Senin, 04 Mei 2015
ILMU HADITS
A. Pendahuluan
Ilmu Hadis adalah Ilmu yang berkaitan dengan Hadis
Nabi SAW. untuk mengetahui mana yang sebenarnya hadis yang
dari Nabi Muhammad SAW, mana meragu-ragukan dan mana yang tidak benar atau dipalsukan orang, dan
lain sebagainya, maka harus ada ilmu untuk mempelajari itu (Ilmu Hadis).
Karena banyak macam yang harus dipelajari tentang hadis, maka banyak pula ilmu atau
istilah yang berkaitan dengannya, salah satu disebut dengan istilah Ulumul
Hadis seperti yang sedang kita pelajari sekarang ini.
Berikut ini akan dibahas tentang
pengertian Ilmu Hadis : Ilmu
Hadis Riwayah dan Ilmu Hadis Dirayah dan Ilmu Hadis dalam arti umum, sejarah dan perkembangan hadis, ruang lingkup kajian
Ilmu Hadis, dan arti penting Ilmu Hadis dalam kajian keislaman.
B. Ilmu Hadis Pengertian
Ilmu Hadis : Ilmu Hadis Riwayah dan Ilmu Hadis Dirayah
dan Ilmu Hadis dalam arti umum.
1. Pengertian
Ilmu Hadis
Ilmu
Hadis (‘Ulum Al-Hadis) secara kebahasaan berarti ilmu-ilmu tentang
Hadis. Kata ‘ulum adalah bentuk jamak dari kata ‘ilm (ilmu).[1]
Secara
etimologis, seperti yang diungkapkan oleh As-sayuti, Ilmu Hadis adalah;
علم
يُبحث فيه عن كيفية إتصال الحديث برسول الله ص.م. من حيث أحوال رُواتِه ضبطًا
وعدالةً ومن حَيثُ كيفيةِ
السّندِ
اِتصالاً وانقطاعا وغير ذلك.
Ilmu pengetahuan
yang membicarakan cara-cara persambungan hadis sampai kepada Rasululla SAW dari
segi hal ihwal para rawinya, yang menyangkut kedhbithan dan ke’adil-annya dan
dari bersambung dan terputusnya sanad, dan sebaginya.[2]
Dalam hubungannya dengan pengetahuan tentang hadis, ada ulama-ulama yang menggunakan beberapa istilah terhadap ilmu ini
seperti‘Ulum Al-Hadis, seperti Ibnu Salah (w.642 H/1246 M) dalam
kitabnya ‘Ulum Al-Hadis.‘Ilm Al-Hadis, seperti Jalaluddin As-Sayuthi
dalam mukaddimah kitab hadisnya, Tadrib Ar-Rawi.‘Ilmu Mushthalah Ahli
Atsar, Ibnu Hajar Al-‘Asqalany. ‘ilmu Ushul Al-Hadis. Ilmu
Dirayah Al- Hadis. Ilmu Mushthalah Al-Hadis.
Secara garis basar ulama hadis
mengelompokkan Ilmu Hadis tersebut ke dalam dua bidang pokok, yakni Ilmu Hadis Riwayah dan Ilmu Hadis Dirayah.
1.2. Pengertian Ilmu
Hadis Riwayah
Kata riwayah artinya periwayatan atau cerita. Ilmu
Hadis Riwayah, secara bahasa, berarti Ilmu Hadis yang berupa periwayatan.
Para ulama berbeda-beda dalam mendefenisikan Ilmu
Hadis Riwayah, yang paling terkenal di antara defenisi-defenisi tersebut
adalah defenisi Ibnu Al-Akhfani, yaitu ;
علم الحديث الخاصُّ بالرِّوايته علمٌ يشتمل على أقوالِ
النبيِّ ص.م. وأفعاله وروايتها وضبطِها
وتحرير ألفاظها.
Ilmu Hadis Riwayah
adalah ilmu yang membahas ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan Nabi SAW,
periwayatannya, pencatatannya, dan penelitian lafazh-lafazhnya.[3]
Namun, menurut Nuruddin ‘Itr, defenisi ini mendapat
sanggahan dari beberapa ulama hadis lainya karena defenisi ini tidak
komprehensif, tidak menyebutkan ketetapan dan sifat-sifat Nabi SAW. Defenisi
ini juga tidak mengindahkan pendapat-pendapat yang menyatakan bahwa hadis itu
mencakup segala apa yang dinisbatkan ke[ada sahabat atau tabiin sehingga
pengertian yang lebih tepat, menurut Nuruddin ‘Itr, adalah ;
علمٌ يشتمل على أقوالِ النبيِّ صلى الله عليه وسلّم.
وأفعاله وتقريراته وصفاته وروايتها وضبطِها
وتحرير ألفاظها.
Ilmu yang membahas ucapan, perbuatan, ketetapan, dan
sifat-sifat Nabi SAW, periwayatannya, pencatatannya, dan penelitian
lafazh-lafazhnya.[4]
Ilmu Hadis Riwayah ini sudah ada sejak periode Rasulullah
SAW., bersamaan dimulainya periwayatan hadis itu sendiri. Para shahabat
menyampaikan hadis dengan sangat hati-hati kepada shahabat yang lain atau
kepada tabi’in, para tabi’inpun melakukan hal yang sama, memahami hadis,
memeliharanya, dan menyampaikannya kepada tabi’in lain atau tabi’at tabi’in
(generasi sesudah tabi’in).
Demikian periwayatan hadis Nabi SAW berlangsung hingga
usaha penghimpunan yang dipelopori ulama hadis terkenal Abu Bakar Muhammad bin Syihab
Az-Zuhri (51-124 H) atas perintah Khalifah Umar bin abdul Aziz. Usaha
penghimpunan, penyeleksian, penulisan, dan pembukuan hadis secara besar-besaran
dilakukanoleh ulama hadis pada abad ke 3 Hijriah, seperti Imam Al-Bukhari, Imam
Muslim, Imam Abu Dawud, Imam At-Tirmidzi, Imam An-Nasa’i, Imam Ibnu Majah, Imam
Malik, Imam Ahmad, dan ulama-ulama hadis lainnya melalui kitab hadis
masing-masing.
1.3. Pengertian Ilmu
Hadis Dirayah
Istilah
Ilmu Hadis Dirayah, menurut As-Sayuthi, muncul setelah masa Al-Khatib Al-Baghdadi,
yaitu pada masa Al-Akfani. Ilmu ini dikenal juga dengan sebutan ilmu ushul
al-hadis, ulum al-hadis, musthalah al-hadis, dan qawa’id al-tahdis.[5]
Defenisi
yang paling baik, seperti yang diungkapkan oleh ‘Izzuddin bin Jam’ah, yaitu ;
علم بقوانين يعرف بها
أحوالُ السّند والمتن .
Ilmu yang membahas
pedoman-pedoman yang dengannya dapat diketahui keadaan sanad dan matan.[6]
Dari pengertian tersebut, kita bisa mengetahui bahwa Ilmu
Hadis Dirayah adalah ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah untuk mengetahui
hal ihwal sanad, matan, cara menerima dan menyampaikan hadis,
sifat rawi, dan lain-lain
1.4. Ilmu Hadis
dalam arti umum
Banyak macam istilah
yang digunakan para ulama untuk menyebut ilmu hadis. Prof. Dr. Hasbi
al-Siddiqi, sebagaimana dikutib Syuhudi Ismail dan Nur Sulaiman, mengartikan ilmu Hadis sebagai
segala pengetahuan yang berhubungan dengan hadits Nabi.[7] Dari definisi ini,
maka cakupan (obyek) ilmu hadits itu sangat luas. Ia tidak saja menyangkut
matan dan sanad hadits, tetapi juga menyangkut setting social-budaya, pilitik
dan social ekonomi yang melingkupi hadits Nabi. Berangkat dari pengertian ini,
maka ilmu hadits bisa mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan ilmu
itu sendiri. Misalnya ilmu sosiologi Hadits, Ilmu Pilitik Hadits dan sebagainya.
Definisi
ini senada dengan pengertian yang dirumuskan oleh Ibnu Hajar al-Atsqalani.[8]
معرفة القواعد التى يتوصل بها الى معرفة الراوي والمروي
Pengetahuan tentang
kaidah-kaidah yang dapat dipergunakan untuk mengetahui kaadaan para perawi dan
apa yang diriwayatkan (matan hadits).
C. Sejarah dan
Perkembangan Ilmu Hadits
Ilmu ini sebenarnya telah tumbuh sejak zaman Rasulullah
saw masih hidup. Perkembangan ilmu hadits selalu beriringan dengan pertumbuhan
pembinaan hadits itu sendiri. Hanya saja ia belum wujud sebagai suatu disiplin
ilmu yang berdiri sendiri. Pada saat Rasulullah saw masih hidup ditengah-tengah
kaum muslimin, ilmu ini masih wujud dalam bentuk prinsip-prinsip dasar, yang
merupakan emberio bagi pertumbuhan ilmu hadis dikemudian hari. Misalnya tentang
pentingnya pemeriksaan dan tabayyun, terhadap setiap berita yang
didengar, atau pentingnya persaksian orang adil dan sebagainya. Firman Allah
dalam surat
al-Hujurat ayat 6 menyatakan:
ياأيها الذين ءامنوا إن
جاءكم فاسق بنبأ فتبينوا أن تصيبوا قوما بجهالة فتصبحوا على ما فعلتم نادمين
Hai orang-orang yang beriman, jika datang
kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar
kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui
keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.
Demikian pula dalam
surat al-Thalaq : 2
وأشهدوا ذوي عدل منكم
وأقيموا الشهادة لله ذلكم يوعظ به من كان يؤمن بالله واليوم الآخرومن
يتق الله
يجعل له مخرجا
Persaksikanlah
dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan
kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang
beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah
niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar.
Ayat di atas jelas memberikan perintah kepada kaum
muslimin supaya memeriksa, meneliti dan mengkaji berita yang datang, khususnya
berita yang dibawa oleh orang-orang fasiq. Tidak semua berita yang
datang pasti diterima sebelum diperiksa siapa pembawanya dan apa materi isinya.
Jika pembawanya orang terpercaya dan adil , maka pasti diterima. Tetapi
sabaliknya, jika mereka tidak jujur dan fasik, tidak obyektif, maka berita akan
ditolak. [9]
Sepeninggal
Rasulullah saw , para sahabat Nabi sangat hati-hati dalam periwayatan hadits,
karena konsentrasi mereka masih banyak tercurahkan kepada al-Qur’an, yang baru
mulai dibukukan pada zaman khalifah Abu Bakar dan disempurnakan pada saat
sahabat Utsman bin Affan menjadi Khalifah. Selanjutnya ketika mulai terjadi
konflik politik , yang memicu munculnya firqah di kalangan kaum muslimin
; Syi’ah, Murji’ah dan Jama’ah, dan pada gilirannya mendorong
timbulnya periwayatan yang dimanipulasi, dipalsukan dan direkayasa, maka para
ulama bangkit untuk membendung pemalsuan dan menjaga kemurnian hadits Nabi.
Dari usaha ini, terbentuklah teori-teori tentang periwayatan. Keharusan
menyertakan sanad menjadi bagian penting yang dipersyaratakan dalam setiap
periwayatan. Hal ini telah dilakukan antara lain oleh Ibnu Syihab al-Zuhri
ketika menghimpin hadits dari para ulama.[10]
Ketika para ulama
hadits membahas tentang kemampuan hafalan / daya ingat para perawi (dhabit),
membahas bagaimana system penerimaan dan penyampaian yang dipergunakan (tahammul
wa ada’ al-hadits), bagaimana cara menyelesaikan hadits yang tampak
kotradiktif, bagaimana memahami hadits yang musykil dan sebagainya, maka
perkembangan ilmu hadits semakin meningkat. Ketika Imam al-Syafi’i (w. 204 H)
menulis kitab al-Risalah, sebenarnya ilmu hadits telah mengalami
perkembangan lebih maju, sebab di dalam kitab tersebut telah dibahas
kaidah-kaidah tentang periwayatan, hanya saja masih bercampur dengan kaidah
ushul fiqih. Demikian pula dalam kitab al-Umm. Di sana telah ditulis pula kaidah yang berkaitan
dengan cara menyelesaikan haadits-hadits yang bertentangan, tetapi masih
bercampur dengan fiqih. Artinya ilmu hadits pada saat itu sudah mulai tampak
bentuknya, tetapi masih belum terpisah dengan ilmu lain, belum menjadi disiplin
ilmu yang berdiri sendiri.
Sesudah generasi
al-Syafi’i, banyak sekali para ulama yang menulis ilmu hadits, misalnya Ali bin
al-Madini menulis kitab Mukhtalif al-Hadits, Ibnu Qutaibah (w.
276 H ) menyusun kitab Ta’wil Mukhtalif al-Hadits. Imam Muslim dalam Muqaddimah
kitab shahihnya, Al-Turmudzi menulis al-Asma’ wa al-Kuna, Muhammad
bin Sa’ad menulis al-Thabaqat al-Kubra. Demikian pula al-Bukhari menulis
tentang rawi-rawi yang lemah dalam kitab al-Dlu’afa’. Dengan banyaknya
ulama yang menulis tentang persoalan yang menyangkut ilmu hadits pada abad III
H ini, maka dapat difahami mengapa abad ini disebut sebagai awal kelahiran Ilmu
Hadits, walaupun tulisan yang ada belum membahas ilmu hadits secara lengkap dan
sempurna.
Penulisan ilmu
hadits secara lebih lengkap baru terjadi ketika Al-Qadli Abu Muhammad al-Hasan
bin Abd. Rahman al-Ramahurmudzi (w. 360 H) menulis buku Al-Muhaddits al-Fashil Baina al-Rawi wa
al-Wa’i. Kemudian disusul al-Hakim al-Naisaburi (w. 405 H) menulis Ma’rifatu
Ulum al-Hadits,al-Khathib Abu Bakar al-Baghdadi menulis kitab Al-Jami’
li Adab al-Syaikh wa al-Sami’, al-Kifayah fi Ilmi al-Riwayat dan
al-Jami’ li Akhlaq al-Rawi wa Adab al-Sami.[11]
D. Ruang lingkup kajian Ilmu Hadits
Sebagaimana
telah diuraikan di atas, secara garis besar Ilmu Hadis dibagi atas Ilmu Hadis
Riwayah dan Ilmu Hadis Dirayah. Jika Ilmu Hadis
Riwayah membahas materi hadis yang menjadi kandungan makna, maka Ilmu
Hadis Dirayah mengambil pembahasan mengenai kaidah-kaidahnya, baik yang
berhubungan
dengan sanad atau matan hadis.
Ilmu Hadis Riwayah ini
titik tekannya pada materi hadits itu sendiri. Wilayah dan ruang lingkup
pembahasan Ilmu ini tidak menyinggung apakah hadits itu mutawatir atau ahad,
dan juga tidak mempersoalkan apakan hadits tersebut shahih atau tidak, maqbul atau mardud, tetapi
pembahasannya lebih pada apa saja penuturan yang berasal dari nabi saw. Hal ini
dilakukan kerena ditujukan agar supaya mengetahui apa saja sikap dan prilaku
nabi yang dapat dicontoh dan diteladani. Dengan demikian maka obyek Ilmu
Hadis Riwayah adalah pribadi Nabi, baik dari segi perkataan, perbuatan,
penetapan dan sifat-sifat Nabi saw.
Ruang
lingkup kajian Ilmu Hadis Riwayah adalah segala sesuatu yang dinisbatkan kepada
Nabi SAW, shahabat, dan tabi’in, yang meliputi :
- Cara periwayatannya, yakni cara menerima dan penyampaian hadis dari seorang rawi kepada rawi lain.
- Cara pemeliharaan, yakni penghafalan, penulisan, dan pembukuan hadis,
Berbeda dengan Ilmu Hadis
Riwayah diatas, Ilmu Hadis Dirayah berkisar pada kaidah-kaidah untuk
mengetahui kaadaan matan dan sanad hadits, bagaimana cara-cara
penukilan hadis yang dilakukan oleh para ahli hadis, bagaimana cara
menyampaikan kepada orang lain, tentang sifat-sifat rawi, bagaimana cara
memahami hadits dan sebagainya.
Ruang lingkup kajian ilmu hadis
Dirayah adalah sanad dan matan dengan segala persolan yang
dikandungnya yang turut mempengaruhi kwalitas hadis tersebut, meliputi;
1.
Ittishal As-sanad (persambungan sanad),
tidak dibenarkan adanya rangkaian sanad yang terputus, tersembunyi, tidak
diketahui identitasnya (wahm), atau samar.
2.
Tsiqat As-Sanad, yakni sifat ‘adl
(adil), dhabit (cermat dan kuat), dan tsiqah (terpercaya) yang
harus dimiliki seorang periwayat hadis Nabi.
3.
Syadz, yakni kejanggalan
yang terdapat atau bersumber dari sanad. Misalnya, hadis yang
diriwayatkan oleh seorang tsiqah, tetapi menyendiri dan bertentangan
dengan hadis yang diriwayatkan oleh periwayat-periwayat tsiqah lainnya.
4.
‘illat, yakni cacat yang tersembunyi
pada suatu hadis yang kelihatannya baik atau sempurna. Syadz dan ‘illat
adakalanya terdapat juga pada matan dan untuk menelitinya diperlukan
penguasaan ilmu hadis secara mendalam.
5.
Hubungannya dengan matan,
redaksi dan makna tidak janggal menurut Al-Hiss(indra), akal, Al-Qur’an,
dan fakta sejarah pada masa Nabi SAW.
D. Arti Penting Ilmu Hadis dalam Kajian Keislaman
Ilmu Hadis merupakan salah satu disiplin ilmu agama yang
sangat penting, terutama sekali untuk mempelajari dan menguasai hadis secara baik
dan tepat. Dilihat dari fungsinya ilmu hadis mempunyai peran sangat penting
terhadap hadis. Karena antara hadis dan ilmu hadis (‘Ulum Al-Hadis)
terdapat kaiatan yang sangat erat. Ilmu hadis dapat memelihara hadis-hadis Nabi
SAW dari kesalahan dalam proses
periwayatan atau dalam penulisan dan pembukuan. Dengan mengetahui ilmu hadis
kita bisa mengetahui dan menetapkan maqbul (ditrima) dan mardud
(ditolak)-nya suatu hadis. Apalagi dalam perkembangannya, hadis-hadis Nabi SAW
telah dikacaukan dengan munculnya hadis-hadis palsu. Mengetahui dan menguasai
ilmu hadis sangatlah penting dan besar manfaatnya, diantarany ;
1. Dapat meneladani akhlak Nabi saw, baik dalam hal ibadah maupun
muamalah, secara benar.
2. Menjaga dan memelihara hadits Nabi dari segala kesalahan dan
penyimpangan
3. Menjaga kemurnian syariat Islam dari berbagai penyimpangan
4. Melaksanakan Syari’at sesuai dengan sunnah Nabi saw.
5. Mengetahu upaya dan jerih payah para ulama dalam menjaga dan
melestarikan hadits Nabi
6. Dapat mengetahui istilah-istilah yang dipergunakan para ulama
hadits
7. Mengetahui kriteria yang dipergunakan para ulama dalam
mengklasifikasikan kaadaan hadist, baik dari sisi kuantitas / jumlah sanad
maupun dari sisi kualitas sanad dan matannya.
8. Dapat mengetahui periwayatan yang maqbul (diterima) dan
yang mardud (tertolak)
9. Dapat melakukan penelitian hadits sesuai dengan kaidah-kaidah dan
syarat-syarat yang disepakati para ulama
10. mampu bersikap kritis dan proporsional terhadap periwayatan hadits
Nabi saw.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Al-Qaththan, Syaikh
Manna. Mabahits fi ‘Ulum Al-Hadis. Terj. Mifdhol Abdurrahman. Pustaka
Al-Kautsar: Jakarta, 2005
2.
Ash-Shiddieqy, M. Hasbi.
Sejarah dan pengantar Ilmu Hadis. Bulan Bintang: Jakarta, 1987.
3.
__________ , M. Hasbi. Pokok-Pokok Ilmu
Dirayah Hadis. Bulan Bintang: Jakarta, 1987.
4.
___________ , M.
Hasbi. Sejarah Perkembangan Hadis. Bulan Bintang: Jakarta, 1987.
5.
As-Sayuthi. Tadrib
Ar-Rawi fi Syarh Taqrib An-Nawawi. Dar Al-Fikr: Beirut. 1409 H/1988 M.
6.
Ismail, Syuhudi. Pengantar
Ilmu Hadis. Angkasa: Bandung,1991.
7.
____ , Syuhudi. Metodologi Penelitian Hadis
Nabi. Angkasa: Bandung,1991.
8.
‘Itr, Nuruddin. Manhaj
An-Naqd fi ‘Ulum Al-Hadis. Terj. Mujio. Remaja Rosada Karya: Bandung, 1994.
9.
Khon, Abd. Majid. Ulumul
Hadis. Amzah: Jakarta, 2008.
10.
Rahman, Fatchur. Ikhtishar
Mushthalah Al-Hadis. Al-Ma’arif: Bandung, 1974.
11.
Solahudin, M; Agus
Suyadi. Ulumul Hadis. Pustaka Setia: Bandung, 2009
12. Sulaiman, M. Nur. Antologi Ilmu Hadis. GP Press:
Bandung, 2010.
13. Ranuwijaya, Utang. Ilmu Hadis. Gaya Media Pratama:
Jakarta, 1996.
[1] Nuruddin ‘Itr. Manhaj An-Naqd fi ‘Ulum Al-Hadis. Terj.
Mujio. Bandung: Remaja Rosda karya. 1994. hlm. 13.
[2] As-Sayuti. Tadrib
Ar-Rawi fi Syarh Tarqib An-Nawawi. Beirut: Dar Al-Fikr. 1409 H/1988. hlm.
5-6.
[5] As-Sayuthi. op.cit. hlm. 5.
[8] Dr. Abd. Majid Khon, Ulumul Hadits ( Jakarta : AMZAH, 2008) hal. 68
Author: Mohammad
Mohammad is the founder of STC Network which offers Web Services and Online Business Solutions to clients around the globe. Read More →
Related Posts:
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Jazakalloh ilmunya
BalasHapus