Senin, 04 Mei 2015
HADIS MAUDU'
A.
Pendahuluan
Hadis (sunnah) dalam Islam termasuk pokok
perpegangan (dalil) untuk menentukan
hukum dan peraturan agama, disamping kitab Suci Al-Qur’an, jadi hadis itu pokok
yang kedua dalam Islam.[1] Dengan demikian,
kedudukannya menjadi sangat penting dalam ajaran Islam, sehingga dalam setiap
penetapan atau menguatkan sebuah argumen, baik dalam bidang aqidah, ibadah
maupun mu'amalah, hadis selalu diikutsertakan. Selain itu, hadis juga digunakan
sebagai penjelas ayat-ayat al-Quran yang bersipat global. Tanpa penjelasan
hadis, sangat sulit bagi umat Islam untuk bisa melaksanakan ajaran al-Qur'an
dengan sempurna yang pada akhirnya syari'ah Islam pun tidak bisa dijalankan
dengan baik. Hal inilah yang mendorong berbagai kalangan untuk mengkaji hadis
secara lebih mendalam. Namun perjalanan hadis tidaklah semulus yang diinginkan,
apalagi diketahui penulisan dan pengkodifikasian Hadis secara
resmi baru dimulai pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz.
Kesenjangan
waktu antara masa hidup Rasulullah Saw dengan masa mulai dibukukannya hadis,
tidak dipungkiri, telah memberi celah kepada sebagian orang atau
kelompok-kelompok tertentu melakukan pemalsuan terhadap hadis demi kepentingan
pibadi atau kelompok serta memenuhi keinginan hawa nafsu mereka. sehingga
banyak
muncul hadis-hadis palsu yang mengklaim bersumber dari Rasulullah saw.
seperti Kaum syiah yang membuat hadis palsu untuk tujuan politik pasca carut
marutnya situasi politik islam setelah wafatnya Rasulullah.
Ulumul hadits merupakan suatu
ilmu pengetahuan yang komplek dan sangat menarik untuk diperbincangkan, salah
satuanya adalah mengenai hadits maudhu’ yang menimbulkan kontrofersi dalam
keberadaannya. Suatu pihak menganggapnya dengan apa adanya, ada juga yang menanggapinya
dengan beberapa pertimbangan dan catatan, bahkan ada pihak yang menolaknya
secara langsung. Dengan demikian kita dituntut untuk mengkaji dan memahami
polemik problematika umat yang salah satunya ditimbulkan dari adanya hadits
maudhu.
B.
Pembahasan
1.
Pengertian
Hadis Maudhu’
Maudu’ berasal dari isim maf’ul dari
وضع يضع وضعا menurut bahasa seper (meletakan atau minyimpan).[2] Sedangkan menurut istilah hadits maudu’
adalah hadits yang dibuat-buatatau diciptakan atau didustakan atas nama nabi[3]
Dan para ahli hadits mendifinisikan hadits maudu’
adalah:
هُوَ مَا نُسِبَ إِلَى
رَسُوْلِ اللّه صَلَّى اللّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إخْتِلاَقًا
وَ كِذْبًا مِمَّا لَمْ
يَقُلْهُ أَوْ يَفْعَلْهُ أَوْ يُقَرَّهُ
“hadits
yang disandarkan kepada Rasulullah SAW secara dibuat-buat dan dusta, padahal
beliau tidak mengatakan, memperbuat dan mengerjakan[4]
هُوَ
الْمُخْتَلَعُ الْمَصْنُوْعُ الْمَنْسُوْبُ اِلَى رَسُوْلُ اللَّه صَلَّى اللّه
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
زوْرًا
وَبُهْتَانًا سَوَاءٌ كَانَ ذَلِكَ عَمْدًا اَوْ خَطَأً
“hadits yang diciptakan dan dibuat oleh seorang (pendusta) yang ciptaan ini
dinisbahkan kepada Rasulullah secara paksa dan dusta, baik disengaja maupun
tidak” [5]
Dalam
pengertian lain dikatakan:
Hadits Maudhu’
adalah merupakan dua perkataan yang berasal daripada bahasa Arab yaitu
al-Hadits dan al-Maudhu’. Al-Hadits dari segi bahasa mempunyai beberapa
pengertian seperti al-hadits dengan arti baru (al-jadid) dan al-hadits dengan
arti cerita (al-khabar).[6]
Kata hadits
merupakan isim (kata benda) yang secara bahasa berarti kisah, cerita,
pembicaraan, percakapan atau komunikasi baik verbal maupun lewat tulisan. Maudhu’ dari sudut
bahasa berasal dari kata wadha’a – yadha’u – wadh’an wa maudhu’an – yang
mengandung beberapa pengertian antaranya: telah menggugurkan, menghinakan,
mengurangkan, melahirkan, merendahkan, mencipta, menanggalkan, menurunkan.[7]
Hadits Maudu’ itu
diciptakan oleh pendusta dan disandarkan kepada Rasulullah untuk memperdayai.[8]
Kata-kata yang biasa dipakai untuk hadits maudhu’, adalah al-mukthalaqu,
al-mashnu, dan al-makdzub. Kata tersebut memiliki arti yang sama.
Pemakaian kata-kata tersebut adalah lebih mengokohkan (Ta’kid) bahwa hadits
semacam ini semata-mata dusta atas nama Rasul SAW.[9]
Hadits al-Maudhu’ ini yang paling buruk dan jelek diantara hadits-hadits
dhaif lainnya. Ia menjadi bagian tersendiri diantara pembagian hadits
oleh para ulama yang terdiri dari: shahih, hasan, dhaif
dan al-Maudhu’ Maka al-Maudhu’ menjadi satu bagian tersendiri.[10]
Melihat dampak yang begitu fatal, para
ulama mengharamkan periwayatan hadis Maudhu’.
Hadis Maudhu’ tidak boleh
diriwayatkan oleh siapapun kecuali dengan menjelaskan kepalsuannya. Misalnya
dalam nuansa belajar atau satu kajian dengan memberi contoh hadis-hadis palsu,
menjelaskan bahaya dan dampaknya dan bukan dengan tujuan untuk diikuti.[11]
Mahmud al-Tahhan mengkategorikan hadits maudhu’ ini kedalam hadits yang mardud
(ditolak). Sebab di dalamnya terdapat cacat pada perawinya dalam bentuk membuat
kebohongan terhadap Rasul SAW, dan cacat dalam bentuk ini adalah terburuk dalam
pandangan ulama’ hadits[12]
Dari pengertian diatas tersebut dapat disimpulkan bahwa hadits maudhu’
adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik
perbuatan, perkataan maupun taqrirnya, secara rekaan atau dusta semata-mata.
Dalam penggunaan masyarakat islam,hadits maudhu’ disebut juga dengan Hadits
palsu. terlihat adanya beberapa kesamaan unsur tentang tanda
adanya pemalsuan Hadis, yaitu:
a. adanya unsur
kesengajaan.
b. ada unsur
kebohongan atau ketidaksesuaian dengan fakta.
c. ada
penisbahan kepada Rasulullah saw. berupa ucapan
perbuatan atau pengakuan.
2.
Sejarah dan
Perkembangan Hadis Maudhu’.
Munculnya hadist palsu, di satu sisi menjadi masalah bagi
Kebaeradaan hadist Nabi yang sebenarnya
dan disinyalir tidak bersih dari hadist-hadist buatan, sehingga mengaburkan
antara hadist asli dengan hadist palsu. Wafatnya Rasulullah tidak hanya membuat
umat Islam kehilangan seorang figur dalam sejarah Islam, tetapi juga menjadikan
awal munculnya berbagai problem di tubuh umat Islam sendiri.
Bahkan, tidak adanya Rasulullah bukan hanya melahirkan
perpecahan di kalangan umat Islam, yang paling memprihatinkan pada ialah
munculnya keberanian di kalangan umat Islam untuk berbuat sesuatu yang dilarang
oleh Nabi. Munculnya berbagai penyelewengan terhadap ajaran Islam dan
lebih-lebih terhadap hadist Nabi merupakan fenomena baru setelah wafatnya
Rasulullah.
Para ulama berbeda pendapat tentang kapan kegiatan pemalsuan hadis
dimulai. Pendapat pertama mengemukakan, bahwa pemalsuan hadis telah ada pada
era Rasulullah. Pendapat ini dikemukakan oleh Ahmad Amin (w. 1373 H/1954 M),
dengan alasan hadis mutawatir yang menyatakan, bahwa barangsiapa yang secara
sengaja membuat berita bohong dengan mengatas namakan Nabi, maka hendaklah
orang itu bersiap-siap menempati tempat duduknya di neraka. Kata Ahmad Amin,
hadis itu memberi gambaran telah ada individu maupun kelompok pada masa Nabi
yang telah melakukan pemalsuan hadis. [13]. Tetapi sayang Ahmad Amin tidak memberi contoh hadis-hadis yang
telah dipalsukan tersebut, sehingga apa yang dinyatakan Ahmad Amin ini masih
dalam tataran asumsi.
Shahal ad-Din al-Adhabi, menyatakan bahwa pemalsuan hadis yang
berkenaan dengan masalah keduaniawian telah terjadi pada masa Nabi
dan dilakukan oleh orang munafiq. Sedang pemalsuan yang berkenaan dengan maslah
agama (amr dini), pada zaman nabi belum terjadi. Alasannya, ialah hadis
yang diriwayatkan oleh al-Thahawi dan al-Thabrani, yang
menyatakan bahwa pada masa Nabi ada seorang yang telah membuat berita bohong
dengan mengatas namakan Nabi. Orang itu telah mengaku diberi kuasa Nabi untuk
menyelesaikan suatu masalah di suatu kelompok masyarakat di sekitar Madinah.
Kemudian orang itu melamar seorang gadis dari masyarakat tersebut, tetapi
lamaran itu ditolak. Masyarakat tersebut lalu mengirim utusan kepada Nabi untuk
mengkonfirmasi berita utusan dimaksud. Ternyata Nabi tidak pernah menyuruh
orang yang mengatasnamakan beliau. [14]
Pemalsuan hadis mulai muncul pada masa Khalifat Ali bin Abi Thalib.
Pendapat ini dikemukakan oleh beberapa ulama hadis. [15]. Menurut pendapat ini, keadaan hadis pada zaman Nabi sampai
terjadinya pertentangan antara Ali dan Mu’awiyah masih terhindar dari pemalsuan-pemalsuan. Perang yang terjadi antara Ali dan
Mu’awiyah (dikenal dengan perang shiffin) telah mengakibatkan jatuhnya
banyak korban. Upaya damai yang diusulkan Mu’awiyah dan diterima Ali telah
mengakibatkan sekelompok pendukung Ali menjadi kecewa, dan mereka menyatakan
keluar dari kelompok Ali yang kemudian dikenal sebagai kelompok khawarij.
Kelompok Khawarij ini dalam gerakan selanjutnya tidak hanya memusuhi Mu’awiyah
saja, tapi juga Ali. Akibat kemelut politik yag kian rumit itu, akhirnya Ali
bin Abi Thalib dapat dikalahkan Mu’awiyah, dan kekuasaan Ali digantikan oleh
Mu’awiyah yang kemudian membangun basis kekuasaannya dengan mendirikan daulah
bani Umayah. [16]
Runtuhnya kekuasaan
Ali tidak menyurutkan perjuangan para pendukungnya, yakni kelompok syi’ah.
Pertikaian segitiga yang berlarut telah mendorong ketiga pihak untuk saling
mengalahkan, yang salah satu caranya ialah dengan membuat hadis palsu untuk
mengukuhkan kelompoknya dan memperlemah posisi lawan secara sosial-politik.
Berdasarkan data
sejarah, pemalsuan hadis tidak hanya dilakukan oleh orang-orang Islam saja,
melainkan juga telah dilakukan oleh orang-orang yang non Islam. Orang-orang non
Islam membuat hadis palsu.[17], karena didorong oleh
keinginan meruntuhkan Islam dari dalam. Dan orang-orang Islam meriwayatkan hadis
palsu karena mereka didorong oleh beberapa motif. Motif itu ada yang bernuansa
duniawi ada yang agamawi. Secara rinci, motif orang-orang Islam itu adalah; 1)
membela kepentingan politik., 2) membela aliran
teologi, 3) membela madzab fiqih., 4) memikat hati
orang yang mendengarkan kisah yang dikemukakannya, 5) menjadikan orang lain
lebih zahid, 6) menjadikan orang lain lebih rajin mengamalkan ibadah, 6)
mendapatkan perhatian dan pujian dari penguasa, 9) mendapatkan hadiah uang dari
orang yang menggembirakan hatinya, 10) menerangkan keutamaan suku bangsa
tertentu.
Jumlah hadis palsu
tidak sedikit. Seorang yang mengaku sebagai pemalsu hadis mengatakan, bahwa dia
telah membuat empat ribu hadis palsu. Seorang pemalsu lainnya mengaku, bila dia
ingin memperkuat pendapatnya, maka dia membuat hadis palsu. Ada pula yang
mengaku bila ada yang memberi upah sebesar satu dirham saja, dia bersedia untuk
membuat sebanyak lima puluh hadis palsu[18]
Menurut Abdul Majid Khon juga mengatakan hal yang demikian bahwa awal terjadinya Hadits Maudhu’ dalam sejarah muncul
setelah konflik antar elit politik dan antara dua pendukung Ali dan Mu'awiyah,
umat Islam terpecah menjadi 3 kelompok, yaitu Syi’ah, Khawarij, dan Jumhur
Muslimin atau Sunni. Masing-masing mengklaim bahwa kelompoknya yang paling
benar sesuai dengan ijtihad mereka, masing-masing ingin mempertahankan
kelompoknya, dan mencari simpatisan masa yang lebih besar dengan cara mencari
dalil Al-Qur’n dan hadits Rasulullah. Jika tidak didapatkan ayat atau hadits
yang mendukung kelompoknya, mereka mencoba menta’wilkan dan memberikan
interprestasi yang terkadang tidak layak.[19]
Ketika mereka tidak
menemukan ayat-ayat Al-Qur’an atau hadits yang mendukung tujuan partainya,
sementara penghafal Al-Qur’an dan hadits masih banyak, maka sebagian mereka
membuat hadits palsu (maudhu) seperti hadits-hadits tentang keutamaan para
khalifah, pimpinan kelompok, dan aliran-aliran dalam agama. Pada masa ini
tercatat dalam sejarah masa awal terjadinya hadits maudhu yang lebih disebabkan
oleh situasi politik. Namun, yang perlu diketahui pada masa ini hanya sedikit
jumlah hadits maudhu’ karena faktor penyebabnya tidak banyak. Mayoritas faktor
penyebab timbulnya hadits maudhu' adalah tersebarnya bid’ah dan fitnah. Sementara
para sahabat justru menjauhkan diri dari itu. Mereka sangat mencintai
Rasulullah dan telah mengorbankan segala jiwa raga dan harta bendanya untuk
membela beliau dengan penuh ketulusan hati. Mereka hidup penuh kejujuran dan
takwa terhadap Allah. Secara logika, tidak mungkin mereka berbuat dusta kepada
beliau dengan membuat hadits maudhu’. Demikian pula para masa tabi’in hadis
dibawa oleh para ulama besar yang diterima dari sahabat secara langsung. Mereka
sangat teguh beragama, bersungguh-sungguh, dan berhati-hati dalam
meriwayatkanya. Sunnah diingat, diriwayatkan, dan dipraktikan dalam kehidupan
mereka dengan sifat kejujuran dan kecerdasan mereka yang luar biasa. Maka
hadits maudhu' hanya ditimbulkan dari sebagian kelompok orang-orang bodoh yang
bergelut dalam bidang politik atau mengikuti hawa nafsunya untuk menghalalkan
segala cara.[20]
sebab-sebab munculnya hadits al- Maudhu’ Terdapat beberapa faktor, antara lain sebagai berikut:
a. Pertentangan politik dalam soal pemilihan khalifah
Kejadian ini timbul sesudah terbunuhnya
Khalifah Utsman bin Affan oleh para pemberontak. Pada masa itu Umat Islam
terpecah-belah menjadi beberapa golongan. Diantara golongan-golongan
tersebut, untuk mendukung golongannya masing-masing, mereka membuat hadits
palsu, yang pertama yang paling banyak membuat hadits Maudhu’ adalah
golongan Syiah dan Rafidhah.[21]
Diantara hadits-hadits yang dibuat golongan syiah adalah:
مَنْ اَرَادَ أَنْ يَنْظُرَ إلَى اَدَمَ فِى عِلْمِهِ وَإِلَى نُوْحٍ
فِى تَقْوَاهُ وَإِلَى إِبْرَاهِيْمَ فِي عِلْمِه
وَإِلَى مُوْسَى فِى هَيْبَتِهِ وَإِلَى عِيْسَى فِي عِبَادَتِهِ
فَلْيَنْظُرْ إِلَى عَلِيِّ
“ Barang siapa yang ingin melihat Adam tentang ketinggian
ilmunya, ingin melihat Nuh tentang ketakwaannya, ingin melihat Ibrahim tentang
kebaikan hatinya, ingin melihat Musa tentang kehebatannya, ingin melihat isa
tentang ibadahnya, hendaklah melihat Ali.
إِذَ رّأَيْتُمْ مُعَاوِيَهَ فَاقْتُلُوْهُ
Apabila kamu melihat Muawiyyah atas mimbarku, bunuhlah dia.
Gerakan-gerakan orang syiah tersebut diimbangi
oleh golongan jumhur yang bodoh dan tidak tahu akibat dari pemalsuan hadits
tersebut dengan membuat-buat hadits-hadits palsu. Contoh hadits palsu
مَا فِى الْجَنَّةِ شَجَرَةٌ إِلاَّ مَكْتُوْبٌ عَلَى كُلِّ وَرَقَةٍ
مِنْهَا:
لاَإِلَهَ إِلاَّ اللَّه مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللّه, أَبُوْ بَكْرٍ
الصِّدِّيْقُ, عُمَرُ الْفَارُوْقُ,
عُثْمَانُ ذُوْ النُّوْرَيْنِ.
Tak ada satu pohon pun dalam syurga,
melainkan tertulis pada tiap-tiap dahannya: la ilaha illallah, Muhammadur
Rasulullah, Abu bakar Ash-Shiddieq, Umar Al-faruq, dan Utsman Dzunnuraini.
Golongan yang fanatik kepada Muawiyyah membuat
pula hadits palsu yang menerangkan keutamaan Muawiyyah, diantaranya:
لأُمَنَاءُ ثَلاَثَةٌ: أَنَا
وَجِبْرِيْلُ وَ مُعَاوِيَةُ
Orang yang terpercaya itu ada tiga, yaitu Aku,
Jibril Dan Muawwiyah.
b. Adanya Kesengajaan dari pihak lain untuk merusak Ajaran
Islam, Golongan ini adalah dari golongan
Zindiq, Yahudi, Majusi, dan Nasrani yang senantiasa menyimpan dendam terhadap
agama Islam. Mereka tidak mampu untuk melawan kekuatan Islam secara
terbuka maka mereka mengambil jalan yang buruk ini. Mereka menciptakan sejumlah
besar hadits Maudhu’ dengan tujuan merusak ajaran Islam.[22]]Sejarah mencatatAbdullah Bin Saba’ adalah seorang
Yahudi yang berpura-pura memeluk Agama Islam. Oleh sebab itu, dia berani
menciptakan hadits Maudhu’ pada saat masih banyak sahabat utama masih hidup.
Diantara hadits Maudhu’ yang diciptakan oleh orang-orang zindiq tersebut,
adalah:
يَنْزِلُ رَبُّنَا
عَشِيَّةً عَلَى جَمَلٍ اَوْرَقٍ, يُصَافِحُ الرُّكْبَانَ
وَ يُعَانِقُ الْمُشَاةَ
Tuhan kami turunkan dari langit pada sore hari, di Arafah
dengan bekendaraan Unta kelabu, sambil berjabatan tangan dengan orang-orang
yang berkendaraan dan memeluk orang-orang yang sedang berjalan[23].
النَّظْرُ إِلَى
الْوَجْهِ الْجَمِيْلِ عِبَادّةٌ
Melihat (memandang) muka yang indah adalah ibadah.
Tokoh-tokoh terkenal yang membuat hadits Maudhu’
dari kalangan Zindiq, adalah:
a)
Abdul Karim bin Abi Al-Auja, telah membuat sekitar
4.000 hadits Maudhu tentang hukum halal-haram.
b)
Muhammad bin Sa’id Al-Mashubi, yang akhirnya
dibunuh oleh Abu Ja’far Al-Mansur
c. Mempertahankan Mahzab dalam masalah Fiqh dan masalah Kalam
Mereka yang fanatik terhadap Madzhab Abu
Hanifah yang menganggap tidak sah shalat mengagkat kedua tangan shalat,
sehingga mereka membuat hadits Maudhu’ sebagai berikut.
مَنْ رَفَعَ يَدَيْهِ فِي ال صّلاَةِ فَلاَ صَلاَةَ لَهُ
Barang siapa mengagkat kedua tangannya didalam shalat, tidak sah shalatnya.
d. Membangkitkan gairah beribadah untuk Mendekatkan diri kepada Allah
Mereka membuat hadits-hadits palsu dengan
tujuan menarik orang untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah. Melalui
amalan-amalan yang mereka ciptakan. Seperti hadits-hadits yang dibuat oleh Nuh
ibn Maryam, seorang tokoh hadits maudhu’,tentang keutamaan Al-Qur’an.
Ketika ditanya alasannya melakukan hal seperti itu, ia menjawab: “ Saya dapati
manusia telah berpaling dari membaca Al-Qur’an maka saya membuat hadits-hadits
ini untuk menarik minat umat kembali kepada Al-qur’an.[25]
e. Menjilat Para Penguasa untuk Mencari Kedudukan atau Hadiah.
Seperti kisah Ghiyats bin Ibrahim An-Nakha’i
yang datang kepada Amirul mukminin Al-Mahdi, yang sedang bermain merpati. Lalu
iya mentyebut hadits dengan sanadnya secara berturut-turut sampai kepada nabi
Saw., bahwasanya beliau bersabda:
لاَ سَبَقَ إِلاَّ فِيْ نَصْلٍ أَوْ خُفٍّ أَوْ حَافِرٍ أَوْ جَنَاحٍ
Tidak ada perlombaan, kecuali dalam anak panah, ketangkasan, menunggang
kuda, atau burung yang bersayap.
Ia menambahkan kata, ‘atau burung yang
bersayap’, untuk meyenagkan Al-Mahdi, lalu Al-Mahdi memberinya sepuluh dinar.
Setelah ia berpaling, sang Amir berkata, “Aku bersaksi bahwa tengkukmu adalah
tengkuk pendusta atas nama Rasulullah SAW.” Lalu memerintahkan untuk
menyembelih mengerti itu.[26]
4. Ciri-Ciri
Hadits Maudhu’
Para ulama telah membuat tanda-tanda matan hadits al-Maudhu’
yang mudah ditengarai kepalsuannya khususnya bagi kita kaum awam yang tidak
terlalu banyak menguasai ulumul hadits. Yaitu:
a. Tanda/ciri yang terdapat pada
sanad.
1) Rawi tersebut terkenal berdusta (seorang
pendusta) dan tidak ada seorang rawi yang terpercaya yang meriwayatkan hadits
dari dia[27]
2) Pengakuan dari sipembuat sendiri, seperti
pengakuan seorang guru tasawwuf, ketika ditanya oleh ibnu ismail tentang
keutamaan ayat Al-Qur’an, maka dijawab: “tidak seorang pun yang meriwayatkan
hadits ini kepadaku. Akan tetapi, kami melihat manusia membenci Al-qur’an, kami
ciptakan untuk mereka hadits ini (tentang keutamaan ayat-ayat Al-Qur’an), agar
mereka menaruh perhatian untuk mencintai Al-Qur’an.” [28]
3) Kenyataan sejarah, mereka tidak mungkin
bertemu, misalnya ada pengakuan seorang rawi bahwa ia menerima hadits dari
seorang guru, padahal ia tidak pernah bertemu dengan guru tersebut, atau ia
lahir sesudah guru tersebut meninggal, misalnya ketika Ma’mun ibn Ahmad
As-Sarawi mengaku bahwa ia menerima Hadits dari Hisyam ibn Amr kepada Ibnu
Hibban maka Ibnu Hibban bertanya, “kapan engkau pergi keSyam?” Ma’mun menjawab,
“ pada tahun 250 H.” Mendengar itu Ibnu Hibban berkata, Hisyam meninggal dunia
pada tahun 245 H.”
4) Keadaan rawi dan faktor-faktor yang
mendorongnya membuat hadits maudhu’. Misalnya seperti yang dilakukan oleh
Giyats bin Ibrahim, kala ia berkunjung kerumah Al- Mahdi yang sedang bermain
dengan burung merpati yang berkata:
لاَ سَبَقَ إِلاَّ فِى نَصْلٍ أَوْ خُفٍّ أَوْ حَافِرٍ أَوْ جَنَاحٍ
“Tidak sah perlombaan itu, selain mengadu anak panah, mengadu unta, mengadu
kuda, atau mengadu burung
Ia menambahkan kata, “au janahin” (atau mengadu burung), untuk
menyenagkan Al-Mahdi, lalu Al-Mahdi memberinya sepuluh ribu dirham. Setelah ia
berpaling, sang Amir berkata: “ aku bersaksi bahwa tengkukmu adalah tengkuk
pendusta, atas Nama Rasulullah SAW, lalu ia memerintahkan tentang kemaudhu’an
suatu Hadits.[29]
b. Tanda/ciri yang terdapat pada matan.
Ciri yang terdapat pada matan itu dapat
dtinjau dari segi makna dan dari segi lafadznya. Pertama, dari
segi makna, misalnya hadits itu bertentangan dengan ayat Al-Quran atau dalil
lain yang mutawatir. Seperti hadits:
وَلَدُ الزِّنَا لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ
Matan hadits ini bertentangan dengan kandungan firman Allah Subhanahuwata'alaa
dalam surat Al-An'aam : 164,
…وَلاَ تَزِرُوْا وَازِرَةُ وِزْرَ أُخْرَى
Kandungan ayat
tersebut menjelaskan bahwa dosa seseorang tidak dapat dibebankan kepada orang
lain, sampai seorang anak zina sekalipun tidak dapat dibebani dosa orang
tuanya. Maknanya menyalahi sejarah,
kebiasaan dan bahkan bertentangan dengan akal sehat
Yang kedua dari segi lafaznya jelas-jelas mengandung unsur
pendustaan sperti. Contoh hadis maudhûʿ beriku ini :
البذنجان شفاء من كل داء
artinya
: “ Terong merupakan obat segala penyakit “[31]
dari lafaznya sudah jelas menununjukkan hal
yang mustahil semua penyakit dapat diobati oleh terong. Dengan demikian hadis
ini adalah palsu dan bahwasanya
Rasulullah saw tidak pernah menyampaikan hal yang demikian dalam menyampaikan
hadis kepada sahabatnya.
4. Penanggulangan Hadits Maudhu’
Untuk menyelamatkan hadits Nabi SAW
ditengah-tengah gencarnya pembuatan hadits palsu, para ulama’ membuat
usaha-usaha untuk membendung hal tersebut menurut Zeid B. Smeer adalah Pertama, dengan keharusan mencantumkan
sanad dalam tiap periwayatan, Kedua, Dengan
menginventarisir hadis-hadis palsu dan mengklasifikasikannya dalam buku
tersendiri agar mudah diketahui dan tidak bercampur dengan hadis yang
sebenarnya. Ketiga, Dengan adanya
klasifikasi kualitas hadis mulai yang tertinggi hingga yang terendah, serta
kriteria yang digunakan untuk menentukan hal tersebut sampai pada kodifikasi
hadis tidak lain merupakan buah dari usaha mereka sendiri.[32]
Selain itu para pakar juga hadits menyusun berbagai kaidah penelitian hadits.
Langkah-langkah yang ditempuh adalah sebagai berikut:
1. Meneliti sistem penyandaran hadits
2. Memilih perawi-perawi hadits yang terpercaya
3. Studi kritik rawi, yang tampaknya lebih dikonsentrasikan pada sifat
kejujuran atau kebohongannya
4. Menyusun kaidah-kaidah umum untuk meneliti hadits-hadits tersebut.[33]
Dengan berbagai kaidah mengakibatkan ruang gerak para pembuat
hadits palsu menjadi sangat sempit. Selain itu, hadits-hadits yang
berkembang dimasyarakat dan termaktub dalam kitab-kitab dapat diteliti dan
diketahui kualitasnya. Dengan menggunakan berbagai kaidah, ulama’ telah
berhasil menghimpun berbagai hadits dalam kitab-kitab khusus seperti: al Maudhu
al Kubra, karangan Abu al Fari Abd al Rahman bin al Jauzi (508-597)
5. Pengertian Israiliyyat
Israliyat merupakan bentuk plural (jamak) dari lafadh Israiliyah,
yaitu bentuk kata yang dinisbatkan pada Bani Israil. Menurut Shobir Abdurrohmah
Tuaimah Israil adalah bahasa Ibrani yang tersusun dari dua suku kata, “ isra”
yang berarti hamba atau seorang pilihan dan “ il “ yang berarti Allah,
jadi Israil berarti Abdullah atau seorang hamba Allah.[34]
Ditinjau
dari segi bahasa kata israiliyyat adalah bentuk jamak dan kata israiliyah, bentuk kata yang dinisbahkan pada kata Israil yang
berasal dari bahasa Ibrani, Isra bararti hamba dan Il berarti
Tuhan, jadi Israil adalah hamba Tuhan. Dalam deskreptif histories, Israil
barkaitan erat dengan Nabi Ya'kub bin Ishaq bin Ibrahim as, dimana keturunan
beliau yang berjumlah dua belas disebut Bani Israil. Di dalam al-Qur'an banyak
disebutkan tentang Bani Israil yang dinisbahkan kepada Yahudi[35]
Secara
istilah para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan israiliyyat. Menurut
adz-Dzahabi israiliyyat mengandung dua pengertianyaitu, pertama: kisah
dan dongeng yang disusupkan dalam, tafsir dan hadits yang asal periwayatannya
kembali kepada sumbernya yaitu Yahudi,Nashrani dan yang lainnya. Kedua:
cerita-cerita yang sengaja diselun dupkan oleh musuh-musuh Islam ke dalam
tafsir dan hadits yang sama sekali tidak dijumpai dasarnya dalam sumber-sumber
lama.[36]
Definisi lain
dari asy-Syarbasi adalah kisah-kisah dan berita-berita yang berhasil
diselundupkan oleh orang-orang Yahudi ke dalam Islam. Kisah-kisah dan kebohongan
mereka kemudian diserap oleh umat Islam, selain dari Yahudi merekapun
menyerapnya dari yang lain.[37]
Dari definisi
tersebut di atas tampaknya ulama-ulama sepakat bahwa yang menjadi israiliyyat
adalah Yahudi dan Nashrani dengan penekanan Yahudilah yang menjadi sumber
utamanya sebagaimana tercermin dari perkataan israiliyyat itu sendiri. Abu
Syu'bah mengatakan pengaruh Nashrani dalam tafsir sangat kecil. Lagi pula
pengaruhnya tidak begitu membahayakan akidah umat Islam karena umumnya hanya
menyangkut urusan akhlak, nasihat dan pembersihan jiwa.
Formulasi
tentang israillyat tersebut terus berkembang di kalanganpara pakar
tafsir al-Qur'an dan hadits sesuai dengan perkembangan pemikiran manusia.
Bahkan di kalangan mereka ada yang berpendapat bahwa israiliyyat mencakup
informasi-informasi yang tidak ada dasarnya sama sekali dalam manuskrip kuno
dan hanya sekedar sebuah manipulasi yang dilancarkan oleh musuh Islam yang
diselundupkan pada tafsir dan hadits untuk merusak aqidah umat Islam dari
dalam.
Meskipun israiliyyat
banyak diwarnai oleh kalangan Yahudi, kaum Nashrani juga turut ambil bagian
dalam konstalasi versi israiliyyat ini. Hanya saja dalam hal ini, kaum
Yahudi lebih popular dan dominan.Karenanya kataYahudi lebih dimenangkan
lantaran selain Yahudi lebih lama berinteraksi dengan umat Islam, di kalangan
mereka juga banyak yang masuk Islam.
Pernyataan Ahli Kitab menyusup di kalangan
ulama hadits melalui para pemalsu hadits dan para pendusta, yang hendak
menyebarkan apa yang ada pada mereka dengan menisbatkan kepada Rasulullah SAW.
Karena itu kita sering menjumpai hadits palsu yang berisi kisah-kisah Yahudi
maupun Nashrani, ataupun pernyataan-pernyataan yang ada di dalam kitab
Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, yang tidak layak dikatakan sebagai sabda
Nabi SAW. Kadang-kadang ada di antaranya yang menyusup melalui Ahlul Kitab yang
telah masuk Islam. Mulanya, mereka memandang kaum muslimin berdasarkan
kitab-kitab mereka, bahkan mereka menjelaskan kitab-kitab mereka itu kepada
kaum muslimin. Hal itulah yang kemudian banyak masuk melalui para periwayat
yang lengah atau para pemalsu hadits ke dalam hadits-hadits Nabi SAW. Ada yang
menjelaskan bahwa anak nabi Ibrahim yang disembelih adalah Ishaq bukan Isma’il.
Ada juga yang menjelaskan bahwa dunia ini terbatas umurnya, dan dapat diketahui
batasnya, yaitu tujuh ribu tahun. Keduanya jelas merupakan kisah versi
ahli kitab.[38]
6.
Contoh Israiliyat dalam Hadits
Para periwayat, dengan sanad-sanad mereka yang muttashil,
meriwayatkan hadits-hadits dari Nabi SAW, para sahabat dan para tabi’in
berkenaan dengan unsur peradaban baru yang berasal dari Ahlul Kitab, melalui
mereka yang kemudian masuk Islam, seperti Ka’ab Ibn Mati’ al-Humairy, Wahb
ibn Munabbih, dan lain-lain. Dan mereka inilah yang banyak
meriwayatkan kisah sepeerti itu (Israilliyat). Karena itu, tidak aneh, bila
suatu saat terjadi kekaburan pada diri periwayat. Bisa jadi, ia meriwayatkan
hadits yang sebenarnya marfu’ (sampai kepada Nabi SAW) tetapi disandarkan
kepada ka’ab atau sebaliknya, hadits yang sebenarnya hanya sampai kepada ka’ab,
dikatakan berasal dari Nabi SAW.[39]
Banyak riwayat, yang periwayatnya mengalami
kekeliruan seperti itu. Di antara riwayat seperti itu, ada yang bisa kita
temukan di dalam kitab-kitab Sunan, ada pula yang di lainnya. Pertama, pada
Kitab Sunnan Abu Daud, Imam Abi Daud meriwayatkan sebuah hadits, dari Muhammad
ibn Isa, dari Hammad, dari Maimun ibn Jabban, dari Abi Rafi’, dari Abu
Hurairah, dari Nabi SAW, beliau bersabda: “Belalang termasuk binatang laut.”
Di samping itu Abu Daud dan at-Tirmidzi juga meriwayatkan sebuah hadits dari
Abu al-Hazim, dari Abu Hurairah, bahwa Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya
(belalang) itu termasuk binatang laut.” Abu Daud mengomentari kedua hadits
itu: “Abu al-Hazm adalah periwayat dhai’f. Kedua hadits itu lemah. Ada lagi
hadits yang semakna, yang diriwayatkan oleh Ibn Majah dan al-Khatib, dari Anas
dan Jabir sekaligus, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya belalang
adalah ingus ikan laut.” “Ibn Hajar berkata: “Sanad hadits itu lemah”. As-Suyuthi
di dalam Jami’ al-Shigar juga menyinggung ke-dha’if-an hadits itu. Bahkan
Ibn al-Jauziy memasukannya di dalam kitabnya, al-Maudhu’at.[40]
Kemungkinan, yang benar adalah informasi mengenai
belalang merupakan ingus ikan laut atau termasuk binatang laut, sama sekali
tidak benar berasal dari Nabi, Hadits itu sebenarnya bersember dari Abu
Hurairah, dari Ka’b al-Akhbar. Tetapi ada periwayat yang melakukan kesalahan,
sehingga ia menjadikan hadits itu berasal dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW. Hal
ini tidak mustahil terjadi pada diri periwayat yang memang meriwayatkan
banyak hadits dari barbagai sumber. Karena begitu seringnya ia merangkai sanad:
“Dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW….”, maka ketika ia mendengar perkataan “dari
Abu Hurairah….”, spontan ingatannya akan tertuju pada perkataan “dari Nabi
SAW…”, tanpa menyadarinya, bahwa yang betul adalah dari Abu Hurairah dari
Ka’ab.
Kenyataannya, Abu Daud telah meriwayatkan hadits
itu dengan sanad yang benar, berasal dari Musa ibn Isma’il, dari Hammad, dari
Maimun Ibn Habban, dari Abi Rafi’, dari Ka’ab, ia berkata: “Belalang
termasuk binatang laut.” Kita lihat bahwa sanad itu berasal dari Hammad,
dari Maimun ibn Jabban. Dari Abi Rafi’, pada satu sanad, dari Abu Hurairah,
dari Nabi SAW, dan pada sanad lain, dari Ka’b. Karena sanad itu, pada tiga
periwayat berturut-turut sama, maka kita tidak bisa membenarkan penisbatan
kedua riwayat itu. Yang benar, hanya penisbatan kepada salah satu saja, kepada
Rasul, atau kepada ka’ab al-Akhbar. Abu daud cenderung memilih yang kedua,
karena ia menilai yang pertama sebagai riwayat dla’if. Untuk menentukan,
siapa sebenarnya periwayat yang melakukan kekeliruan, al-Dzahabi menilai bahwa
Maimun Ibn Jabanlah orangnya.[41]
7.
Kitab-kitab
yang memuat hadist maudhu`
Para ulama Muhaditsin, dengan menggunakan berbagai kaidah studi
kritis hadist, berhasil mengumpulkan hadist-hadist maudhu` dalam sejumlah karya yang cukup banyak, diantaranya :
1. Al-Maudhu’
Al-Kubra, karya Ibn Al-jauzi (ulama yang paling awal menulis
dalam ilmu ini).
2. Al-La’ali
Al-Mashnu’ah fi Al-Ahadits Al-Maudhu’ah, karya
As-Suyuti (Ringkasan Ibnu Al-jauzi dengan beberapa tambahan).
3. Tanzihu
Asy-Syari’ah Al-marfu’ah an Al-Ahadits Asy-Syani’ah Al-Maudhu’ah, karya
Ibnu Iraq Al-kittani (ringkasan kedua kitab tersebut).
4.
Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifak, karya Al-albani.
C. Penutup.
Hadis Maudhu’
adalah Hadis yang dibuat-buat dan disandarkan kepada Rasulullah saw. ada
beberapa faktor, sebab dan tujuan yang mendorong seseorang memalsukan Hadis,
seperti Pertentangan politik, Usaha kaum zindik, Fanatik terhadap Bangsa, Suku,
Negeri, Bahasa dan Pimpinan, Mempengaruhi kaum Awam dengan kisah dan nasihat,
Perselisihan madzhab dan ilmu kalam, Membangkitkan gairah beribadat, tanpa
mengerti apa yang dilakukan,
Adapun cara mengetahui hadits maudhu’ dengan memperhatikan antara lain:
1. Berdasarkan pengakuan para pembuatnya;
2. Makna atau lafalnya rusak;
3. Matannya bertentangan dengan alquran, hadis mutawatir, hadis
shahih, dan hal-hal yang mudah dipahami dalam agama;
4. Matannya bertentangan dengan akal sehat manusia;
5. Matannnya menyebutkan janji yang sangat besar atas perbuatan yang
kecil atau ancaman yang sangat besar atas perkara kecil;
6. Perawinya diketahui sebagai seorang pendusta, dan hadis yang
diriwayatkannya tidak diriwayatkan oleh para perawi terpercaya;
7. Ditemukan indikasi bahwa perawi itu memalsukan hadis, misalnay
seorang Syi’ah Rafidhah meriwayatkan hadis tentang ahlu al-bait.
Sedangkan penanggulangannya dapat dilakukan dengan cara menyusun
kaidah-kaidah umum untuk meneliti hadits-hadits tersebut, dengan penjelasan di
atas setidaknya kita dapat mengetahui segala sesuatu yang berhubungan dengan ke
maudhu’an
sebuah hadits, dan itu akan membuat kita lebih hati-hati dalam mengambil hadits
untuk kita jadikan sebagai pegangan hidup.
Berkembangnya ilmu yang mengkaji tentang hadis
sangat membantu dalam memelihara kemurnian hadis rasulullah saw, walaupun masih
ada yang berkembang aliran tertentu yan masih memakai hadis-hadis yang
diragukan keshahihannya, ilmu musthalah hadis, al-Jarh wa al-Ta'dil dan cabang ilmu hadis lainnya akan dapat
membendung dari potensi tersebut diatas
DAFTAR PUSTAKA
Departeman, RI, (1989),Al-Qur’an
dan Terjemahnya, Semarang: C.V, Thoha Putra,
Abu rayah. Mahmud,(
tt) adlwa’ ‘ala sunnah al muhammadiyah, Mekah : Dar al-Ma’arif
Al-Khatib .Ijaj, (1981),
Usul al-Hadith ‘Ulumuhu wa Mustalahuhu, Beirut,.
cet ke 4
A.W. Munawwir, (1997). Kamus Al-Munawwir
Arab-Indonesia Terlengkap, Edisi Kedua, Surabaya: Pustaka Progresif
Al-Shalih. Shubhi, (1988 M), ‘Ulam wa Musthalahul al-
Hadits, Beirut : Dar al-Ilm al- Malayin,
Al-Qathan Manna’, (2005)
Pengantar
Studi Ilmu Hadits (Terjemahan Mabahis Fi
Ulumil Hadits, Jakarta, Pustaka Al-Kautsar Cetakan
Pertama
Ash-Shiddiqy M. Hasbi. (1987), Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits , jakarta:
Bulan Bintang
At-Tahhan, Mahmud, (1979), Tafsir Musthalah Al-Hadits, Beirut:
Dar Al-Qur’an Al-Karim
Ash-Shiddieqy, Hasbi, (1999), Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis,
Semarang : Pustaka Rizki Putra
Amin , Ahmad, (1974), Maktabah al-Nahdhat al-Mishriyah, , Kairo : Dhuha Islam
Adz-Dzahabi,
Muhammad Husain (1993), al-Israilyyat
fit-Tafsiri wa al-Hadits,terjemahan Didin Hafiduddin Jakarta, PT. Litera Antara Nusantara
Anwar ,Rosihan, (1999), Melacak
Unsur-unsur Israiliyyat dalam Tafsir ath-Thabari danTafsir Ibnu Katsir, Bandung:
Pustaka Setia,
B.
Smeer, Zeid, (2008), Ulumul Hadis, Malang:
UIN-Malang Press
Hamidy. Zainuddin (dkk), (1992), Terjemahan
Hadits Shahih Bukhari, Jakarta: Anggota IKAPI
Majid Khon Abdul.( 2008) Ulumul Hadit, Jakarta: Amza
Majid Khon dan Bustamin. (2005
), Ulumul Hadits Jakarta : Pusat
Studi Wanita,
Nor
Ichwan , Mohammad , (2007), Studi Ilmu
Hadits, Semarang: Rasail Media Group
Nasution, Harun, (1985), Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya,
Jakarta : Universitas Indonesia
Nasaruddin, Umar, , (1999), Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an,
Jakarta : Paramadina
Nur.M. Qadirun, (2004), Kritik Metodologi Matan Hadits
(Salahudin Ibn Ahmad al-Adlabi, Manhaj Naqd al-Matn Ind Ulama’ al-Hadits
al-Nabawi), Tangerang: Gaya Media Pratama,
Rahman, Fathur, (1974), Ikhtisar
Musthalahahul Hadits, Bandung: Al-Ma’arif
Ranuwijaya. Utang. (1996).Ilmu hadist. (Jakarta:
gaya media pratama.
Suprapto. Munzier, Utang Ranuwijaya, (1993 ), Ilmu Hadits, Jakarta:
raja grapindo persada
Ismail , H.M. Syuhudi, (1995), Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, Jakarta : Bulan Bintang
Suparta, Munzier,( 2003), Ilmu Hadits,
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
yati
BadruzzamanAhmad Dim, (2005), Kisah-kisah Israliyat dalam tafsir munir,Bandung Sinar
baru Algesindo
[1] Lihat bagian Sampul Kata
Pendahuluan dari sidang penyalin, H. Zainuddin Hamidy (dkk), Terjemahan Hadits Shahih Bukhari, (Jakarta: Anggota
IKAPI), 1992) ,h. XIV
[2] Munzier suprapto, Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadits, ( Jakarta: raja grapindo persada, 1993 ), h, 191
[7] .A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Edisi
Kedua, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), h. 242
[8] Shubhi
al-Shalih, ‘Ulam al- Hadits wa Musthalahuh, Beirut : Dar al-Ilm al- Malayin,
1988 M, h.192
[10] Manna’ Al-Qathan, Pengantar Studi Ilmu Hadits (Terjemahan
Mabahis Fi Ulumil Hadits), , (Jakarta, Pustaka Al-Kautsar
Cetakan Pertama 2005) h. 145
[11]Zeid B. Smeer, Ulumul Hadis,( Malang: UIN-Malang Press, 2008,) h. 72
[12] Mohammad
Nor Ichwan, Studi Ilmu Hadits, (Semarang: Rasail Media
Group, 2007), h. 152
[15] Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, ( Semarang : Pustaka Rizki
Putra, 1999),
h.57
[16] Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta : Universitas
Indonesia, 1985), h. 54
[17] Umar, Nasaruddin, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif
Al-Qur’an, (Jakarta : Paramadina, 1999), h. 55-79
[21] M. Hasbi Ash-Shiddiqy. Sejarah
dan Pengantar Ilmu Hadits ,( jakarta: Bulan Bintang, 1987) .h. 246.
[30] Departeman, RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: C.V, Thoha
Putra, 1989),h. 217
[31] Majid Khon dan Bustamin. Ulumul Hadits ( Jakarta : Pusat
Studi Wanita, 2005 ), h. 86
[32] Zeid B. Smeer, Ulumul Hadis, h. 83
[33]Munzier Suparta, Ilmu
Hadits, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2003), h. 191-193
[34] Ahmad Dimyati Badruzzaman, Kisah-kisah
Israliyat dalam tafsir munir,(Bandung Sinar baru Algesindo,2005), h. 46
[35] Muhammad Husain adz-Dzahabi, al-Israilyyat fit-Tafsiri wa
al-Hadits, terjemahan
Didin Hafiduddin (Jakarta, PT. Litera Antara Nusantara, 1993), h. 8.
Tafsir
Ibnu Katsir, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h. 24-25.
[38] M. Qadirun Nur, , Kritik Metodologi Matan Hadits (Salahudin
Ibn Ahmad al-Adlabi, Manhaj Naqd al-Matn Ind Ulama’ al-Hadits al-Nabawi),
(Tangerang:
Gaya Media Pratama,2004), cet. I, hal.44.
[39] Ibid, h. 69.
Author: Mohammad
Mohammad is the founder of STC Network which offers Web Services and Online Business Solutions to clients around the globe. Read More →
Related Posts:
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar: