab fiqh ringkasan bab fiqh.
3) Al-Umadah
fi al-Fiqh, kitab fiqh kecil yang disusun untuk para pemula, dengan mengubah
argumentasi dari al-Qur'an dan al-Hadits.
4) Randak
an-Nazir fi Ushul al-Fiqh, membahas persoalan ushul al-fiqh.
Kitab ushul terutama dalam madzhab
Hambali.
1)
Mukhtasar fi
Qarib al-Hadits, berbicara tentang cacat haditas.
2)
Mukhtasar fi
gharib al-Hadits, berbicara tentang hadits-hadits gaib.
3)
Al-Burhan fi
masa’il al-Qur'an, membahas ilmu-ilmu al-Qur'an.
4)
Kitab al-Qadr,
berbicara tentang takdir.
5)
Fada’il
As-Sahabah, membahas kelebihan persahabatan Nabi.
6)
Kitab fi
al-Hadits, membicarakan masalah-masalah taubat dalam hadits Al-Mutahab bin fi
Allah, tentang tasawuf.
7)
Al-Istibsyar fi
Nasab al-Ansar, berisi tentang hukuman orang-orang Anshar.
8)
Mausul al-Hajj,
membahas tentang tata cara ibadah haji.
9)
Zamn
at-Tas’uril, membahas tentang persoalan ta’uril dan masih banyak karya-karya
yang lain, baik dalam bentuk kitab atau buku maupun bentuk dan dokumentasi.
Sekalipun
Ibnu Qudamah menguasai berbagai bidang ilmu keislaman, di kalangan akademik
Islam ia lebih dikenal dan menonjol sebagai ahli fiqh dan ushul al-fiqh. Dua
kitabnya yakni al-Mughni dan Randak an-Nazir, dijadikan rujukan penting oleh
para ilmuwan dan ulama. Kitab al-Mughni di bidang fiqh adalah kitab standart di
kalangan madzhab Hambali, yang merupakan rujukan di perguruan tinggi Islam di berbagai
negara Islam, bahkan juga di Eropa dan Amerika, termasuk Indonesia.
Keistimewaan kitab itu adalah bahwa pendapat kalangan madzhab Hambali dalam
satu masalah senantiasa dibandingkan dengan pandangan madzhab lainnya, setiap
pendapat baik di kalangan madzhab hambali maupun dari madzhab lainnya,
dikemukakan dalilnya secara tuntas, baik dalil dari al-Qur'an, maupun dari
sunnah Rasulullah SAW. Jika pendapat berbedapa dengan madzhab lainnya,
senantiasa diberikan alasan dari ayat atau hadits terhadap pendapat kalangan
madzhab Hambali itu, sehingga banyak sekali dijumpai ungkapannya.
Keterikatakan
Ibnu Qudamah kepada teks ayat atau hadits sesuai dengan prinsip madzhab Hambali
terlihat jelas dari hubungan tersebut. Karenanya jarang sekali ia mengemukakan
argumentasi akal.[33]
Madzhab
Hambali (madzhab Sunni yang keempat) mempunyai gaya tersendiri dan prinsip baik
mengenai ushul maupun mengenai, Ahmad ibn Hambal, sebagai pendiri madzhab
Hambali terkenal sebagai seorang yang menjauhkan diri dari qiyas dan berpegang
kepada nas kitab dan hadits. Ibnu Qudamah dalam penggalian hukum mempunyai gaya
dan metode yang mengikuti istinbath hukum madzhab Hambali pada umumnya.
Secara
berurutan dasar dalam penetapan hukum (istinbath) madzhab Hambali adalah:[34]
1). Nash al-Qur'an dan nash hadits
Apabila
telah ada dalil dalam nash, maka tidak lagi memperhatikan dalil-dalil yang lain
dan tidak memperhatikan pendapat-pendapat sahabat yang bertentangan dengan
nash.
2). Fatwa sahabi
Yaitu
apabila tidak diperoleh dalil dalam nash, ketika ada satu pendapat sahabat yang
tidak diketahui ada yang menentangnya maka pendapat tersebut dijadikan pegangan
dengan tidak memandang bahwa pendapat itu merupakan ijma’.
3. Pendapat sebagian sahabat
Apabila
terdapat beberapa pendapat sahabat dalam satu masalah, maka diambil pendapat
yang lebih dekat dengan al-Qur'an dan al-hadits, kadang-kadang tidak ada fatwa
tertentu apabila tidak ditemukan pentarjihan bagi pendapat tersebut.
4. Hadits mursal atau hadits dha’if
Jika
yang demikian ini tidak berlawanan dengan asar atau dengan pendapat sahabat.
5. Qiyas
Apabila
tidak diperoleh suatu dalil yang diterangkan di atas maka madzhab ini
menggunakan qiyas. Kadang-kadang dalam menetapkan hukum menggunakan al-maslahah
al-mursalah terutama dalam bidang siyasah. Begitu pula dengan istishsan,
istishab dan sad az-zar’i, sekalipun sangat jarang menggunakannya dalam
menetapkan hukum.[35]
Adapun kitab Randak
an-Nazir membahas bab di bidang ushul fiqh, yang merupakan kitab tertua di
bidang ushul dalam madzhab Hambali dan sejalan dengan prinsip ushul al-fiqh
dalam madzhab ini serta dianggap sebagai kitab ushul standar dalam madzhab
Hambali. Dalam kitab ini pun Ibnu Qudamah membahas berbagai persoalan ushul
al-fiqh dengan membuat perbandingan dengan teori ushul madzhab lainnya. Ia tidak
berhenti membahas suatu masalah, sebelum setiap pendapat didikusikan dari
berbagai aspeknya. Kemudian diakhir dengan mengajukan pendapatnya atau pendapat
madzhab Hambali.[36]
3.
Nikah
Bersyarat Menurut Ibnu Qudamah
dalam bukunya al-Mugniy
Ibnu Qudamah adalah
seorang ulama yang menganut madzhab hambali, dia adalah tokoh yang
memperbaharui, membela, mengembangkan, dan memperhatikan ajaran-ajaran madzhab
hambali terutama dalam bidang muamalah[37]29.
Menurut Tahido, Ibnu Qudamah dalam menetapkan hukum lebih menitikberatkan pada
hadis, yaitu apabila ditemukan hadis shoheh, maka sama sekali tidak
diperhatikan faktor pendukung lainnya.
Apabila didapati hadis
mursal atau dhoif, maka hadis tersebut justru lebih dikuatkan dari pada qiyas
kecuali dalam keadaan yang sangat terpaksa. Dengan kata lain, Ibnu Qudamah
dalam pengendalian sebuah hukum, ketika tidak ditemukan dalam nash sebuah
pengharaman terhadap sesuatu maka hal itu boleh dan sah-sah saja. Begitu halnya
dengan hukum nikah bersyarat.
Para
ulama dan fuqaha telah menetapkan persyaratan bila seorang ingin menikahi lebih
dari seorang isteri :
1)
Dia harus memiliki kemampuan dan kekayaan cukup untuk membiayai
berbagai kebutuhan dengan bertambahnya isteri yang dinikahi
2)
Dia harus memperlakukan semua isterinya itu dengan adil. Setiap
isteri diperlakukan secara sama dalam memenuhi hak perkawinan mereka serta
hak-hak lainnya.[38] Sesuai
dengan firman Allah dalam surat an-Nisa ayat 3 :
÷bÎ)ur
÷LäêøÿÅz
wr&
(#qäÜÅ¡ø)è?
Îû
4uK»tGuø9$#
(#qßsÅ3R$$sù
$tB
z>$sÛ
Nä3s9
z`ÏiB
Ïä!$|¡ÏiY9$#
4Óo_÷WtB
y]»n=èOur
yì»t/âur
(
÷bÎ*sù
óOçFøÿÅz
wr&
(#qä9Ï÷ès?
¸oyÏnºuqsù
÷rr&
$tB
ôMs3n=tB
öNä3ãY»yJ÷r&
4
y7Ï9ºs
#oT÷r&
wr&
(#qä9qãès?
ÇÌÈ
Artinya : Dan
jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terahdap (hak-hak) perempuan
yatim (bila mana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang
kamu senangi dua, tiga, empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.
Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” ( Q. S. an-Nisa ayat 3).
Ayat
di atas jelas menunjukkan bahwa asas perkawinan dalam Islam pun adalah
monogami. Kebolehan poligami, apabila syarat-syarat yang dapat menjamin
keadilan suami kepada isteri-isteri terpenuhi. Namun demikian, hukum Islam
tidak menutup rapat-rapat pintu kemungkinan untuk berpoligami atau beristeri
dapat dipenuhi dengan baik.[39]
Dalam
kitab Abu Daud dari harits bin Qais, berkata :
أسلمت
و عندي ثمان نسوة، فذكرت ذلك للنبي صلى الله عليه وسلّم فقال: أختر منهنّ أربعا [40]
Artinya : “saya
masuk Islam bersama-sama dengan delapan isetri saya, lalu saya menceritakan
kepada Nabi Saw”. maka sabda beliau “ maka pilihlah empat orang di antara
mereka”.
Sebelum
perkawinan dilangsungkan terkadang ada syarat-syarat yang disepakati oleh kedua
mempelai atau dari pihak orang tua mempelai yang tujuannya demi kebaikan calon
mempelai, karena untuk membina rumah tangga selanjutnya. Di dalam kitab-kitab
fiqh telah membahas mengenai syarat-syarat tersebut. Adapun pengertian syarat
dalam perkawinan ialah :
Artinya
: “Sesuatu yang disyaratkan oleh
salah satu mempelai atas suatu yang lain, yang mana sesuatu itu memang
dikehendaki adanya tujuan “.
Ada
akad nikah yang dikaitkan dengan beberapa syarat, ada syarat yang sesuai dengan
tujuan akad dan ada pula yang berlawanan dengan tujuan akad. Ada syarat yang
manfaatnya kembali kepada pihak perempuan, dan ada pula yang dilarang oleh syara’ masing-masing
syarat itu mempunyai hukum tersendiri.[42]
Ulama fiqh sepakat bahwa syarat yang sesuai dengan tujuan akad harus dipenuhi
oleh kedua mempelai. Misalnya syarat akan mempergauli isteri dengan baik,
pakaian, tempat tinggal dan akan minta izin pada suami apabila isteri bepergian
dan syarat lain yang sifatnya tidak menyeleweng dari hukum Allah. Mereka juga
sepakat tentang melarang syarat yang tidak sesuai dengan tujuan akad, misalnya
syarat bahwa suami tidak akan memberikan nafkah kepada isteri, tidak akan
memberi maskawin atau isteri harus memberi nafkah kepada suami atau isteri
hanya akan dipergauli pada siang hari, tidak malam hari atau syarat lain yang
bertentangan dengan tujuan akad. Akan tetapi, ulama fiqih berbeda pendapat
tentang syarat-syarat yang tidak sejalan tetapi tidak berlawanan dengan tujuan
akad. Artinya syarat tersebut memang bermanfaat bagi salah satu calon mempelai,
misalnya syarat bahwa isteri tidak akan diusir dari rumah atau kampungnya,
tidak berpergian bersama (isteri), tidak akan kawin lagi dan sebagainya.[43]
Menurut sebagian ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah bahwa perkawinannya sah tetapi
syarat itu sia-sia, tidak mengikat, suami tidak wajib memenuhi janjinya,18 mereka
beralasan dengan hadits :
Artinya : “Dari
Umar r.a : Semua syarat yang tidak sesuai dengan kitabulllah maka syarat itu
batal meskipun seratus syarat”.
Mereka
berpendapat bahwa syarat-syarat di atas bukan dari kitab Allah, karena syari’at
tidak menghendakinya dan syarat tersebut tidak akan menambahkan kebaikan akad
dan tujuan akad.[45]
عن عمر
وابن عوف المزني رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : المسلمون على شروطهم الا شرطا
احل حراما أو حرم حلالا (رواه
الترمذي وصحح) [46]
Artinya : Dari
Umar bin Auf al-Mazani r.a bahwa Sesungguhnya Rasulullah Saw telah bersabda :
“Orang Islam itu terikat dengan syarat yang mereka buat, kecuali syarat
menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. (HR. Turmudzi dan hadits ini Shahih)
Mereka
berpendapat bahwa syarat-syarat di atas dianggap mengharamkan yang halal,
seperti kawin lagi (poligami) dan bepergian kedua hal itu adalah halal.[47] Sebagian
ulama lainnya. Hambaliyah mewajibkan dipenuhinya syara-syarat terhadap wanita.
Apabila tidak dipenuhi maka perkawinanya dapat difasakhkan.[48]
Mereka beralasan dengan hadits Nabi :
عن
عقبة بن عامر قال : قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم :
إن أحق الشرط أن يوفي به ما استحللتم به الفروج (رواه الجماعة) [49]
Artinya : Dari
Uqbah bin Amir telah berkata : telah berabda Rasulullah Saw : Syarat yang lebih
patut untuk dipenuhi yaitu perjanjian yang menyebabkan halalnya kehormata
perempuan. (HR Riwayat Bukhari dan Muslim dari Uqbah
bin Amir).
Pendapat
yang mangatakan kalau syarat tidak berpoligami dalam akad nikah dianggap
mengharamkan yang halal terbantah, sebab syarat itu tidak mengharamkan yang
halal tetapi memberikan pilihan bagi si perempuan untuk minta fasakh apabila
syarat itu tidak dipenuhi.[50]
Di
dalam kitab al-Mughni
karangan Ibnu Qudamah, disebutkan bahwa ada
syarat yang manfaatnya kembali kepada isteri, maka syarat itu harus dipenuhi
oleh suami, misalnya isteri tidak akan diusir dari kampungnya atau negaranya,
tidak bepergian bersama isteri, tidak akan kawin lagi dan tidak akan
menyakitinya. Jika syarat tersebut tidak dipenuhi suami, maka perempuan
(isteri) dapat minta fasakh terhadap suaminya.[51]
Sayyid
Sabiq berpendapat : “membolehkan si isteri menuntut pasakh apabila suami
melanggar perjanjian tersebut”
فلو
شرطت الزوجة في عقد الزواج على زوجها الا يتزوجا عليه صح الشرط ولزم وكان لها حق
فسخ الزواج اذا لم يف لها الشرط
Artinya : Apabila
seorang isteri mensyaratkan pada waktu akad nikah agar suaminya tidak kawin
lagi (memadunya), maka syarat itu sah dan mengikat, dan berhak menuntut fasakh
nikah apabila suami melanggar perjanjian itu.[52]
Menurut
Ibnu Taimiyah di dalam kitab al-Ikhtiyat al-Fiqhiyah berpendapat bahwa sebagai berikut : Apabila
pihak suami memberikan syarat kepada pihak isteri dalam akad nikah atau mereka
sepakat sebelum akad, agar isteri tidak pindah dari rumahnya atau negaranya
atau suami tidak akan kawin lagi, maka isteri berhak meminta talaknya, maka
syarat seperti itu sah.[53]
Tengku
Muhammad Hasbi ash Shiddieqy bependapat kepada keharusan memenuhi segala syarat
yang manfaatnya kepada si wanita sehingga dia mau dinikahi dan jika tidak
dipenuhi, maka si wanita boleh menfasahkan penikahan itu.[54] Ibnu
Rusyd berkata sebabnya terjadi perselisihan, ialah berlawanan nash yang umum dengan
nash yang khusus, nash yang umum ialah nash yang mengatakan bahwa segala syarat
yang tidak terdapat dalam kitabullah, batal. Sedangkan nash yang khusus ialah
nash yang menandaskan, bahwa syarat yang paling berhak dipenuhi ialah syarat
yang dilakukan untuk memperoleh keridhaan wanita yang dinikahi. Kedua hadits
ini shahih, diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. Namun demikian menurut
paham yang mashur dalam kalangan ulama ushul fiqh, ialah mempergunakan khusus
dan mengalahkan yang umum, yaitu memenuhi syarat-syarat yang disyaratkan itu.[55]
4.
Analisis
Terhadap Pendapat Ibnu Qadamah Tentang Hukum Menikah dengan Niat Cerai
Menikah dengan niat
cerai sama sekali tidak ditemukan atsar maupun khabar yang
menyebutkan tentang larangannya. Hal ini dijelaskan lebih mendetail oleh Ibnu
Thaimiyah. Dalam al Fatawa al Kubra, ia mengungkapkan bahwa seseorang
boleh menikah dengan niat cerai, tetapi menikah secara mutlak dan tidak
disyaratkan penentuan waktu dimana jika ia suka ia akan tetap
mempertahankannya, dan jika ia mau ia boleh saja menceraikannya.[56]
Pernikahan dengan niat
cerai terjadi ketika seorang laki-laki melaksanakan akad nikah bersama calon
istri dan sejak awal akad nikahnya diiringi dengan niat untuk tidak bersama
istri selamanya. Contohnya, adalah seseorang pergi ke luar kota atau luar
negeri karena melaksanakan studi atau ada kepentingan dan urusan yang lain,
kemudian (dengan alasan terjerumus ke lembah zina) melaksanakan pernikahan
hanya untuk sementara waktu, yaitu sampai studi atau urusannya selesai.[57] Hal
yang demikian ini oleh Ibnu Qudamah boleh dan sah-sah saja dilakukan asal tidak
adanya suatu perjanjian yang mengikat, khususnya perjanjian tenggat waktu yang
disepakati oleh suami istri. Karenpa bila didapati adanya sebuah perjanjian
yang disepakati bersama maka hal tersebut tidak boleh, sebab itu termasuk nikah
mut’ah.[58]
Selanjutnya Ibnu Qudamah menyatakan bahwa seorang suami
tidak hanya berniat (pada saat akad) untuk mempertahankan
istrinya, boleh jadi jika
ia serasi dengannya, maka ia akan mempertahankannya
dan jika tidak (serasi)
maka ia boleh saja menceraikannya[59]
Persamaan kedudukan laki-laki dan perempuan selain dalam hal pengambilan keputusan juga dalam hak ekonomi yakni untuk
memiliki harta kekayaan dan tidaklah suami ataupun
bapaknya boleh mencampuri hartanya kekayaan
itu termasuk yang didapat melalui pewarisan atau yang diusahakannya sendiri. Oleh sebab itu maha atau mas kawin
dibayar oleh laki-laki
untuk pihak perempuan sendiri, bukan
untuk orang tua dan tidak bisa
diambil kembali oleh suaminya.[60]
Hukum Islam dituntut untuk mengerti seluruh umat Islam yang berasal tidak hanya dari kalangan Arab belaka. Namun juga berasal
dari seantero dunia yang tentunya sangat bervariatif
kondisi dan kebudayaannya. Maka Islam harus fleksibel dan bisa diterima kapan
pun dan dimana pun hukum Islam harus hidup di tengah-tengah masyarakat yang
menganutnya.
Hukum Islam yang merupakan syari’ah berasal dari al-Qur'an
pada dasarnya ada tiga pokok ajaran, yakni percaya pada keesaan Tuhan, pembentukan
masyarakat adil, dan percaya hidup sesudah mati. Al-Qur'an merupakan sebuah
buku prinsip-prinsip dan seruan-seruan moral, bahkan sebagai dokumen hukum.
Tetapi ia memang mengandung beberapa pernyataan hukum yang penting yang
dikeluarkan selama proses pembinaan masyarakat di Madinah. Kemudian agar
penafsiran al-Qur'an dapat diterima dan dapat berlaku adil terhadap tuntutan
keilmuwan dan integritas moral, maka salah satunya pendekatan yang harus
digunakan adalah pendekatan sejarah atau historis sosiologis.[61]
Sedangkan diantara ulama kontemporer yang melarang nikah
dengan niat talak dan menganggapnya serupa dengan nikah mut’ah adalah Muhammad
Rosyid Ridha. Dalam tafsir Al-Manar dijelaskan bahwa ulama terdahulu (salaf) dan ulama sekarang (khalaf) sangat keras dalam melarang nikah
mut’ah, pendapat ini juga melarang pendapat tentang nikah dengan niat talak.
Sekalipun ulama menganggap sah nikah ini karena tidak dinyatakan ketika
pelaksanaan sighat akad. Namun demikian sikap menyembunyikan niat itu yang
dianggap sebagai perbuatan penipuan mengelabuhi pihak perempuan yang lebih
pantas untuk dibatalkan dari pada akad yang bersyarat dengan jelas disebutkan
batas waktunya dan disetujui oleh pihak suami istri dan wali.[62]
Berdasarkan beberapa argumen yang telah dikemukakan di atas
dapat ditarik sebuah pengertian bahwa nikah dengan niat cerai menurut pandangan
Ibnu Qudamah boleh dan sah-sah saja, itu bertentangan dengan beberapa hal, diantaranya
keadilan bagi seorang perempuan dalam hal ini yang menjadi objek. Karena dengan
konsep yang ditawarkan oleh Ibnu Qudamah jelas sangat merugikan pihak
perempuan, bahkan dapatlah dipertegas nikah dengan niat cerai merupakan
kebohongan terselubung yang direncanakan pihak laki-laki terhadap istrinya
meskipun sang istri tidak mengetahui.
Nikah dengan niat cerai juga bertentangan dengan tujuan
nikah itu sendiri yakni salah satunya membina rumah tangga yang sakinah
wamaddah wa rahmah. Bagaimana mungkin sebuah rumah tangga yang sakinah mawaddah
wa rahmah akan terbentuk jika dalam hatinya ada niat untuk cerai dikemudian
hari. Karena perceraian yang terjadi tidak ada alasan sama sekali. Perceraian
terjadi sekonyong-konyong karena keinginan sang suami karena memang
sudah direncanakan dan hal itu bertentangan dengan azaz-azaz perceraian.
C. KESIMPULAN
1)
Asas perkawinan dalam Islam adalah monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh yang
bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkan seorang
suami dapat beristeri lebih dari seorang.
Kebolehan poligami, apabila syarat-syarat yang dapat menjamin keadilan suami
kepada isteri-isteri terpenuhi dengan baik. Di dalam kitab al-Mughniy karangan Ibnu Qudamah, disebutkan bahwa ada
syarat yang manfaatnya kembali kepada isteri, maka syarat itu harus dipenuhi
oleh suami, misalnya isteri tidak akan diusir dari kampungnya atau negaranya,
tidak bepergian bersama isteri, tidak akan kawin lagi dan tidak akan
menyakitinya. Jika syarat tersebut tidak dipenuhi suami, maka isteri dapat
minta fasakh terhadap suaminya.
2)
Ibnu Qudamah
dalam kitabnya al-Mughni berpendapat bahwa menikah dengan niat cerai
adalah boleh dan sah-sah saja dilakukan. Karena menurutnya pernikahan model ini
bukanlah nikah mut’ah atau nikah tahlil sebagaimana yang telah jelas dilarang
oleh agama Islam. Ibnu Qudamah beranggapan bahwa ketika tidak ada nash yang
secara explisit menerangkan keharaman sebuah perkara maka perkara tersebut
sah-sah saja dilakukan. Begitu juga dengan pernikahan dengan niat cerai, menurutnya
tidak adanya sebuah sumber hukum yang secara tegas melarang hal tersebut.
Dengan begitu nikah dengan niat cerai boleh dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman I. Doi, Perkawinan dan Syari’at Islam, Jakarta:
Rineka Cipta, 1992.
Al-Bukhari, Al-Imam, Shahih Bukhari, Beirut Lebanon: Dar
al-Kutub al-Alamiyah, 1992.
Al-Jaziri, Abdurrahman, al-Fiqh ‘alaa
Mazahib al-‘Arba’ah, Beirut: Dar al-Fikr,
t.th.
Asmawi, Mohammad, Nikah Dalam Perbincangan dan Perbedaan,
Cet. I
Yogyakarta: Das
As-Salam, 2004.
Al-Mansur, al-Aziz., Saleh Ibn Abd, Al-Azis al-Mansur, Nikah
Dengan Niat Talak? Alih bahasa Al Pran MA jabbar, Cet.I, Surabaya: Pustaka
Progresif, 2004.
Al-Maraghi, Abdullah Mustafa, Faham-faham Fiqh Sepanjang Sejarah,
Alih Bahasa, Tusain Muhammad, Cet.I, Yogyakarta: LKPSM, 2001.
Asy-Syafi’i, Al-Umm, Cet.1, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah,
1993.
Ata, Mahmud Abd. Al-Qadr dan Mustafa Abd. Al-Qadr Ata, Al
Fatamen Al-Kubra, li Al-Imam al-Alamah Taqi’y Abd. ibn Taimiyah, Edisi Ke.
1, Beirut: Dari al-Kutub al-Ilmiyah, 1987.
Borsard, Marcel A., Humanisme dalam Islam, Alih Bahasa Oleh
HM Rasjid, Cet.1, Jakarta: Bulan Bintang, 1980.
Departemen
Agama R.I., Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: Yayasan Penyelenggara
Penerjemahan Penafsir Al-Qur’an, 1967.
Dahlan, Abdul Aziz, dkk., (ed), Ensiklopedi Hukum Islam,
Cet.V, Jakarta: Velution Baru Islam Houve, 2001.
Dirjen BIMAS, Islam dan Penyelenggara Haji, Pegangan Calon
Pengantin, (ttp:Program Peningkatan Kehidupan Keluarga Sakinah, 2001.
Djaelani, Abdul Qodr, Keluarga Sakinah, cet. ke I, Surabaya:
Bina Ilmu, 1995.
Ash-Shiddieqy, Tengku Muhammad Hasbi, Koleksi Hadits-hadits
Hukum VII, Jakarta; Yayasan Tengku Muhammad ash-Shiddieqy, 2001.
Ibrahim, Abu Ishaq Ibn Ali Ibn Yusuf asy Syirazi al Muhazzab, fi
Fiqh Mazhab al-Imam asy Syafi’i, Beirut: Dar al Fikr, 1994.
Junaedi, Dedi, Bimbingan Perkawinan, Membina Keluarga Sakinah
Menurut al-Qur An dan as Sunah, Cet. Ke 2, Jakarta: Akademika Perssindo
2002.
Ibn Manzur, Lisan al-‘Arab, Beirut: Dar Shadir, Jilid 14,
Cet. Ke-1, 1999.
Majah, Ibnu, Sunan Ibn Majah, I: 633 hadits nomor 2018,
kitab at Talak bab
Mughiyah, Muhammad Jawad, Fiqih Lima Madzhab, Alih Bahasa
Masyhur AB, dkk., Cet. Ke. 7, Jakarta: Lentera Basritama, 2001.
Pasha, Musthofa Kamal, Fiqih Islam, cet. Ke-3, Yogyakarta:
Citra Karsa Mandiri, 2003.
Qudamah, Ibnu, al-Mughni, Juz. VII, Dar al-Kutb al-Alamiyah,
Qudamah, Ibn Al-Maqdisi, Kelembutan Hati (Mendalami Salafush
Shahih), alih bahasa Kamaludin Sa`Dayatul, cet. Ke-1, Jakarta: Pustaka
Azzam, 2001.
Rafiq, Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1997.
Ridha, Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar, Cet. Ke. 2,
ttp: tnp, 19973.
Sabiq, As-Sayyed, Fiqh As-Sunnah, cet. IV, Beirut: Dr
Fiqkrm, 1983.
Saleh, ibn Abd. Al-Aziz Al-Manusr, Nikah Dengan Niat Talak? Alih
Bahasa Alpian, Jabban, Cet. Ke. 1, Surabaya: Pustaka Progresif, 2004.
Taimiyah, Syekh al-Islam Ibnu, al-Ikhtiyarat al-Fiqhiyah, Beirut
Libanon: Daar al-Kutub al-Ilmiyah, 1995
Usamah, Abu Hafs Ibn Kamal Ibn Abd ar Rozzaq, Panduan Lengkap
Nikah (dari“A” sampai “Z”) Alih Bahasa Ahmad Syaikhu, cet. ke 2, Bogor:
Pustaka Ibnu Katsir, 2005.
Whaled Al-Juraisy, (ed), Fatwa-Fatwa Terkini I, Alih Bahasa
Mustafi Amini, dkk., Cet.II, Jakarta: Dar al-Haq, 2004.
Yanggo,
Huzaimah Tahido, Pengantar Perbandingan Madzhab, Cet.I,
Zuhaili, Wahbah, Fiqh al-Islam
wa ‘Adillatuhu, Beirut: Dar al Fikr, 1997.
Terjemahan :
Apabila seseorang menikahkan perempuan,
lalu mensyaratkan padanya untuk tidak keluar dari rumahnya dan negaranya, maka
hendaklah perempuan memegang syaratnya, sebagaimana telah diriwayatkan dari
Nabi SAW bahwasanya Ia telah bersabda: “Syaratyang paling pantas kamu
tunaikan adalah apa yang kamu halalkan dari farj “ dan jika menikahi
perempuan dan mensyaratkan untuk tidak menikahinya, maka hendaklah Ia berpisah
setelah menikah”.
Oleh sebab itu, Syarat yang diajukan dalam nikah, terbagi menjadi
tiga: Pertama, syarat yang wajib dipenuhi. Itulah syarat yang manfaat dan
faidahnya kembali kepada pihak wanita. Misalnya, syarat agar
si wanita tidak diajak pindah dari rumahnnya atau daerahnya, atau
tidak diajak pergi safar, atau tidak poligami selama istri masih hidup, atau
tidak menggauli budak. Wajib bagi pihak suami untuk memenuhi semua
persyaratan yang diajukan ini. Jika suami tidak memenuhinya maka istri punya
hak untuk melakukan fasakh. Pendapat ini diriwayatkan dari Umar bin Khatab,
Sa’d bin Abi Waqqash, Muawiyah, dan Amr bin Ash radhiyallahu
‘anhum. sebagaiman dalam hadis “Setuap
syarat yang tidak ada dalam kitab Allah maka Ia bathil, walaupun denagn ratusan
syarat”.
Syarat-syarat seperti di atas tidak ada
dalam kitab Allah, Nabi SAW bersabda “Setiap muslim tergantung pada syarat
mereka kecuali syarat yang menghalalkan yang haram dan mengaharamkan yang
halal”.
Syarat di atas mengharamkan yang halal
yaiitu tidak menikahinya, bertamasya, dan sayrat ini bukan bagian dan akad dan
ketentuannya, dan tidak tampak secara kebiasaan dan keterkadangan, maka jadilah
ia rusak sebagaiman ia mensyaratkan tidak menyerahkan dirinya.
“Seberhak-berhak apa yang akmu sempurnakan adalah apa yang akmu
halalkan dari farj” dan juga sabda Nabi
SAW “Orang muslim tergantung sayarat mereka” dan itulah pendapat para shahabat,
dan tidak ada yang menyalahinya diamsa itu. Dan diriwayatkan dari Atsram
denagnsanadnya “Bahwasanya seseorang menikahi perempuan, lalu Ia mensayaratkan
rumah baginya, lalu laki-laki itu ingin memindahkannya, dan hal ini di adukan
kepada Umar, lalu Umar berakata baginya syaratnya. Jika aku menthalaknya, lalu
Umar berkata: “Si pemutus hak dalam persyaratana karena syarat tadi ada
manfaatnya, dan tujuannya bukan untuk mengahalangi pernikahan, akan tetapi
suatu kemestian. Begitu pula mensyaratkan tambahan mahar, sebagaiamana sbada
Nabi SAW “setiap syarat yang tidak ada dalam kitab Allah SWT maka bathil”
artinya itu bukan dalam hukum Allah dan syaratnya.
Sungguh telah kamu tunjukkan kedalilan dalam syari’at, akan tetapi
ada khilaf dari yang mensyaratkan dan yang melarang ada yang berkata ini
mengharamkan yang halal, dan memberi perempuan pilihan fasakh jika tidak
dituniksn. Dan ini tidak berkaiatan denagn
masalah ini, dan tidak diterima karena itu perasalahan perempuan,
sedangkan permasalahan akad tergantung pelakunya, seperti mensyaratkan,
tanggungan, jaminan dalam jual beli, lalu dibathalkan dengan tambahan mahar
semisal dan mensyaratkan dengan tidak ketentuan biasanya.
Nikah bersyarat:
1.
Mesti
ditunakan syaratnya, karen ada manfaat dan faedah.
2.
Batal
syaratnya akan tetapi sah aqadnya, seperti;
ü Tidak memberi makan
ü Tidak menafkahinya
ü Tidak menggaulinya
3.
Batalnya
pernikahan denagn syarat yang diajukan,
seperti;
ü Nikah mut’ah
ü Ia akan menthalaknay pada tanggal yang ditentukan.
Sebelum
perkawinan dilangsungkan terkadang ada syarat-syarat yang disepakati oleh kedua
mempelai atau dari pihak orang tua mempelai yang tujuannya demi kebaikan calon
mempelai, karena untuk membina rumah tangga selanjutnya. Di dalam kitab-kitab
fiqh telah membahas mengenai syarat-syarat tersebut. Adapun pengertian syarat
dalam perkawinan ialah :
الشروط
في الزواج هي ما يشترطه احد الزوجين على الأخر مما فيه غرض
Artinya
: “Sesuatu yang disyaratkan oleh
salah satu mempelai atas suatu yang lain, yang mana sesuatu itu memang
dikehendaki adanya tujuan “.
Ada
akad nikah yang dikaitkan dengan beberapa syarat, ada syarat yang sesuai dengan
tujuan akad dan ada pula yang berlawanan dengan tujuan akad. Ada syarat yang
manfaatnya kembali kepada pihak perempuan, dan ada pula yang dilarang oleh syara’ masing-masing
syarat itu mempunyai hukum tersendiri. Ulama fiqh sepakat bahwa syarat yang
sesuai dengan tujuan akad harus dipenuhi oleh kedua mempelai. Misalnya syarat
akan mempergauli isteri dengan baik, pakaian, tempat tinggal dan akan minta
izin pada suami apabila isteri bepergian dan syarat lain yang sifatnya tidak
menyeleweng dari hukum Allah. Mereka juga sepakat tentang melarang syarat yang
tidak sesuai dengan tujuan akad, misalnya syarat bahwa suami tidak akan memberikan
nafkah kepada isteri, tidak akan memberi maskawin atau isteri harus memberi
nafkah kepada suami atau isteri hanya akan dipergauli pada siang hari, tidak
malam hari atau syarat lain yang bertentangan dengan tujuan akad. Akan tetapi,
ulama fiqih berbeda pendapat tentang syarat-syarat yang tidak sejalan tetapi
tidak berlawanan dengan tujuan akad. Artinya syarat tersebut memang bermanfaat
bagi salah satu calon mempelai, misalnya syarat bahwa isteri tidak akan diusir
dari rumah atau kampungnya, tidak berpergian bersama (isteri), tidak akan kawin
lagi dan sebagainya. Menurut sebagian ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah bahwa
perkawinannya sah tetapi syarat itu sia-sia, tidak mengikat, suami tidak wajib
memenuhi janjinya,18 mereka beralasan dengan hadits :
عن ابن عمر رضي الله
عنهما : كل شرط خلف كتاب الله فهو باطل و ان اشترط مائة شرط ( رواه البخاري)
Artinya : “Dari
Umar r.a : Semua syarat yang tidak sesuai dengan kitabulllah maka syarat itu
batal meskipun seratus syarat”.
Mereka
berpendapat bahwa syarat-syarat di atas bukan dari kitab Allah, karena syari’at
tidak menghendakinya dan syarat tersebut tidak akan menambahkan kebaikan akad
dan tujuan akad.
عن عمر
وابن عوف المزني رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : المسلمون على شروطهم الا شرطا
احل حراما أو حرم حلالا (رواه
الترمذي وصحح)
Artinya : Dari
Umar bin Auf al-Mazani r.a bahwa Sesungguhnya Rasulullah Saw telah bersabda :
“Orang Islam itu terikat dengan syarat yang mereka buat, kecuali syarat
menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. (HR. Turmudzi dan hadits ini Shahih)
Mereka
berpendapat bahwa syarat-syarat di atas dianggap mengharamkan yang halal,
seperti kawin lagi (poligami) dan bepergian kedua hal itu adalah halal. Sebagian
ulama lainnya. Hambaliyah mewajibkan dipenuhinya syara-syarat terhadap wanita.
Apabila tidak dipenuhi maka perkawinanya dapat difasakhkan.
Mereka beralasan dengan hadits Nabi :
عن
عقبة بن عامر قال : قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم :
إن أحق الشرط أن يوفي به ما استحللتم به الفروج (رواه الجماعة)
Artinya : Dari
Uqbah bin Amir telah berkata : telah berabda Rasulullah Saw : Syarat yang lebih
patut untuk dipenuhi yaitu perjanjian yang menyebabkan halalnya kehormata
perempuan. (HR Riwayat Bukhari dan Muslim dari Uqbah
bin Amir).
Pendapat
yang mangatakan kalau syarat tidak berpoligami dalam akad nikah dianggap
mengharamkan yang halal terbantah, sebab syarat itu tidak mengharamkan yang
halal tetapi memberikan pilihan bagi si perempuan untuk minta fasakh apabila
syarat itu tidak dipenuhi.
Di
dalam kitab al-Mughni
karangan Ibnu Qudamah, disebutkan bahwa ada
syarat yang manfaatnya kembali kepada isteri, maka syarat itu harus dipenuhi
oleh suami, misalnya isteri tidak akan diusir dari kampungnya atau negaranya,
tidak bepergian bersama isteri, tidak akan kawin lagi dan tidak akan
menyakitinya. Jika syarat tersebut tidak dipenuhi suami, maka perempuan
(isteri) dapat minta fasakh terhadap suaminya.
Sayyid
Sabiq berpendapat : “membolehkan si isteri menuntut pasakh apabila suami
melanggar perjanjian tersebut”
فلو
شرطت الزوجة في عقد الزواج على زوجها الا يتزوجا عليه صح الشرط ولزم وكان لها حق
فسخ الزواج اذا لم يف لها الشرط
Artinya : Apabila
seorang isteri mensyaratkan pada waktu akad nikah agar suaminya tidak kawin
lagi (memadunya), maka syarat itu sah dan mengikat, dan berhak menuntut fasakh
nikah apabila suami melanggar perjanjian itu.
Menurut
Ibnu Taimiyah di dalam kitab al-Ikhtiyat al-Fiqhiyah berpendapat bahwa sebagai berikut : Apabila
pihak suami memberikan syarat kepada pihak isteri dalam akad nikah atau mereka
sepakat sebelum akad, agar isteri tidak pindah dari rumahnya atau negaranya
atau suami tidak akan kawin lagi, maka isteri berhak meminta talaknya, maka
syarat seperti itu sah.
Tengku
Muhammad Hasbi ash Shiddieqy bependapat kepada keharusan memenuhi segala syarat
yang manfaatnya kepada si wanita sehingga dia mau dinikahi dan jika tidak
dipenuhi, maka si wanita boleh menfasahkan penikahan itu. Ibnu
Rusyd berkata sebabnya terjadi perselisihan, ialah berlawanan nash yang umum
dengan nash yang khusus, nash yang umum ialah nash yang mengatakan bahwa segala
syarat yang tidak terdapat dalam kitabullah, batal. Sedangkan nash yang khusus
ialah nash yang menandaskan, bahwa syarat yang paling berhak dipenuhi ialah
syarat yang dilakukan untuk memperoleh keridhaan wanita yang dinikahi. Kedua
hadits ini shahih, diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. Namun demikian
menurut paham yang mashur dalam kalangan ulama ushul fiqh, ialah mempergunakan
khusus dan mengalahkan yang umum, yaitu memenuhi syarat-syarat yang disyaratkan
itu.
[1]
Mohammad Asmawi, Nikah Dalam Perbincangan dan Perbedaan, cet. ke-1
(Yogyakarta: Das As-Salam, 2004), hlm. 18
[2] Saleh
Ibn Abd, Al-Azis al-Mansur, Nikah Dengan Niat Talah? Alih bahasa Al Pran
MA jabbar, cet ke-1 (Surabaya: Pustaka Progresif, 2004), hlm. 7
[3]
Marcel A. Borsard, op. cit., hlm. 120
[4] As-Sayyed
Sabiq, Fiqh As-Sunnah, cet. ke-4 (Beirut: Dar Fiqkrm, 1983,), him. 206
[5] Ibid.,
hlm 121
[6]
Abdul Qadir Al-Jaelani, Keluarga Sakinah, cet ke-3 (Surabaya: PT. Bina
Ilmu, 1995),
hlm 316
[7] Baca QS.
An-Nisaa’ , ayat 21.
[8] Abdul Qadir
Jailani, op cit., hlm 316
[9]
Ibnu Qudamah, Kelembutan Hati Meneladani Salaf As-Salih, Alih Bahasa
Kamaluddin Sa’adiyatul Haramain, Cet. Ke. I, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2001,
hlm. 16
[10]
Abdul Aziz Dahlan, dkk., (ed), Ensiklopedi Hukum Islam, Cet. Ke. 5,
(Jakarta: Velution Baru Islam Houve, 2001), hlm. 619
[11]
Ibnu Qudamah, op. cit., hlm. 16
[12] Abdullah
Mustafa Al-Maraghi, Faham-faham Fiqh Sepanjang Sejarah, Alih Bahasa,
Tusain Muhammad, Cet. Ke. I, (Yogyakarta: LKPSM, 2001), hlm. 195
[13]
Ibid. Ada pendapat usia 10 tahun, ia telah hafal al-qur'an (Dalam Ibnu Qudamah,
op. cit., hlm . 16)
[14] Abd. Aziz
Dahlan, dkk., (ed). op. cit., hlm. 619
[15] Abdullah
Mustafa Al-Maraghi, op. cit., hlm. 1951
[16]
Abd. Aziz Dahlan, dkk, (ed), op. cit., 619.
[17] Ibid.
[18] Abdullah
Mustafa Al-Maraghi, op. cit., hlm. 195
[19] Ibid.
[20]
Abd. Aziz Dahlan, dkk., (ed), op. cit., hlm. 619
[21] Abdullah
Mustafa Al-Maraghi, op. cit., hlm . 195
[22] Abd. Aziz
Dahlan, (ed), op. cit., hlm. 619
[23] Ibnu Qudamah, op.
cit., hlm. 16
[24] Ibid.,
hlm. 17
[25]
Abd. Aziz Dahlan, dkk., (ed), op. cit., hlm. 619. Bandingkan dalam
Abdullah Mustafa Al-Maraghi, op. cit., hlm. 195
[26] Ibn Qudamah, op.
cit., hlm. 17
[27] Abdullah
Mustafa al-Maraghi, op. cit. hlm. 196
[28]
Abd. Aziz Dahlan, op. cit.
[29] Ibnu Qudamah, op.
cit., hlm. 19
[30]
Abdullah Mustafa, op. cit., hlm. 196
[31]
Ibnu Qudamah, op. cit., hlm. 19
[32] Ibid.
[33] Ibid.
[34] Hasbi
Ash-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, cet. ke 8, (Jakarta: PT. Bulan
Bintang,
1993), hlm. 121-122.
[35]
Huzaimah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Madzhab, cet. ke-1,
(Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 142-144
[36] Abd. Aziz
Dahlan, dkk, (ed), op. cit., hlm. 620
[37] Huzaimah
Tahido Yanggo, op.cit, hlm. 146.
[38] Abdurrahman I.
Doi, Perkawinan dan Syari’at Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 1992, hlm.
[39] Ahmad Rafiq, Hukum
Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997, hlm.
[40] Sayyid Sabiq, Fiqh
Sunnah, (tarj.), Muh. Thalib, Bandung: al-Ma’arif, 1997, hlm. 150.
[41] Wahbah
al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islam, juz, VII, Beirut : Dar al-Fikr, 1997, hlm.
53
[42] H. S. A.
Al-Hamdani, op. cit., hlm. 59
[43]
Wahbah al-Zuhaily, op. cit., hlm. 34
[44]
Imam Bukhari, Shahih Bukhari, Beirut Lebanon: Dar al-Kutub al-Alamiyah,
1992, hlm. 251.
[45] H. S. A.
Al-Hamdani, op. cit., hlm. 34.
[46]
Ismail al-Kahlani, Subu al-Salam, juz III, Semarang: Toha Putra, hlm.
59.
[47] Sayid Sabiq, op,
cit, hlm. 72
[48] Ibnu Qudamah, al-Mughni,
Juz. VII, Dar al-Kutb al-Alamiyah, hlm. 448.
[49] Imam Muslim, op.
cit., hlm. 1036.
[50] Ibnu Qudamah, loc,
cit.
[51] Ibid.
[52] Ahmad Rofiq, op.
cit., hlm. 169
[53]
Syekh al-Islam Ibnu Taimiyah, al-Ikhtiyarat al-Fiqhiyah, Beirut Libanon:
Daar al-Kutub al-Ilmiyah, 1995, hlm. 183.
[54] Tengku
Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadits-hadits Hukum VII, Jakarta;
Yayasan Tengku Muhammad ash-Shiddieqy, 2001, hlm. 92
[55] Ibid.,hlm.
93
[56]
Mahmud Abd. Al-Qadr Ata dan Mustafa Abd. Al-Qadr Ata, Al Fatamen Al Kubra,
li Al-Imam al-Alamah Taqi’y Abd. ibn Taimiyah, Edisi Ke. 1, (Beirut: Dari
al-Kutub al-Ilmiyah, 1987), hlm. 100
[57] Ibnu Qudamah, op.cit,
hlm.645
[58] Ibid.
[59] Abu
Muhammad Abdullah ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Qudamah al-Maqdisi, op. cit., hlm.
647
[60] Mansur Faqih, op.
cit., hlm. 130
[61] Mohammad
Abd. Al-Qadir Ata dan Musthafa Abd. Al-Qadir Ata, Al Fatamen Al-Kubra Li Al
Iman Al-Alamah Taqiy Abd. Ibn Taimiyah, Edisi Ke. I, (Beirut: Dar Al-Kutub
Al-Ilmiyah, 1987), hlm. 100
[62] Muhammad
Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar, Cet. Ke. 2, (Ttp: Tnp, 19973), hlm. 17
Author: Mohammad
Mohammad is the founder of STC Network which offers Web Services and Online Business Solutions to clients around the globe. Read More →
Related Posts:
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
mantap gan artikelnya, lengkap penjelasannya
BalasHapussouvenir pernikahan murah
sama-sama, semoga bermanfaat.
Hapus