Sabtu, 15 Agustus 2015
PEWARISAN TRANSPLAN ORGAN TUBUH DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
A. Manhaj
Yang Digunakan Untuk Mengistinbathkan Hukum
Dalam menghadapi permasalahan-permasalahan kontemporer
yang membutuhkan solusi tentang
hal-hal yang tidak
menyangkut ibadah mahdhah(seperti sholat,
puasa, zakat dan
haji) yang tidak
terdapat nash sharih di
dalam Quran dan Hadis, maka digunakanlah jalan ijtihaddengan
istinbath al hukmidari nash-nash
yang ada melalui
persamaan Illat, sebagaimana
yang dilakukan oleh ulama-ulama salaf dan
kholaf, dan bisa
juga melalui ijtihad birra’yi (dengan menggunakan
hasil pemikiran) seperti istihsan, maslahah mursalah dan lainnya.[1]
.
Manhaj Qiyas
Dalam upaya mencari
jalan keluar permasalahan
pewarisan transplant organ tubuh,
karena tidak terdapat
nash sharih di dalam
Quran dan Hadis,
maka dalam mengistinbathkannya akan digunakan manhaj qiyas.
Manhaj berarti metode, prosedur, approach, pendekatan, cara yang
jelas,
mudah, terang.[2]
Qiyas menurut bahasa
ialah mengukur sesuatu
dengan benda lain
yang dapat menyamainya. Definisi lain, qiyas ialah menyamakan.
Ulama Ushul dalam Khallaf mengartikan, Qiyas ialah
menghubungkan suatu kejadian
yang tidak ada nashnya kepada kejadian
lain yang ada
nashnya, dalam hukum
yang telah ditetapkan oleh
nash karena ada
kesamaan dua kejadian
itu dalam Illat hukumnya.[3]
Abdul Hamid Hakim menyebutkan, “Qiyas
secara bahasa ialah
mengukur sesuatu dengan
yang lain untuk diketahui persamaan diantara keduanya”
dan “Qiyas secara istilah
ialah mengembalikan far’u
kepada ashal karena Illat yang berkumpul pada
keduanya dalam suatu hukum” [4]
Dari definisi
di atas dipahami
bahwa qiyas ialah
mengembalikan far’u yang
tidak ada nashnya kepada ashalyang telah jelas nashnya dalam suatu hukum karena
ada kesamaan Illat, dan maksud
manhaj qiyasadalah dengan menggunakan metode qiyas.
Rukun yang harus ada dalam qiyas ada empat yaitu:
1. Ashal(لصا)
Yaitu
sesuatu yang ada
hukumnya dalam nash.
Disebut maqis alaihi (yang dijadikan ukuran) atau mahmul alaihi(yang dijadikan
pertanggungan) atau musyabbah bih(yang dibuat keserupaan).
Ashal
tidak memerlukan syarat
karena sudah mempunyai
hukum yang ditetapkan oleh nash.
2. Hukum Ashal( لصا
مكح)
Yaitu hukum syara yang ada nashnya menurut ashal
dan yang dimaksud adalah hukum ashal itu sebagai pangkal hukum bagi cabang.
Hukum ashal harus memenuhi beberapa syarat, sebab tidak semua hukum syara yang
telah ditetapkan oleh
nash terhadap suatu
peristiwa dapat digunakan untuk menetapkan hukum lewat qiyas
kepada peristiwa yang lain. Adapun syarat-syarat hukum ashal yaitu:
a. Hukum ashal itu
hendaknya berupa hukum syara’ amali (pekerjaan para mukallaf) yang
ditetapkan oleh nash
b. Hukum ashal hendaknya suatu
hukum yang Illatnya dapat
dicapai dengan akal Apabila
tidak dapat dipahami
akal, maka tidak
bisa digunakan untuk menetapkan hukum peristiwa yang
diqiyaskan
c. Hukum ashaltidak dikhususkan untuk sesuatu
Apabila digunakan untuk
sesuatu yang khusus,
maka tidak dapat digunakan untuk yang lain dengan jalan
mengqiyaskannya
3. Far’u(عرف)
Yaitu
sesuatu yang tidak
ada hukumnya dalam
nash, tetapi ada
maksud menyamakannya kepada ashaldalam hukumnya. Disebut maqis(yang
diukur) atau al mahmul(yang dibawa) atau musyabbah(yang diserupakan). Far’u
tidak memerlukan syarat,
karena memang belum
mempunyai hukum baik yang
ditetapkan oleh nash
maupun oleh ijma dan
tidak ada penghalang
untuk menyamakan hukum keduanya (far’udengan ashal).
4. Illat(ةلع)
Yaitu
keadaan yang dijadikan
dasar oleh hukum
ashal berdasarkan wujudnya keadaan itupada cabang, maka
disamakanlahcabang itu kepada ashal,
mengenai hukumnya.
Syarat-syarat yang disepakati para ahli ushul ada 4, yaitu:
a. Illat harus berupa sifat yang jelas, yakni
dapat disaksikan panca indra
b. Illat
harus berupa sifat yang sudah pasti (mundhabith), artinya
mempunyai hakikat yang nyata
dan tertentu yang
memungkinkan untuk mengadakan hukum pada cabang dengan tepat
atau dengan sedikit perbedaan
c. Illat
harus berupa sifat yang sesuai dengan
hikmah hukum. Maksudnya, Illatitu,
menurut dugaan keras, cocok dengan hikmah hukum
d. Illat
bukan hanya terdapat
pada ashal saja. Maksudnya,
Illat harus berupa sifat
yang dapat diterapkan pada beberapa masalah selain masalah pada ashal.
Cara-cara mengetahui Illat ada tiga, yaitu:
1) Dengan Nash
Apabila
nash-nash Quran atau
Hadis telah menunjuk
bahwa Illat hukumnya
adalah sifat yang disebut nash-nash itu sendiri , maka sifat yang disebut
itulah yang menjadi Illat hukumnya
2) Dengan Ijma’
Apabila para mujtahid
dalam suatu masa
telah sepakat bahwa
yang menjadi Illat suatu
hukum syara’ ialah
suatu sifat, maka
sifat itu ditetapkan menjadi Illat bagi suatu
hukum tersebut secara ijma’.
3) Dengan as-Sabru wat-Taqsim(meneliti dan memisah-misahkan)
Apabila ada suatu kejadian hukum dan tidak didapati nashatau ijmayang
menunjukkan Illatnya, maka para mujtahid menempuh jalan as-Sabru
wat-Taqsim, yakni meneliti sifat-sifat
yang terdapat pada
kejadian itu dan
memilih diantara sifat-sifat yang
ada yang patut dijadikan Illat hukum. Prosesnya dengan
mencari semua sifat-sifat
yang terdapat pada
pokok, kemudian menggugurkan sifat-sifat
yang tidak layak
dijadikan Illat. Selanjutnya disimpulkan.
B. Proses
Istinbath Pewarisan Transplant Organ Tubuh
Penggunaan manhaj qiyas dalam
me-istinbath-kan hukum harus mempunyai empat unsur sebagaimana
tersebut, yaitu: ashal,
far’u, hukum ashaldan Illat. Adapun proses manhaj
qiyas sebagai berikut:
1. Ashal(لصا )
Sebagaimana definisi di atas, maka dalam peristiwa pewarisan
transplant organ tubuh yang
berkaitan dengan tirkah dapat
dijumpai dalam surah
al Nisa’ ayat 7, 11, 12, 33, dan
176.
diidentifikasi
sebagai “al mausul”
yakni maa yang mengandung pengertian ‘umum’ yaitu ‘apa-apa’ yang
ditinggalkan.
dapat
dipahami, dari segi
ilmu ushul fikih disebutkan bahwa salah satu ciri ‘aamadalah,
... ةمھبملا ءامﺳاو ... لقعي ام ىف امو ...
…isim- isim mubhamah, …
diantaranya berupa lafal “maa” fii maa laa ya‘qil…
Dari teori di
atas, maka lafal “maa” sebagaimana dalam ayat-ayat di atas, apabila dilihat
dari segi ‘aam atau
tidak, maka masuk
dalam kategori ‘aam.
ةنسلاب باتكلا صيصخت
...
metakhshis kitab
dengan sunnah …
Setelah diketahui
bahwa lafal “maa”
dalam ayat-ayat tersebut adalah ‘aam, maka
berdasarkan teori tersebut,
ayat-ayat di atas dapat
ditakhshis dengan hadis-hadis
yang menyebutkan makna
yang khusus, yaitu
hadis-hadis yang menunjukkan
bahwa lafal “maa” adalah harta, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud,
Tirmidzi, Ibnu Majah
dan Ahmad dan
hadis yang diriwayatkan
oleh Ahmad dan Abu
Daud serta hadis
yang diriwayatkan oleh
Bukhari dan Muslim
2. Hukum Ashal(لصا مكح)
Yang dimaksud
dengan hukum ashalialah ketentuan yang ada pada ashal, yang sudah ditetapkan
melalui Quran atau Hadis. Yang dijadikan pangkal hukum bagi permasalahan
pewarisan transplant organ ini yaitu
ibahatul mauritsbolehnya mewarisi tirkah.
3. Illat
(ةلع )
Yang dimaksud
Illat ialah suatu alasan
hukum yang menimbulkan
atau menyebabkan adanya hukum.
Adapun cara
mengetahuinya sebagaimana berikut:
a. Dengan nash. berkaitan dengan permasalahan
pewarisan transplantorgan tubuh, nash yang menunjukkan tentang tirkahtidak menyebutkan Illathukumnya, maka beralih kepada cara
yang selanjutnya
b.
Dengan ijma’. Cara
yang kedua ini
belum dijumpai, maka
beralih lagi pada cara terakhir
c.
Dengan as-Sabru wat-Taqsim.
Yaitu meneliti sifat
yang terdapat pada pokok yang dapat dijadikan Illat.
Yang berarti harta
adalah:
1) kebendaan
atau disamakan dengan benda
2) bernilai
3) dapat
dikuasai
4) dapat
disimpan
5) dapat
dipergunakan.
Memperhatikan
syarat Illatyang disepakati
ulama, yaitu: sifat harus jelas, pasti,
sesuai dengan hikmah
hukum, dan terdapat
pada ashal dan far’u,
apabila dihubungkan dengan yang menunjukkan harta (point 1-5) maka
diperoleh bahasan:
a) sifat harus
jelas, sedangkan harta
berupa benda atau
yang disamakan dengan benda maka
harta itu memiliki wujud jelas dan apabila sesuatu disamakan dengan benda tentu
jelas juga
b) sifat harus
pasti, sedangkan harta dapat dikuasai, dapat disimpan dan itu pasti
c) sesuai dengan
hikmah hukum, sedangkan
harta itu bernilai,
dapat dipergunakan untuk kemaslahatan
d) terdapat
pada ashaldan far’u.
Hasil tersebut menunjukkan
bahwa sifat-sifat harta
itu memenuhi syaratsyarat Illat. sehingga
diduga bahwa yang
dapat dijadikan Illat
hukum yang menjadikan ibahatul
mauritsbolehnya mewarisi tirkah yang bermakna harta adalah kebendaan atau
yang disamakan dengan
benda, bernilai, dapat
dikuasai, dapat disimpan dan
dapat dipergunakan.
4. Far’u( عرف )
Dalam far’uini ada maksud untuk menyamakannya kepada ashal. Adapun permasalahan yang
tidak dijumpai ketetapannya
dalam Quran maupun Hadis adalah permasalahan pewarisan
transplantorgan tubuh.
Berdasarkan definisi tirkah yang
berarti harta yang
ditinggalkan si mayit yang sisa setelah dibayarkan untuk tajhiz, hutang dan wasiat, maka si mayit pada
umumnya juga meninggalkan tubuhnya. Tubuh, apabila diklasifikasi dapat
digolongkan menjadi dua, yaitu:
a. Bagian
tubuh yang dikategorikan
sebagai transplant, yaitu:
organ, jaringan, sel dan
cairan tubuh.
b. Bagian
tubuh yang tidak
atau belum dikategorikan sebagai transplant, yaitu selain yang disebutkan di
atas.
Berdasarkan data tentang
transplant, jika diidentifikasi, maka
didapati bahwa transplantitu:
a) Kebendaan
Karena organ
adalah kumpulan berbagai
jaringan berbeda yang tersusun
dalam struktur-struktur dengan
batas dan bentuk
yang jelas dan jaringan
adalah kumpulan sel
yang serupa dan mempunyai fungsi yang sama yang
terorganisasi menjadi lembarlembar atau berkas-berkas longgar,
maka jelas bahwa organ
dan jaringan berupa benda atau kebendaan.
b) Dianggap
benda
Setelah penemuan
transplantasi ginjal tahun 1954 dan sebagainya, maka transplant dianggap benda
atau diserupakan dengan benda.
c) Bernilai
Dengan ditemukannya
teknik penjahitan atmosfer
vascular(lapisan pembuluh darah)
maka organ tubuh
yang dulu tidak bernilai, sekarang
menjadi bernilai, dapat
dipakai untuk pengobatan, penyempurnaan
dan lainnya. Sehingga
dapat digunakan untuk kemaslahatan.
d) Dapat dikuasai
manusia
Transplantdapat
diberikan atau ditahan. Organ yang telah diambil atau organ
orang yang meninggal,
jelas dan pasti
dapat dikuasai oleh orang yang
hidup
e) Dapat
disimpan
Spesialis
penyakit dalam RSU dr. Soetomo, Pranawa mengatakan, secara normal
ginjal hanya dapat
bertahan selama 20 menit,
di beberapa negara maju mampu mengawetkannya selama 30jam. Dengan keterangan
tersebut menunjukkan bahwa
organ dapat bertahan atau
disimpan. Walaupun dalam
waktu sebentar, atau dengan kemajuan teknologi, organ dapat
di awetkan dalam waktu yang lama, minimal
bisa bertahan selama
30 jam sebagaimana telah disebutkan.
f) Dapat
dipergunakan
Berkaitan dengan
penggunaan organ ginjal,
Pranawa menyebutkan, tidak dianjurkan menggunakan ginjal yang tersimpan
lebih dari 48 jam.
Berdasarkan penjelasan
itu maka organ
dapat digunakan sesuai dengan hikmah hukum, untuk
kemaslahatan.
Apabila transplant organ dan lainya dikaitkan dengan syarat Illat,
maka:
1) sifat harus
jelas, terdapat pada point a, b
2) sifat harus
pasti, terdapat pada point d, e
3) sesuai dengan
hikmah hukum, terdapat pada point c, f
4) terdapat
pada ashal dan far’u,
sifat-sifat transplant ini
serupa dengan yang terdapat pada harta.
Maka yang
dapat menjadi Illat
hukum adalah sifat yang
terdapat pada transplant(organ dan lainnya) yaitu kebendaan
atau disamakan dengan benda, bernilai,
dapat dikuasai, dapat disimpan
dan dapat dipergunakan.
Tetapi karena pembahasan
ini tentang organ maka jaringan, sel dan cairan tubuh ditinggalkan.
Berdasarkan penentuan
Illat dengan
menggunakan as sabru
wat taqsim, maka yang
dikatakan sebagai far’u adalah
transplant yang berupa organ,
antara lain: jantung, ginjal, hati. Dengan demikian, pada permasalahan
pewarisan transplant organ tubuh ada keserupaan antara tirkah harta dengan transplantorgan tubuh, yakni serupa dalam
hal; kebendaan dan seterusnya tersebut.
C.Hasil
Istinbath Pewarisan Transplant Organ Tubuh
Setelah dilakukan
penerapan manhaj qiyas
pada transplant, maka
didapati kesimpulan, bahwa yang menjadi ashal adalah beberapa ayat Quran
dan Hadis yang menjadi Hukum ashal adalah “ibahatul maurits”, yang menjadi Illat
hukumnya adalah sifat
kebendaan dan yang
menjadi far’u adalah organ yang berupa jantung, ginjal dan
hati.
[1]
Asjmuni Abdurrahman, dalam
Fathurrahman Djamil, Metode
Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah(Jakarta: Logos Publishing
House, 1995), 41-2.
[2]
Atabik Ali dan
Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer (Cet.1; Yogyakarta:
Yayasan Ali Maksum, 1996), 1849.
[3] Abdul
Wahhab Khallaf, ”Ilmu Ushulul Fiqh”, diterjemahkan Noer Iskandar al-Barsany dan
Moh. Tolchah Mansoer, Kaidah-kaidah Hukum Islam.(Cet. 1; Jakarta: Rajawali
Press, 1989),
[4] Abdul Hamid Hakim, Mabadi
Awaliyah(Jakarta: Maktabah Sa’adiyah Putera, t.th.), 18.
[5] Amir Syarifuddin, Hukum
Kewarisan Islam(Jakarta: Kencana, 2004), 207.
[6] Hakim,Op. Cit., 9
[7] Ibid., 10.
Author: Mohammad
Mohammad is the founder of STC Network which offers Web Services and Online Business Solutions to clients around the globe. Read More →
Related Posts:
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar: