Rabu, 27 Mei 2015
NASAB DAN KEWARISAN ANAK DI LUAR NIKAH (ANAK ZINA) PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
A.
Pendahuluan
Islam telah mengatur konsep kewarisan yang ideal untuk
diikuti. Ketentuan-ketentuan mengenai kewarisan termuat dalam al-Quran dan
Hadits yang ketentuan itu bersifat qath’i atau pasti sebagaimana telah
terjadi ijma’ dikalangan fuqaha Islam. Walaupun demikian, tidak menutup
kemungkinan adanya ketentuan lain mengenai pembagian harta warisan, yaitu asas
kekeluargaan.[1]
Dalam hukum waris Islam, telah diatur pula ketentuan
mengenai orang-orang yang mempunyai hak ataupun tidak dalam menerima harta
warisan. Ketentuan tersebut dilandasi dengan suatu sebab. Adapun sebab
seseorang mendapat warisan menjadi unsur penting dalam pembahasan ilmu mawaris,
karena dari sebab itu peralihan harta warisan menjadi sah. Ada tiga sebab
pemenuhan hak seseorang terhadap harta warisan, yaitu adanya hubungan nashab
(keturunan), mushaharah (perkawinan), dan wala’ (memerdekakan
budak).
Sebelum dijelaskan defenisi anak luar nikah, terlebih
dahulu dijelaskan mengenai isitlah mawarits atau faraidh. Dalam
Islam, istilah mawarits atau al-faraidh telah menjadi satu
disiplin ilmu.[2]
Artinya, dalam menggali hukum-hukumnya dibutuhkan satu metode atau
kaidah-kaidah untuk mengetahui bagian-bagian setiap orang serta untuk
menentukan siapa-siapa saja yang berhak menurut hukum untuk mendapatkan bagian
yang telah ditentukan.
Banyak defenisi yang telah dijelaskan dalam beberapa
literatur fiqh yang berkaitan dengan faraidh. Mengingat banyaknya
defenisi yang disuguhkan, dalam tulisan ini hanya memuat beberapa pengertian
yang dapat mewakili dari keseluruhan defenisi mawaris itu sendiri. Salah
satunya yaitu menurut Wahbah Zuhaili,[3] menurut dia, faraidh
atau mawaris ialah ilmu yang mempelajari tentang segala hal yang
berkaitan dengan pembagian harta warisan yang meliputi begian yang telah
ditentukan. Begitu juga menurut Al-Sabuni,[4] bahwa kata mirats
adalah mashdar dari kata waratsa-yaritsu-irtsan-wa mirasan, yaitu
mewarisi. Sedangkan ditinjau dari segi istilah dalam bidang keilmuan, kata al-mirats
disamakan dengan kata al-faraidh, yaitu perpindahan hak kepemilikan dari
mayit (orang yang meninggal dunia) kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik
pemilikan tersebut berupa harta, tanah, maupun hak-hak lain yang sah.
Sedangkan defenisi yuridis terhadap faraidh
telah tergambar dalam Pasal 171 huruf a Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa
hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan
harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak
menjadi ahli waris dan beberapa bagiannya masing-masing.[5]
Dari beberapa defenisi di atas dapat diambil satu
kesimpulan bahwa ilmu faraidh atau mawaris merupakan satu
disiplin ilmu yang mengkaji tentang ketentuan pasti (furud al-muqaddarah)
suatu bagian warisan, orang yang berhak menerima warisan serta segala sesuatu
yang berhubungan dengan ilmu waris itu sendiri.
B.
Kewarisan Anak
Di Luar Nikah
1.
Pengertian Anak Luar Nikah
Dalam literatur fiqh klasik, istilah “anak luar nikah”
hampir atau bahkan tidak dijumpai, karena istilah ini sering digunakan dalam
konteks keIndonesiaan. Walaupun demikian, dalam peraturan perundang-undangan
Indonesia, khususnya dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) disebutkan dengan nama “anak di luar
perkawinan”, bukan “anak luar nikah”. Hal ini dimaksudkan mungkin karena kata nikah
diartikan sama dengan istilah kawin, sehingga penamaan anak itupun
selalu diikuti dengan istilah “luar nikah” atau “luar kawin”. Dalam fiqh
Islam, istilah tersebut sering disebut sebagai anak zina, karena anak tersebut
dinisbatkan kepada perbuatan kedua orang tuanya, yaitu berzina.[6]
Istilah “anak luar nikah” ini juga sering disamakan
dengan istilah “anak luar kawin” atau “anak zina”. Mengingat adanya perbedaan
dari kalangan fuqaha dalam mengartikan istilah-istilah tersebut, maka
dalam tulisan ini, penulis menggunakan tiga istilah tersebut secara bergantian,
sehingga pemaknaannya pun disamakan. Dalam hukum Islam, seseorang dapat
dikatakan anak luar nikah atau anak luar kawin apabila proses yang
mengakibatkan anak tersebut menjadi ada itu dari suatu perbuatan zina yang
dilarang oleh hukum Islam, baik perbuatan tersebut dapat dibuktikan ataupun
tidak. Jika perbuatan tersebut dapat dibuktikan, maka ketentuan hukum Islam
menentukan bahwa anak tersebut tidak mempunyai hubungan nasab dengan bapaknya.
Kemudian jika perbuatan tersebut tidak dapat dibuktikan, akan tetapi perbuatan
zina tersebut benar-benar ada, maka secara lahiriah anak tersebut akan mendapatkan
hak waris dari bapaknya.
Mengenai defenisi anak luar nikah, terdapat banyak
pengertian yang disuguhkan oleh para fuqaha. Walaupun demikian, dalam
tulisan ini hanya dimuat beberapa pengertian, diantaranya yaitu menurut Amir
Syarifuddin, beliau mengistilahkannya dengan anak zina.[7] Menurutnya,
Anak zina adalah anak yang dilahirkan dari suatu perbuatan zina, yaitu hubungan
kelamin antara laki-laki dengan perempuan yang tidak terikat dalam nikah yang
sah meskipun ia lahir dalam suatu perkawinan yang sah dengan laki-laki yang
melakukan zina atau dengan laki-laki lain. Sedangkan menurut Syaikh Kamil
Muhammad Uwaidah, Anak zina adalah anak yang dilahirkan ibunya dari hasil
hubungan badan di luar nikah yang sah menurut Islam.[8]
Semakna dengan pengertian di atas, menurut
Ash-Shiddieqi bahwa Anak zina adalah anak yang dikandung oleh ibunya dari
seorang lelaki yang menggaulinya tanpa nikah yang dibenarkan oleh syara’.
Selanjutnya anak tersebut disebut sebagai walad ghairu syari’ atau anak
yang tidak diakui agama. Selanjutya lelaki yang menghamili tersebut sebagai
ayah ghairu syari’.[9] Agaknya
pengertian ini juga mirip dengan pendapat Wahbah Zuhaili, bahwa anak zina
adalah anak yang dilahirkan ibunya melalui jalan yang tidak syar’i, atau
itu (anak tersebut) buah dari hubungan yang diharamkan.[10]
Jika dilihat melalui
perspektif hukum adat, anak zina sering disebut dengan anak haram atau anak
haram jadah, yaitu anak yang lahir di luar perkawinan yang sah. Anak yang
dilahirkan di luar perkawinan tersebut selanjutnya disebut dengan anak haram,
karena ia dilahirkan dari perbuatan yang diharamkan yaitu zina. Kemudian dalam
ensiklopedi Islam disebutkan bahwa anak haram lazim disebut dengan julukan anak
zina yaitu anak yang dilahirkan di luar perikahan yang dipandang sah menurut
syari’at. Atau dengan kalimat lain, anak zina adalah anak yang dilahirkan oleh
seorang wanita sebagai akibat (hasil) dari hubungan senggamanya dengan
laki-laki yang bukan suaminya.[11]
Masih dalam perspektif yang sama, bahwa dalam hukum adat sebagaimana
disebutkan oleh Abdul Manan bahwa anak zina atau luar nikah juga disebut
sebagai anak wajar dengan rumusan yang sama seperti kutipan di atas.
Sedangkan jika dilihat dari peraturan
perundang-undangan, tidak disebutkan mengenai pengertian anak luar nikah atau
anak luar kawin secara eksplisit, tetapi pengertian tersebut dapat dipahami
dari beberapa bunyi pasal, diantaranya dalam Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam
disebutkan bahwa,
“anak yang sah
adalah: (a) anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah, (b)
hasil perbuatan suami isteri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh isteri
tersebut”.
Kemudian dalam pasal 100 Kompilasi Hukum Islam
disebutkan, bahwa
“anak yang
lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan
keluarga ibunya”.
Dari bunyi beberapa pasal di atas dapat dipahami bahwa
seorang anak dapat dikatakan sah apabila kelahirannya tersebut termasuk dalam
perkawinan yang sah dan sebagai akibat dari perkawinan yang sah, sebaliknya
anak luar nikah atau anak luar kawin adalah seorang anak yang dilahirkan di
luar perkawinan dan akibat dari hubungan yang tidak sah. Pengertian ini dapat
juga dipahami dari bunyi Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, disebutkan, bahwa
“anak yang sah
adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”.
Selain itu
terdapat pula keterangan Pasal 43 ayat 1, bahwa
“anak yang
dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya
dan keluarga ibunya”.[12]
Berdasarkan definisi dan pendekatan makna “anak zina”
di atas, maka yang dimaksudkan dengan anak luar nikah (anak luar kawin/anak
zina) dalam pembahasan ini adalah anak yang janin/pembuahannya merupakan akibat
dari perbuatan zina, ataupun anak yang dilahirkan di luar perkawinan, sebagai
akibat dari perbuatan zina. Selain itu bahwa anak luar nikah juga dapat
diartikan sebagai anak yang dihasilkan dari hubungan yang tidak sah (zina),
baik anak tersebut telah lahir atau masih dalam kandungan ibunya.
2.
Status Nasab Anak Luar Nikah Menurut
Islam
Nasab menurut bahasa yaitu keturunan, silsilah, atau
asal usul. Sedangkan menurut istilah, nasab adalah penggunaan terhadap
asal-usul seseorang kepada orang lain yang secara hukum dikaitkan dengan adanya
hak dan kewajiban di dalamnya.[13] Terdapat
pengaruh yang sangat besar terhadap ada tidaknya suatu hubungan perkawinan.
Umat Islam secara keseluruhan sepakat bahwa terdapat konsekuensi hukum yang timbul
terhadap hubungan yang dilandasi dengan perkawinan yang sah, tentu dalam
konteks ini dimaksudkan adalah adanya hubungan nasab antara anak dengan
orang tuanya. Sebaliknya, jika anak tersebut dihasilkan dari hubungan yang
tidak diakui secara syara’—hubungan yang tidak sah atau di luar
perkawinan yang sah—, maka akan berkonsekuensi tidak diakuinya nasab anak
kepada ayahnya. Dalam hal ini, anak yang disebut terakhir tadi disamakan dengan
status anak mula’anah (ibnu mula’anah).
Meskipun status hukum anak zina dengan anak li’an
sama yaitu sama-sama tidak sah, namun perbedaan antara keduanya adalah
bahwa anak zina telah jelas statusnya dari awal bahwa anak tersebut lahir
dari perempuan yang tidak bersuami, sedangkan anak li’an adalah lahir
dari seorang perempuan yang bersuami, tetapi anak tersebut tidak diakui (ibn
mula’anah). Amir Syarifuddin menuturkan bahwa hubungan nasab antara anak
zina (luar nikah) dengan ayahnya tidak ditentukan oleh sebab alamiah seperti
pada ibu anak tersebut, tetapi hubungan tersebut disebabkan oleh hukum, artinya
telah berlangsung hubungan akad nikah yang sah atau tidak, sehingga sah
tidaknya suatu hubungan akan menentuan apakah anak mempuyai hak-haknya selaku
anak kepada ayahnya ataupun tidak.[14] Begitu juga
halnya penjelasan Fathur Raman bahwa anak zina atau anak luar nikah adalah
tidak mempunyai hubungan nasab dan secara sempit tidak memunyai hubungan saling
mewarisi dengan bapak dan keluarga bapaknya.[15]
Nasab adalah salah satu pondasi kuat yang menopang
berdirinya sebuah keluarga, karena nasab mengikat antar anggota keluarga dengan
pertalian darah. Dalam hal ini, anak adalah bagian dari pada ayah. Begitu
pentingnya sebuah nasab, maka nasab merupakan salah satu dari lima maqashid
syari’ah. Wahbah Zuhaili menyebutkan bahwa nasab seorang anak terhadap
ibunya tetap bisa diakui dari setiap sisi kelahiran, baik yang syar’i
maupun tidak. Adapun nasab seorang anak dengan ayahnya hanya bisa diakui dengan
adanya nikah yang shahih atau fasid, atau wathi’ syubhat (persetubuhan
yang samar status hukumnya), atau pengakuan nasab itu sendiri, di dalam Islam
sering disebut sebagai istilhaq (pengakuat terhadap seorang anak).
Kemudian beliau menambahkan bahwa Islam telah menghapus hukum adat yang berlaku
pada zaman jahiliah terhadap nasab anak zina. Kesimpulan hukum seperti ini
digali dari nash Hadits, dengan dalil hukum bersandarkan pada sabda
Rasul:
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ
وَهَنَّادٌ قَالَا حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ بْنُ عَيَّاشٍ حَدَّثَنَا شُرَحْبِيلُ
بْنُ مُسْلِمٍ الْخَوْلَانِيُّ عَنْ أَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ فِي خُطْبَتِهِ عَامَ حَجَّةِ الْوَدَاعِ
إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَعْطَى لِكُلِّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ فَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ
الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ
وَمَنْ ادَّعَى إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ أَوْ انْتَمَى إِلَى غَيْرِ مَوَالِيهِ
فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ التَّابِعَةُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
Artinya: “Telah
menceritakan kepada kami 'Ali bin Hujr dan Hannad mereka berdua berkata; telah
menceritakan kepada kami Isma'il bin 'Ayyasy; telah menceritakan kepada kami
Syurahbil bin Muslim Al Khaulani dari Abu Umamah Al Bahili dia berkata; aku
mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda di dalam khuthbahnya
pada saat haji wada': "Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada setiap
yang berhak apa yang menjadi haknya. Maka tidak ada wasiat bagi ahli waris.
Nasab seorang anak adalah untuk bapaknya. Untuk seorang pezina, maka baginya adalah
batu (dirajam) dan adapun hisabnya diserahkan kepada Allah. Dan barangsiapa
yang menasabkan dirinya kepada selain bapaknya, atau berwali kepada selain
walinya, maka laknat Allah akan tertimpa atasnya hingga datangnya hari kiamat.”
(HR. Jama’ah)[16]
Dari hadits ini telah dikomentari oleh Zuhaili bahwa
anak zina tidak layak mempunyai nasab dengan ayahnya. Adapun dampak dari nasab
tersebut sangat besar, karena nasab merupakan bagian dari hukum dan sekaligus
sebagai sebab adanya keterkaitan kekerabatan. Adanya hubungan kekerabatan ini
akan berujung terhadap pemenuhan hak-hak atau kewajiban, mulai dari pemenuhan
hak nafkah, hak perwalian juga termasuk hak kewarisan yang menjadi topik bahasa
dalam tulisan ini.
Sebagaimana yang dituturkan oleh Wahbah Zuhaili dalam
tulisannya bahwa terdapat tiga cara dalam menentukan hubungan nasab seorang
anak, yaitu;
a. Pernikahan yang sah. Bahwa Tidak dapat
dipungkiri suatu hubungan perkawinan merupakan awal dari adanya hubungan nasab
bagi anak keturunan. Semua imam mazhab sepakat akan hal ini dan tidak ada
pengecualian. Demikian juga menurut Abdul Azim bin Badawi Al-Khalafi menuturkan
bahwa hubungan darah pada dasarnya harus diawali dari suatu hubungan atau akad
yang sah menurut hukum Islam.[17]
b. Dengan cara pengakuan garis nasab atau keturunan (itsbat
nasab bil iqrar). Pengakuan garis nasab atau keturunan dalam istilah fiqih
disebut dengan istilhaq. Menurut sebagian ahli hukum Islam Indonesia,
seperti Abdul Manan menyatakan anak zina yang dilahirkan di luar pernikahan
yang sah akibat hubungan ghairu syari’ tetap bisa diakui dengan jalan istilhaq
apabila tidak terpenihunya secara zahir bahwa hubungan mereka tidak sah
(berzina), seperti tidak terpenuhinya empat orang saksi yang adil. Tetapi
menurut Zuhaili, istilhaq tidak sah atau tidak dibenarkan kepada seorang
ayah terhadap anak hasil zina, karena sebab pengakuan nasab itu bukan dari
hasil zina sebagaimana dapat dipahami dari Hadits Rasul;[18]
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَكَّارِ بْنِ بِلَالٍ الدِّمَشْقِيُّ أَنْبَأَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ رَاشِدٍ عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ مُوسَى عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ
عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كُلُّ مُسْتَلْحَقٍ
اسْتُلْحِقَ بَعْدَ أَبِيهِ الَّذِي يُدْعَى لَهُ ادَّعَاهُ وَرَثَتُهُ مِنْ
بَعْدِهِ فَقَضَى أَنَّ مَنْ كَانَ مِنْ أَمَةٍ يَمْلِكُهَا يَوْمَ أَصَابَهَا
فَقَدْ لَحِقَ بِمَنْ اسْتَلْحَقَهُ وَلَيْسَ لَهُ فِيمَا قُسِمَ قَبْلَهُ مِنْ
الْمِيرَاثِ شَيْءٌ وَمَا أَدْرَكَ مِنْ مِيرَاثٍ لَمْ يُقْسَمْ فَلَهُ نَصِيبُهُ
وَلَا يَلْحَقُ إِذَا كَانَ أَبُوهُ الَّذِي يُدْعَى لَهُ أَنْكَرَهُ وَإِنْ كَانَ
مِنْ أَمَةٍ لَا يَمْلِكُهَا أَوْ مِنْ حُرَّةٍ عَاهَرَ بِهَا فَإِنَّهُ لَا
يَلْحَقُ وَلَا يُورَثُ وَإِنْ كَانَ الَّذِي يُدْعَى لَهُ هُوَ ادَّعَاهُ فَهُوَ
وَلَدُ زِنًا لِأَهْلِ أُمِّهِ مَنْ كَانُوا حُرَّةً أَوْ أَمَةً قَالَ مُحَمَّدُ
بْنُ رَاشِدٍ يَعْنِي بِذَلِكَ مَا قُسِمَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ قَبْلَ
الْإِسْلَامِ
Artinya: “Telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahya telah menceritakan kepada kami
Muhammad bin Bakkar bin Bilal Ad Dimasyqi; telah memberitakan kepada kami
Muhammad bin Rasyid dari Sulaiman bin Musa dari 'Amru bin Syu'aib dari Ayahnya
dari Kakeknya bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Setiap orang yang dikaitkan kepada orang lain setelah bapaknya, maka ahli
warispun hendaklah mengakuinya setelahnya. "Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam menetapkan bahwa wanita yang telah menjadi hamba sahaya pada saat
melakukan hubungan intim dengannya, maka nasabnya dikaitkan dengan orang yang mengaitkan
sebelumnya, dan ia tidak mendapatkan harta warisan sama sekali dari yang telah
dibagi sebelumnya. Adapun harta warisan yang belum dibagikan, maka ia
mendapatkan bagiannya. Nasabnya tidak dapat dikaitkan kepada seorang bapak,
apabila ia mengingkarinya. Akan tetapi apabila dari budak wanita yang tidak
dimiliki, atau perempuan merdeka yang telah berzina, maka nasabnya tidak dapat
dikaitkan (kepadanya) dan ia tidak diwarisi. Apabila nasab dikaitkan kepada
seorang bapak dan ia mengakuinya, maka ia adalah anak hasil zina, ia (nasabnya)
dikaitkan kepada ibunya, baik ia seorang wanita merdeka atau seorang budak.
" Muhammad bin Rasyid berkata; 'Yang dimaksud di sini adalah apa yang
telah dibagi pada masa Jahiliyah sebelum Islam." (HR. Ibn Majah)
c. Dengan cara pembuktian. Dalam hukum Islam
juga terdapat aturan hukum tentang nasab seorang anak dengan ayahnya dengan
cara pembuktian. Cara ini juga sering disebut dengan mubaiyyinah
(perbandingan), yaitu dengan cara pembuktian berdasaran bukti yang sah bahwa
seorang anak betul-betul senasab dengan orang tuanya.[19] Misalnya
dengan melihat kemiripan dari orang tua dengan anaknya yang didukung dengan
adanya pengakuan dari masyarakat bahwa mereka mempunyai hubungan nasab.
Jika dilihat dari sisi kehamilan seorang wanita, hukum
Islam telah memuat ketentuan-ketentuan terhadap ketetapan nasab dengan batas
kehamilan tersebut secara akurat. Dalam hal ini, ada tiga syarat nasab anak
menjadi sah kepada kedua orang tuanya, yaitu:
1.
Kehamilan bagi seorang wanita bukan hal yang mustahil, artinya normal dan
wajar untuk hamil. Imam Hanafi sebagai mana dikutip oleh Abdul Manan bahwa
tidak mensyaratkan seperti ini, menurutnya meskipun suami isri tidak melakkan
hubungan seksual, kemudian anak lahir dari seorang istri yang dikawini secara
sah, maka anak tersebut adalah anak sah.
2.
Tenggang waktu kelahiran dengan pelaksanaan perkawinan minimal enam bulan
sejak perkawinan dilaksanakan. Tentang hal ini terjadi ijma’ dikalangan fuqaha
sebagai masa terpendek dari masa kehamilan.
3.
Anak yana lahir tersebut terjadi dalam waktu kurang dari masa maksimal
kehamilan, adapun dalam hal ini ulama berselisih paham.
Dari ketiga syarat tersebut di atas dapat dipahami
bahwa sahnya hubungan nasab, berawal dari suatu pekawinan yang sah karena telah
terjadi akad perkawinan (peristiwa hukum). Selain adanya hubungan perkawinan
yang sah, harus pula terjadi hubungan biologis antara suami-istri. Meskipun
begitu, yang berlaku secara umum adalah bahwa hubungan nasab tetap sah tanpa
terjadi hubungan biologis antara suami dan istri, selanjutnya akan tidak sah
apabila hanya ada hubungan biologis tanpa adanya akad nikah yang sah.[20]
Hukum Islam menetapkan bahwa pada dasarnya keturunan
dalam hal ini anak adalah sah apabila pada permulaan kehamilan seseorang
terjadi dalam hubungan perkawinan yang sah. Untuk mengetahui secara hukum
apakah anak dalam kandungan berasal dari suami ibu atau bukan tersebut
ditentukan dengan masa kehamilan. Adapun masa terpendek suatu kehamilan yang
menjadi ijma’ para ulama adalah enam bulan dari awal pernikahan.[21] Asal usul anak merupakan dasar untuk
menunjukan adanya hubungan nasab dengan ayahnya. Karena para ulama sepakat
bahwa anak hasil zina dan li’an hanya memiliki hubungan nasab dengan ibu
dan keluarga ibunya. mengenai ketentuan batas maksimal dan minimal suatu
kehamilan terdapat keterangan yang diperoleh dari dua ayat al-Quran, pertama
terdapat dalam Surat al-Aqaf ayat 15:
$uZøŠ¢¹urur z`»|¡SM}$# Ïm÷ƒy‰Ï9ºuqÎ
$·Z»|¡ômÎ)
( çm÷Fn=uHxq ¼çm•Bé& $\döä. çm÷Gyè|Êurur
$\döä.
( ¼çmè=÷Hxqur
¼çmè=»|ÁÏùur
tbqèW»n=rO #·öky ....4
Artinya: “Kami
perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya,
ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah
(pula). mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan,...” (QS.
Al-Ahqaf: 15)
Kemudian terdapat juga dalam surat al-Luqman, yaitu:
$uZøŠ¢¹urur
z`»|¡SM}$# Ïm÷ƒy‰Ï9ºuqÎ
çm÷Fn=uHxq ¼çm•Bé& $·Z÷dur 4’n?tã
9`÷dur
¼çmè=»|ÁÏùur
’Îû
Èû÷ütB%tæ
...
Artinya: “dan
Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya;
ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan
menyapihnya dalam dua tahun,...” (QS. Luqman: 14)
Kedua ayat tersebut, menurut Ibn Abbas sebagaimana
dikutip oleh Ahmad Rafiq[22] bahwa ayat
pertama menunjukkan tenggang waktu mengandung dan menyapih adalah 30 (tiga
puluh) bulan. Sedangkan ayat kedua menerangkan mengenai masa menyapih bayi
setelah bayi disusukan secara sempurna dengan perolehan waktu 2 (dua) tahun
atau 24 (dua puluh empat) bulan. Maka batas mengandung dan menyapih dikurangi
dengan batas waktu menyapih, sehingga perolehan waktu tersebut selama 6 (enam)
bulan.
Apabila seorang perempuan diketahui telah hamil
sebagai akibat hubungan zina, kemudian perempuan tersebut dikawinkan dengan
laki-laki yang menyebabkan kehamilan dan akhirnya melahirkan kandungan lebih
dari enam bulan dari waktu pernikahan dilakukan, maka dalam hal ini karena anak
tersebut telah ada dalam kandungan sebelum terjadi pernikahan, walaupun ia
lahir dalam perkawinan yang sah antara laki-laki (dalam hal ini ayah) dan ibu
yang melahirkannya, kedudukannya hanya menjadi anak sah dari ibunya saja, bukan
anak sah dari bapaknya. Antara anak tersebut dengan dengan anak-anak yang lahir
kemudian mempunyai hubungan saudara seibu.[23]
Dalam hal ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga
mengeluarkan fatwa Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Kedudukan Anak Hasil Zina Dan
Perlakuan Terhadapnya. Hasil dari fatwa tersebut secara umum menyatakan atas
pertimbangan hukum yang ada—baik dari al-Quran, Hadits serta pandapat mayoritas
fuqaha—bahwa anak yang yang lahir luar nikah tidak memiliki hubungan nasab
dengan ayah dan keluarga ayahnya.
Dari beberapa pendapat serta argumen hukum di atas,
dapat dibuat dan dipahami dalam bentuk klausul bahwa nasab menjadi unsur
terpenting dalam sebuah keluarga. Dalam kasus ini, anak yang lahir di luar
perkawinan atau anak luar nikah tidak memiliki hubungan nasab dengan ayah dan
keluarga ayahnya dan statusnya disamakan dengan anak li’an. Kesimpulan hukum seperti
ini bisa dijadikan pijakan dengan melihat pendapat yang mu’tabar, selain adanya
ijma’ dikalangan ulama yang menentukan bahwa anak tesebut tidak memiliki
hubungan nasab dengan ayahnya. Jika diruntut tentang hubungan antara perkawinan
dengan nasab, bahwa perkawinan merupakan awal dari adanya hubungan nasab atau
keturunan yang sah. Terhadap hubungan perkawinan yang sah, maka selanjutnya
akan berinplikasi pada sahnya hubungan nasab. Dari hubungan kausalitas tersebut
akan berlaku hukum yang berupa hubungan hak dan kewajiban dalam lingkup
keperdataan.
3.
Pendapat Ulama Tentang Hak Waris
Anak Luar Nikah
Diantara persoalan yang krusial yang hendak diangkat
dalam penulisan ini adalah masalah ketentuan waris bagi anak luar nikah.
Permasalahan tersebut telah mendapat proporsi yang cukup besar di lapangan fiqih
klasik bahkan fiqih Islam kontemporer. Di Indonesia, permasalahan perlindungan
menyangkut hak-hak anak juga menjadi bagian integral dalam regulasi
perundang-undangan.
Dalam produk fiqh klasik, jumhur ulama sepakat
bahwa anak luar nikah tidak mendapat hak waris dari ayahnya dan sebaliknya,
sebagimana disebutkan oleh Imam Syafi’i yang dikutip oleh Wahbah Zuhaily bahwa
status anak zina disamakan dengan anak mula’anah dengan ketentuan bahwa
anak tersebut terputus hubungan saling mewarisi dengan ayah dan keluarga
ayahnya, karena tidak adanya status nasab yang sah diantara mereka.[24] Dalil hukum
yang dapat dikemukakan ialah dari beberapa Hadits Rasul, diantaranya;
التَّغْلِبِيُّ رُؤْبَةَ بْنُ عُمَرُ
حَدَّثَنِي
حَرْبٍ بْنُ
مُحَمَّدُ حَدَّثَنَا
الرَّازِيُّ مُوسَى بْنُ
إِبْرَاهِيمُ حَدَّثَنَا
قَالَ وَسَلَّمَ عَلَيْهِ للَّهُ ا صَلَّى النَّبِيِّ عَنْ الْأَسْقَعِ بْنِ وَاثِلَةَ عَنْ النَّصْرِيِّ اللَّهِ عَبْدِ بْنِ الْوَاحِدِ عَبْدِ عَنْ عَنْهُ لَاعَنَتْ الَّذِي وَوَلَدَهَا وَلَقِيطَهَا عَتِيقَهَا مَوَارِيثَ ثَلَاثَةَ تُحْرِزُ الْمَرْأَةُ
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Musa Ar
Razi, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Harb, telah menceritakan
kepadaku Umar bin Ru`bah At Taghlibi, dari Abdul Wahid bin Abdullah An Nashri,
dari Watsilah bin Al Asqa' dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam beliau
bersabda: "Seorang wanita menjaga tiga orang yang mewarisi; budak yang ia
bebaskan, anak temuannya, dan anaknya yang karenanya ia melakukan li'an." (HR. Abu
Daud).
Kemudian Hadits yang diriwayatkan oleh Tirmizi, yaitu:
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعَةَ عَنْ
عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ أَيُّمَا رَجُلٍ عَاهَرَ بِحُرَّةٍ أَوْ أَمَةٍ فَالْوَلَدُ
وَلَدُ زِنَا لَا يَرِثُ وَلَا يُورَثُ
Artinya: “Telah
menceritakan kepada kami Qutaibah; telah menceritakan kepada kami Ibnu Lahi'ah
dari 'Amr bin Syu'aib dari bapaknya dari kakeknya bahwasanya Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Siapa saja lelaki yang berzina
dengan wanita merdeka maupun budak wanita, maka anaknya ialah anak hasil zina.
Dia tidak mewarisi juga tidak diwarisi." (HR. Tirmidzi)[25]
Dari dua Hadits tersebut menurut Wahbah Zuhaili cukup
untuk membuat sebuah kesimpulan bahwa anak zina tidak mewarisi harta ayahnya
dan ayahnya tidak memiliki hak waris atas hartanya. Dalam hukum Islam telah
ditentukan pula bahwa adanya suatu hak nashab bagi seseorang harus
dilandasi dengan adanya sebab yaitu perkawinan yang sah. Selanjutnya sebab
perkawinan yang menjadi salah satu syarat terhadap pemenuhan hak nashab
akan berujung pada pemenuhan hak waris mewarisi. Kesimpulan hukum seperti ini
digali melalui beberapa bunyi Hadits di atas serta firman Allah surat an-Nisa’
ayat 11, 12 dan 176 tentang warisan. Dalam surat an-Nisa’ ayat 11 disebutkan:
ÞOä3ŠÏ¹qãƒ
ª!$# þ’Îû
öNà2ω»s9÷rr& (
Ìx.©%#Ï9 ã@÷VÏB
Åeáym Èû÷üu‹sVRW{$# ....
Artinya: “Allah
mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu :
bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan....”
(QS. An-Nisa’: 11).
Pemahaman dari ayat di atas sebagaimana terlihat dari
penjelasan Wahbah Zuhaili bahwa kata “anak-anakmu” merupakan keturunan
yang berhak mendapat harta warisan dari ayahnya, karena adanya hubungan darah.[26] Selanjutnya,
hubungan darah tersebut akan berlaku atau diakui oleh hukum syara’ apabila
didahului dengan adanya hubungan perkawinan sah yang melatar belakangi adanya
garis keturunan yang sah tersebut. Dalam hal ini, dapat dipahami juga bahwa
suatu perbuatan hukum akan mempunyai hubungan kausalitas atau hubungan timbal
balik dengan perbuatan hukum lainnya, seperti dalam kasus anak zina tidak mendapat
hak waris karena adanya perbutan hukum yang menghalanginya atau yang
mendahuluinya, yaitu perbutan zina di antara ibu-bapaknya.
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Wahbah Zuhaili dan
Muhammad Jawad Muhniyyah bahwa argumen hukum Syi’ah Imamiyah yang pendapatnya
lebih ekstrim dibandingkan dengan pendapat jumhur, yaitu anak hasil hubungan
yang tidak sah (zina) tidak memliki hubungan kewarisan dengan ayah dan keluarga
ayahnya, ketentuan ini sama seperti pendapat mayoritas mazhab sunni, baik
dari kalangan Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah dan kalangan ulama Hanbali. Akan
tetapi, gologan syi’ah berbeda pendapat dengan mayoritas ulama sunni
bahwa anak zina tersebut juga tidak mempunyai hubungan waris dengan ibu dan
keluarga ibunya. Dengan alasan bahwa warisan merupakan kenikmatan yang
diberikan oleh Allah kepada ahli waris, maka tidak boleh penyebab mewarisi
tersebut karena kejahatan, yaitu zina.[27]
Menurut pandangan Shaleh Al-Fauzan, penyebab seseorang
mendapatkan harta warisan adalah karena hubungan darah dari kedua orang tuanya,
adapun dalilnya yaitu dalam al-Quran surat al-Ahzab:
3.... (#qä9'ré&ur
ÏQ%tnö‘F{$# öNåkÝÕ÷èt
4†n<÷rr& <Ù÷èt7Î ’Îû É=»tFÅ2
«!$# ....
Artinya:“..dan
orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak
(waris-mewarisi) di dalam kitab Allah..”(QS. Al-Ahzab: 6)
Dari ayat di atas beliau berpendapat bahwa suatu
hubungan kekerabatan (hubungan darah atau nasab) merupakan faktor yang
mempengaruhi seseorang mempunyai hak dan kewajiban, termasuk dalam hal ini
adalah perihal warisan. Hubungan darah yang dimaksud dalam ayat di atas harus
dibenarkan menurut hukum, yaitu wajib adanya suatu hubungan akad nikah yang
sah. Berawal dari adanya perkawinan yang sah maka terdapat pula hubungan darah
yang sah menurut syara’.[28]
Jika beralih ke wilayah hukum Indonesia, para pakar
hukum Islam Indonesia juga telah memberikan kontribusi yang cukup besar melalui
pendapat-pendapat yang disuguhkan terhadap status waris anak luar nikah.
Diantara pendapat yang dapat dikemukakan yaitu menurut Muhammad Hasbi
Ash-Shiddieqy, bahwa apabila seseorang telah terang hubungan darahnya dengan
ibu bapaknya, maka dia mewarisi ibu bapaknya dan ibu bapaknya mewarisinya
selama tidak ada satu penghalang pusaka dan selama syarat-syarat pusaka telah
cukup sempurna. Dalam kasus anak zina (di luar nikah), maka anak tersebut hanya
memiliki hubungan darah dengan ibu dan keluarga ibunya dan tidak diakui
hubungan darah dengan ayah serta keluarga ayahnya. Oleh karenanya, anak zina
baik laki-laki maupun perempuan tidak diakui hubungan nasab dengan ayahnya
sehingga tidak ada hubungan saling mewarisi diantara mereka.[29]
Selanjutnya Amiur Nuruddin
menuturkan bahwa anak zina adalah anak yang dilahirkan ibunya dari hubungan
yang tidak sah, sehingga perbedaannya dengan anak yang sah adalah pada akibat
hukum yang diperolehnya.[30] Menurutnya,
anak yang sah adalah anak yang lahir oleh sebab dan di dalam perkawinan yang
sah. Adapun akibat hukum yang ada pada anak zina adalah tidak adanya hubungan
saling mewarisi dengan ayah dan keluarga ayahnya.
Jika pendapat dari pakar hukum
Indonesia di atas dikaitkan dengan aturan hukum—dalam hal ini yaitu peraturan
peundang-undangan—yang ada di Indonesia agaknya dapat dikatakan sejalan dan
mempunyai kesamaan, hal ini mungkin disebabkan karena aturan perundang-undangan
yang ada juga merujuk pada pendapat ulama-ulama terdahulu. Dalam buku I
Kompilasi Hukum Islam, tepatnya pada Pasal 100 disebutkan bahwa;
“anak yang
lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan
keluarga ibunya”.
Dalam hal ini, sesuai dengan
ketentuan dalam buku II KHI, tepatnya pada Pasal 171 huruf c dinyatakan bahwa:
“Ahli waris
adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau
hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena
hukum untuk menjadi ahli waris”.[31]
Dari bunyi pasal di atas dapat dipahami bahwa pada
pasal 100 menyatakan tentang kedudukan nasab anak luar nikah, sedangkan pada
pasal 171 menyatakan tentang kedudukan ahli waris yang menurut hukum
mendapatkan hak warisan. oleh karena anak luar nikah tidak memiliki hubungan
nasab dengan ayahnya, maka anak tersebut tidak tergolong dalam ahli waris.
Walaupun demikian, ketentuan ini di Indonesia agaknya tidak berlaku lagi,
karena Mahkamah Konstitusi telah memutus perkara uji materil (yudisial
review) yang dimohonkan oleh Macicha terhadap hak waris anaknya Muhammad
Iqbal dari perkawinan sirri dengan Murdiono. Dalam putusannya secara umum dapat
dipahami bahwa anak di luar nikah disamping mempunyai hubungan nasab dengan ibu
dan keluarga ibunya juga mempunyai hubungan nasab dengan ayah dan keluarga
ayahnya yang dapat dibuktikan dengan ilmu pengetahuan, sehingga hubungan
saling waris mewarisipun berlaku terhadap anak dengan kedua orang tuanya.[32]
[1]
Mahkamah Agung RI, Buku
II; Pedoman Pelaksanaan Tugas Dan Administrasi Peradilan Agama, edisi
revisi, (Jakarta, 2013), hlm. 159
[2]
Abu Malik Kamal bin
Saiyyid Salim, Fiqh Wanita, (terj: Beni Sarbeni), jilid 2, (Bogor:
Pustaka Ibnu Katsir, 2008), hlm. 449
[3]
Wahbah Zuhaili, Fiqih
Imam Syafi’i: Mengupas Masalah Fiqhiyah Berdasarkan Al-Quran dan Hadits,
(terj: Muhammad Afifi dan Abdul Hafiz), cet. ke-2, (Jakarta: Al-Mahira, 2012),
hlm. 77; Terdapat juga dalam tulisannya, Fiqh Islam Waadillatuhu; Hak-hak
Anak, Wasiat, Wakaf dan Warisan, (terj: Abdul Hayyie Al-Kattani), jilid 10,
(Jakarta: Gema Insani, 2011), hlm. 78
[4]
Muhammad Ali
Al-Sabouni, Hukum Kewarisan Menurut Al-Quran dan Sunnah, (Jakarta: Dar
Al-Kutub Al-Islamiyah, 2005), hlm. 41
[5]
Tim Redaksi Nansa
Aulia, Kompilasi Hukum Islam; Hukum Perkawinan, Kewarisan dan Perwakafan,
(Jakarta: CV. Nuansa Aulia, 2008), hlm. 53-54
[6]
Tim Penulis UIN Syaif
Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1992),
hlm. 119
[7]
Amir Syarifuddin, Hukum
Kewarisan Islam, cet. 3, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hlm.
148
[8]
Syaikh Kamil Muhammad
Uwaidah, Fiqih Wanita, (terj, Abdul Ghoffar), cet. 27, (Jakarta:
Al-Kautsar, 2008), hlm. 577-578
[9]
Muhammad Hasbi
Ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris, cet. 3, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra,
2001), hlm. 263
[10]
Wahbah Zuhaili, Fiqh
Islam Waadillatuhu; Hak-hak Anak, Wasiat, Wakaf dan Warisan, (terj: Abdul
Hayyie Al-Kattani), jilid 10, (Jakarta: Gema Insani, 2011), hlm. 40
[11]
Tim Penulis UIN Syaif
Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1992),
hlm. 119
[12]
Tim Redaksi Nansa
Aulia, Kompilasi Hukum Islam; Hukum Perkawinan, Kewarisan dan Perwakafan,
(Jakarta: CV. Nuansa Aulia, 2008), hlm. 93
[13]
Ahsin W. Al-Hafidh, Kamus
Ilmu A-Quran, (Cetakan ke-4, Jakarta: Amzah, 2012), hlm. 220
[14]
Amir Syarifuddin, Hukum
Kewarisan Islam, cet. 3, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hlm.
148-149
[15]
Fatchur Rahman, Ilmu
Waris, cet. 10, (Yogyakarta: PT Al-Ma’arif Bandung, 1971), hlm. 594
[16]
Wahbah Zuhaili, Fiqh
Islam Waadillatuhu; Hak-hak Anak, Wasiat, Wakaf dan Warisan, (terj: Abdul
Hayyie Al-Kattani), jilid 10, (Jakarta: Gema Insani, 2011), hlm. 37; dalam
kitab Hadits Tirmizi no. 2046
[17]
Abdul Azhim bin Badawi
Al-Khalafi, Al-Wajiz, (terj: Ma’ruf Abdul Jalil), (Jakarta: Pustaka
As-Sunnah, 2006), hlm. 799-800
[18]
Wahbah Zuhaili, Fiqh
Islam Waadillatuhu; Hak-hak Anak, Wasiat, Wakaf dan Warisan, (terj: Abdul
Hayyie Al-Kattani), jilid 10, (Jakarta: Gema Insani, 2011), hlm. 27; Hadits di
atas diriwayatkan oleh Ibnu Majah, no. 2736
[19]
Wahbah Zuhaili, Fiqh
Islam Waadillatuhu; Hak-hak Anak, Wasiat, Wakaf dan Warisan, (terj: Abdul
Hayyie Al-Kattani), jilid 10, (Jakarta: Gema Insani, 2011), hlm. 37; Abdul
Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, cet. 2, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2008), hlm. 101
[20]
Ali Parman, Kewarisan
Dalam Al-Quran; Suatu Kajian Hukum Dengan Pendekatan Tafsir Tematik,
(Jakarta: PT Raja Grafido Persada, 1995), hlm. 65
[21]
A. Hamid Sarong, Hukum
Perkawinan Islam di Indonesia, cet. 3, (Banda Aceh: Yayasan PeNA, 2010),
hlm. 174
[22]
Ahmad Rofiq, Hukum
Islam di Indonesia, cet. 2, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997), hlm.
224
[23]
A. Hamid Sarong, Hukum
Perkawinan Islam di Indonesia, cet. 3, (Banda Aceh: Yayasan PeNA, 2010),
hlm. 175
[24]
Wahbah Zuhaili, Fiqih
Imam Syafi’i: Mengupas Masalah Fiqhiyah Berdasarkan Al-Quran dan Hadits,
(terj: Muhammad Afifi dan Abdul Hafiz), cet.2, (Jakarta: Al-Mahira, 2012), hlm.
129
[25]
Muhammad Nasiruddin
Al-Albani, Shahih Sunan Tirmidzi, (terj: Fachrurazi), jilid 2, (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2006), hlm. 638
[26] Wahbah Zuhaili, Fiqih
Imam Syafi’i: Mengupas Masalah Fiqhiyah Berdasarkan Al-Quran dan Hadits,
(terj: Muhammad Afifi dan Abdul Hafiz), cet. 2, (Jakarta: Al-Mahira, 2012),
hlm. 80. 81
[27] Wahbah Zuhaili, Fiqh
Islam Waadillatuhu; Hak-hak Anak, Wasiat, Wakaf dan Warisan, (terj: Abdul
Hayyie Al-Kattani), jilid 10, (Jakarta: Gema Insani, 2011), hlm. 489; Muhammad
Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab; Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’i,
Hambali, (terj: Masykur A. B, dkk), cet. 13, (Jakarta: Lentera, 2005), hlm.
576
[28]
Saleh Al-Fauzan,
Fiqih Sehari-Hari, (terj: Abdul Hayyie Al-Kattani, dkk), (Jakarta: Gema
Insani Press, 2006), hlm. 564
[29]
Muhammad Hasbi
Ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris, cet. 3, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra,
2001), hlm. 263
[30]
Amiur Nuruddin, Azhari
Akmal Taringan, Hukum Perdata Islam di Indonesia; Studi Kritis Perkembangan
Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI, cet. 3, (Jakarta:Kencana,
2006), hlm. 277
[31]
Tim Redaksi Nuansa
Aulia, Kompilasi Hukum Islam; Hukum Perkawinan, Kewarisan dan Perwakafan,
cet. 3, (Bandung: Nuansa Aulia, 2012), hlm. 52
[32]
Taufiqurrahman Syahuri,
Legislasi Hukum Perkawinan Di Indonesia; Pro-Kontra Pembentukannya Hingga
Putusan Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013),
hlm. 192
Author: Mohammad
Mohammad is the founder of STC Network which offers Web Services and Online Business Solutions to clients around the globe. Read More →
Langganan:
Postingan (Atom)
4 komentar: