Download this Blogger Template by Clicking Here!

PROFIL

https://web.facebook.com/irwan.a.lovers

Sabtu, 11 April 2015

Widgets

WAKAF Dalam Al-Fiqih al-Islami wa Adilatuh




A.Pendahuluan
             Hukum Islam merupakan perpaduan antara wahyu Allah Swt. dengan kondisi masyarakat yang ada pada saat wahyu itu diturunkan. Salah satu institusi atau pranata sosial Islam yang mengandung nilai sosial ekonomi adalah lembaga perwakafan. Sebagai kelanjutan dari ajaran tauhid, yang berarti bahwa segala sesuatu berpuncak pada kesadaran akan adanya Allah Swt. Lembaga perwakafan adalah salah satu bentuk perwujudan keadilan sosial dalam Islam. Prinsip pemili kan harta dalam ajaran Islam menyatakan bahwa harta tidak dibenarkan hanya dikuasai oleh sekelompok orang, karena akan melahirkan eksploitasi kelompok minoritas (si kaya) terhadap kelompok mayoritas (si miskin) yang akan menimbulkan kegoncangan sosial dan akan menjadi penyakit masyarakat yang mempunyai akibat-akibat negatif yang beraneka ragam.
          Wakaf telah disyari'atkan dan telah dipraktekkan oleh umat Islam seluruh dunia sejak zaman Nabi Muhammad Saw. sampai sekarang, termasuk oleh masyarakat Islam di negara Indonesia.Menurut Ameer Ali, hukum wakaf merupakan cabang yang terpenting dalam syari'at Islam, sebab ia terjalin kepada seluruh kehidupan ibadat dan perekonomian sosial kaum muslimin. Dalam  makalah ini kami coba membahas tenteng “WAKAF” dalam kitab Al-Fikih al-Islami wa Adilatuh karangan Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili.
   B.Biografi Syekh Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili
             Syekh Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili adalah seorang ulama fikih kontemporer peringkat dunia. Pemikiran fikihnya menyebar ke seluruh dunia Islam melalui kitab-kitab fikihnya, terutama kitabnya yang berjudul al-Fikih al-Islami wa Adillatuh.
             Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili dilahirkan di desa Dir Athiyah, daerah Qalmun, Damsyiq, Syria pada 6 Maret 1932 M/1351 H. Bapaknya bernama Musthafa az-Zuhyli yang merupakan seorang yang terkenal dengan kesalihan dan ketakwaannya serta hafiẓ al Qur’an, beliau bekerja sebagai petani dan senantiasa mendorong putranya untuk menuntut ilmu.  Beliau mendapat pendidikan dasar di desanya, Pada tahun 1946, pada tingkat menengah beliau masuk pada jurusan Syari’ah di Damsyiq selama 6 tahun hingga pada tahun 1952 mendapat ijazah menengahnya, yang dijadikan modal awal dia masuk pada Fakultas Syariah dan Bahasa Arab di Azhar dan Fakultas Syari’ah di Universitas ‘Ain Syam dalam waktu yang bersamaan. Ketika itu Wahbah memperoleh tiga Ijazah antara lain :
    1)   Ijazah B.A dari fakultas Syariah Universitas al-Azhar pada tahun 1956
     2)   Ijazah Takhasus Pendidikan dari Fakultas Bahasa Arab Universitas al-Azhar pada tahun 1957
    3)   Ijazah B.A dari Fakultas Syari’ah Universitas ‘Ain Syam pada tahun 1957
            Dalam masa lima tahun beliau mendapatkan tiga ijazah yang kemudian diteruskan ke tingkat pasca sarjana di Universitas Kairo yang ditempuh selama dua tahun dan memperoleh gelar M.A dengan tesis berjudul “az-Zira’i fi as-Siyasah asy-Syar’iyyah wa al-Fikih al-Islami”, dan merasa belum puas dengan pendidikannya beliau melanjutkan ke program doktoral yang diselesaikannya pada tahun 1963 dengan judul disertasi “Aṡar al-Ḥarb fi al-Fikih al-Isalmi” di bawah bimbingan Dr. Muhammad Salam Madkur.
             Pada tahun 1963 M, ia diangkat sebagai dosen di fakultas Syari’ah Universitas Damaskus dan secara berturut-turut menjadi Wakil Dekan, kemudian Dekan dan Ketua Jurusan Fikih Islami wa Maahabih di fakultas yang sama. Ia mengabdi selama lebih dari tujuh tahun dan dikenal alim dalam bidang Fikih, Tafsir dan Dirasah Islamiyyah. Kemudian beliau menjadi asisten dosen pada tahun 1969 M dan menjadi profesor pada tahun 1975 M. Sebagai guru besar, ia menjadi dosen tamu pada sejumlah univesritas di negara-negara Arab, seperti pada Fakultas Syariah dan Hukum serta Fakultas Adab Pascasarjana Universitas Benghazi, Libya ; pada Universitas Khurtum, Universitas Ummu Darman, Universitas Afrika yang ketiganya berada di Sudan. Dia juga pernah mengajar pada Universitas Emirat Arab. Dia juga menghadiri berbagai seminar internasional dan mempresentasikan makalah dalam berbagai forum ilmiah di negara-negara Arab termasuk di Malaysia dan Indonesia.Wahbah Az-Zuhaili menulis buku, buletin dan artikel tentang pelbagai disiplin ilmu keislaman. Buku-bukunya melebihi 133 buah buku dan ji-ka dikumpulkan dengan risalah-risalah kecil melebihi lebih 500 judul.
C. Pengertian, Unsur-unsur, & Macam-macam Wakaf
            Menurut pengertian bahasa, kata wakaf diambil dari bahasa Arab, kata benda abstrak (maşdar) وقف atau kata kerja (fi`il) وقف- يقف yang dapat berfungsi sebagai kata kerja intransitif (fi`il lâzim) atau transitif (fi`il muta`âdi) yang berarti menahan, mewakafkan, harta yang diwakafkan, harta wakaf. Dan kata wakaf ini dalam bahasa Arab memiliki makna yang sama dengan beberapa kata di antaranya: ( حبس - احبس صدقـة تحريم سبيل يسبل - سبل ).
              Ada yang berpendapat sebagai berikut:
الوقف بمعنى التحبيس والتسبيل
 Artinya: “menahan, menahan harta untuk di waqafkan, tidak di pindah milikkan.”
               Sedangkan menurut istilah ada beberapa definisi wakaf, di antaranya:
      1.  Menurut golongan Hanafi
حَبْسُ العَيْنِ عَلَى المِلْكِ الوَاقِفِ وَالتَّصَدُّقِ بِمَنْفَعَتِهَا.
“Menahan benda yang statusnya tetap milik si wakif (orang yang mewakafkan) dan yang disedekahkan adalah manfaatnya saja.”
      2.  Menurut golongan Maliki
جَعْلُ مَنْفَعَةٍ مَمْلُوْكٍ وَلَوْ بِأُجْرَةٍ اَوْغُلَّةٍ لِمُسْتَحِقٍّ بِصِيغَةِ مُدَّةٍ مَايَرَاهُ المُحْبِسُ.
“Menjadikan manfaat benda yang dimiliki, baik berupa sewa atau hasilnya untuk diserahkan kepada orang yang berhak, dengan bentuk penyerahan berjangka waktu sesuai denang apa yang dikehendaki oleh orang yang mewakafkan.”
      3.  Menurut golongan Syafi’i
حَبْسُ مَالٍ يُمْكِنُ الاِنْتِفَاعُ بِهِ مَعَ بَقَاءِ عَيْنِهِ بِقَطْعِ التَّصَرُّفِى رَقَبَتِهِ علَى مَصْرَفٍ مُبَاحٍ
“Menahan harta yang dapat diambil manfaatnya dengan tetap utuhnya barang, dan barang itu lepas dari penguasaan si wakif serta dimanfaatkan pada suatu yang diperbolehkan oleh agama.”

      4. Menurut golongan Hanbali
تَحْبِيْسُ مَالِكٍ مُطْلَقَ التَّصَرُّفِ مَالَهُ المُنْتَفِعَ بِهِ مَعَ بَقَاءِ عَيْنِهِ بِقَطْعِ تَصَرُّفِهِ وِغَيْرِهِ فِى رَقَبَتِهِ لِنَوْعٍ مِنْ اَنْوَاعِ التَّصَرُّفِ تَحْبِيْسًا يُصْرَفُ رِيْعُهُ اِلَى بِرٍّ تَقَرُّبًا اِلَى اللهِ.
“Menahan kebebasan pemilik harta dalam membelanjakan hartanya yang bermanfaat dengan tetap utuhnya harta dan memutuskan semua hak penguasaan terhadap harta itu, sedangkan manfaatnya dipergunakan pada suatu kebaikan untuk mendekatkan diri kepada Allah.”

5.Dalam kompilasi Hukum Islam pada pasal 215 ayat (1) dijelaskan bahwa wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadah atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.
     6.Majelis Ulama Indonesia (MUI) memperkenalkan definisi baru tentang wakaf, yaitu:Menahan harta (baik berupa asset tetap maupun asset lancar-pen.) yang dapat dimanfaatkan tanpa lenyap bendanya atau pokoknya, dengan cara tidak melakukan tindakan hukum terhadap benda tersebut (menjual, memberikan, atau mewariskannya), untuk disalurkan (hasilnya) pada sesuatu yang mubah (tidak haram) yang ada.
              Dari definisi-definisi di atas dapat dikemukakan karakteristik wakaf, yaitu: adanya penahanan (pencegahan) dari menjadi milik dan obyek pemilikan, yang diwakafkan berupa harta, dapat dimanfaatkan (mengandung manfaat), tidak boleh dijual, dihibahkan, dan diwariskan, dan disalurkan kepada hal-hal yang tidak dilarang oleh ajaran Islam.
               Penyelenggaraan wakaf harus memenuhi empat unsur, yaitu: 
     a.Wâkif, yakni pihak yang menyerahkan wakaf;
     b.Mauqûf 'alaih, yakni pihak yang diserahi wakaf;
    c.Mauqûf Bih, yakni benda atau manfaat benda yang diwakafkan;
     d.Şigat atau iqrâr, yakni pernyataan penyerahan wakaf dari pihak wakif.
             Wakaf itu adakalanya untuk anak cucu atau kaum kerabat dan kemudian sesudah mereka itu untuk orang-orang fakir miskin. Wakaf yang demikian dinamakan wakaf ahli atau wakaf żurri (wakaf keluarga). Bila wakaf tersebut diperuntukkan bagi kebajikan semata-mata, maka wakaf seperti ini disebut wakaf ħairi.
               Kemudian ada pula wakaf tunai (cash wakaf) yang pengembangannya sudah di praktekkan sejak dahulu. Bahkan dalam sejarah Islam, wakaf tunai sudah dipraktekkan sejak abad kedua Hijriyah. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari bahwa Imam az Zuhri (wafat 124 H), salah seorang ulama terkemuka dan peletak dasar tadwin al hadits, memberikan fatwanya untuk berwakaf dengan Dinar dan Dirham agar dapat dimanfaatkan sebagai sarana pembangunan, dakwah, sosial, dan pendidikan umat Islam. Cara yang dilakukan adalah dengan menjadikan uang tersebut sebagai modal usaha (modal produktif) kemudian menyalurkan keuntungannya sebagai wakaf. Kebolehan wakaf tunai juga dikemukakan oleh Mazhab Hanafi dan Maliki. Bahkan sebagian ulama Mazhab Syafi’iy juga membolehkan wakaf tunai sebagaimana yang disebut Al-Mawardy.

D. Dasar Hukum Wakaf & Cash Wakaf.
     Dalil yang menjadi dasar disyariatkan ibadah wakaf bersumber dari:
1)    Ayat al-quran, yaitu:
  ã@sW¨B tûïÏ%©!$# tbqà)ÏÿZムóOßgs9ºuqøBr& Îû È@Î6y «!$# È@sVyJx. >p¬6ym ôMtFu;/Rr& yìö7y Ÿ@Î/$uZy Îû Èe@ä. 7's#ç7/Yß èps($ÏiB 7p¬6ym 3 ª!$#ur ß#Ï軟Òム`yJÏ9 âä!$t±o 3 ª!$#ur ììźur íOŠÎ=tæ ÇËÏÊÈ  
      Artinya. perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui.(QS. Al-Baqarah:261).                                                                                                    
                                       لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ.
 Artinya:Kamu sekali-kali tidak sampai kepadakebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya”.

2)  Hadis yang di jadikan landasan hukum amalan wakaf adalah:

حدثنا يحيى ابن أيوب وقـتيبة يعني ابن سعيد وابن حجر فالو حدثنا إسماعيل هو ابن جعفار عن العلاء عن أبيه عن أبي هريرة أن رسول الله صل الله عليه وسلم قال إذا مات الإنسان انقطع عنه عمله ألا من ثلاثة إلا من صدقة جارية أوعلم لا ينتفع به أو ولد صالح يدعونه
      Artinya: “ Rasulullah bersabda: “ apabila manusia meninggaal, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara, yaitu sedekah jariyah, ilmu yang manfaat, dan anak sholeh yang mendoakan orang tuanya.”
        Adapun penafsiran shodaqoh jariyah dalam hadis tersebut adalah: “Hadis tersebut dikemukakan dalam bab wakaf, karena para ulama menafsirkan shodaqoh jariyah dengan wakaf.
           Dalam hadis diatas para ahli tafsir menafsirkan sedekah jariyah dengan wakaf, karena pahala wakaf  tidak akan terputus sepanjang pokok harta tersebut tetap ada. Jumhur ulama’ termasuk madzhab Syafi’i, Hanafi, dan Hambali mendifinisikan wakaf dengan menahan harta yang dapat di ambil manfaatnya bukan untuk kepen tingan dirinya sendiri, serta benda  yang di wakafkan tetap ada dan manfaatnya digunakan di jalan Allah SWT.
            Sedangkan Cash Wakaf (wakaf tunai) menggunakan dasar hukum Al-Quran, Hadis, Ijma, sama halnya dengan wakaf tanah.Dalil yang menjadi landasan hukum  cash wakaf, yaitu:
a)        Ayat al-quran, yaitu:
                           لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepadakebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.”
ã@sW¨B tûïÏ%©!$# tbqà)ÏÿZムóOßgs9ºuqøBr& Îû È@Î6y «!$# È@sVyJx. >p¬6ym ôMtFu;/Rr& yìö7y Ÿ@Î/$uZy Îû Èe@ä. 7's#ç7/Yß èps($ÏiB 7p¬6ym 3 ª!$#ur ß#Ï軟Òム`yJÏ9 âä!$t±o 3 ª!$#ur ììźur íOŠÎ=tæ ÇËÏÊÈ   tûïÏ%©!$# tbqà)ÏÿZムöNßgs9ºuqøBr& Îû È@Î6y «!$# §NèO Ÿw tbqãèÎ7÷Gム!$tB (#qà)xÿRr& $xYtB Iwur ]Œr&   öNçl°; öNèdãô_r& yYÏã öNÎgÎn/u Ÿwur ì$öqyz óOÎgøŠn=tæ Ÿwur öNèd šcqçRtóstƒ ÇËÏË 
Artinya: perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah  adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui. orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.(QS Al Baqorah :261-262)

b)    Hadis Nabi,
    Artinya: “dari ibnu umar, ia berkata:” umar mengatakan pada nabi, saya mempunyai seratus dirham di khaibar, saya belum ernah mendapat harta yang paling saya kagumi seerti itu, tetapi saya ingin menyedekahkannya.” Nabi mengatakan kepada umar : “ tahanlah pokoknya dan jadikanlah hasilnya sedekah untuk sabilillah.

E. Pandangan Fuqaha tentang Wakaf & Cash Wakaf.
    1. Tentang wakaf.
    a.Abu Hanifah.
               Abu Hanifah mengartikan wakaf sebagai şadaqah yang kedudukannya seperti 'ariyah, yakni pinjam meminjam. Perbedaan antara keduanya terletak pada bendanya. Dalam 'ariyah, benda ada di tangan si peminjam sebagai pihak yang menggunakan dan mengambil manfaat benda itu. Sedangkan benda dalam wakaf ada di tangan si pemilik yang tidak menggunakan dan mengambil manfaat benda itu. Dengan demikian, benda yang diwakafkan itu tetap menjadi milik wakif sepenuhnya, hanya manfaatnya saja yang dişadaqahkan. Oleh karena itu, wakaf tidak mempunyai kepastian hukum dalam arti gair lâzim, kecuali dalam tiga hal, yaitu: (1) wakaf masjid, (2) apabila hukum wakaf itu diputuskan oleh hakim, dan (3) apabila benda wakaf itu dihubungkan dengan kematian si wakif yaitu wakaf wasiat.
Mengenai akad wakaf dinyatakan oleh semua mazhab sebagai 'aqad tabarru', yaitu transaksi sepihak yang sah sebagai suatu akad yang tidak memerlukan qâbul dari pihak penerima dan dicukupkan atas ijâb si wakif.

2. Imam Malik
                Menurut teori Imam Malik, wakaf itu mengikat dalam arti lâzim, tidak mesti dilembagakan secara abadi dalam arti mu'abbad dan boleh saja diwakafkan untuk tenggang waktu tertentu (mu'aqqat). Namun demikian, wakaf itu tidak boleh ditarik di tengah perjalanan. Dengan kata lain, si wakif tidak boleh menarik ikrar wakafnya sebelum habis tenggang waktu yang telah ditetapkannya. Harta atau benda yang diwakafkan adalah benda yang mempunyai nilai ekonomis dan tahan lama. Harta itu berstatus milik si wakif, akan tetapi si wakif tidak mempunyai hak untuk menggunakan harta tersebut (taşarruf) selama masa wakafnya belim habis. Jika dalam şigat atau ikrar wakaf itu tidak menyatakan dengan tegas tenggang waktu perwakafan yang ia kehendaki, maka dapat diartikan bahwa ia bermaksud mewakafkan hartanya itu untuk selamanya (mu'abbad). Landasan hukum yang dijadikan rujukan Imam Malik adalah hadis Ibn 'Umar yang berbunyi:
     حدثنا قتيبة ابن سعيد حدثنا محمد ابن عبد الله الأنصاري حدثنا ابن عون قال انبأني نافع عن ابن عمر رضي الله عنهما ان عمر ابن الخطاب أصاب أرضابخيبرفأتى النبي صلعم يستأمره فيهافقال يارسول الله اني أصبت أرضالم أصب قط مالاأنفس عندي منه فماتأمرني فيه؟ قال ان شئت حبست أصلهاوتصدقت بهاغيرعلى أنه ولايباع أصلهاولايبتاع ولايوهب ولايورث قال فتصدق بهاعمر فى الفقراء وذوالقربى والرقاب وابن السبيل.و الضيف  لاجناح على من وليهاأن يأكل منهابالمعروف ويطعم غيرمتمول "وفى اللفط"   غيرمتأثل مالا
Umar memperoleh tanah di Khaibar, kemudian ia datang kepada Rasulullah Saw. meminta untuk mengolahnya seraya berkata: "Wahai Rasulullah, aku memiliki sebidang tanah di Khaibar, tetapi aku belum mengambil manfaatnya, bagaimana aku harus berbuat?" Nabi bersabda: Bila kamu suka, kamu tahan pokoknya dan sedekahkan hasil hasilnya. Kemudian Umar sedekah, tidak dijual, tidak dihibahkan dan tidak diwariskan. Umar menyedekahkan kepada faqir miskin, kerabat, budak belian, sabilillah, ibnu sabil dan tamu, dan tidak berdosa bagi orang yang menguasai tanah itu memakan dari hasilnya dengan cara sepantasnya dan memberikan makanan tanpa menyimpan harta untuk dirinya sendiri.
                Imam al-Syafi'i menamakan wakaf dengan istilah al-şadaqat, al-şadaqat al-muharramat, al-Hadaqat al-muharramat al-mauqûfat. Selanjutnya ia membagi jenis pemberian ke dalam dua macam, yaitu: (1) pemberian yang diserahkan si pemberi ketika ia masih hidup dan (2) pemberian yang diserahkan ketika si pemberi telah wafat. Menurut pendapat al-Syafi'i, Status hukum wakaf dan al-'itq (pembebasan hamba sahaya) adalah sama berdasarkan qiyâs. Keduanya dianggap memiliki kesamaan 'illat, yaitu kemerdekaan dalam al-'itq sama dengan mengeluarkan harta milik dalam perwakafan. Al-Syafi'i berpegang kepada persamaan antara kedua status hukum institusi tersebut dari segi adanya bentuk penyerahan benda atau harta itu kepada Allah sehingga si harta itu menjadi milik Allah. Oleh karena itu, dalam kedua kasus hukum tersebut terdapat persamaan, yaitu pelepasan milik si wakif sehingga menjadi milik Allah.

3. Imam al-Syafi'i
                Imam al-Syafi'i menamakan wakaf dengan istilah al-؛adaqat, al-؛adaqat al-muharramat, al-adaqat al-muharramat al-mauqûfat. Selanjutnya ia membagi jenis pemberian ke dalam dua macam, yaitu: (1) pemberian yang diserahkan si pemberi ketika ia masih hidup dan (2) pemberian yang diserahkan ketika si pemberi telah wafat. Menurut pendapat al-Syafi'i, Status hukum wakaf dan al-'itq (pembebasan hamba sahaya) adalah sama berdasarkan qiyâs. Keduanya dianggap memiliki kesamaan 'illat, yaitu kemerdekaan dalam al-'itq sama dengan mengeluarkan harta milik dalam perwakafan. Al-Syafi'i berpegang kepada persamaan antara kedua status hukum institusi tersebut dari segi adanya bentuk penyerahan benda atau harta itu kepada Allah sehingga si harta itu menjadi milik Allah. Oleh karena itu, dalam kedua kasus hukum tersebut terdapat persamaan, yaitu pelepasan milik si wakif sehingga menjadi milik Allah.


2.Tentang Cash Wakaf
         1.Ulama Hanafiyah.
                Ulama Mazhab Hanafi berpendapat bahwa harta yang sah diwakafkan adalah benda tidak bergerak dan benda bergerak. Benda yang tidak bergerak dipastikan a’in-nya memiliki sifat yang kekal dan memungkinkan dapat dimanfaatkan secara terus menerus.Untuk wakaf benda bergerak dibolehkan berdasarkan atsar yang membolehkan mewakafkan senjata dan binatang-binatang yang dipergunakan untuk perang. Begitu juga dengan wakaf benda bergerak seperti buku atau kitab-kitab, menurut ulama Hanafiyah, pengetahuan adalah sumber pemahaman dan tidak bertentangan dengan nash. Mereka menyatakan untuk mengganti benda wakaf yang dikhawatirkan tidak kekal adalah memungkinkan kekalnya manfaat. Menurut mereka mewakafkan buku-buku dan mushaf dimana yang diambil adalah pengetahuannya, kasusnya sama dengan mewakafkan dirham dan dinar (uang).
Wahbah Az-Zuhaili juga mengungkapkan bahwa mazhab Hanafi membolehkan wakaf tunai sebagai pengecualian, atas dasar Istihsan Bi Al-Urfi, karena sudah banyak dilakukan oleh masyarakat. Ulama Mazhab Hanafi berpendapat bahwa hukum yang ditetapkan berdasarkan ‘urf atau adat kebiasaan mempunyai kekuatan yang sama dengan hukum yang ditetapkan berdasarkan nash.

2.     Ulama Malikiyah
                Ulama pengikut mazhab maliki berpendapat boleh mewakafkan benda bergerak maupun tidak bergerak. Wahbah Az-Zuhaili menjelaskan bahwa ulama mazhab Maliki membolehkan wakaf makanan, uang dan benda bergerak lainnya, lebih lanjut wahbah Az-Zuhaili juga menjelaskan bahwa wakaf uang dapat diqiyaskan atau dianalogikan dengan baju perang dan binatang, sebab terdapat persamaan illat antara keduanya.
Sama-sama benda bergerak dan tidak kekal, yang mungkin rusak dalam jangka waktu tertentu. Hal ini juga menunjukkan bahwa Imam Maliki membolehkan wakaf untuk jangka waktu tertentu. Namun apabila wakaf uang jika dikelola secara profesional memungkin uang yang diwakafkan akan kekal selamanya.

3.     Ulama Syafi’iyah
               Mazhab Syafi’I berpendapat boleh mewakafkan benda apapun dengan syarat barang yang diwakafkan haruslah barang yang kekal manfaatnya , baik berupa benda bergerak maupun tidak bergerak.11 Namun Imam Syafi’I mencegah adanya tukar menukar harta wakaf, menurut beliau tidak boleh menjual masjid secara mutlak, sekalipun mesjid itu roboh. Namun sebagian golongan syafi’iah yang lain berpendapat boleh ditukar agar harta wakaf itu ada manfaatnya dan sebagaian lain tetap menolaknya.

                Menurut Al- Bakri, mazhab Syafi’I tidak membolehkan wakaf tunai karena dirham dan dinar akan lenyap ketika dibayarkan sehingga tidak ada wujudnya.
           Melihat pendapat-pendapat ulama di atas bahwa pendapat yang mengatakan benda-benda wakaf tidak boleh diutak atik tanpa sentuhan pengelolaan dan pengembangan yang lebih bermanfaat semakin kurang relevan dengan kondisi saat ini, dimana segala sesuatu akan bisa memberikan nilai manfaat ekonomi apabila dikelola secara baik.
                Selain itu apabila dianalisa maksud dari tujuan wakaf, salah satunya adalah agar harta yang diwakafkan bermanfaat bagi kepentingan orang banyak. Berdasarkan hal tersebut maka wakaf uang memilki unsur manfaat, hanya saja manfaat uang baru akan terwujud bersamaan dengan lenyapnya zat uang secara fisik, tetapi nilai uang yang diwakafkan terpelihara kekekalannya, karena terus dikelola dan mendatangkan hasil. Yang paling prinsipil adalah keabadian manfaat dan nilai dari benda yang diwakafkan.


            Disamping itu tidak ada nash Al-Quran dan Sunnah Rasulullah yang secara tegas melarang wakaf uang, maka atas dasar maslahah mursalah, wakaf uang dibolehkan, karena mendatangkan manfaat yang sangat besar bagi kemaslahatan ummat. Selain maslahah mursalah wakaf uang juga disandarkan pada hadis yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud bahwa rasulullah bersabda Apa yang dipandang kaum muslimin baik, dalam pandangan Allah juga baik.














F.  KESIMPULAN .

        Dari pemakaran makalah di atas dapat dikemukakan bahwa wakaf adalah
“Menahan benda atau harta yang statusnya tetap milik si wakif ,akan tetapi manfaat benda yang dimiliki, baik berupa sewa atau hasilnya untuk diserahkan kepada orang yang berhak, dengan bentuk penyerahan berjangka waktu sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh orang yang mewakafkan, yang diperbolehkan oleh agama.   Wakaf harus memenuhi empat unsure yaitu: - Wâkif, yakni pihak yang menyerahkan wakaf;  -Mauqûf 'alaih, yakni pihak yang diserahi wakaf; 
-Mauqûf Bih, yakni benda atau manfaat benda yang diwakafkan; -Şigat atau iqrâr, yakni pernyataan penyerahan wakaf dari pihak wakif.
              wakaf tunai (cash wakaf) adalah menjadikan uang  sebagai modal usaha (modal produktif) kemudian menyalurkan keuntungannya sebagai wakaf. Kebolehan wakaf tunai juga dikemukakan oleh Mazhab Hanafi dan Maliki. Bahkan sebagian ulama Mazhab Syafi’iy juga membolehkan wakaf tunai sebagaimana yang disebut Al-Mawardy.


   
    



   Dari paparan yang sederhana ini, penulis dapat mengambil beberapa kesimpulan, yaitu:
3. Bila perwakafan yang diatur dalam PP Nomor 28 Tahun 1977 dibandingkan dengan perwakafan yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam, maka pada dasarnya sama. Dalam beberapa hal, hukum perwakafan dalam Kompilasi tersebut merupakan pengembangan dan penyempurnaan pengaturan perwakafan sesuai dengan hukum Islamm di antaranya.
4. PP Nomor 28 Tahun 1977 merupakan pedoman perwakafan di Indonesia yang sudah relatif lengkap sekalipun masih harus dilengkapi lagi.



























وروى أبو ثور عن الشافعي جوز وقفها اى الدنانير و الدراهيم







B.    Rumusan Masalah
1.    Pengertian, Unsur-unsur, & Macam-macam Wakaf
2.    Dasar Hukum Wakaf & Cash Wakaf
3.    Pandangan Para Fuqaha’ Tentang Wakaf & Cash Wakaf
C.    Tujuan
1.    Menjelaskan  pengertian, Unsur-unsur, & Macam-macam Wakaf
2.    Menjelaskan Dasar Hukum Wakaf & Cash Wakaf
3.    Menjelaskan Pandangan Para Fuqaha’ Tentang Wakaf & Cash Wakaf
BAB II
KAJIAN MATERI
A.    Pengertian, Unsur-unsur, dan Macam-macam Wakaf
Menurut pengertian bahasa, kata wakaf diambil dari bahasa Arab, kata benda abstrak (maşdar)
وقف atau kata kerja (fi`il) وقف- يقف yang dapat berfungsi sebagai kata kerja intransitif (fi`il lâzim) atau transitif (fi`il muta`âdi) yang berarti menahan, mewakafkan, harta yang diwakafkan, harta wakaf. Dan kata wakaf ini dalam bahasa Arab memiliki makna yang sama dengan beberapa kata di antaranya: ( حبس - احبس صدقـة تحريم سبيل يسبل - سبل ). Ada yang berpendapat sebagai berikut:
الوقف بمعنى التحبيس والتسبيل
    Artinya: “menahan, menahan harta untuk di waqafkan, tidak di pindah milikkan.”
            Sedangakan menurut yang lainnya tentang wakaf yaitu:
   
وهو لغة الحبس وشرعا حبس مال معين قابل للنقل يمكن الإنتفاع به مع بقاء عـينه
    Artinya: “wakaf menurut bahasa adalah menahan, sedangkan menurut syara’ adalah menahan sesuatu harta tertentu yang dipindahkan & memungkinkan dapat di ambil manfaatnya, sedangkan barangnya masih tetap terus (kekal).”

Sedangkan menurut istilah ada beberapa definisi wakaf, di antaranya:
1. EJ. Bill Leiden dalam The Shorter Encyclopaedia of Islam sebagaimana dikutip oleh Muhamad Daud Ali menyatakan bahwa wakaf adalah to protect a thing, to provent it from becoming the property of a third person (memelihara suatu barang atau benda dengan jalan menahannya agar tidak menjadi milik pihak ketiga).
2. Dalam kompilasi Hukum Islam pada pasal 215 ayat (1) dijelaskan bahwa wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadah atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.

3. Mayoritas ahli fiqih (pendukung mazhab Hanafi, Syafi`i, dan Hambali) merumuskan pengertian wakaf menurut syara sebagai berikut:
حبس مال يمكن الانتفاع به مع بقاء عينه بقظع التصرف في رقبته على مصرف مباح موجود
"Penahanan (pencegahan) harta yang mungkin dimanfaatkan tanpa lenyap bendanya dengan cara tidak melakukan tindakan pada bendanya disalurkan kepada yang mubah (tidak terlarang) dan ada"
4. Majelis Ulama Indonesia (MUI) memperkenalkan definisi baru tentang wakaf, yaitu:
Menahan harta (baik berupa asset tetap maupun asset lancar-pen.) yang dapat dimanfaatkan tanpa lenyap bendanya atau pokoknya, dengan cara tidak melakukan tindakan hukum terhadap benda tersebut (menjual, memberikan, atau mewariskannya), untuk disalurkan (hasilnya) pada sesuatu yang mubah (tidak haram) yang ada.
Dari definisi-definisi di atas dapat dikemukakan karakteristik wakaf, yaitu: adanya penahanan (pencegahan) dari menjadi milik dan obyek pemilikan, yang diwakafkan berupa harta, dapat dimanfaatkan (mengandung manfaat), tidak boleh dijual, dihibahkan, dan diwariskan, dan disalurkan kepada hal-hal yang tidak dilarang oleh ajaran Islam.

Penyelenggaraan wakaf harus memenuhi empat unsur, yaitu:
1. Wâkif, yakni pihak yang menyerahkan wakaf;
2. Mauqûf 'alaih, yakni pihak yang diserahi wakaf;
3. Mauqûf Bih, yakni benda atau manfaat benda yang diwakafkan;
4. Şigat atau iqrâr, yakni pernyataan penyerahan wakaf dari pihak wakif.
Wakaf itu adakalanya untuk anak cucu atau kaum kerabat dan kemudian sesudah mereka itu untuk orang-orang fakir miskin. Wakaf yang demikian dinamakan wakaf ahli atau wakaf żurri (wakaf keluarga). Bila wakaf tersebut diperuntukkan bagi kebajikan semata-mata, maka wakaf seperti ini disebut wakaf ħairi.
        Kemudian ada pula wakaf tunai (cash wakaf) yang pengembangannya sudah di praktekkan sejak dahulu. Bahkan dalam sejarah Islam, wakaf tunai sudah dipraktekkan sejak abad kedua Hijriyah. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari bahwa Imam az Zuhri (wafat 124 H), salah seorang ulama terkemuka dan peletak dasar tadwin al hadits, memberikan fatwanya untuk berwakaf dengan Dinar dan Dirham agar dapat dimanfaatkan sebagai sarana pembangunan, dakwah, sosial, dan pendidikan umat Islam. Cara yang dilakukan adalah dengan menjadikan uang tersebut sebagai modal usaha (modal produktif) kemudian menyalurkan keuntungannya sebagai wakaf. Kebolehan wakaf tunai juga dikemukakan oleh Mazhab Hanafi dan Maliki. Bahkan sebagian ulama Mazhab Syafi’iy juga membolehkan wakaf tunai sebagaimana yang disebut Al-Mawardy.
وروى أبو ثور عن الشافعي جوز وقفها اى الدنانير و الدراهيم
LEMBARAN KERTAS
“Abu Tsaur meriwayatkan dari Imam Syafi’iy tentang kebolehan wakaf dinar dan dirham.”
        Pendapat inilah yang dikutip Komisi fatwa MUI (2002) dalam melegitimasi wakaf tunai. Di Indonesia saat ini, persoalan boleh tidaknya wakaf uang, sudah tidak ada masalah lagi. Hal itu diawali sejak dikeluarkannya fatwa MUI pada tanggal 11 Mei 2002. Isi fatwa MUI tersebut sebagai beikut :
1. Wakaf uang (cash wakaf/ waqf al-nuqud) adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lenmbaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai.
2. Termasuk ke dalam pengertian uang adalah surat-surat berharga.
3.Waqaf uang hukumnya jawaz (boleh)
4. Wakaf uang hanya boleh disalurkan dan digunakan untuk hal-hal yang dibolehkan secara syar’iy. Nilai pokok wakaf uang harus dijamin kelestariannya, tidak boleh dijual, dihibahkan dan atau diwariskan.
Kebolehan wakaf tunai, menurut MUI, tidak bertentangan dengan definisi wakaf yang telah dirumuskan oleh mayoritas ulama dengan merujuk kepada hadits-hadits tentang wakaf. Definisi yang populer di kalangan ulama sebagai berikut :
حبس مال يمكن الإنتفاع به مع بقاء عينه بقطع في رقبته على مصرف مباح موجود
“Menahan harta yang dapat dimanfaatkan tanpa lenyap bendanya atau popoknya dengan cara tidak melakukan tindakan hukum terhadap benda tersebut (menjual, memberikan mewariskan), untuk disalurkan hasilnya pada sesuatu yang mubah ( tidak haram) yang ada.
Dalam pasal UU No 41/2004 tentang Wakaf, masalah wakaf tunai disebutkan pada empat pasal, (pasal 28,29,30,31), bahkan wakaf tunai secara khusus dibahas pada bagian kesepuluh Undang-Undang tersebut dengan titel “Wakaf Benda Bergerak Berupa Uang”.
Pasal 28 Undang-Undang Wakaf berbunyi sebagai berikut :
“Wakif dapat mewakafkan benda bergerak berupa uang melalui lembaga keuangan syariah yang ditunjuk oleh Menteri.”
Dari pasal 28 dapat ditarik tiga kesimpulan penting :
1. Legalitas wakaf tunai sangat jelas dan tidak perlu diperselisihkan lagi.
2. Pengelolaan wakaf uang melalui lembaga keuangan syari’ah.
3. LKS ditunjuk oleh Menteri

B.    Dasar Hukum Wakaf & Cash Wakaf
Dalil yang menjadi dasar disyariatkan ibadah wakaf bersumber dari:
a)    Ayat al-quran, yaitu:
  ã@sW¨B tûïÏ%©!$# tbqà)ÏÿZムóOßgs9ºuqøBr& Îû È@Î6y «!$# È@sVyJx. >p¬6ym ôMtFu;/Rr& yìö7y Ÿ@Î/$uZy Îû Èe@ä. 7's#ç7/Yß èps($ÏiB 7p¬6ym 3 ª!$#ur ß#Ï軟Òム`yJÏ9 âä!$t±o 3 ª!$#ur ììźur íOŠÎ=tæ ÇËÏÊÈ  
      Artinya. perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui.(QS. Al-Baqarah:261).                                                                                                     
                                       لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ.
 Artinya:Kamu sekali-kali tidak sampai kepadakebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya”.

b)    Hadis yang di jadikan landasan hukum amalan wakaf adalah:

حدثنا يحيى ابن أيوب وقـتيبة يعني ابن سعيد وابن حجر فالو حدثنا إسماعيل هو ابن جعفار عن العلاء عن أبيه عن أبي هريرة أن رسول الله صل الله عليه وسلم قال إذا مات الإنسان انقطع عنه عمله ألا من ثلاثة إلا من صدقة جارية أوعلم لا ينتفع به أو ولد صالح يدعونه
      Artinya: “ Rasulullah bersabda: “ apabila manusia meninggaal, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara, yaitu sedekah jariyah, ilmu yang manfaat, dan anak sholeh yang mendoakan orang tuanya.”
        Adapun penafsiran shodaqoh jariyah dalam hadis tersebut adalah:   “Hadis tersebut dikemukakan dalam bab wakaf, karena para ulama menafsirkan shodaqoh jariyah dengan wakaf.
           Dalam hadis diatas para ahli tafsir menafsirkan sedekah jariyah dengan wakaf, karena pahala wakaf  tidak akan terputus sepanjang pokok harta tersebut tetap ada. Jumhur ulama’ termasuk madzhab Syafi’i, Hanafi, dan Hambali mendifinisikan wakaf dengan menahan harta yang dapat di ambil manfaatnya bukan untuk kepen tingan dirinya sendiri, serta benda  yang di wakafkan tetap ada dan manfaatnya digunakan di jalan Allah SWT.
          Sedangkan Cash Wakaf (wakaf tunai) menggunakan dasar hukum Al-Quran, Hadis, Ijma, sama halnya dengan wakaf tanah.Dalil yang menjadi landasan hukum  cash wakaf, yaitu:
b)        Ayat al-quran, yaitu:
                           لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepadakebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.”
ã@sW¨B tûïÏ%©!$# tbqà)ÏÿZムóOßgs9ºuqøBr& Îû È@Î6y «!$# È@sVyJx. >p¬6ym ôMtFu;/Rr& yìö7y Ÿ@Î/$uZy Îû Èe@ä. 7's#ç7/Yß èps($ÏiB 7p¬6ym 3 ª!$#ur ß#Ï軟Òム`yJÏ9 âä!$t±o 3 ª!$#ur ììźur íOŠÎ=tæ ÇËÏÊÈ   tûïÏ%©!$# tbqà)ÏÿZムöNßgs9ºuqøBr& Îû È@Î6y «!$# §NèO Ÿw tbqãèÎ7÷Gム!$tB (#qà)xÿRr& $xYtB Iwur ]Œr&   öNçl°; öNèdãô_r& yYÏã öNÎgÎn/u Ÿwur ì$öqyz óOÎgøŠn=tæ Ÿwur öNèd šcqçRtóstƒ ÇËÏËÈ   ã
Artinya: perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah  adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui. orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.(QS Al Baqorah :261-262)

b)    Hadis Nabi, yaitu:
    Artinya: “dari ibnu umar, ia berkata:” umar mengatakan pada nabi, saya mempunyai seratus dirham di khaibar, saya belum ernah mendapat harta yang paling saya kagumi seerti itu, tetapi saya ingin menyedekahkannya.” Nabi mengatakan kepada umar : “ tahanlah pokoknya dan jadikanlah hasilnya sedekah untuk sabilillah.

C.    Pandangan Fuqaha tentang Wakaf & Cash Wakaf
a.    Tentang wakaf
1. Abu Hanifah
Abu Hanifah mengartikan wakaf sebagai şadaqah yang kedudukannya seperti 'ariyah, yakni pinjam meminjam. Perbedaan antara keduanya terletak pada bendanya. Dalam 'ariyah, benda ada di tangan si peminjam sebagai pihak yang menggunakan dan mengambil manfaat benda itu. Sedangkan benda dalam wakaf ada di tangan si pemilik yang tidak menggunakan dan mengambil manfaat benda itu. Dengan demikian, benda yang diwakafkan itu tetap menjadi milik wakif sepenuhnya, hanya manfaatnya saja yang dişadaqahkan. Oleh karena itu, wakaf tidak mempunyai kepastian hukum dalam arti gair lâzim, kecuali dalam tiga hal, yaitu: (1) wakaf masjid, (2) apabila hukum wakaf itu diputuskan oleh hakim, dan (3) apabila benda wakaf itu dihubungkan dengan kematian si wakif yaitu wakaf wasiat.
Mengenai akad wakaf dinyatakan oleh semua mazhab sebagai 'aqad tabarru', yaitu transaksi sepihak yang sah sebagai suatu akad yang tidak memerlukan qâbul dari pihak penerima dan dicukupkan atas ijâb si wakif.
2. Imam Malik
Menurut teori Imam Malik, wakaf itu mengikat dalam arti lâzim, tidak mesti dilembagakan secara abadi dalam arti mu'abbad dan boleh saja diwakafkan untuk tenggang waktu tertentu (mu'aqqat). Namun demikian, wakaf itu tidak boleh ditarik di tengah perjalanan. Dengan kata lain, si wakif tidak boleh menarik ikrar wakafnya sebelum habis tenggang waktu yang telah ditetapkannya. Harta atau benda yang diwakafkan adalah benda yang mempunyai nilai ekonomis dan tahan lama. Harta itu berstatus milik si wakif, akan tetapi si wakif tidak mempunyai hak untuk menggunakan harta tersebut (taşarruf) selama masa wakafnya belim habis. Jika dalam şigat atau ikrar wakaf itu tidak menyatakan dengan tegas tenggang waktu perwakafan yang ia kehendaki, maka dapat diartikan bahwa ia bermaksud mewakafkan hartanya itu untuk selamanya (mu'abbad). Landasan hukum yang dijadikan rujukan Imam Malik adalah hadis Ibn 'Umar yang berbunyi:
حدثنا قتيبة ابن سعيد حدثنا محمد ابن عبد الله الأنصاري حدثنا ابن عون قال انبأني نافع عن ابن عمر رضي الله عنهما ان عمر ابن الخطاب أصاب أرضابخيبرفأتى النبي صلعم يستأمره فيهافقال يارسول الله اني أصبت أرضالم أصب قط مالاأنفس عندي منه فماتأمرني فيه؟ قال ان شئت حبست أصلهاوتصدقت بهاغيرعلى أنه ولايباع أصلهاولايبتاع ولايوهب ولايورث قال فتصدق بهاعمر فى الفقراء وذوالقربى والرقاب وابن السبيل.و الضيف  لاجناح على من وليهاأن يأكل منهابالمعروف ويطعم غيرمتمول "وفى اللفط" غيرمتأثل مالا
…Umar memperoleh tanah di Khaibar, kemudian ia datang kepada Rasulullah Saw. meminta untuk mengolahnya seraya berkata: "Wahai Rasulullah, aku memiliki sebidang tanah di Khaibar, tetapi aku belum mengambil manfaatnya, bagaimana aku harus berbuat?" Nabi bersabda: Bila kamu suka, kamu tahan pokoknya dan sedekahkan hasil hasilnya. Kemudian Umar sedekah, tidak dijual, tidak dihibahkan dan tidak diwariskan. Umar menyedekahkan kepada faqir miskin, kerabat, budak belian, sabilillah, ibnu sabil dan tamu, dan tidak berdosa bagi orang yang menguasai tanah itu memakan dari hasilnya dengan cara sepantasnya dan memberikan makanan tanpa menyimpan harta untuk dirinya sendiri.
Imam al-Syafi'i menamakan wakaf dengan istilah al-şadaqat, al-şadaqat al-muharramat, al-Hadaqat al-muharramat al-mauqûfat. Selanjutnya ia membagi jenis pemberian ke dalam dua macam, yaitu: (1) pemberian yang diserahkan si pemberi ketika ia masih hidup dan (2) pemberian yang diserahkan ketika si pemberi telah wafat. Menurut pendapat al-Syafi'i, Status hukum wakaf dan al-'itq (pembebasan hamba sahaya) adalah sama berdasarkan qiyâs. Keduanya dianggap memiliki kesamaan 'illat, yaitu kemerdekaan dalam al-'itq sama dengan mengeluarkan harta milik dalam perwakafan. Al-Syafi'i berpegang kepada persamaan antara kedua status hukum institusi tersebut dari segi adanya bentuk penyerahan benda atau harta itu kepada Allah sehingga si harta itu menjadi milik Allah. Oleh karena itu, dalam kedua kasus hukum tersebut terdapat persamaan, yaitu pelepasan milik si wakif sehingga menjadi milik Allah.
3. Imam al-Syafi'i
Imam al-Syafi'i menamakan wakaf dengan istilah al-
؛adaqat, al-؛adaqat al-muharramat, al-∏adaqat al-muharramat al-mauqûfat. Selanjutnya ia membagi jenis pemberian ke dalam dua macam, yaitu: (1) pemberian yang diserahkan si pemberi ketika ia masih hidup dan (2) pemberian yang diserahkan ketika si pemberi telah wafat. Menurut pendapat al-Syafi'i, Status hukum wakaf dan al-'itq (pembebasan hamba sahaya) adalah sama berdasarkan qiyâs. Keduanya dianggap memiliki kesamaan 'illat, yaitu kemerdekaan dalam al-'itq sama dengan mengeluarkan harta milik dalam perwakafan. Al-Syafi'i berpegang kepada persamaan antara kedua status hukum institusi tersebut dari segi adanya bentuk penyerahan benda atau harta itu kepada Allah sehingga si harta itu menjadi milik Allah. Oleh karena itu, dalam kedua kasus hukum tersebut terdapat persamaan, yaitu pelepasan milik si wakif sehingga menjadi milik Allah.
b.    Tentang Cash Wakaf
1.    Ulama Hanafiyah
Ulama Mazhab Hanafi berpendapat bahwa harta yang sah diwakafkan adalah benda tidak bergerak dan benda bergerak. Benda yang tidak bergerak dipastikan a’in-nya
memiliki sifat yang kekal dan memungkinkan dapat dimanfaatkan secara terus menerus.
Untuk wakaf benda bergerak dibolehkan berdasarkan atsar yang membolehkan
mewakafkan senjata dan binatang-binatang yang dipergunakan untuk perang. Begitu juga dengan wakaf benda bergerak seperti buku atau kitab-kitab, menurut ulama
Hanafiyah, pengetahuan adalah sumber pemahaman dan tidak bertentangan dengan nash. Mereka menyatakan untuk mengganti benda wakaf yang dikhawatirkan tidak kekal
adalah memungkinkan kekalnya manfaat. Menurut mereka mewakafkan buku-buku dan mushaf dimana yang diambil adalah pengetahuannya, kasusnya sama dengan mewakafkan dirham dan dinar (uang).
Wahbah Az-Zuhaili juga mengungkapkan bahwa mazhab Hanafi membolehkan wakaf tunai sebagai pengecualian, atas dasar Istihsan Bi Al-Urfi, karena sudah banyak dilakukan oleh masyarakat. Ulama Mazhab Hanafi berpendapat bahwa hukum yang ditetapkan berdasarkan ‘urf atau adat kebiasaan mempunyai kekuatan yang sama dengan hukum yang ditetapkan berdasarkan nash.
2.     Ulama Malikiyah
Ulama pengikut mazhab maliki berpendapat boleh mewakafkan benda bergerak maupun tidak bergerak. Wahbah Az-Zuhaili menjelaskan bahwa ulama mazhab Maliki membolehkan wakaf makanan, uang dan benda bergerak lainnya, lebih lanjut wahbah Az-Zuhaili juga menjelaskan bahwa wakaf uang dapat diqiyaskan atau dianalogikan dengan baju perang dan binatang, sebab terdapat persamaan illat antara keduanya.
Sama-sama benda bergerak dan tidak kekal, yang mungkin rusak dalam jangka waktu tertentu. Hal ini juga menunjukkan bahwa Imam Maliki membolehkan wakaf untuk jangka waktu tertentu. Namun apabila wakaf uang jika dikelola secara profesional memungkin uang yang diwakafkan akan kekal selamanya.
3.     Ulama Syafi’iyah
Mazhab Syafi’I berpendapat boleh mewakafkan benda apapun dengan syarat barang yang diwakafkan haruslah barang yang kekal manfaatnya , baik berupa benda bergerak maupun tidak bergerak.11 Namun Imam Syafi’I mencegah adanya tukar menukar harta wakaf, menurut beliau tidak boleh menjual masjid secara mutlak, sekalipun mesjid itu roboh. Namun sebagian golongan syafi’iah yang lain berpendapat boleh ditukar agar harta wakaf itu ada manfaatnya dan sebagaian lain tetap menolaknya.
 Menurut Al- Bakri, mazhab Syafi’I tidak membolehkan wakaf tunai karena dirham dan dinar akan lenyap ketika dibayarkan sehingga tidak ada wujudnya.
Melihat pendapat-pendapat ulama di atas bahwa pendapat yang mengatakan benda-benda wakaf tidak boleh diutak atik tanpa sentuhan pengelolaan dan pengembangan
yang lebih bermanfaat semakin kurang relevan dengan kondisi saat ini, dimana segala sesuatu akan bisa memberikan nilai manfaat ekonomi apabila dikelola secara baik.
Selain itu apabila dianalisa maksud dari tujuan wakaf, salah satunya adalah agar harta yang diwakafkan bermanfaat bagi kepentingan orang banyak. Berdasarkan hal tersebut maka wakaf uang memilki unsur manfaat, hanya saja manfaat uang baru akan terwujud bersamaan dengan lenyapnya zat uang secara fisik, tetapi nilai uang yang diwakafkan terpelihara kekekalannya, karena terus dikelola dan mendatangkan hasil. Yang paling prinsipil adalah keabadian manfaat dan nilai dari benda yang diwakafkan.
Disamping itu tidak ada nash Al-Quran dan Sunnah Rasulullah yang secara tegas melarang wakaf uang, maka atas dasar maslahah mursalah, wakaf uang dibolehkan, karena mendatangkan manfaat yang sangat besar bagi kemaslahatan ummat. Selain maslahah mursalah wakaf uang juga disandarkan pada hadis yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud bahwa rasulullah bersabda Apa yang dipandang kaum muslimin baik, dalam pandangan Allah juga baik.




























BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Dari paparan yang sederhana ini, penulis dapat mengambil beberapa kesimpulan, yaitu:
1. Peraturan tentang wakaf sudah ada sejak zaman Pemerintah Kolonial Hindia Belanda dilanjutkan pada zaman kemerdekaan.
2. Undang-undang Pokok Agraria (UUPA), yaitu UU No. 5 Tahun 1960 merupakan unifikasi hukum tanah di seluruh Indonesia (DI. Yogyakarta baru melaksanakan pada tahun 1984) memperkokoh dasar hukum perwakafan, khususnya perwakafan tanah milik. Pasal 14 (1) huruf b.
3. Bila perwakafan yang diatur dalam PP Nomor 28 Tahun 1977 dibandingkan dengan perwakafan yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam, maka pada dasarnya sama. Dalam beberapa hal, hukum perwakafan dalam Kompilasi tersebut merupakan pengembangan dan penyempurnaan pengaturan perwakafan sesuai dengan hukum Islamm di antaranya.
4. PP Nomor 28 Tahun 1977 merupakan pedoman perwakafan di Indonesia yang sudah relatif lengkap sekalipun masih harus dilengkapi lagi.











DAFTAR PUSTAKA
Al- Kabir , Al-Mawardi, Al-Hawi. 1994. Tahqiq Dr. Mahmud Mahraji. Beirut: Dar Al-Fikr, juz IX.
Wahbah  Az-Zuhaily , Wahbah.1984. Fiqhu As-Islami Wa Adillatuhu, juz VIII.  Kairo: Maktabah.
Baedawi , H. Idham Khalid. 2003. Fiqih Wakaf. Jakarta: Proyek Peningkatan Zakat & Wakaf.
Harahap, Sumuran. 2007. PedomanPengelolaan Wakaf Tunai. Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf.
Nurdiana , Ilfi. 2008. Hadits-hadits ekonomi, Malang : Malang Press.
Sunarto, Ach. 1991. Terjemah Fathul Qorib, jilid I. Surabaya: Al-hidayah.
Diposkan oleh Sholihin As-Syarif di 09.03


********Wakaf Tunai

Wakaf Tunai Dalam Perspektif Hukum Islam


A. Pengertian Wakaf Tunai
Sejak awal, perbincangan tentang wakaf kerap diarahkan kepada wakaf benda tidak bergerak sepert tanah, bangunan, pohon untuk diambil buahnya dan sumur untuk diambil airnya, sedang wakaf benda yang bergerak baru mengemuka belakangan. Di antara wakaf benda bergerak yang ramai dibincangkan belakangan adalah wakaf yang dikenal dengan istilah cash waaf. Cash waaf diterjemahkan dengan wakaf tunai, namun kalau menilik obyek wakafnya, yaitu uang, lebih tepat kiranya kalau cash waaf diterjemahkan dengan wakaf uang. Wakaf tunai adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, dan lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai. Juga termasuk kedalam pengertian uang adalah surat-surat berharga, seperti saham, cek dan lainnya. Hukum wakaf tunai telah menjadi perhatian para fuqaha’ (juris Islam). Beberapa sumber menyebutkan bahwa wakaf uang telah dipraktikkan oleh masyarakat yang menganut mazhab Hanafi.
Terdapat perbedaan pendapat mengenai hukum wakaf tunai. Imam al-Bukhari (wafat tahun 2526 H) mengungkapkan bahwa Imam az-Zuhri (wafat 124 H) berpendapat dinar dan dirham (keduanya mata uang yang berlaku di Timur Tengah) boleh diwakafkan. Caranya ialah dengan menjadikan dinar dan dirham itu sebagai modal usaha (dagang), kemudian menyalurkan keuntungannya sebagai wakaf. Wahbah az-Zuhaili juga mengungkapkan bahwa mazhab Hanafi membolehkan wakaf tunai sebagai pengecualian, atas dasar Istihsan bi al-‘Urfi, karena sudah banyak masyarakat yang melakukannya. Mazhab Hanafi memang berpendapat bahwa hukum yang ditetapkan berdasrkan ‘urf (adat kebiasaan) mempunyai kekuatan yang sama dengan hukum yang ditetapkan berdasarkan nash (teks). Dasar argumentasi mazhab Hanafi adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Ma’ud, r.a: “Apa yang dipandang baik oleh kaum Muslimin, maka dalam pandangan Allah adalah baik, dan apa yang dipandang buruk oleh kaum Muslimin maka dalam pandangan Allah pun buruk”.
Cara melakukan wakaf tunai (mewakafkan uang), menurut mazhab Hanafi, ialah dengan menjadikannya modal usaha dengan cara mudharabah atau mubada’ah. Sedang keuntungannya disedekahkan kepada pihak wakaf.
Ibn Abidin mengemukakan bahwa wakaf tunai yang dikatakan merupakan kebiasaan yang berlaku di masyarakat adalah kebiasaan yang berlaku di wilayah Romawi, sedangkan di negeri lain wakaf tunai bukan merupakan kebiasaan. Karena itu Ibn Abidin berpandangan bahwa wakaf tunai tidak boleh atau tidak sah. Yang juga berpandangan bahwa wakaf tunai tidak boleh atau tidak sah adalah mazhab Syafi’i. menurut al-Bakri, mazhab Syafi’I tidak membolehkan wakaf tunai, karena dinar dan dirham (baca: uang) akan lenyap ketika dibayarkan sehingga tidak ada lagi wujudnya.
Perbedaan diatas, bahwa alasan boleh atau tidaknya wakaf tunai berkisar pada wujud uang. Apakah wujud uang itu setelah digunakan atau dibayarkan, masih ada seperti semula, terpelihara, dan dapat menghasilkan keuntungan lagi pada waktu yang lama? Namun kalau melihat perkembangan sistem perekonomian yang berkembang sekarang, sangat mungkin untuk melaksanakan wakaf tunai. Misalnya uang yang diwakafkan itu dijadikan modal usaha seperti yang dikatakan oleh mazhab Hanafi. Atau diinvestasikan dalam wujud saham di perusahaan yang bonafide atau didepositokan di perbankan Syari’ah, dan keuntungannya dapat disalurkan sebagai wakaf. Wakaf tunai yang diinvestasikan dalam wujud saham atau deposito, wujud atau lebih tepatnya nilai uang tetap terpelihara dan menghasilkan keuntungan dalam jangka waktu yang lama.

B. Sejarah Wakaf Tunai
Praktik wakaf secara umum, bukan wakaf tuna telah dikenal sejak awal Islam. Bahkan masyarakat sebelum Islam telah mempraktikan sejenis wakaf, tapi dengan nama lain, bukan wakaf. Karena praktik sejenis wakaf telah ada di masyarakat sebelum Islam, tidak terlalu menyimpang kalau wakaf dikatakan sebagai kelanjutan dari praktik masyarakat sebelum Islam. Sedang wakaf tunai mulai di kenal sejak zaman dinasti Ayyubiyah di Mesir.

B.1. Wakaf Secara Umum
Praktik sejenis wakaf di masyarakat sebelum Islam dibuktikan dengan adanya tempat-tempat ibadah yang dibangun di atas tanah yang pekarangannya dikelola dan hasilnya untuk membiayai perawatan dan honor yang merawat tempat ibadah tersebut. Masjid al-Haram di Mekkah dan masjid al-Aqsha misalnya telah dibangun diatas tanah yang bukan hak milik siapapun, tetapi milik Allah. Kedua masjid itu dimanfaatkan untuk kemaslahatan umat. Pertanyaannya, kenapa masyarakat sebelum Islam telah memperaktikkan sejenis wakaf? Di masyarakat sebelum Islam telah dikenal praktik sosial dan diantara praktik-praktik sosial itu adalah praktik menderma sesuatu demi kepentingan umum atau dari satu orang untuk semua keluarga.
Praktik sejenis wakaf juga dikenal di Mesir, Roma dan Jerman. Di Mesir, Raja Ramsi kedua mendermakan tempat ibadah “Abidus” yang arealnya sangat besar.
Karena praktik sejenis wakaf yang terjadi pada masyarakat sebelum Islam memiliki tujuan yang seiring dengan Islam, yaitu terdistribusinya kekayaan secara adil dan kemudian berujung pada kesejahteraan bersama, maka Islam mengakomodirkannya dengan sebutan wakaf. Pada tahun kedua hijriah, setelah Nabi Muhammad SAW hijrah dari Mekkah ke Madinah, disyri’atkanlah wakaf. Di kalangan fuqaha’ (juris Islam) terdapat dua pendapat siapa yang mempraktikkan Syari’at wakaf. Pertama, sebagian ulama mengatakan bahwa Nabi Muhammad SAW sendiri yang mempraktikkan wakaf pertama kali, yaitu ketika Nabi mewakafkan tanahnya untuk dibangun masjid diatasnya. Kedua, ada juga sebagian ulama mengatakan bahwa yang pertama kali mempraktikkan Syari’at wakaf adalah Umar bin Khattab. Argumentasi ini didasarkan kepada hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Umar ra, ketika Umar ra mendapat sebidang tanah di Khaibar.
Kita tidak dapat menverifikasi kedua pendapat diatas, karena argumentasi yang dibangun keduanya hanya didasarkan kepada hadis, namun tidak disebutkan kapan Nabi Muhammad SAW dan Umar mempraktikkan Syari’at wakaf.

B.2. Wakaf Tunai
Pada masa dinasti Ayyubiyah di Mesir perkembangan wakaf sangat menggembirakan. Pada masa ini, wakaf tidak hanya sebatas pada benda tidak bergerak, tetapi juga benda bergerak semisal wakaf tunai. Tahun 1178 M/ 572 H, dalam rangka mensejahterakan ulama dan kepentingan misi mazhab sunni, Salahuddin al-Ayyubi menetapkan kebijakan bahwa orang Kristen yang datang dari Iskandar untuk berdagang wajib membayar bea cukai. Tidak ada penjelasan, orang Kristen yang datang dari Iskandar itu membayar bea cukai dalam bentuk uang atau benda? Namun lazimnya bea cukai dibayar dengan menggunakan uang. Uang hasil pembayaran bea cukai dikumpulkan dan diwakafkan kepada para fuqaha’ (juris Islam) dan para keturunannya.
Dinasti Mamluk juga mengembangkan wakaf dengan pesatnya. Apa saja boleh diwakafkan dengan syarat dapat diambil manfaatnya. Tetapi yang banyak diwakafkan pada masa itu adalah tanah pertanian dan bangunan, sperti gedung perkantoran, penginapan dan tempat belajar. Juga, pada masa dinasti Mamluk terdapat hamba sahaya (budak) yang diwakafkan untuk merawat lembaga-lembaga agama.
Wakaf terus dilaksanakan di negara-negara Islam hingga sekarang, tidak terkecuali Indonesi. Hal ini tampak dari kenyataan bahwa wakaf yang berasal dari agama Islam itu telah diterima (diresepsi) menjadi hukum adat bangsa Indonesia sendiri. Dan juga di Indonesia terdapat banyak benda wakaf, baik wakaf benda bergerak atau benda tidak bergerak.

C. Dasar Hukum Wakaf Tunai
Wakaf tunai dibolehkan berdasarkan: firman Allah, Hadis Nabi dan pendapat Ulama, yaitu:
Firman Allah :

“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkah kan, maka sesungguhnya Allah mengetahui”. (QS : Ali Imran : 92).

“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui”. (QS : al-Baqarah : 261).

Hadis :

Dari Abu Hurairah ra., sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: “Apabila anak Adam (manusia) meninggal dunia, maka putuslah amalnya, kecuali tiga perkara : shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang sholeh yang mendoakan orang tuanya”. (HR. Muslim)

“Diriwayatkan dari Ibnu Umar ra: Ia berkata Umar ra berkata kepada Nabi SAW, “Saya mempunyai seratus saham (tanah, kebun) di Khaibar, belum pernah saya mendapatkan harta yang lebih saya kagumi melebihi tanah itu; saya bermaksud menyedekahkannya.” Nabi SAW berkata “Tahanlah pokoknya dan sedekahkan buahnya pada sabilillah.” (HR al-Nasa’i).

Pendapat Ulama :
Selain ulama mazhab Hanafi, sebagian ulama mazhab Syafi’i juga membolehkan wakaf tunai.

“Abu Tsaur meriwayatkan dari Imam Syafi’i tentang dibolehkannya wakaf dinar dan dirham (uang)”.
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga membolehkan wakaf tunai. Fatwa komisi fatwa MUI itu dikeluarkan pada tanggal 11 Mei 2002. Argumentasi didasarkan kepada hadis Ibn Umar (seperti yang disebutkan di atas). Pada saat itu, komisi fatwa MUI juga merumuskan definisi (baru) tentang wakaf, yaitu:

“Menahan harta yang dapat dimanfaatkan tanpa lenyap bendanya atau pokoknya, dengan cara tidak melakukan tindakan hukum terhadap benda tersebut (menjual, memberikan, atau mewariskannya), untuk disalurkan (hasilnya) pada sesuatu yang mubah (tidak haram) yang ada”.

D. Lingkup Sasaran Pemberi Wakaf Tunai (Wakif)
Salah satu rukun wakaf adalah wakif (orang yang mewakafkan harta). Orang yang mewakafkan harta (wakif) diisyaratkan memiliki kecakapan hukum atau kamalul ahliyah (legal competent) dalam hal membelanjakan hartanya. Kecakapan bertindak disini meliputi empat kriteria sebagai berikut :
a. Merdeka, wakaf yang dilakukan oleh seorang budak (hamba sahaya tidak sah, karena wakaf adalah pengguguran hak milik dengan cara memberikan hak milik itu kepada orang lain. Sedangkan hamba sahaya tidak mempunyai hak milik. Budak dan apa yang dimilikinya adalah kepunyaan tuannya.
b. Berakal sehat, wakaf yang dilakukan oleh orang yang tidak berakal seperti orang gila tidak sah hukumnya, sebab ia tidak berakal, tidak mumayyiz dan tidak cakap melakukan akad serta tindakan lainnya. Demikian juga tidak sah wakaf orang yang lemah mental (idiot), berubah akal karena faktor usia, sakit atau kecelakaan, hukumnya tidak sah karena akalnya tidak sempurna dan tidak cakap untuk menggugurkan hak miliknya.
c. Dewasa (baligh), wakaf yang dilakukan oleh anak yang belum dewasa (baligh), hukumnya tidak sah karena ia dipandang tidak cakap melakukan akad dan tidak cakap pula untuk menggugurkan hak miliknya.
d. Tidak berada di bawah pengampuan (boros/lalai), orang yang berada di bawah pengampuan dipandang tidak cakap untuk berbuat kebaikan (tabarru’), maka wakaf yang dilakukan hukumnya tidak sah. Tapi berdasarkan istihsan, wakaf orang yang berada di bawah pengampuan terhadap dirinya sendiri selama hidupnya hukumnya sah. Karena tujuan dari pengampuan ialah untuk menjaga harta wakaf supaya tidak habis dibelanjakan untuk sesuatu yang tidak benar, dan untuk menjaga dirinya agar tidak menjadi beban orang lain.



*************

SHARE THIS POST   

  • Facebook
  • Twitter
  • Myspace
  • Google Buzz
  • Reddit
  • Stumnleupon
  • Delicious
  • Digg
  • Technorati
Author: Mohammad
Mohammad is the founder of STC Network which offers Web Services and Online Business Solutions to clients around the globe. Read More →

1 komentar: