Download this Blogger Template by Clicking Here!

PROFIL

https://web.facebook.com/irwan.a.lovers

Sabtu, 15 Agustus 2015

Widgets

Transfusi dan Transplantasi organ tubuh manusia perspektif hukum islam




PENDAHULUAN
Dewasa ini ilmu pngetahuan dan teknologi di bidang kedokteran berkembang dengan pesat. Salah satunya adalah kemajuan dalam teknik transfuse darah dan transplantasi organ tubuh. Transfuse darah dan transplantasi organ tubuh merupakan suatu teknologi medis untuk melakukan transfuse darah dan  penggantian organ tubuh pasien yang tidak  berfungsi dengan organ dari individu yang lain.  Sejak kesuksesan  transplantasi yang pertama kali berupa ginjal dari donor kepada pasien gagal ginjal pada tahun 1954, perkembangan di bidang transplantasi maju dengan pesat. Kemajuan ilmu dan teknologi memungkinkan pengawetan organ, penemuan obat-obatan anti penolakan yang semakin baik sehingga berbagai organ dan jaringan dapat ditransplantasikan. Dalam beberapa kepustakaan disebutkan bahwa transplantasi organ  sudah dilakukan sejak tahun 600 SM. Dimana saat itu Susruta dari India telah melakukan transplantasi kulit.
            Transplantasi adalah memindahkan alat atau jaringan tubuh dari satu organ ke orang lain. Transplantasi organ dan jaringan tubuh manusia merupakan tindakan medic yang sangat bermanfaat bagi pasien dengan gangguan fungsi organ tubuh yang berat. Ini adalah terapi pengganti (alternatif) yang merupakan upaya terbaik untuk menolong pasien dengan kegagalan organnya, karena hasilnya lebih memuaskan dibandingkan dan  hingga dewasa ini terus berkembang dalam dunia kedokteran, namun tindakan medic ini tidak dapat dilakukan begitu saja, karena masih harus dipertimbangkan dari segi non medic, yaitu dari segi agama, hokum, budaya, etika da moral. Kendala lain yang dihadapi Indonesia dewasa ini dalam menetapkan terapi transplantasi adalah terbatasnya jumlah donor keluarga (living related donor, LDR) dan donasi organ jenazah. Karena itu diperlukan kerjasama yang saling mendukung antara para pakar terkait (hokum, kedokteran, sosiologi , pemuka agama, pemuka masyarakat), pemerintah dan swasta.
PEMBAHASAN
A.  Transfusi Darah
1.      Pengertian
Perkataan transfusi darah, adalah terjemahan dari bahasa inggris “blood transfution”  kemudian diterjemahkan dokter arab menjadi (memindahkan darah karena kepentingan medis). Lalu Dr. Ahmad Sofyan mengartikan transfusi darah dengan istilah “pindah-tuang darah” sebagaimana dikemukakannya dalam rumusan definisinya yang berbunyi:
“Pengertian pindah-tuang darah adalah memasukkan darah orang lain ke dalam pembuluh darah orang yang yang akan ditolong”
Sedangkan Asy-Syekh Husain Muhammad Makhluuf merumuskan definisinya sebagai berikut:
نَقْلُ الدَّمِ لِلْعِلَاجِ هُوَ الْإِنْتِفَاعُ بِدَمِ الْإِنْسَانِ بِنَقْلِهِ مِنَ الصَّحِيْحِ إِلَى المَرِيْضِ لِاِ نْقَاذِ حَيَاتِهِ.
Artinya:
Transfusi darah adalah memanfaatkan darah manusia, dengan cara memindahkannya dari (tubuh) orang yang sehat kepada orang yang membutuhkannya, untuk mempertahankan hidupnya.[1]
2.      Pandangan islam mengenai transfuse darah
Islam tidak melarang seorang muslim atau muslimah menyumbangkan darahnya untuk tujuan kemanusiaan, bukan komersialisasi; baik darahnya itu disumbangkan secara langsung kepada orang yang memerlukan transfusi darah, misalnya untuk anggota keluarga sendiri, maupun diserahkan kepada palang merah atau bank darah untuk disimpan sewaktu-waktu untuk menolong orang yang memerlukan.
Penerima sumbangan darah tidak disyariatkan harus sama dengan donornya  mengenai agama/kepercayaannya, bangsa/suku bangsanya, dan sebagainya. Karena menyumbangkan darah dengan ikhals itu adalah termasuk amal kemanusiaan yang sangat dihargai dan dianjurkan oleh Islam, sebab dapat menyelamatkan jiwa manusia, sesuai dengan firman Allah dalam Surat Al-Maidah ayat 32:
ô`tBur $yd$uŠômr& !$uK¯Rr'x6sù $uŠômr& }¨$¨Y9$# $YèÏJy_ 4  
Dan Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah ia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.
Jadi, boleh saja mentransfusi darah seorang muslim untuk orang non-muslim (Katolik, Hindu, Budha, dan sebagainya), dan sebaliknya demi menolong dan memuliakan/menghormati harkat dan martabat manusia (human dignity). Sebab Allah sebagai Khalik alam semesta termasuk manusia berkenan memuliakan manusia, sebagaimana firman-Nya dalam Al-Qur’an Surat Al-Isra ayat 70:
 ôs)s9ur $oYøB§x. ûÓÍ_t/ tPyŠ#uä
Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam (manusia)
Berdasarkan ayat di atas, maka sudah seharusnya manusia bisa saling tolong menolong, dan menghormati sesamanya (mutual respect).
Adapun dalil syar’i yang bisa menjadi pegangan untuk membolehkan transfusi darah tanpa mengenal batas agama dan sebagainya, berdasarkan kaidah hukum fiqh Islam yang berbunyi:
اَلْأَصْلُ فِى الْأَشْيَاءِ الْإِبَاحَةُ حَتَّى يَدُلَّ الدَّلِيْلُ عَلَى تَحْرِيْمِهَا
Bahwasanya pada prinsipnya segala sesuatu itu boleh hukumnya, kecuali kalau ada dalil yang mengharamkannya.
Sedangkan tidak ada satu ayat dan satu hadis pun yang secara eksplisit atau dengan nash yang sharih melarang transfusi darah; maka berarti transfusi darah diperbolehkan, bahkan perbuatannya sebagai donor darah itu ibadah, jika dilakukan dengan niat mencari keridhaan Allah dengan jalan menolong jiwa sesama manusia.
Namun, untuk memperoleh maslahah dan menghindari mafsadah (bahaya/resiko), baik bagi donor darah maupun bagi penerima sumbangan darah, sudah tentu transfusi itu harus dilakukan setelah melalui pemeriksaan yang teliti terhadap kesehatan kedua-duanya, terutama kesehatan donor darah harus benar-benar bebas dari penyakit menular yang dideritanya, seperti penyakit AIDS (penyakit yang menyebabkan penderitanya kekurangan/kehilangan daya tahan tubuhnya).
Jelaslah, bahwa persyaratan diperbolehkannya transfusi darah itu berkaitan dengan masalah medis, bukan masalah agama. Persyaratan ini harus dipenuhi, karena adanya kaidah-kaidah hukum Islam sebagai berikut:
a)  اَلضَّرَرُ يُزَالُ  , artinya Bahaya itu harus dihilangkan (dicegah). Misalnya bahaya kebutaan harus dihindari dengan berobat dan sebagainya.
b)   اَلضَّرَرُ لَا يُزَالُ بِالضَّرَرِ , artinya Bahaya itu tidak boleh dihilangkan dengan bahaya lain ( yang lebih besar bahayanya). Misalnya seorang yang memerlukan transfusi darah karena kecelakaan lalu lintas, atau operasi, tidak boleh menerima darah orang yang terkena AIDS, sebab bisa mendatangkan bahaya yang lebih besar/berakibat fatal.
c)   لَا ضّرَرَ وَ لَا ضِرَارِ , artinya Tidak boleh membuat mudarat kepada dirinya sendiri dan tidak pula membuat mudarat kepada orang lain. Misalnya seorang pria yang impoten atau terkena AIDS tidak boleh kawin sebelum sembuh. Demikian pula seorang yang masih hidup tidak boleh menyumbangkan ginjalnya kepada orang lain.
3.      Hubungan antara Donor dan Resipien
Transfusi darah itu tidak membawa akibat hukum adanya hubungan kemahraman (haram perkawinan) antara donor dan resipien. Sebab faktor-faktor yang dapat menyebabkan kemahraman sudah ditentukan oleh Islam sebagaimana tersebut dalam Al-Qur’a Surat An-Nisa ayat 23, ialah:
a.       Mahram karena adanya hubungan nasab. Misanya hubungan antara anak dengan ibunya atau saudaranya sekandung/sebapak/seibu dan sebagainya.
b.      Mahram karena adanya hubungan perkawinan. Misalnya hubungan antara seorang dengan mertuanya atau anak tiri dari istri yang telah disetubuhi dan sebagainya.
c.       Mahram karena adanya hubungan sepersusuan. Misalnya hubungan antara seorang dengan wanita yang pernah menyusuinya atau dengan orang yang sepersusuan dan sebagainya.
Kemudian pada ayat berikutnya (An-Nisa ayat 24) ditegaskan bahwa selain wanita-wanita yang tersebut pada An-Nisa ayat 23 di atas adalah halal dinikahi. Sebab tidak adanya hubungan kemahraman, kecuali mengawini seorang wanita bersama bibinya secara poligamis dilarang berdasarkan hadis Nabi. Maka jelaslah, bahwa transfusi darah tidak mengakibatkan hubungan kemahraman antara donor dan resipien. Karena itu, perkawinan antara donor dan resipien diizinkan oleh agama (hukum Islam), berdasarkan mafhum mukhalafah Surat An-Nisa ayat 23-24 tersebut di atas.
4.      Hukum Memperjualbelikan Darah
Sebagaimana telah diketahui, bahwa sumber darah amat terbatas, sedang yang memerlukannya sangat banyak, apalagi sering terjadi kecelakaan, ada yang tidak tertolong karena kehabisan persediaan darah.
Dalam keadaan seperti ini, mungkin ada orang yang mempergunakan kesempatan untuk mencari keuntungan, yaitu memperjualbelikan darah. Bila diberi peluang dan tidak ketat diawasi, maka timbul kekhawatiran, bahwa ada di antara anggota masyarakat yang menjual darahnya karena didesak keperluan hidupnya. Akhirnya bisa membahayakan para donor tersebut, karena diperiksa terlebih dahulu, atau darah yang diperjualbelikan itu milik dari donor yang mempunyai penyakit yang berbahaya.
Kalau dipikir-pikir dalam-dalam, maka orang yang memperjualbelikan darah itu kurang manusiawi, sebab penggunaan darah itu adalah untuk menolong nyawa si penderita (secara lahiriahnya). Dalam keadaan yang semacam ini, seharusnya yang berbicara adalah nurani, bukan materi yang menonjol.
Kalau di tinjau dari segi hukum, maka di antara ulama ada yang memperbolehkan jual beli darah, sebagaimana halnya jual beli barang najis yang ada manfaatnya, seperti kotoran hewan. Dengan demikian secara analogis (Qiyas), diperbolehkan memperjualbelikan darah manusia (sama-sama najis) dan memang besar manfaatnya untuk menolong jiwa manusia. Pendapat ini dianut oleh mazhab Hanafi dan Zhahiri.[2]
B.  Transplantasi Anggota Badan
1.      Pengertian
Pencangkokan (transplantasi) ialah pemindahan organ tubuh yang mempunyai daya hidup yang sehat untuk menggantikan organ tubuh yang tidak sehat dan tidak berfungsi dengan baik, yang apabila diobati dengan prosedur medis biasa, harapan penderita untuk bertahan hidupnya tidak ada lagi.
Pada saat ini juga, ada upaya memberikan organ tubuh kepada orang yang memerlukan, walaupun orang itu tidak menjalani pengobatan, yaitu untuk orang yang buta. Hal ini khusus donor mata bagi orang buta.
Pencangkokan organ tubuh yang menjadi pembicaraan pada waktu ini adalah : mata, ginjal dan jantung. Karena ketiga organ tubuh tersebut sangat penting fungsinya untuk manusia terutama sekali ginjal dan jantung.
2.      Macam-macam donor organ tubuh
Ada 3 (tiga) tipe donor organ tubuh, dan setiap tipe mempunyai permasalahannya sendiri, yaitu:
a.       Donor dalam keadaan hidup sehat. Tipe ini memerlukan seleksi yang cermat dan general check up (pemeriksaan kesehatan yang lengap), baik terhadap donor maupun terhadap si penerima (resipien), demi menghindari kegagalan transplantasi yang disebabkan oleh karena penolakan tubuh resipien, dan sekaligus untuk mencegah resiko bagi donor. Sebab menurut data statistik, 1 dari 1000 donor meninggal dan si donor juga merasa was-was dan tidak aman, karena menyadari bahwa dengan menyumbangkan sebuah ginjalnya, misalnya, ia tidak akan memperoleh kembali ginjalnya seperti sedia kala.
b.      Donor dalam keadaan hidup koma atau diduga kuat akan meninggal segera. Untuk tipe ini, pengambilan organ tubuh donor memerlukan alat kontrol dan penunjang kehidupan, misalnya dengan bantuan alat pernapasan khusus. Kemudian alat-alat penunjang kehidupan tersebut di cabut, setelah selesai proses pengambilan ogan tubuhnya. Hanya, criteria mati secara medis/klinis dan yuridis perlu ditentukan dengan tegas dan tuntas. Apakah kriteria mati itu ditandai dengan berhentinya denyut jantung dan pernafasan (sebagaimana rumusan PP No. 18/1981) ataukah ditandai dengan berhentinya fungsi otak (sebagaimana rumusan Kongres IDI tahun 1985). Penegasan criteria mati secara klinis dan yuridis itu sangat penting bagi dokter sebagai pegangan dalam menjalankan tugasnya, sehingga ia tidak khawatir dituntut melakukan pembunuhan berencana oleh keluarga  yang bersangkutan sehubungan dengan praktek transplantasi itu.
c.       Donor dalam keadaan mati. Tipe ini merupakan tipe yang ideal, sebab secara medis tinggal menunggu penetuan kapan donor dianggap meninggal secara medis dan yuridis dan harus diperhatikan pula daya tahan tubuh yang mau diambil untuk transplantasi.
3.      Pandangan islam mengenai transplantasi organ tubuh
Bagaimana pandangan Islam terhadap transplantasi ketiga organ tubuh tersebut  di atas, yakni mata, ginjal, dan jantung? Jawaban masalah ini tergantung kepada kondisi donornya, apakah donor dalam keadaan hidup sehat, ataukah dalam keadaan koma atau hampir meninggal, ataukah dalam keadaan mati.
Apabila pencangkokkan mata (selaput bening mata atau kornea mata), ginjal, dan jantung dari donor dalam keadaan hidup sehat, maka menurut hemat penulis, Islam tidak membenarkan (melarang), karena:
1.      Firman Allah dalam al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 195:
Ÿwur (#qà)ù=è? ö/ä3ƒÏ÷ƒr'Î/ n<Î) Ïps3è=ök­J9$#
Dan  janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan
Ayat ini mengingatkan manusia agar tidak gegabah berbuat sesuatu yang bisa berakibat fatal bagi dirinya, sekalipun mempunyai tujuan kemanusiaan yang luhur.
Misalnya seorang menyumbangkan sebuah matanya atau sebuah ginjalnya kepada orang lain yang buta atau tidak berfungsi ginjalnya, sebab selain ia mengubah ciptaan Allah yang membuat buta mata dan ginjal berpasangan, juga ia menghadapi resiko sewaktu-waktu mengalami tidak normalnya atau tidak berfungsinya mata atau ginjalnya yang tinggal sebuah itu.
2.      Kaidah Hukum Islam
دَرْءُ اْلمَفَا سِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ اْلمَصَا لِحِ
Menghindari kerusakan/resiko dudahulukan atas menarik kemaslahatan
Misalnya, menolong orang dengan cara mengorbankan dirinya sendiri bisa berakibat fatal bagi dirinya, tidak dibolehkan oleh Islam.
3.      Kaidah Hukum Islam
اَلضَّرَرُ لًا يُزَالُ بِالضَّرَرِ
Bahaya tidak boleh dihilangkan dengan bahaya lainnya.
Misalnya, bahaya yang mengancam jiwa si A, tidak boleh diatasi/dilenyapkan dengan cara yang bisa menimbulkan bahaya baru yang mengancam jiwa orang yang menolong si A tersebut.
Apabila pencangkokkan mata, ginjal, atau jantung dari donor dalam keadaan koma atau hampir meninggal; maka Islam pun tidak mengizinkan, karena:
1.      Hadits Nabi
لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ
Tidak boleh membikin mudarat pada dirinya dan tidak boleh pula membikin mudarat pada orang lain.
Misalnya orang yang organ tubuh dari seorang donor yang belum mati secara klinis dan yuridis untuk transplantasi, berarti ia membuat mudarat kepada donor yang berakibat mempercepat kematiannya
2.      Manusia wajib berikhtiar untuk menyembuhkan penyakitnya, demi mempertahankan hidupnya; tetapi hidup dan mati itu di tangan Allah. Karena itu manusia tidak boleh mencabut nyawanya sendiri (bunuh diri) atau mempercepat kematian orang lain, sekalipun dilakukan oleh dokter dengan maksud untuk mengurangi/menghentikan penderitaan si pasien.
Apabila pencangkokan mata, ginjal, atau jantung dari donor yang telah meninggal secara yuridis dan klinis, maka menurut penulis, Islam bisa mengizinkan dengan syarat:
1.      Resipien (penerima sumbangan donor) berada dalam keadaan darurat, yang mengancam jiwanya dan ia sudah menempuh pengobatan secara medis dan nonmedis, tetapi tidak berhasil.
2.      Pencangkokkan tidak akan menimbulkan komplikasi penyakit yang lebih gawat bagi resipien dibandingkan dengan keadaannya sebelum pencangkokkan.
Adapun dalil syar’I yang dapat dijadikan dasar untuk membolehkan pencangkokkan mata (selaput bening/kornea mata), ginjal, atau jantung, antara lain adalah sebagai berikut:
1.      Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 195 di atas, yang menurut sebab turun ayatnya adalah para Sahabat Nabi mulai merasa Islam dan umat Islam telah menang dan kuat. Karena itu, mereka ingin melakukan bisnis perdagangan dan sebagainya dengan sepenuh tenaga guna memperoleh kembali harat benda yang lenyap selama itu akibat perjuangan untuk agama. Maka ayat ini memperingatkan kepada Sahabat agar tidak tergoda oleh harta sampai lengah dan lupa perjuangan yang mulia, sebab musuh-musuh Islam masih tetap mencari dan menunggu kelengahan umat Islam agar dengan mudah Islam dapat dihancurkan.
Ayat tersebut secara analogis dapat dipahami, bahawa Islam tidak membenarkan pula orang yang membiarkan dirinya dalam keadaan bahaya maut atau tidak berfungsinya organ tubuh yang sangat vital baginya, tanpa usaha penyembuhan secara medis dan nonmedis, teremasuk pencangkokkan organ tubuh, yang secara medis memberi harapan kepada yang bersangkutan untuk bisa bertahan hidup dengan baik.
2.      Al-Qur’an Surat Al-Maidah ayat 32:
ô`tBur $yd$uŠômr& !$uK¯Rr'x6sù $uŠômr& }¨$¨Y9$# $YèÏJy_ 4
Dan Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah Dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.
Ayat ini menunjukkkan bahawa Islam sangat menghargai tindakan kemanusiaan yang dapat menyelamatkan jiwa manusia. Misalnya seorang yang menemukan bayi yang tidak berdosa yang di buang di sampah, wajib mengambilnya untuk menyelamatkan jiwanya. Demikian pula seorang yang dengan ikhlas hati mau menyumbangkan organ tubuhnya (mata, ginjal, atau jantung) setelah ia meninggal, maka Islam membolehkan, bahkan memandangnya sebagai amal perbuatan kemanusiaan yang tinggi nilainya, karena menolong jiwa sesama manusia atau memebantu berfungsinya kembali organ tubuh sesamanya yang tidak berfungsi.
3.      Hadis Nabi
تَدَاوُوْاعِبَادَ اللهِ فَإِنَّ اللهَ لَمْ يَضَعْ دَاءً إِلَّاوَضَعَ لَهُ دَوَاءً غَيْرَدَاءٍوَاحِدٍ اْلهَرَمُ
Berobatlah kamu hai hamba-hamba Allah, karena sesungguhnya Allah tidak meletakkan suatu penyakit, kecuali Dia juga meletakkan obat penyembuhnya, selain penyakit yang satu, yaitu penyakit tua (Hadis riwayat Ahman bin Hanbal, At-Tirmidzi, Abu Daud, An-Nasai, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim dari Usamah bin Syarik)
Hal ini menunjukkan bahwa umat Islam wajib berobat jika menderita sakit, apa pun macam penyakitnya, sebab setiap penyakit berkah kasih sayang Allah, pasti ada obat penyembuhnya, kecuali sakit tua. Karena itu penyakit yang sangat ganas, seperti kanker dan AIDS yang telah banyak membawa korban manusia di seluruh dunia, terutama di dunia Barat, yang hingga kini belum diketahui  obatnya, maka pada suatu waktu akan ditemukan pula obatnya.
4.      Kaidah hukum Islam:
اَلضَّرَرُ يُزَالُ
Bahaya itu dilenyapkan / dihilangkan.
Seorang yang menderita sakit jantung atau ginjal yang sudah mencapai stadium yang gawat, maka ia menghadapi bahaya maut sewaktu-waktu. Maka menurut kaidah hukum di atas, bahaya maut itu harus ditanggulangi dengan usaha pengobatan. Dan jika usaha pengobatan secara medis biasa tidak bisa menolong, maka demi menyelamatkan jiwanya, pencangkokan jantung atau ginjal diperbolehkan karena kaeadaan darurat. Dan ini berarti, kalau penyembuhan penyakitnya bisa dilakukan tanpa pencangkokan, maka pencangkokan organ tubuh tidak dikenakan.
5.      Menurut hukum wasiat, keluarga orang meninggal wajib melaksanakan wasiat orang yang meninggal mengenai  hartanya dan apa yang bisa bermanfaat, baik untuk kepentingan si mayat itu sendiri (melunasi utang-utangnya), kepentingan ahli waris dan non ahli waris, maupun untuk kepentingan agama dan umum (kepentingan social, pendidikan, dan sebagainya). Berhubung si donor organ tubuh telah membuat wasiat untuk menyumbangkan organ tubuhnya untuk kepentingan kemanusian, maka keluarga/ahli waris wajib membantu pelaksanaan wasiat si mayat itu.
 Sebaliknya, apabila seseorang pada waktu hidupnya tidak mendaftarkan dirinya sebagai donor organ tubuh dan ia tidak pula memberi wasiat kepada keluarga/ahli warisnya untuk menyumbangkan organ tubuhnya apabila ia nanti meninggal , maka keluarga/ahli warisnya tidak berhak mengizinkan pengambilan organ tubuh si mayat untuk pencangkokan atau untuk penelitian ilmiah dan sebagainya.[3]
4. Hubungan antara Donor dan Resipien
Bagaimana menurut islam, apakah donor organ tubuh itu bisa mendapat pahala, jika resipien (penerima organ tubuh) orang yang saleh, dan apakah si donor juga menanggung dosa, jika resipien-nya  orang yang suka berbuat maksiat? Pertanyaan ini dapat dijawab dengan tegas “tidak”! berdasarkan dalil-dalil sebagai berikut.
1.      Al-Qur’an Surat Al-Najm ayat 39-41 :
br&ur }§øŠ©9 Ç`»|¡SM~Ï9 žwÎ) $tB 4Ótëy ÇÌÒÈ   ¨br&ur ¼çmuŠ÷èy t$ôqy 3tãƒ ÇÍÉÈ   §NèO çm1tøgä uä!#tyfø9$# 4nû÷rF{$# ÇÍÊÈ  
Artinya:
Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya, dan bahwasanya usaha itu kelak akan diperlihat (kepadanya). kemudian akan diberi Balasan kepadanya dengan Balasan yang paling sempurna,
Ayat-ayat di atas menunjukkan, bahwa setiap orang hanya akan mendapat balasan/ganjaran dari Allah sesuai dengan amalnya masing-masing.
2.      Al-Qur’an Surat Al-Najm ayat 38 :
žwr& âÌs? ×ouÎ#ur uøÍr 3t÷zé& ÇÌÑÈ  
 Artinya:
(yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain,
Ayat ini menunjukkan, bahwa seorang tidak menanggung dosa orang lain. Berdasarkan ayat ini dan ayat-ayat tersebut diatas (Al-Najm 39-41), maka islam tidak mengenal swarga nunut, neraka katut.
3.      Hadits Nabi :
إِذَامَا ت الْإِنْسَا نَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّامِنْ ثَلَا ثٍ صَدَ قَةٍ جَا رِيَةٍ ، أَوْعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَا لِحٍ يَدْ عُوْلَهُ
Jika manusia itu telah meninggal, maka terputuslah amalnya, kecuali yang meninggalkan tiga hal, yaitu : 1. Sedekah/amal jariah (wakaf), 2.  Ilmu yang diambil bernanfaatnya oleh orang lain, dan 3. Anak saleh yang mendoakan untuk orang tuanya. (Hadits riwayat Al-Bukhari dan lain-lain dari Abu Hurairah)
Karena itu, menurut penulis, donor organ tubuh tidak bertanggung jawab atas perbuatan resipien, sebagaimana ia (donor) tidak berhak memperoleh pahala dari amalan-amalan yang baik dari resipien, sebab sumbangan organ tubuh itu tidak termasuk dalam kategori tiga hal yang disebut dalam hadist di atas.[4]
Juga perlu diingat, bahwa yang salah bukan organ tubuh, tetapi pusat pengendali, yaitu pusat urat saraf. Oleh karena itu tidak usah khawatir dengan organ tubuh yang disumbangkan, karena tujuannya adalah untuk kemanusiaan dan dilakukan dalam keadaan darurat. Hal ini sama dengan hukum transfusi darah.[5]

SHARE THIS POST   

  • Facebook
  • Twitter
  • Myspace
  • Google Buzz
  • Reddit
  • Stumnleupon
  • Delicious
  • Digg
  • Technorati
Author: Mohammad
Mohammad is the founder of STC Network which offers Web Services and Online Business Solutions to clients around the globe. Read More →

0 komentar: