Senin, 24 Agustus 2015
PERKEMBANGAN ILMU FIQH, TERBENTUKNYA MADZHAB DAN IMPLEMENTASINYA
Fiqh, apa fiqh itu ? Hampir semua orang tentu dapat
menjawabnya. Tak dapat dipungkiri bahwa kita setiap hari selalau berhubungan
dengan fiqh, mulai dari hal - hal yang paling kecil sampai hal – hal yang
menyangkut masalah internasional.
Dalam benak orang awam, fiqh mungkin hanya dianggap
berhubungan dengan sang pencipta saja. Padahal kenyataanya tidak seperti itu. Akan
tetapi fiqh juga berhubungan dengan hal – hal kemasyarakatan. Selain itu ada hal yang perlu kita ketahui, yakni fiqh juga
mempunyai sejarah perkembanganya mulai dari masa Rosulullah hingga sampai saat
ini. Permasalahan yang dibahaspun masih tergolong sederhana, dan dalm
pemecahanya tidak menuai banyak kendala.
Seiring dengan berubahnya zaman, perubahan fiqh kian
meluas. Di dalamnya mulai timbul permaslahan yang bermacam – macam hingga
melahirkan khilafiyah – khilafiyah di dalamnya yang berdampak besar bagi umat
islam.
Berangkat dari hal itu, kami disini mencoba untuk membahas
sedikit hal tentang sejarah perkembangan fiqh, sejarah munculnya madzhab dan dampaknya
dalam kehidupan masyarakat.
I.
Sejarah Perkembangan Ilmu Fiqh
1. Periode Risalah
Dimulai sejak kerasulan sampai wafatnya Nabi. Pada
periode ini penentuan hukum mutlak ditangan Nabi, sumber hukumnya adalah Qur’an
dan Hadits. Periode ini terbagi menjadi dua yaitu ; periode Makkah yang banyak
fokus pada aqidah, dan periode Madinah yang lebih fokus pada masalah ibadah dan
muamalah.[1]
2. Periode Khulafaur Rasyidin ( 11 – 41 H )
Dimulai sejak wafatnya Nabi sampai peristiwa tahkim.
Sumber hukum periode ini adalah Qur’an, Hadits, dan Ijtihad yang terbagi atas
Ijma’ dan Qiyas.[2]
Pada masa ini Ijtihad adalah upaya yang luas menghadapi
persoalan hukum yang semakin kompleks karena banyaknya umat islam dari berbagai
etnis dan budaya. Juga untuk yang pertama kalinya para fuqaha berbenturan
dengan masyarakt yang heterogen yang mendorong para sahabat untuk berijtihad.[3]
Pada Periode ini juga sudah mulai ada perbedaan pendapat
diantara sahabat diantaranya perbedaan memahami Qur’an, perbedaan fatwa karena
bedanya Hadits, dan berbedanya fatwa karena pendapat.[4]
3. Periode Awal Pertumbuhan Fiqh
Dimulai pada pertengahan abad 1 sampai awal abad 2 H.[5]
Berpencarnya Sahabat ke pelosok negeri menyebabkan munculnya pendapat yang
bebeda - beda sesuai dengan keadaan daerah masing – masing dan meyebabkan
terbentukya dua golongan yaitu :
a)
Golongan Ahlura’yi, yaitu golongan yang mendahulukan kemaslahatan umum
tanpa terlalu terikat makna harfiah teks hukum. Golongan ini dipelopori oleh
Umar dan Ibnu Mas’ud, dengan pengikutnya diantaranya adalah Ibrahim bin Nakhai,
Alqamah bin Qaisdan, Hasan Basyri, dll.
b)
Golongan Ahlul Hadits, yaitu golongan yang berpegang kuat pada Quran dan
Hadits, dipelopori oleh Ibnu Abbas, dan Zaid bin Tsabit. Pengikutnya adalah
Sa’id bin Musayyab, Atha bin Abi Rabi’ah, Amr bin Dinar, dll.[6]
Selanjutnya para pengikut dari para sahabat itu disebut
Tabiin yang dijadikan rujukan menjawab persoalan hukum di zaman dan daerah
masing – masing. Sehingga munculah istilah Fiqh Awzai, Fiqh Alqamah, dll.[7]
4. Periode Keemasan
Dimulai pada abad ke- 2 sampai pertengahan abad ke- 4 H.[8]
Ciri – ciri periode ini adalah semangat Ijtihad yang tinggi seperti periode
sebelumnya. Yang membedakan adalah meluasnya kebudayaan, gerakan ilmiah
diberbagai daerah, pembukuan Hadits, dan bertambahnya hufadz Quran dan
perhatian untuk menunaikanya didorong oleh besarnya dukungan pemerintah untuk
memmajukan berbagai bidang ilmu.[9]
Diawal periode ini pertentangan Ahlul Hadits dengan Ahlura’yi
sangat tajam hingga mendorong semangat Ijtihad masing – masing aliran. Semangat
itu juga mendorong lahirnya madzhab Syafi’i, Maliki, Hanafi, Hambali. Fiqh
Taqdiri atau Hipotesis ( membahas persoalan yang diperkirakan akan terjadi ) mulai
marak.[10]
Pertentangan dua golongan itu mereda setelah golongan
Ahlura’yi berusaha membatasi, mensistemisai, dan menyusu kaidah ra’yu yang
dapat dipakai mengistimbatkan hukum sehingga Ahlul Hadits menerima ra’yu
menurut pengertian Ahlura’yu dan menerima ra’yu sebagai salah satu cara
menggali hukum. Selain itu, kedua golongan itu juga saling mengenal.
Periode ini juga memulai penyusunan kitab fiqh dan ushul
fqh seperti al-Muwatha dan ar-Risalah. Selain itu teori ushul fiqh juga mulai
bermunculan.[11]
5. Periode Tahrir, Takhrij, dan Tarjih dalam Madzhab
Dimulai pertengahan abad ke- 4 sampai pertengahan abad
ke- 7 H. Tahrir, Takhrij, dan Tarjih adalah upaya tiap – tiap madzhab
mengomentari, menjelaskan,dan mengulas pendapat imam madzhab.[12]
Diperiode ini hampir tidak ada mujtahid mandiri sehingga
muncul fanatik buta. Selain itu juga muncul pernyataan bahwa pintu ijtihad
ditutup karena :
§ Dorongan penguasa pada hakim untuk memakai madzhab
pemerintah saja.
§ Sikap fanatik buta, kebekuan berfikir, dan taqlid tanpa
analisis.
§ Gerakan pembukuan tiapmadzhab sehingga mempermudah
memilih madzhab yang mendorong untuk taqlid.[13]
6. Periode kemunduran
Dimulai pertengahan abad ke- 7 H sampai munculnya majalah
al-Ahkam al’Addliyyah ( hukum perdata kaerajaan turki Usmani ) pada 26 Sya’ban
1293 H. Ada tiga hal yang menonjol pada periode ini.
§ Banyak pembukuan fatwa. Buku – buku yang disusun
disistematisasikan sesuai dengan kitab fiqh.
§ Produk – produk fiqh diatur kerajaan.
§ Muncul gerakan kodifikasi fiqh islam sebagai madzhab
resmi pemerintahan.[14]
7. Periode Pengodifikasian Fiqh
Dimulai sejak munculnya majalah al Ahkamul Adliyyah
hingga sekarang.
Ciri – ciri yang mewarnai periode ini adalah :
§ Muncul upaya pengkodifikasian yang sesuai dengan tuntutan
dan situasi zaman.
§ Ada upaya kodifikasi yang tak terikat pada madzhab.
§ Muncul pendapat bahwa pendapat dari berbagai madzhab
ialah satu kesatuan yang tidak bisa dipisah.[15]
II.
Sejarah Munculnya Madzhab
Sudah kita ketahui sebelumnya, pada zaman Khulafaur
Rasyidin wilayah islam meluas dan umat islam terdiri dari banyak etnis dan budaya.
Persoalan hukum islam pun makin kompleks. Para sahabat juga bertebaran ke
berbagai pelosok negeri dengan metode fatwanya masing – masing. Mereka
berijtihad dengan carsnya masing – masing. Fatwanya juga diikuti murid –
muridnya sehingga jumlah pengikut sahabat dengan fatwa masing – masing makin banyak
dan membentuk aliran – aliran.
Seiring dengan berkembangya zaman, masing – masing aliran
itu berkembang kualitas dan kuantitasnya sehingga menjadi sempurna. Kemudian
aliran – aliran itulah yang disebut sebagai madzhab. Diantara madzhab itu ada
yang masih eksis dan ada juga yang hilang karena tidak mempunyai pengikut.[16]
III.
Implementasi Fiqh Dalam Kehidupan
Dalam keterangan di atas telah diterangkan, bahwa antara
sahabat satu dengan sahabat lain dalam memecahkan persoalan hukum mempunyai
ikhtilaf. Ikhtilaf itu disebabkan karena metode yang mereka gunakan berbeda,
selain itu juga karena kondisi umat yang berbeda pula ( sosial, etnis,dan
budaya ).
Ikhtilaf, dapat dapat dibagi ke dalam dua kategori utama
:
1)
Ikhtilaf yang kontradiktif ( ikhtilaf tadaddi ), yaitu ketetapan –
ketetapan hukum yang sepenuhnya berbertentangan dan secara logis tidak dapat
dipertemukan. Misalnya, ketetapan hukum dimana sebuah madzhab menyatakanya
sebagai haram dan madzhab yang lainya menyatakan halal.
2)
Ikhtilaf yang bervariasi ( ikhtilaf tanawwu’ ), yaitu ketetapan – ketetapan
hukum yang bertentangan yang variasi – variasinya bisa diterima secara logis
dan bisa dipertemukan. Misalnya, variasi posisi duduk Rosulullah SAW ketika
shalat, dan ada perbedaan mengenai posisi duduk yang dikemukakan oleh masing –
masing madzhab.[17]
Adapun dampak negatif dari ikhtilaf itu adalah, tidak
jarang ikhtilaf –ikhtilaf itu sering kali menjadi mala petaka memicu terjadinya
perpecahan antar umat islam yang kian membuat citra buruk bagi umat islam
dimata dunia.
Namun demikian, ikhtilaf itu juga membawa dampak positif yang luar biasa
besarnya bagi keluasan ilmu fiqh. Tidak bisa dibayangkan bila antara sahabat
tidak ada ikhtilaf maka ilmu fiqh akan gersang, kehilangan hasil – hasil
ijtihadnya yang amat diperlukan umat islam selanjutnya. Sebab Sebab Islam tidak stagnan diam di
dalam jazirah Arab, takan tetapi menyebar luas hingga ke pinggiran benua Eropa,
masuk menjelajah jauh ke dalam rimba Afrika, berlayar jauh hingga nusantara,
melewati pegunungan tinggi hingga negeri Cina.
Syariah Islam bertemu dengan
beragam budaya, adat istiadat, tata aturan masyarakat, tsaqafah, tradisi dan
sekian banyak falsafah kehidupan umat manusia. Kelenturan hukum syariah menjadi
syarat mutlak. Ternyata perbedaan pandangan di kalangan shahabat telah menjawab
semuanya.
[7] Rasyad Hasan Khalil,Sejumlah legalisasi Hukum Islam, ( Jakarta, Sinar
Grafika Offset, 2009),hlm. 92 - 98
Author: Mohammad
Mohammad is the founder of STC Network which offers Web Services and Online Business Solutions to clients around the globe. Read More →
SEJARAH LAHIRNAYA PERSOALAN TEOLOGI DALAM ISLAM
A.
PENGERTIAN
TEOLOGI ISLAM
Ditinjau dari segi loghat teologi berasal dari kata
“Theos” artinya “Tuhan” dan “Logos” yang berarti “Ilmu”. Jadi teologi berarti
“ilmu tentang Tuhan”. Teologi adalah ilmu yang membicarakan tentang
Tuhan dan pertaliannya dengan manusia, baik berdasarkan kebenaran wahyu ataupun
berdasarkan penyelidikan akal murni.
Teologi biasa disebut dengan beberapa nama,antara lain ilmu
ushuluddin,ilmu tauhid,figh al akhbar,dan ilmu kalam.Disebut ilmu ushuluddin
karena ilmu ini membahas tentang dasar-dasra dan pokok-pokok agama(ushuluddin).Disebut
ilmu tauhid karena ilmu ini membahas keesaan Allah SWT.Di dalam nya di bahas tentang hal yang wajib ,mustahil dan
jaiz pada Allah juga sifat yang wajib ,mustahil dan jaiz pada rasul-Nya.Sedangkan
Abu Hanifah mengistilahkanya dengan Al-Fiqh Al-Akbar karena menurut yang
mulia Abu Hanifah,hokum islam hukum islam terbagi dua bagian yaitu pertama
,yaitu Al-Fiqh Al-akhbar ,di dalamnya dibahas tentang hal-hal yang
berkaitan dengan istilah keyakinan atau pokok-pokok agama atau tauhid.Kedua ,Al-Fiqh
Al-Ashghar, di dalamnya di bahas tentang hal-hal yang berkaitan dengan
masalah thaharah,ibadah,mu’amalah,munaqahah dan jinayah.[1]
B. LATAR BELAKANG SEJARAH LAHIRNYA PERSOALAN PERSOALAN
TEOLOGI ISLAM
Harun Nasution ber asumsi
perseolan-perseolan teologi
kemunculannya di picu oleh persoalan-persoalan
politik.Persoalan-persoalan politik di maksud yaitu tragedi pembunuhan
‘Usman bin Affan yang menggurita dan ber ujung pada kudeta yang di lakukan oleh
Mu’awiyah terhadap khalifah sah saat itu
yaitu Ali bin Abi Thalib yang ber akhir dengan peristiwa tahkim (arbitrase)yang
sangat merugikan pihak Ali bin Abi Thalib.
Dikarenakan
polemik tersebut sebagian pasukan Ali
bin Abi Thalib menarik diri dari bawah bendera Ali bin Abi Thalib,mereka
menganggap Saidina Ali telah berbuat
salah karena mau berdamai (tahkim)dengan pihak Mua’awiyah,apalagi mereka
sudah hampir menang dalam” perang saudara”tersebut.Dalam sejarah mereka dikenal
dengan khawarij yaitu orang-orang yang memisahkan diri.[2]
Dari persoalan di atas maka lahirlah beberapa Aliran Teologi dalam Agama islam yaitu sebagai berikut:
a.
Timbulnya Persoalan teologi
Khawarij
Secara
etimologis kata Khawarij berasal dari bahasa Arab yaitu kharaja yang berarti keluar, muncul,
timbul atau memberontak. Ini yang mendasari Syahrastani untuk menyebut Khawarij
terhadap orang yang memberontak imam yang sah. Berdasarkan pengertian etimologi
ini pula Khawarij berarti setiap muslim yang ingin keluar dari kesatuan umat
Islam.[3]
Sedangkan
menurut ta’rif ilmu teologi adalah yang dimaksud Khawarij yaitu suatu kelompok
atau aliran pengikut Ali bin Abi Thalib yang keluar meninggalkan barisan karena
ketidaksepakatan terhadap keputusan Ali yang menerima arbitrase (tahkim), dalam perang shiffin pada tahun
376 H / 648 M dengan kelompok bughat (pemberontak) Muawiyah bin Abi Sufyan
perihal persengketaan khalifah.[4]
Kelompok
Khawarij pada mulanya memandang Ali dan pasukannya berada di pihak yang benar
karena Ali merupakan khalifah sah yang telah dibai’at mayoritas umat Islam,
sementara Muawiyah berada di pihak yang salah karena memberontak khalifah yang
sah, lagipula berdasarkan estimasi Khawarij, pihak Ali hampir memperoleh
kemenangan pada peperangan itu, tetapi karena Ali menerima tipu daya licik
ajakan damai Muawiyah, kemenangan yang sudah didepan mata itu menjadi raib. Ali sebenarnya sudah
mendeteksi kelicikan di balik ajakan damai kelompok Muawiyah, sehingga ia
bermaksud untuk menolak permintaan itu. Namun, karena desakan sebagian
pengikutnya, ahli Qurra seperti Al-Asy’ats bin Qais, Mas’ud
bin Fudaiki At-Tamimi, dan Zaid bin Husien Ath-Tha’i, dengan sangat terpaksa
Ali memerintahkan Askar (komandan pasukannya) untuk menghentikan peperangan.[5]
Setelah
menerima ajakan damai, Ali bermaksud mengirimkan Abdullah bin Abbas sebagai
delegasi juru damai (hakam), tetapi orang-orang Khawarij menolaknya, mereka
beralasan bahwa Abdullah bin Abbas berasal dari kelompok Ali sendiri. Kemudian
mereka mengusulkan agar Ali mengirim Abu Musa Al-asy’ari dengan harapan dapat
memutuskan perkara berdasarkan kitab Allah, keputusan tahkim, yakni Ali diturunkan
dari jabatannya sebagai khalifah oleh utusannya, dan mengangkat Muawiyah
menjadi pengganti Ali dan ia mengecewakan orang-orang Khawarij, mereka membelot
dan mengatakan, “Mengapa kalian berhukum kepada manusia? Tidak ada hukum selain
hukum yang ada disisi Allah.”
Ciri yang
menonjol dari aliran Khawarij adalah watak ekstrimitas dalam memutuskan
persoalan-persoalan kalam. Hal ini di samping didukung oleh watak kerasnya
akibat kondisi geografis gurun pasir, juga dibangun atas dasar pemahaman
tekstual terhadap nash-nash Alquran dan Hadis. Tak heran kalau aliran ini
memiliki pandangan ekstrim pula tentang status dosa besar, mereka memandang
bahwa orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim, yakni Ali, Muawiyah,
Amr bin Al-Ash’, Abu Musa Al-Asy’ari adalah kafir.[6]
b. Timbulnya
Persoalan Teologi Syiah
Syi’ah dilihat dari bahasa berarti
pengikut, pendukung, partai, atau kelompok, sedangkan secara terminologis
adalah sebagian kaum muslim yang dalam bidang spiritual dan keagamaannya selalu
merujuk pada keturunan Nabi Muhammad SAW. Poin penting
dalam doktrin Syi’ah adalah pernyataan bahwa segala petunjuk agama itu
bersumber dari ahl al-bait. Mereka menolak petunjuk-petunjuk
keagamaan dari para sahabat yang bukan ahl al-bait atau para
pengikutnya.[7]
Menurut Thabathbai, istilah Syi’ah
untuk pertama kalinya ditujukan pada para pengikut Ali (Syi’ah Ali), pemimpin
pertama ahl al-bait pada masa Nabi Muhammad SAW. Para pengikut Ali yang disebut Syi’ah itu
diantaranya adalah Abu Dzar Al-Ghiffari, Miqad bin Al-aswad, dan Ammar bin
Yasir.[8]
Pengertian
bahasa dan terminologis diatas hanya merupakan dasar yang membedakan Syi’ah
dengan kelompok islam lainnya. Di dalamnya belum ada penjelasan yang memadai
mengenai Syi’ah berikut doktrin-doktrinnya. Meskipun demikian, pengertian
diatas merupakan titik tolak penting bagi mazhab Syi’ah dalam mengembangkan dan
membangun doktrin-doktrinnya yang meliputi segala aspek kehidupan,
seperti imamah, taqiyah, mut’ah, dan sebagainya.
Mengenai kemunculan Syi’ah dalam
sejarah, terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ahli. Menurut Abu Zahrah,
Syi’ah mulai muncul pada masa akhir pemerintahan Usman bin Affan kemudian
tumbuh dan berkembang pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Adapun menurut
Watt, Syi’ah baru benar-benar muncul ketika berlangsung peperangan antara Ali
dan Mu’awiyah yang dikenal dengan Perang Siffin. Dalam
peperangan ini, sebagai respon atas penerimaan Ali terhadap arbitrase yang
ditawarkan Muawiyah, pasukan Ali diceritakan terpecah menjadi dua, satu
kelompok mendukung sikap Ali-kelak disebut Syi’ah, dan kelompok lain menolak
sikap Ali, kelak disebut Khawarij. [9]
c. Timbulnya
Persoalan Teologi Mu’tazilah
Secara harfiah kata mu’tazilah berasal
dari I’tazala .yang beraati ‘’berpisah’’ atau ‘’memisahkan diri’’ yang
ber arti juga ‘’menjauh’’atau ‘’menjauhkan diri’’.
Istilah Mu’tazilah menunjuk ada dua golongan,golongan
pertama, (disebut Mu’tazilah I) muncul sebagai respon politik murni. Golongan
ini tumbuh sebahai kaum netral politik, khususnya dalam arti bersikap lunak
dalam menangani pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan lawan-lawannya,
terutama Muawiyah, Aisyah, dan Abdullah bin Zubair. Menurut penulis, golongan
inilah yang mula-mula disebut kaum Mu’tazilah karena mereka menjauhkan diri
dari pertikaian masalah khilafah. Kelompok ini bersifat netral politik tanpa
stigma teologis seperti yang ada pada kaum Mu’tazilah yang tumbuh dikemudian
hari.
Golongan kedua, (disebut Mu’tazilah
II) muncul sebagai respon persoalan teologis yang berkembang di kalangan
Khawarij dan Mur’jiah akibat adanya peristiwa tahkim. Golongan ini muncul
karena mereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan Mur’jiah tentang
pemberian status kafir kepada yang berbuat dosa besar..
Mu’tazilah II ini lah yang secarah
kelahirannya mempunyai banyak varsi.Beberapa versi analis
Pemberian
nama Mu’tazilah kepda golongan kedua ini berpusat pada peristiwa yang terjadi
antara Washil bin Atha serta temannya,’Amir bin ‘Ubaid, dan Hasan Al bisri di
basharah.Pada waktu Washil mengikuti pelajaran yang di berikan oleh Hasan al
Bisri di mesjid Basarah,dating seorang yang bertanya mengenai pendapat tentang
orang yang ber dosa besar.Ketika Hsan basri sedang berfikir Washil menyatakan
pendapatnya dengan mengatakan “orang yang berbuat dosa bukan lah kafir dan
bukan mukmin tapi berada diantara kedunya,tidak mukmin dan tidak kafir”.Kemudian
washil menjauhkan diri dari halakah Hsan basri dan menempati sudt lain dari
masjid ter sebut.Disan Washil mengemukakan kembali pendapatnya di hadapan
pengikutnya.Kemudian Hasan Basri mengatakan “Washil menjauhkan diri dari kita(I’tazala
‘anna)”.Menurut Asy-Syarastsani,kelompok yang memisahkan diri tersebut
adalah kaum Mu’tazialah.
Menurut analisis Al-baqdadi,Washil dan
temannya,’Amir bin ‘Ubaid bin Bab,di usir oleh Hasan Basri dari majlisnya
karena ada pertikaian di antara mereka tentang qadar dan orang yang berbuat
dosa besar.Keduanya Menjauhkan diri dari Hasan Basri dan berpendapat bahwa
orang yang berbuat dosa besar itu mukmin dan tidak kafir.
Beliau menceritakan pada suatu hari Qatadah
bin Da’amah (w.956 H) masuk kemesjid Basarah dan bergabung dengan majlis ‘Amir
bin ‘Ubaid yang dikira adalah majlis Hasan Basri.Setelah Qatadah mengetahui
bahwa majlis tersebut bukan majlis Hasan basri ,ia berdiri dan meninggalkan
tempat itu sambil mengatakan ‘ini kaum Mu’tazilah”.
Menurut beliau ,asal-usul kemunculan
Mu’tazilah tadak ada sangkut paut dengan peristiwa Washil dan Hsan Basri.Mereka
dinamakan Mu’tazilah karena mengatakan orang berbuat dosa besar bukan mukmin
dan bukan kafir(al-manzilah baina manzilatain).Dalam arti,member status orang
yang berbuat dosa jauh dari golongan mukmin dan kafir.[10]
Yang di nyatakan oleh beliau merupakan
pendapat baru ,beliau mengatakn penamaan Mu’tazilah kepada mereka jauh sebelum
peristiwa Wasil dan Hasan,dan sebelum timbul pendapat posisi diantar dua
posisi.Nama Mu’tazilah diberikan kepada orang-orang yang tidak mau intervensi
dalam pertikaian politik yang terjadi pada zaman Usaman bi affan dan Ali bin
abi thalib.Ia menjumpai pertikaian disana ,yaitu satu golngan mengikuti
pertikaian itu,sedangkan golongan lain menjauhkan diri ke kharbita(I’tazala
ila kharbita).Oleh karena itu ,dalam surat yang di kirim kepada Ali bin Abi
Thalib ,Qais menakan golongan ini dengan Mu’tazilin.
Ia mengatakan,sebenarnya nama Mu’tazilah
bukan berarti “memisahkan diri dari umat islam lain” tetapi karena berdiri netral diantara Khawarij dan murjiah.[11]
d. Timbulnya Persoalan Teologi Murji’ah
Kata“Murji’ah” berasal dari
kata “arja’a” atau “arja” yang mempunyai
beberap pengertian diantaranya:
“Penundaan”,“Mengembalikan”umpamanya
bagi orang yang sudah mukmin. Tapi berbuat dosa besar sehinggga matinya belum
bertaubat, orang itu hukumanya di Tunda, dikembalikan Urusanya kepada Allah
kelak.[12]
“Memberi pengharapan”.
Yakni bagi orang Islam yang melakukan dosa besar tidak dihukum kafir melainkan
tetap mukmin dan masih ada harapan untuk memperoleh pengampunan dari Allah.
“Menyerahkan”maksudnya menyerahkan segala
persoalah tentang siapa yang benar dan siapa yang salah hanya kepada
keputusan Allah kelak.
Dari beberapa pengertian diatas bisa kita menyimpulkan
tentang pengertian dari Murji’ah. Adapun yang di maksud kaum Murji’ah di sini
ialah suatu golongan atau kaum orang-orang yang tidak mau ikut terlibat dalam
mengkafirkan tehadap sesama umat Islam seperti dilakukan kaum Khawarij yang
mengatakan bahwa semua yang terlibat dalam tahkim adalah kafir, dan mengatakan
bahwa orang Islam yang berdosa besar juga kafir. Bagi mereka, soal kafir atau
tidaknya orang-orang yang terlibat dalam tahkim dan orang Islam yang berdosa
besar, kita tidak tahu dan tidak dapat menentukan sekarang. Mereka mempunyai
pandangan lebih baik menangguhkan penyelesain persoalan tersebut dan
menyerahkanya kepada keputusan Allah di hari kemudian yakni pada hari
perhitungan sesudah hari Kiamat nanti. Karena mereka berpendirian menangguhkan
atau menunda persoalan tersebut, mereka kemudian disebut kaum Murji’ah.[13]
Golongan Murji’ah ini mula-mula timbul di Damaskus, pada
akhir abad pertama hijrah. Dinamakan “Murji’ah” karena golongan ini menunda
atau mengembalikan tentang hukum orang mukmin yang berdosa besar dan belum
bertobat sampai matinya, orang itu belum dapat dihukumi sekarang. Ketentuan
persoalannya ditunda atau dikembalikan terserah kepada Allah di hari akhir
nanti.
Lahirnya aliran Murji’ah disebabkan oleh kemelut politik
setelah meninggalnya Khalifah Utsman bin Affan, yang di ikuti oleh kerusuhan
dan pertumpahan darah.
Kemelut polotik
itu berlanjut dengan terbunuhnya Khalifah Ali yang diikuti pula kerusuhan dan
pertumpahan darah. Di saat-saat demikian, lahirlah aliran Syi’ah dan aliran
Khawarij. Syi’ah menentang Bani Umayah karena membela Ali dan Bani Umayyah
dianggap sebagai penghianat, mengambil alih kekuasaan dengan cara penipuan.[14]
e.
Timbulnya Persoalan Teologi Jabariyah
Kata jabariyah berasal dari kata
jabara yang berarti memaksa, didalam al-munjid dijelaskan bahwa nama jabariyah
berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya
melakukan sesuatu..Selanjutnya, kata jabara bentuk pertama setelah
ditarik menjadi jabariyah memiliki arti suatu kelompok atau aliran (isme).
Dalam bahasa inggris, jabariyah disebut fatalism atau predestination yaitu
faham yang menyebutkan bahwa perbuatan manusia telah ditentukan dari semula
oleh qadha’ dan qadhar tuhan.24
Faham al-jabar pertama kali
diperkenalkan oleh ja’d bin dirham kemudian disebarkan oleh jahm bin shafwan
dari khurasan. Namu dalm perkembangannya, faham al-jabar juga dikembangkan oleh
tokoh lainnya diantaranya an-najjar dan ja’ad bin dirrar.
Sebenarnya faham al-jabar sudah
muncul jauh sebelum kedua tokoh diatas. Benih-benih itu terlihat dalam
peristiwa sejarah ketika nabi menjumpai
sahabatnya yang sedang bertengkar dalam masalah takdir tuhan. Nabi melarang
mereka untuk mendebatkan persoalan tersebut, agar terhindar dari kekeliruan
penafsiran tentang ayat-ayat tuhan mengenai takdir. [15]
Dimasa Khalifah umar bin khattab di
ceritakan beliau pernah menangkap seseorang yang ketahuan mencuri. Ketika
dientrogasi, pencuri itu berkata” tuhan telah menentukan aku mencuri” mendengar
ucapan itu, umar marah sekali dan menganggap orang itu telah berdusta kepada
tuhan. Oleh karena itu, umar memberikan dua jenis hukuman kepada pencuri itu.
Pertama, hukuman potong tangan. Kedua, hukuman dera karena menggunakan dalil
takdir tuhan.[16]
Di saat Abdullah bin Abbas memegang tampuk
pimpinan Daulah bani Umayyah pernah mengirim surat sebagai wujud reaksi
kerasnya terhadap penduduk syiria karena di duga mereka penganut sakte
jabariah.
Berkaitan dengan kemunculan
aliran jabariyah, ada yang mengatakan bahwa kemunculannya diibatkan oleh
pengaruh pemikiran asing, yaitu pengaruh agama yahudi bermazhab Qurra dan agama
kristen bermazhab Yacobit.[17]
f.
Timbulnya Persoalan Teologi Sunni
Sunni atau Ahlussunnah terbagi
kepada dua pembagian,satu pembagian yang
umum yaitu kelompok teologi yang kontra dengan syiah .Dalam penegrtian
ini adalah Mu’tazilah termasuk juga Asy’ariah masuk dalam golongan Sunni.
Sedangkan yang di katakana
Sunni dalam pengertian khusus adalah sakte yang berada di bawah bendera
Asy’ariah yang ber mufarakah dengan Mu’tazilah.Aliran khusus ini yang sedikit
kita kaji dalam pembahasan singkat ini . [18]
Penamaan Ahlussunnah atau Sunni mulai serin
digunakan setelah timbulnya aliran Asy’ariah dan Maturudiah,dua ajaran yang
menantang ajaran-ajaran Mu’tazilah.Dalam hal ini Harun nasution menukil
keterangan Tasy Kubra Zadah-menjelaskan bahwa aliran Sunni muncul atas
keberanian dan usaha Abu Al-hasan Al-As’ary sekitar tahun 300H .[19]
Abu al Hasan A’li bin Ismail
bin Ishaq bin Salim bin ‘Abdullah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Abi
Musa Al-Asyari adalah nama lengkap dari Al-Asy’ari lahir di Basyarah pada tahun
875 M.Sebelum mempopulerkan Faham sunni Al Asy’ari adalah tokoh Mu’tazilah yang
gembleng oleh gembong Mu’tazilah yang tidak lain adalah ayah tirinya sendri
yaitu Abu ‘Ali Al-Juba’i(w 303 H/915)ayah kandung dari Abu Hasyim Al-Jubbai’i(w
321 H/932 M) bahkan Al Asy’ari sering megantikan gurunya Al-Jubbai dalam
perdebatan melawan penantang Mu’tazilah.
Al-Asy’ari keluar dari Mu’tazilah
setelah berumur 40 tahun mengumumkannya
pada jama’ah masjid Basarah dan meyatakan akan membeberkan keburukan-keburukan
Mu’tazilah.Menurut Ibnu ‘Asakir,yang melatar belakangi Al-Asy’ari meninggalkan
Mu’tazilah adalah konon Al-Asy’ari bermimpi bertemu Rasulullah SAW,sebanyak
tiga kali,yaitu pada malam ke-10 ,ke-20 dan ke-30 dalam bulan Ramadhan .Dalam tiga
kali mimpinya ,Rasulullah memperingatkan agar segera meninggalkan Mu’tazilah
dan segera membela faham yang di riwayatkan dari beliau.[20]
Kesimpulan
Persoalan
Teologi islam lahir dari ekses pertikaian politik antara Mu’awiyah dan Ali bin
Abi Thalib,walaupun benih-benih perbedaan pandangan sudah pernah lahir sejak
nabi Muhammad SAW dan para sahabat,namun perbedaan tersebut baru mengkristal
setelah peristiwa tahkim.
Berbagai macam sakte teologi lahir dikalangan umat islam, dengen
berbagai karakter dan pemikiran masing-masing.
Perdebatan panas mengenai iman dan
kufur,perbuatan tuhan,sifat-sifat tuhan,serta kehendak mutlak tuhan dan keadilan
melahirkan berbagai persoalan teologi dengan aliran yang ber macam-macam ragam.
Daftar pustaka
Rosihon Anwar, Abdul Rozak , Ilmu Kalam (Bandung: CV
Pustaka Setia, 2012
Harun Nasution,Teologi islam:Aliran-aliran sejarah perbandingan ,(Ui-Press,Jakarta,1986).
W.Montgomery Watt,pemikiran teologi dan filsafat,terj.umar
Basalim,P3M,Jakarta,1987
Hadariansyah Ab, Pemikir-pemikir teologi dalam
Sejarah Pemikir Islam (Banjarmasin: Antasari Press, 2008).
Ahmad
Hanafi, Teologi Islam/Ilmu Kalam(Jakarta: PT Bulan Bintang, 1974.
AmirAnNajar,Alkahwarij:AqidatanwaFikratanwafalsafatan,Terj.AfifMuhammad,dkk,LenteraCet.I,Bandung,1993.
M.H Thabathbai’I, islam Syi’ah,asal-usul dan prkembangannya,Terj.Djohan
Efendi,(graffiti Press,Jakarta 1989)
[1] . Rosihon
Anwar, Abdul Rozak dan Maman Abdu Djalel, Ilmu Kalam (Bandung: CV
Pustaka Setia, 2006). Hal.19-20
[5] . Amir An-Najar,Al-kahwarij:Aqidatan wa
Fikratan wafalsafatan ,Terj.Afif Muhammad ,dkk,(Lentera .Cet.I,Bandung,1993),Hal.5.
[6] . Amir An-Najar,Al-kahwarij:Aqidatan wa
Fikratan wafalsafatan ,Terj.Afif Muhammad ,dkk,Lentera
.Cet.I,Bandung,1993,Hal.5.
[8] . M.H Thabathbai’I, islam
Syi’ah,asal-usul dan prkembangannya,Terj.Djohan Efendi,(graffiti Press,Jakarta 1989),hlm.37 dan 71
[13] . Hadariansyah
Ab, Pemikir-pemikir teologi dalam Sejarah Pemikir Islam (Banjarmasin:
Antasari Press, 2008), hal.58
[15] . Aziz dahlan, sejarah pemikiran
perkembangan dalam islam, (beunneubi cipta. Jakarta).1987 hal 27-29.
[19] .Harun Nasution,hal,28
Author: Mohammad
Mohammad is the founder of STC Network which offers Web Services and Online Business Solutions to clients around the globe. Read More →
Langganan:
Postingan (Atom)
0 komentar: