Senin, 24 Agustus 2015
KHAWARIJ DAN MURJIAH SERTA SEKTE-SEKTENYA
PENDAHULUAN
Khawarij
secara bahasa diambil dari Bahasa Arab khowaarij, secara harfiah berarti
mereka yang keluar. Istilah khawarij adalah istilah umum yang mencakup sejumlah
aliran dalam islam yang pada awalnya mengakui kekuasaan Ali bin Abi Thalib lalu
menolaknya. Pertama kali muncul pada pertengahan abad ke-7, berpusat di daerah
yang kini terletak di bagian negara Irak Selatan dan merupakan bentuk yang
berbeda dari kaum sunni dan syiah.[1]Disebut
atau dinamakan khowarij karena keluarnya merekan dari dinul islam dan pemimpin
kaum muslimin.[2]
Awal
keluarnya mereka adalah pada zaman pemerintahan kholifah Ali bin Abi
Thalib ketika terjadi musyawarah antara dua utusan. Kedua utusan tersebut
berkumpul dalam suatu tempat yang disebut Khouro (suatu tempat yang terdapat di
daerah kuffah), oleh karena itu mereka disebut dengan sebutan Khoruriyyah.
Dalam perundingan ini kemudian tejadilah suatu kesepakatan damai diantara kedua
belah pihak atas sebuah perselisihan pendapat antara Mu’awiyah dan Ali mengenai
permasalahan siapa yang harus bertanggung jawab atas pembunuhan Utsman sehingga
menyebabkan perang Siffin. Dalam perjanjian damai ini, kaum khawarij
menunjukkan jati dirinya dengan keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib dan menganggapnya
Ali dan Mu’awiyah sebagai kafir, sehingga mereka merencanakan membunuh mereka
berdua, namun hanya Ali yang berhasil mereka bunuh.
Secara
umum, ajaran-ajaran pokok golongan ini adalah kaum muslimin yang berbuat dosa
besar adalah kafir. Kemuidan, kaum muslimin yang terlibat dalam perang jamal,
yakni perang antara Aisyiah, Thalhah, dan dan Zubair melawan Ali bin Abi Thalib
dihukumi kafir. Khalifah harus dipilih rakyat serta tidak harus dari keturunan
Nabi Muhammad SAW dan tidak mesti keturunan Quraisy. Jadi, seorang muslim dari
golongan manapun bisa menjadi kholifah asalkan mampu memimpin dengan benar.[3]
Dalam
upaya kafir mengkafirkan ini, terdapat suatu golongan yang menolak ajaran kaum
Khawarij yang mengkafirkan orang mukmin yang melakukan dosa besar. Sehingga
mereka membentuk sautu golongan yang menolak ajaran pengkafiran tersebut,
golongan ini disebut dengan golangan Murji’ah.
Aliran
Murji’ah muncul sebagai reaksi atas sikapnya yang tidak mau terlibat dalam
upaya “kafir mengkafirkan” terhadap orang yang melakukan dosa besar,
sebagaimana hal ini dilakukan oleh aliran Khawarij. Aliran ini menangguhkan
penilaian terhadap orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim itu
dihadapan Tuhan, karena hanya Tuhanlah yang mengetahui keadaan iman seseorang.
Demikian pula orang mukmin yang melakukan dosa besar, masih dianggap mukmin
dihadapan mereka.
Faham
aliran Murji’ah bisa diketahui dari makna yang terkandung dalam “Murji’ah”
dan dalam sikap netralnya. Pandangan “netral” tersebut, nampak pada penamaan
aliran ini yang berasal dari kata “arja’a”, yang berarti “orang yang
menangguhkan”, mengakhirkan dan “memberi pengharapan”. Menangguhkan berarti
“menunda soal siksaan seseorang ditangan Tuhan, yakni jika Tuhan mau memaafkan,
dia akan langsung masuk surga. Jika sebaliknya, maka akan disiksa sesuai dengan
dosanya. Istilah “memberi harapan” mengandung arti bahwa, orang yang melakukan
maksiat padahal ia seorang mukmin, imannya masih tetap sempurna. Sebab,
perbuatan maksiat tidak mendatangkan pengaruh buruk terhadap keimanannya,
sebagaimana halnya perbuatan taat atau baik yang dilakukan oleh orang kafir,
tidak akan mendatangkan faidah terhadap kekufurannya. Mereka “berharap” bahwa
seorang mukmin yang melakukan maksiat, ia masih dikatakan mukmin.
Berdasarkan
itu, maka inti faham Murji’ah adalah, Iman ialah mengenal Allah dan Rasulnya,
barangsiapa yang tidak mengenal bahwa “tidak ada Tuhan selain Allah dan
Muhammad sebagai Rasul-Nya”, ia mukmin sekalipun melakukan dosa. Amal perbuatan
bukan merupakan bagian dari iman, sebab iman adanya dalam hati. Sekalipun
melakukan dosa besar, tidaklah akan menghapus iman seseorang, tetapi terserah
Allah untuk menentukan hukumnya.[4]
Berdasarkan
uraian secara umum mengenai latar belakang eksistensi aliran Khawarij dan
Murji’ah di atas, maka penulis tertarik untuk membahas mengenai apa dan
bagaimana sebenarnya perkembangan kedua golongan tersebut dengan lebih
terperinci pada Bab dan Sub Bab berikutnya.
Kemudian,
guna menghindari terjadinya perluasan dan pelebaran masalah dalam pembahasan
makalah ini, maka tim penulis menyusun batasan-batasan masalah sebagai berikut
:
1. Membahas
apa latar belakang dan bagaimana asal-usul kemunculan golongan Khawarij dan
Murji’ah.
2. Membahas
apa sajakah doktrin-doktrin yang dianut oleh golongan Khawarij dan Murji’ah.
3. Membahas
bagaimanakah perkembangan dan eksistensi sekte-sekte dari golongan Khawarij dan
Murji’ah dalam sejarah dunia Islam.
4. Membahas
serta memberikan kesimpulan akhir tentang perbandingan antara aliran Khawarij
dan Murji’ah.
Dengan
demikian, berdasarkan Latar Belakang Masalah dan Batasan Masalah yang telah tim
penulis uraikan di atas, maka tim penulis dapat merumuskan masalahnya sebagai
berikut .
“Bagaimanakah proses perkembangan dan
eksistensi golongan khawarij dan murji’ah, serta faham-faham mereka dalam
membentuk dua golangan yang berbeda”.
PEMBAHASAN
A.
AL – KHAWARIJ
Secara
etimologis kata Khawarij berasal dari bahasa Arab kharaja yang berarti
keluar, muncul, timbul, atau memberontak. Nama itu di berikan kepada mereka, karena
mereka keluar dari barisan Ali. Tetapi ada pula yang berpendapat yang
mengatakan bahwa pemberian nama itu
berdasarkan atas ayat 100 dari surat Al-Nisa.
* `tBur
öÅ_$pkç‰
’Îû
È@‹Î6y™
«!$#
ô‰Ågs†
’Îû
ÇÚö‘F{$#
$VJxîºtãB
#ZŽÏWx.
Zpyèy™ur
4
`tBur
ólãøƒs†
.`ÏB
¾ÏmÏF÷t/
#·Å_$ygãB
’n<Î)
«!$#
¾Ï&Î!qß™u‘ur
§NèO
çmø.Í‘ô‰ãƒ
ßNöqpRùQ$#
ô‰s)sù
yìs%ur
¼çnãô_r&
’n?tã
«!$#
3
tb%x.ur
ª!$#
#Y‘qàÿxî
$VJŠÏm§‘
100. Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya
mereka mendapati di muka bumi Ini tempat hijrah yang luas dan rezki yang
banyak. barangsiapa keluar dari rumahnya
dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, Kemudian kematian
menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), Maka sungguh Telah tetap
pahalanya di sisi Allah. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.[5]
“ keluar dari rumah lari kepada Allah dan
Rosul Nya”. Dengan demikian kaum kwarij memandang diri mereka sebagai orang meninggalkan
rumah dari kampong halamannya untuk mengabdikan diri kepada Allah dan Rosul
Nya. Berdasarkan etimilogis pula, Khawarij juga berarti setiap muslim
yang ingin keluar dari kesatuan umat islam.
Dalan
terminologi Ilmu Kalam, yang dimaksud dengan Khawarij adalah suatu sekte atau
kelompok atau aliran pengikut Ali bin Abi Thalib yang keluar meninggalkan
barisan karena ketidak sepakatan terhadap keputusan Ali yang menerima arbitrase
(tahkim) dalam perang siffin pada tahun 37 H/ 648 M dengan kelompok bughat
(pemberontak) Muawiyah bin Abi Sufyan perihal persengketaan khalifah.[6]Menurut
Ibnu Abi Bakar Ahmad Al-Syahrastani, bahwa yang disebut Khawarij adalah
setiap orang yang keluar dari imam yang telah disepakati para jama’ah, baik ia
keluar pada masa khulafaurrasyidin, atau pada masa tabi’in secara baik-baik.[7]
Pengikut
Khawarij, pada umumnya terdiri dari orang-orang Arab Badawi. Kehidupannya di
padang pasir yang serba tandus, menyebabkan mereka bersifat sederhana, baik
dalam cara hidup maupun dalam cara berfikir. Namun, sebenarnya mereka keras
hati, berani, bersikap merdeka, tidak bergantung kepada orang lain, dan
cenderung radikal. Karena watak keras yang dimiliki oleh mereka itulah, maka
dalam berfikir dan memahami agama mereka pun berpandangan sangat keras.[8]
Pada
masa-masa perkembangan awal Islam, persoalan-persoalan politik memang tidak
bisa dipisahkan dengan persoalan-persoalan teologis. Sekalipun pada masa-masa
Rasulullah masih hidup, setiap persoalan tersebut bisa diselesaikan tanpa
memunculkan perbedaan pendapat yang berkepanjangan di kalangan para sahabat.
Setelah Rasulullah wafat, dan memulainya penyebaran Islam ke seluruh pelosok
jazirah Arab dan luar Arab persoalan-persoalan baru pun bermunculan di berbagai
tempat dengan bentuk yang berbeda-beda pula. Sehingga, munculnya perbedaan
pandangan di kalangan ummat Islam tidak bisa dihindari.
1.
Latar Belakang Kemunculan Khawarij
Awal
mulanya kaum Khawarij adalah suatu gerakan kaum muslimin dalam bidang
politik yang kemudian beralih pada bidang teologi. Mereka adalah orang-orang
yang mendukung Sayyidina Ali. Akan tetapi akhirnya mereka membencinya karena
dianggap lemah dalam menegakkan kebenaran, menerima tahkim yang sangat
mengecewakan, sebagaimana mereka membenci Mu’awiyah karena melawan Sayyidina
Ali sebagai khalifah yang sah. Mereka menyatakan konfrontasinya dengan fihak
Mu’awiyah. Mereka juga menuntut agar Sayyidina Ali mengakui kesalahannya karena
mau menerima tahkim. Jika Sayyidina Ali mau bertaubat, maka mereka
bersedia untuk bergabung kembali kebarisan Ali untuk melawan Mu’awiyah. Namun
bila tidak, orang-orang khawarij akan menyatakan perang kepadanya dan kepada
Mu’awiyah.
Kemudian
awal mula penyebab kemunculan kaum Khawarij adalah kekecewaan mereka
terhadap keputusan Ali yang menerima tahkim yang sangat mengecewakan dan
berbau kelicikan dari Mu’awiyah. Sehingga Sayyidina Ali mendapatkan kekalahan
dalam perang Siffin. Namun karena Ali menerima perjanjian damai yang
ditawarkan oleh pihak Mu’awiyah, maka Sayyidina Ali berbalik memperoleh
kekalahan yang seharusnya mereka dapatkan dan telah berada di depan mata.
Ali
sebenarnya telah mencium kelicikan di balik ajakan damai kelompok Mu’awiyah
sehingga ia bermaksud untuk menolak permintaan itu. Namun karena desakan
sebagian pengikutnya, terutama ahli qurra seperti Al-Asy’at bin Qois,
Mas’ud bin Fudaki At-Tamami, dan Zaid bin Husein Ath-Tha’i, dengan sangat
terpaksa Ali memerintahkan komandan pasukan perang untuk menghentikan
peperangan.[9]
Setelah
menerima ajakan damai tersebut, Mu’wiyah mengirimkan Amr bin Al-Asy sebagai
utusannya untuk melakukan perundingan perdamaian. Demikian juga Ali yang
mengirimkan Abdullah bin Abbas sebagai delegasi juru damainya, namun
orang-orang Khawarij menolaknya. Mereka beralasan bahwa Abdullah
bin Abbas berasal dari golongan Ali sendiri. Sehingga pada akhirnya Ali
mengirimkan Abu Musa Al-Asy’ari sebagi delegasi juru damainya, dengan harapan
dapat memutuskan perkara berdasarkan kitab Allah.[10]
Keputusan
dari tahkim yang dilakukan oleh pihak Ali dan Mu’awiyah mengakibatkan
diturunkannya Ali dari jabatan Khalifah, dan Mu’awiyah diangkat sebagai
khalifah sebagai pengganti Ali. Hasil tahkim yang di umumkan ini tidak lepas
dari adanya kecurangan dan tipu muslihat dari pihak Mu’awiyah yang
menyelewengkan hasil kesepakatan tahkim yang dilakukan secara tertutup
dari kaum muslimin. Dengan menerimanya Ali dengan hasil tahkim yang
penuh dengan kecurangan dan mengecewakan ini, kontan membuat orang-orang Khawarij
kecewa dan menyatakan diri untuk keluar dari barisan Ali karena menganggap
Ali tidak menggunakan hukum Allah dalam mengambil keputusan. Sehingga
menyebabkan sebutan kafir bagi Ali dan Mu’awiyah, serta mereka kontan
memberikan pernyataan perang melawan keduanya.
Setelah
orang-orang Khawarij menyatakan keluar dari golongan Ali, kemudian dengan
jumlah pengikut sekitar 12.000 orang mereka pergi menuju Hurura. Oleh sebab itu
mereka disebut juga dengan nama Hururiyah. Dalam perjalanan ke Hurura
mereka dipandu oleh Abdullah Al-Kiwa. Dan di hurura inilah mereka melanjutkan
perlawanan mereka terhadap Ali dan Mu’awiyah dengan mengangkat seorang pemimpin
yang bernama Abdullah ibn wahb Al-Rasidi.[11]
Dalam pertempuran dengan kekuatan, Ali mereka mengalami kekalahan besar tetapi
akhirnya seorang Khariji bernama Abd Al-Rahman Ibn Mulkam dapat membunuh Ali.[12]
2.
Doktrin-doktrin Pokok Khawarij
Pada
masa sebelum terjadinya perpecahan di kalangan Khawarij, mereka memiliki tiga
pokok pendirian yang sama, yakni :
a. Ali,
Usman, dan orang-orang yang ikut dalam peperangan serta orang-orang yang
menyetujui terhadap perundingan Ali dan Muawiyah, dihukumkan orang-orang kafir.
b. Setiap
ummat Muhammad yang terus menerus melakukan dosa besar hingga matinya belum
melakukan tobat, maka dihukumkan kafir serta kekal dalam neraka.
c. Membolehkan
tidak mematuhi aturan-aturan kepala negara, bila kepala negara tersebut khianat
dan zalim.
Ada
faham yang sangat fundamental dari kaum Khawarij yang timbul dari watak
idealismenya, yaitu penolakan mereka atas pandangan bahwa amal soleh merupakan
bagian essensial dari iman. Oleh karena itu, para pelaku dosa besar tidak bisa
lagi disebut muslim, tetapi kafir. Demikian pula halnya, dengan latar belakang
watak dan karakter kerasnya, mereka selalu melancarkan jihad (perang suci)
kepada pemerintah yang berkuasa dan masyarakat pada umumnya.
Sebenarnya, menurut pandangan Khawarij,
bahwa keimanan itu tidak diperlukan jika masyarakat dapat menyelesaikan
masalahnya sendiri. Namun demikian, karena pada umumnya manusia tidak bisa
memecahkan masalahnya, kaum Khawarij mewajibkan semua manusia untuk berpegang
kepada keimanan, apakah dalam berfikir, maupun dalam segala perbuatannya.
Apabila segala tindakannya itu tidak didasarkan kepada keimanan, maka
konsekwensinya dihukumkan kafir.
Dengan mengutip beberapa ayat Al-Quran, mereka
berusaha untuk mempropagandakan pemikiran-pemikiran politis yang berimplikasi
teologis itu, sebagaimana tercermin di bawah ini :
a.
Mengakui kekhalifahan Abu Bakar dan Umar; sedangkan Usman
dan Ali, juga orang-orang yang ikut dalam “Perang Unta”, dipandang telah
berdosa.
b.
Dosa dalam pandangan mereka sama dengan kekufuran. Mereka
mengkafirkan setiap pelaku dosa besar apabila ia tidak bertobat. Dari sinilah
muncul term “kafir” dalam faham kaum Khawarij.
c.
Khalifah tidak sah, kecuali melalui pemilihan bebas diantara
kaum muslimin. Oleh karenanya, mereka menolak pandangan bahwa khalifah harus
dari suku Quraisy.
d.
Ketaatan kepada khalifah adalah wajib, selama berada pada
jalan keadilan dan kebaikan. Jika menyimpang, wajib diperangi dan bahkan
dibunuhnya.
e.
Mereka menerima Alquran sebagai salah satu sumber diantara
sumber-sumber hukum Islam.[13]
f.
Khalifah sebelum Ali (Abu Bakar, Umar, dan Ustman) adalah
sah, tetapi setelah tahun ke-7 kekhalifahannya Utsman r.a. dianggap telah
menyeleweng.
g.
Khalifah Ali adalah sah, tetapi setelah terjadi arbitras
(tahkim) ia dianggap telah menyeleweng.
h.
Mu’awiyah dan Amr bin Al-Asy dan Abu Musa Al-Asy’ari juga
dianggap menyeleweng dan telah menjadi kafir.[14]
Selain pemikiran-pemikiran politis yang
berimplikasi teologis, kaum Khawarij juga memiliki pandangan atau
pemikiran (doktrin-doktrin) dalam bidang sosial yang berorientasi pada teologi,
sebagaimana tercermin dalam pemikiran-pemikiran sebagai berikut :
a.
seorang yang berdosa besar tidak lagi disebut muslim,
sehingga harus dibunuh. Yang sangat anarkis lagi, mereka menganggap seorang
muslim bisa menjadi kafir apabila tidak mau membunuh muslim lain yang telah
dianggap kafir dengan resiko ia menanggung beban harus dilenyapkan pula,[15]
b.
Setiap muslim harus berhijrah dan bergabung dengan golongan
mereka, bila tidak ia wajib diperangi karena dianggap hidup di negara musuh,
sedangkan golongan mereka dianggap berada dalam negeri islam,
c.
Seseorang harus menghindar dari pimpinan yang menyeleweng,
d.
Adanya wa’ad dan wa’id (orang yang baik harus
masuk kedalam surga, sedangkan orang yang jahat harus masuk neraka),
e.
Amar ma’ruf nahi munkar,
- Manusia bebas memutuskan perbuatannya bukan dari tuhan,
- Qur’an adalah makhluk,
- Memalingkan ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat mutasyabihat (samar).[16]
Bila
dianalaisis lebih mendalam, ternyata doktrin yang dikembangkan oleh kaum Khawarij
dapat dikategorikan kedalam tiga kategori, yakni politik, teologi, dan sosial.[17]Dari
ketiga doktrin tersebut, doktrin sentral aliran Khawarij adalah terletak
pada bidang politik. Hal ini terbukti bahwa mereka memiliki pemikiran yang
radikal dalam bidang politik. Namun, dari sifat yang radikal tersebut membuat
mereka menjadi fanatik dalam manjalankan agama. Sehingga dapat dikatakan bahwa
orang Khawarij adalah orang yang bersifat keras dalam menjalankan ajaran
agama. dapat diasumsikan pula bahwa orang Khawarij cenderung berwatak
tekstualis yang menjadikan mereka menjadi bersifat fundamentalis. Namun berbeda
pada pemikiran di bidang sosial, pemikiran yang cenderung bersifat tekstual dan
fundamentalis cenderung tidak terasa. Jika teologis seperti ini benar-benar
merupakan pemikiran Khawarij, maka dapat dismpulkan bahwa kaum ini
adalah kaum yang berasal dari orang yang baik-baik. Hanya saja keberadaan
mereka sebagai kelompok minoritas yang pendapat dan pemikirannya diabaikan bahkan
dikucillkan oleh para penguasa yang membuat mereka menjadi bersikap ekstrim.[18]
3.
Sekte-sekte Khawarij
Munculnya
banyak cabang dan sekte Khawarij ini diakibatkan banyaknya perbedaan dalam
bidang akidah yang mereka anut dan banyaknya nama yang mereka pergunakan
sejalan dengan perbedaan akidah mereka yang beraneka ragam itu. Asy-syak’ah
menyebutkan adanya delapan firqah besar, dan firqah-firqah ini terbagi lagi
menjadi firqah-firqah kecil yang jumlahnya sangat banyak. Perpecahan ini
menyebabkan gerakan kaum Khawarij lemah, sehingga mereka tidak mampu menghadapi
kekuatan militer Bani Umayyah yang berlangsung bertahun-tahun. Menurut
Syahrastani ada 8 sekte terbesar dalam Khawarij, Sekte-sekte Khawarij
tersebut antara lain, Al-Muhakkimah, Al-Azariqoh, Al-Nadjat, Al-Baihasiyyah,
Al-Sa’alibah, Al-Ibadiah, Al-Sufriyah.[19]
Menurut
Prof. Taib Thahir Abdul Mu’in, bahwa sebenarnya ada dua golongan utama yang
terdapat dalam aliran Khawarij,[20]yakni
:
a.
Sekte Al-Muhakkimah
Golongan khawarij asli dan terdiri dari pengikut Ali, disebut
golongan Al-Muhakkim. Bagi mereka, Ali ,Mu’awiyyah, ke dua perantara Amr Ibn Al-as dan Abu Musa a-ASy-ari dan
Semua orang yang menyetujui arbitrase bersalah dan menjadi kafir. Selanjutnya
hukum kafir ini mereka luaskan artinya sehingga termasuk kedalamnya tiap orang
yang berbuat dosa besar lainnya.
Berbuat zina dipandag sebagai salah satu dosa besar, maka
menurut faham golongan ini orang yang mengerjakan zinah telah menjadi kafir dan
ke luar dari islam. Begitu pula membunuh sesama manusia tanpa sebab yang sah
adalah dosa besar. Maka perbuatan membunuh mannusia menjadikan si pembunuh
keluar dari islam dan menjadi kafir. Demikian seterusnya dengan dosa-dosa besar
lainnya.[21]
b.
Sekte Al-Azariqoh
Nama ini diambil dari Nafi Ibnu Al-Azraq, pemimpin utamanya,
yang memiliki pengikut sebanyak dua puluh ribu orang. Di kalangan para
pengikutnya, Nafi digelari “amir al-mukminin”. Golongan al-azariqoh dipandang
sebagai sekte yang besar dan kuat di lingkungan kaum Khawarij.
Dalam
pandangan teologisnya, Al-Azariqoh tidak menggunakan term kafir, tetapi
menggunakan term musyrik atau politeis. Yang dipandang musyrik adalah semua
orang yang tidak sepaham dengan ajaran mereka. Bahkan, orang Islam yang tidak
ikut hijrah kedalam lingkungannya, dihukumkan musyrik.
Karena
kemusyrikannya itu, kaum ini membolehkan membunuh anak-anak dan istri yang
bukan golongan Al-Azariqoh. Golongan ini pun membagi daerah kekuasaan, yakni
“dar al-Islam” dan “dar al-kufur”. Dar al-Islam adalah daerah yang dikuasai
oleh mereka, dan dipandang sebagai penganut Islam sebenarnya. Sedangkan Dar
al-Kufur merupakan suatu wilayah atau negara yang telah keluar dari Islam,
karena tidak sefaham dengan mereka dan wajib diperangi.
c.
Al-Najdat
Najdat Ibn Amir al-Hanafiah dari Yamamah dengan pengikut
pengikutnya pada mulanya ingin menggabungkan diri dengan golongan al-azariqaah.
Tetapi dalam golongan yang tersebut akhir ini timbul perpecahan. Sebahagian
dari pengikut-pengikut Nafi’ Ibn al-Azraq, diantaranya Abu Fudaik, Rasyid
Al-Tawil dan atiah al-Hanafi, tidak dapat menyetujui faham bahwa orang azraqi
yang tak mau berhijrah ke dalam lingkungan Al-Azariqah adalah musyrik. Demikian
pula mereka tak setuju dengan pendapat tentang boleh dan halalnya dibunuh anak
istri orang-orang islam yang tak se fahaam dengan meraka.[22]
d.
Sekte Al-Ibadiah
Golongan
ini merupakan golongan yang paling moderat dari seluruh sekte Khawarij. Nama
golongan ini diambnil dari Abdullah Ibnu Ibad, yang pada tahun 686 M.
memisahkan diri dari golongan Al-Azariqoh.
Adapun
faham-fahamnya yang dianggap moderat itu, antara lain :
1)
Orang Islam yang tidak sepaham dengan mereka bukanlah mukmin
dan bukan pula musyrik, tetapi kafir. Orang Islam demikian, boleh mengadakan
hubungan perkawinan dan hukum waris. Syahadat mereka diterima, dan membunuh
mereka yang tidak sefaham dihukumkan haram.
2)
Muslim yang melakukan dosa besar masih dihukumkan ‘muwahid’,
meng-esa-kan Tuhan, tetapi bukan mukmin. Dan yang dikatakan kafir, bukanlah
kafir agama, tetapi kafir akan nikmat. Oleh karenanya, orang Islam yang
melakukan dosa besar tidak berartyi sudah keluar dari Islam.
3)
Harta kekayaan hasil rampasan perang yang boleh diambil
hanyalah kuda dan senjata. Sedangkan harta kekayaan lainnya, seperti emas dan
perak, harus dikembalikan kepada pemiliknya.
4)
Daerah orang Islam yang tidak sefaham dengan mereka, masih
merupakan “dar at-tauhid”, dan tidak boleh diperangi.
e.
Al-Sufriah
Pemimpin golongan ini ialah Zaid Ibn al-Asfar. Dalam fahaam,
mereka dekat sama dengan golongan al-Azariqah dan oleh karena itu juga
merupakan golongan yang ektrim. Hal- hal yang membuat mereka kurang ektrim dari
yang lain adalah pendapat –pendapat berikut :[23]
1) Orang
Sufriah yang tidak berhijrah tidak dipandang kafir.
2) Mereka
tidak beerpendapat bahwa anak-anak kaum musyrik boleh dibunuh.
3) Selanjutnya
tidak semua mereka berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar menjadi
musyrik. Ada diantara mereka yang membagi dosa besar dalam dua golongan, dosa
yang ada sangsinya di dunia, seperti membunuh dan berjina ,dan dosa yang taka
da sangsinya di dunia, seperti meninggalkan sholat dan puasa. Orang yang
berbuat dosa golongan pertam tidak dipandang kafir. Yang menjadi kafir hanyalah
orang yang melaksanaakan dosa golongan ke dua.
4) Daerah
golongan islam yang tak sepaham dengan mereka bukan Dar Harb yaitu daerah yang
harus diperangi hanyalah ma’askar atau amp pemerintah, sedang anak-anak dan
perempuan tak boleh dijadikan tawanan.
5) Kufr dibagindua: kufr Bin inkar al-ni’mah yaitu
mengingkari rahmat Tuhan dan kufr bi inkar al-rububiah yaitu mengingkari Tuhan.
Dengan demikian term kafir tidak selamanya harus berarti ke luar dari islam.[24]
B. AL – MURJI’AH
Murji’ah diambil dari kata irja atau arja’a
yang bermakna penundaan, penangguhan, dan pengharapan. Kata arja’a
mengandung pula arti memberi pengharapan kepada pelaku dosa besar untuk
memperoleh pangampunan dan rahmat Allah SWT. Selain itu arja’a berarti
pula meletakkan di belakang atau mengemudikan, yaitu orang yang mengemudikan
amal dari iman. Oleh karena itu Murji’ah artinya orang yang
menunda penjelasan kedudukan seseorang yang bersengketa, yakni Ali dan
Mu’awiyah serta pasukannya masing-masing ke hari kiamat kelak.[25]
1.
Asal-usul Kemunculan Murji’ah
Aliran
Murji’ah muncul sebagai reaksi atas sikapnya yang tidak mau terlibat dalam
upaya “kafir mengkafirkan” terhadap orang yang melakukan dosa besar,
sebagaimana hal ini dilakukan oleh aliran Khawarij.[26]
Aliran
ini menangguhkan penilaian terhadap orang-orang yang terlibat dalam peristiwa
tahkim itu dihadapan Tuhan, karena hanya Tuhanlah yang mengetahui keadaan iman
seseorang. Demikian pula orang mukmin yang melakukan dosa besar, masih dianggap
mukmin dihadapan mereka.
Rohison
Anwar dan Abdul Razak, dalam bukunya mengatakan bahwa ada beberapa teori yang
berkembang mengenai asal-usul kemunculan Murji’ah. Teori pertama
mengatakan bahwa gagasan irja atau arja dikembangkan oleh
sebagian sahabat dengan tujuan menjamin persatuan dan kesatuan umat islam
ketika terjadi pertikaian politik dan juga bertujuan untuk menghindari
sektarianisme. Kelompok ini diperkirakan lahir bersamaan dengan kemunculan Syi’ah
dan Khawarij.[27]
Dilain
fihak, gagasan irja’ diperkirakan muncul pertama kali sebagai gerakan
politik yang dibawa oleh cucu Ali bin Abi Thalib, Al-Hasan bin Muhammad
Al-Hanafiah sekitar pada tahun 695M. Dalam teori ini dikisahkan bahwa 20 tahun
setelah kematian Muawiyah dunia islam dikoyak oleh pertikaian sipil karna telah
terjadi perpecahan umat. Menanggapi hal ini Al-Hasan kemudian memberikan sikap
politik sebagai upaya penanggulangan perpecahan umat islam tersebut, sehingga
kemudian ia mengelak berdampingan dengan kelompok Syi’ah revolusioner
yang dibawa oleh Al-Mukhtar, yang terlampau mengagungkan Ali dan para
pengikutnya, serta menjauhkan diri dari kaum Khawarij yang menolak
kekhalifahan Mu’awiyah dengan alasan bahwa ia adalah keturunan dari pendosa.
Teori
lain mengatakan bahwa ketika terjadi perseteruan antara Ali dan Mu’awiyah,
dilakukan lah tahkim atas usulan Amr bin Asy, seorang kaki tangan
Mu’awiyah. Pada saat itu kelompok ali terpecah menjadi dua kelompok besar,
yaitu kelompok yang mendukung dan menentang Ali. Kelompok yang menentang
Ali pada akhirnya keluar dan membentuk sebuah kelompok bernama Murji’ah.
Golongan yang keluar dari barisan Ali ini menganggap bahwa keputusan tahkim
tidak berdasarkan hukum Allah, melainkan bertentangan dengan Al-Qur’an. Oleh
karena itu mereka berpendapat bahwa melakukan tahkim itu dosa besar, dan
pelakunya dapat dihukumi kafir. Pendapat ini ditentang oleh sekelompok sahabat
yang kemudian disebut dengan Murji’ah, yang mengatakan bahwa pembuat
dosa besar tetap mukmin, tidak kafir, sementara dosanya diserahkan kepada
Allah, apakah Allah akan mengampuninya atau tidak.[28]
2.
Doktrin-doktrin Pokok Murji’ah
Doktrin-doktrin
aliran Murji’ah bisa diketahui dari makna yang terkandung dalam “murji’ah” dan
dalam sikap netralnya. Pandangan “netral” tersebut, nampak pada penamaan aliran
ini yang berasal dari kata “arja’a”, yang berarti “orang yang
menangguhkan”, mengakhirkan dan “memberi pengharapan”. Menangguhkan berarti
“menunda soal siksaan seseorang ditangan Tuhan, yakni jika Tuhan mau memaafkan,
dia akan langsung masuk surga. Jika sebaliknya, maka akan disiksa sesuai dengan
dosanya.
Istilah
“memberi harapan” mengandung arti bahwa, orang yang melakukan maksiat padahal
ia seorang mukmin, imannya masih tetap sempurna. Sebab, perbuatan maksiat tidak
mendatangkan pengaruh buruk terhadap keimanannya, sebagaimana halnya perbuatan
taat atau baik yang dilakukan oleh orang kafir, tidak akan mendatangkan faedah
terhadap kekufurannya. Mereka “berharap” bahwa seorang mukmin yang melakukan
maksiat, ia masih dikatakan mukmin.
Berdasarkan
itu, maka inti faham atau doktrin-doktrin Murji’ah adalah sebagai
berikut :
a. Iman
ialah mengenal Allah dan Rasulnya, barangsiapa yang tidak mengenal bahwa “tidak
ada Tuhan selain Allah dan Muhammad sebagai Rasul-Nya”, ia mukmin sekalipun
melakukan dosa.
b. Amal
perbuatan bukan merupakan bagian dari iman, sebab iman adanya dalam hati.
Sekalipun melakukan dosa besar, tidaklah akan menghapus iman seseorang, tetapi
terserah Allah untuk menentukan hukumnya.[29]
Rohison dan Abdul Rozak dalam bukunya
mengatakan bahwa gagasan irja banyak diaplikasikan kedalam bidang
politik dan teoligi. Dalam bidang politik kaum Murji’ah banyak dikenal
sebagai The Queietists (kelompok bungkam) karena sikap netral mereka
pada permasalahan politik dan sikap mereka yang selalu diam dalam persoalan
politik.
Dalam
bidang teologi, pemikiran mereka cenderung mengacu kepada permasalahan iman,
kufur, dosa besar, dosa ringan, tauhid, tafsir Al-Qur’an, eskatologi,
pengampunan atas dosa besar, kemaksuman nabi, ada yang kafir di generasi awal
islam, tobat, hakekat Al-Qur’an, nama dan sifat Allah, serta ketentuan tuhan.
Berkaitan
dengan doktrin teologi Murji’ah, W. Montgomery Watt merincinya sebagai
berikut :
a. Penangguhan
keputusan terhadap Ali dan Mu’awiyah hingga Allah memutuskan di akherat kelak.
b. Penangguhan
Ali untuk menduduki rangking ke empat dalam peringkat Al-Khalifa
Ar-Rasyidin.
c. Pemberian
harapan terhadap orang muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan
rahmat dari Allah.
d. Doktrin-doktrin
Murji’ah menyerupai pengajaran (madzhab) para skeptis dan empiris
dari kalangan Helenis.[30]
Sementara itu Harun Nasution
menyebutkan, bahwa Murji’ah memiliki empat ajaran pokok, yaitu :
a. Menunda
hukuman atas Ali, Mu’awiyah, Amr bin Ash, dan Abu Musa Al-Asy’ari yang terlibat
tahkim dan menyerahkannya kepada Allah di hari kiamat kelak.
b. Menyerahkan
keputusan kepada Allah atas orang muslim yang berdosa besar.
c. Meletakkan
(pentingnya) iman dari amal.
d. Memberikan
pengharapan kepada muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan
rahmat dari Allah.[31]
3.
Sekte-sekte Murji’ah
Kaum Murji’ah pecah menjadi beberapa golongan
kecil. Namun, pada umumnya Aliran Murji’ah menurut Harun Nasutuion, terbagi
kepada dua golongan besar, yakni “golongan moderat” dan “golongan ekstrim”.[32]
Golongan
Murji’ah moderat berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah kafir dan
tidak kekal dalam neraka, tetapi akan di hukum sesuai dengan besar kecilnya
dosa yang dilakukan. Sedangkan Murji’ah ekstrim, yaitu pengikut Jaham Ibnu
Sofwan, berpendapat bahwa orang Islam yang percaya kepada Tuhan kemudian
menyatakan kekufuran secara lisan, tidaklah menjadi kafir, karena iman dan
kufur tempatnya dalam hati. Bahkan, orang yang menyembah berhala, menjalankan
agama Yahudi dan Kristen sehingga ia mati, tidaklah menjadi kafir. Orang yang
demikian, menurut pandangan Allah, tetap merupakan seorang mukmin yang sempurna
imannya.
Kelompok
ekstrim dalam Murji’ah terbagi menjadi empat kelompok besar, yaitu :
a.
Al-Jahmiyah, kelompok Jahm bin Syahwan dan para pengikutnya,
berpandangan bahwa orang yang percaya kepada tuhan kemudian menyatakan
kekufuran secara lisan, tidaklah menjadi kafir karena iman dan kufur itu bertempat
di dalam hati bukan pada bagian lain dalam tubuh manusia.
b.
Shalihiyah, kelompok Abu Hasan Ash-Shalihi, berpendapat bahwa iman
adalah mengetahui tuhan, sedangkan kufur tidak tahu tuhan. Sholat bukan
merupakan ibadah kepada Allah, yang disebut ibadah adalah iman kepada-Nya dalam
arti mengetahui tuhan. Begitu pula zakat, puasa dan haji bukanlah ibadah,
melainkan sekedar menggambarkan kepatuhan.
c.
Yumusiah dan Ubaidiyah, melontarkan pernyataan bahwa
melakukan maksiat atau perbuatan jahat tidaklah merusak iman seseorang. Mati
dalam iman, dosa-dosa dan perbuatan jahat yang dikerjakan tidaklah merugikan
orang yang bersangkutan. Dalam hal ini Muqatil bin Sulaiman berpendapat bahwa
perbuatan jahat, banyak atau sedikit tidak merusak iman seseorang sebagai
musyrik.
d.
Hasaniyah, jika seseorang mengatakan “saya tahu Tuhan melarang
makan babi, tetapi saya tidak tahu apakah babi yang diharamkan itu adalah
kambing ini”, maka orang tersebut tetap mukmin, bukan kafir.[33]
BAB
III
PENUTUP
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian yang telah penulis sajikan dalam bab
pembahasan di atas, maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut :
1.
Khawarij pada mulanya adalah suatu golongan yang pada awalnya muncul
sebagai pendukung Ali, namun pada akhirnya keluar dari barisan Ali karena
ketidak puasan mereka terhadap Ali yang menerima tahkim dari Mu’awiyah,
sehingga Khawarij memberikan perlawanan dan menyatakan perang terhadap
Ali dan Mu’awiyah, sehingga dengan keluarnya mereka dari golongan Ali maka
mereka di juluki Khawarij (orang-orang yang keluar).
2.
Khawarij adalah satu golongan yang menghukumkan kafir bagi seorang
muslim atau mukmin yang berbuat dosa besar, hal ini disebabkan karena
mereka memiliki pemikiran dan pengetahuan yang praktis dalam dalam bidang
politik, teologi, dan sosial yang dikarenakan mereka adalah keturunan bangsa
Arab Badawi.
3.
Khawarij memiliki tiga poin pemikiran, yaitu pemikiran dalam bidang
politik sebagai pemikiran sentral, teologis, dan sosial.
4.
Khawarij terbagi menjadi beberapa kelompok, namun mereka memiliki dua
kelompok besar, yaitu Al-Azariqoh dan Al-Ibadiah.
5.
Murji’ah adalah kelompok yang menentang doktrin-doktrin pengkafiran
yang dituangkan oleh kaum Khawarij, sekaligus secara langsung menjadi
musuh besar Khawarij.
6.
Murji’ah cenderung menangguhkan keputusan akan hukuman atas dosa-dosa
besar di masa yang akan datang dan cenderung menyerahkannya kepada Allah apakah
dosa tersebut akan diampuni atau tidak.
7.
Murji’ah memandang terbalik dengan Khawarij bahwa orang
muslim yang berbuat dosa besar tidak lah kafir namun masih memiliki kesempatan
atau harapan untuk mendapatkan pengampunan dari Allah SWT.
8.
Perbedaan mendasar antara kedua golongan Khawarij dan
Murji’ah ialah tentang penghukuman kafir atau tidaknya mengenai apa yang
telah dilakukan Ali dan Mu’awiyah serta orang orang-orang yang terlibat dalam tahkim
dan perang Jamal.
DAFTAR
PUSTAKA
ü Anwar,
Rohison dan Abdul Rozak. Ilmu Kalam Untuk
IAIN, STAIN, PTAIS. Bandung : Pustaka Setia. 2001.
ü Muchtar
Ghozali, Adeng dalam www.http//wordpres.com. Kategori : Refleksi Spiritual/ khawarij dan
Murji’ah/ tebar cinta damai. 2009
ü Nata,
Abuddin. Ilmu kalam, Filsafat, dan
Tasawuf. Jakarta : Rajawali Pers. 1993.
ü Nasution,Harun,Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa
Perbandingan.cet 5 ,Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press), 1986.
ü Hamid, Syamsul Rizal..
Buku pintar Agama Islam; Edisi Senior. Bogor.Penebar Salam.2002
[1] Hamid, Syamsul Rizal.2002. Buku pintar
Agama Islam; Edisi Senior. Bogor.Penebar Salam. Hal 283
[2] Ibid. Hal. 283
[3] www.wikimedia.com. Kategori ; Eskatologi Islam/islam/sejarah
islam
[4] Adeng Muchtar ghozali.
[5]
Nasution ,Harun,Teologi Islam
Aliran-aliran Sejarah Analisa perbandingan.cet 5, Jakarta;Universitas
Indonesia(UI-Press),1986
[6] Drs. Rohison Anwar, M.Ag. dan Drs. Abdul
Razak, M.Ag. 2001. Ilmu Kalam. Bandung : Pustaka Setia. Hal. 49.
[7] Drs. Abuddin Nata, MA..1993. Ilmu
Kalam, Filsafat, dan Tasawuf. Jakarta : Rajawali Pers.Hal 29
[8] Drs. Abuddin Nata, MA. . Hal. 30
[9] Drs. Rohison Anwar, M.Ag. dan Drs.
Abdul Razak, M.Ag.. . Hal. 50
[10] Ibid.
Hal. 50
[11]
Ibid hal 51
[12]
Nasution ,Harun,Teologi Islam
Aliran-aliran Sejarah Analisa perbandingan.cet 5, Jakarta;Universitas
Indonesia(UI-Press),1986
[13] Adeng Muchtar ghozali.
[14] Drs. Rohison Anwar, M.Ag. dan Drs.
Abdul Razak, M.Ag.. . Hal. 51.
[15] Ibid. Hal. 51.
[16] Drs. Rohison Anwar, M.Ag. dan Drs.
Abdul Razak, M.Ag... Hal. 51
[17] Ibid. Hal. 52
[18] Ibid. Hal. 54
[19] Drs. Abuddin Nata, MA. Hal. 30
[20] Adeng Muchtar ghozali..
[21]
Nasution ,Harun,Teologi Islam
Aliran-aliran Sejarah Analisa perbandingan.cet 5, Jakarta;Universitas Indonesia(UI-Press),1986.
[22]
Nasution ,Harun,Teologi Islam
Aliran-aliran Sejarah Analisa perbandingan.cet 5, Jakarta;Universitas
Indonesia(UI-Press),1986
[23]
Nasution ,Harun,Teologi Islam
Aliran-aliran Sejarah Analisa perbandingan.cet 5, Jakarta;Universitas Indonesia(UI-Press),1986
[24]
Ibid 19-20
[25] Drs. Rohison Anwar, M.Ag. dan Drs.
Abdul Razak, M.Ag.. . Hal. 56
[26] Adeng Muchtar ghozali.
[27] Drs. Rohison Anwar, M.Ag. dan Drs.
Abdul Razak, M.Ag.. Ibid. Hal 56
[28] Drs. Rohison Anwar, M.Ag. dan Drs.
Abdul Razak, M.Ag.. Hal. 57
[29] Drs. Rohison Anwar, M.Ag. dan Drs.
Abdul Razak, M.Ag.. Hal. 57
[30] Drs. Rohison Anwar, M.Ag. dan Drs.
Abdul Razak, M.Ag.. . Hal. 58.
[31] Ibid. Hal. 59
[32] Adeng Muchtar ghozali.
[33] Drs. Rohison Anwar, M.Ag. dan Drs.
Abdul Razak, M.Ag.. Hal. 61.
Author: Mohammad
Mohammad is the founder of STC Network which offers Web Services and Online Business Solutions to clients around the globe. Read More →
Related Posts:
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Makasih info nya..
BalasHapusSangat mudah di pahami,pengunaan bahasa yg baik, serta penyusunan yg tertata membuat nya semakin baik..
Terimakasih atas ilmu nya..
Semoga Allah SWT membalas kebaikan mu
sama-sama. semoga bermanfaat.
HapusIzin kopas ya
BalasHapussilakan.
HapusMakasih banget infonya ya ...mudah" an ini menjadi washilah untuk oranglain menjadi tau sejarah islam
BalasHapusamin,
HapusSemoga allah membalas kebaikanmu
BalasHapusaamiin
Hapus