Selasa, 19 Januari 2016
KAJIAN FIKIH KONTEMPORER TENTANG JIHAD DAN TERORISME
A.
PENDAHULUAN
Jihad dan terorisme adalah dua istilah yang akhir-akhir
ini menjadi fokus perhatian dunia internasional. Masyarakat dunia internasional
berasumsi bahwa kedua istilah tersebut–yang berwujud menjadi gerakan beberapa
kelompok aktivis yang ada dalam Islam adalah dua sisi yang yang tidak dapat
dipisahkan. Penguasa negaranegara Barat (Amerika dan Eropa) yang diprakarsai
oleh Pemerintah Amerika Serikat (Bush Yunior) dan Inggris (T. Blaire) bersama sekutunya
(Eropa) telah memvonis bahwa jihad dan terorisme dalam Islam adalah satu
dokrtin yang wajib dilaksanakan dalam menghadapi musuh-musuh Islam (Ba’abduh,
2005:61).
Masyarakat muslim internasional, pada umumnya, menyangsikan
apa benar terorisme adalah salah satu implementasi dari jihad? Tokoh
fungsionaris organisasi masyarakat dan kelompokkelompok aktivis Islam berbeda
pendapat dalam menanggapi dan menyingkapi wacana yang krusial ini, baik yang
ada di negara Islam Timur Tengah, maupun yang ada di Indonesia. Bahkan sejak
dunia memasuki abad modern, term jihad banyak didiskusikan secara ilmiah, baik
oleh para akademisi, maupun oleh para aktivis gerakan Islam. Jika diperhatikan,
istilah jihad dan terorisme sangat berbeda. Jihad dari bahasa Alquran (Arab)
memiliki makna baik, sementara terorisme berasal dari bahasa Latin (Eropa) yang
bermakna mengancam, menakutkan, dan tercela. Namun dalam wacana politik, pemaknaan
dan gerakan dapat dipertemukan, terletak dari siapa atau kelompok mana yang
menafsirkan dan berkepentingan dengannya.
Berdasarkan uraian di atas, masalah pokok yang akan
dikaji dalam tulisan ini adalah bagaimana jihad dan terorisme dalam perspektif
hukum Islam? Permasalahan ini akan dikaji dengan menggunakan pendekatan hukum
Islam.
B.
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Jihad Dan Terorisme
Secara etimologis, jihad berasal dari bahasa Arab jihad
yang berarti mencurahkan segala kemampuan untuk bekerja dalam menegakkan
kebenaran yang diyakini berasal dari Tuhan. Kata ini adalah derivasi dari kata jahada
yajhudu yang
Artinya "bersungguh-sungguh dalam suatu masalah" (Al-Bannâ’,
2005:ix). Ahzami Sami'un Jazuli (2005:42), dengan mengutip Lisân al- ‘Arab,
mengemukakan bahwa jihad berasal dari kata jihad yang Artinya
kepayahan atau kesulitan. Atau dari kata juhd yang maknanya kesungguhan
dan kekuatan, juga mengandung makna dua pihak yang bermusuhan saling
menggerakkan kekuatannya untuk membela diri dari serangan lawannya.
Kata jihad terulang dalam Alquran sebanyak 41 kali
dengan berbagai bentuknya. M. Quraish Shihab (1996:501), dengan mengutip Ibnu
Faris, menyatakan bahwa semua kata yang terdiri dari huruf jh-d pada
awalnya mengandung arti kesulitan atau kesukaran yang mirip dengannya. Secara
terminologis, jihad antara lain diartikan sebagai pengarahan seluruh
potensi dalam menangkis serangan musuh. Dalam hukum Islam, jihad mempunyai
makna yang sangat luas, yaitu segala bentuk usaha maksimal untuk penerapan
ajaran Islam dan pemberantasan kejahatan serta kezaliman, baik terhadap diri
pribadi maupun terhadap masyarakat. Demikian jihad dalam pengertian umum.
Adapun pengertian khusus, menurut Imam Syafi'i, yaitu memerangi kaum kafir
untuk menegakkan Islam (Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, 1994:315).
Dengan mengutip Al-Kasâmi, Samî'un Jazûli (2005:97) mengemukakan
defenisi jihad sebagai upaya mengerahkan seluruh potensi dan kekuatan
secara sungguh-sungguh untuk berperang di jalan Allah dengan jiwa, harta, dan
lain-lain.
Terorisme berasal dari kata kerja "teror"
dengan imbuhan "isme". Kata “teror” berasal dari bahasa latin "terrer”
yang berarti menyebabkan “ketakutan" (Duengensmeyen, 2002:5). “Teroris” adalah
pelaku terror. Sedangkan “terorisme” berarti paham yang berprinsip bahwa teror
adalah suatu jalan, taktik untuk mencapai suatutujuan tertentu. Dalam wacana
politik dan hukum internasional, Walter Lacquer mengemukakan bahwa terorisme
berakar dari adanya ketimpangan sosial ekonomi yang luas di dalam masyarakat.
Max Bellof menunjuk kepada sumber yang lebih luas, yaitu bila di dalam
masyarakat, ada ketidakadilan, atau bila ada bagian atau kelompok-kelompok masyarakat
yang merasa tidak mendapatkan perlakuan secara adil di bidang politik, ekonomi,
maupun sosial kultural. Secara teoritis Bellof menjelaskan bahwa terorisme
tidak terjadi dengan serta merta. Ada sebab-sebab yang menimbulkan
ketidakpuasan sosial yang bersifat akumulatif, semakin menumpuk, yang pada
mulanya selalu diawali oleh hal yang dianggap "sepele". Semula hanya
berupa keluhan (grievances) mengenai satu dua kebijakan. Bilamana keluhan itu
tidak mendapat tanggapan yang memuaskan, atau tidak diusakan jalan keluarnya,
keluhan itu mudah berkembang menjadi keresahan sosial. Meningkatnya skala
ketidakpuasan sampai kepada taraf keresahan diindikasikan oleh munculnya
berbagai pernyataan kepermukaan yang wujudnya tidak lagi sekedar menyuarakan
ketidakpuasan, tetapi sudah meningkat menjadi kecaman dan kemudian menjadi
pencelaan terbuka kepada siapa yang dianggap sebagai biang keladi dari masalah
sosial yang ada. Kecaman dan pencelaan itu dapat sepenuhnya benar, dapat sebagian
benar, tetapi juga dapat tidak ada dasarnya sama sekali (Bellof dalam Maulani,
2005:159).
Sampai hari ini, belum ada kesepakatan tentang definisi
terorisme. Ketidaksepakatan itu terjadi karena apa yang disebut "teroris"
adalah penjahat di mata suatu pihak tetapi pahlawan bagi pihak yang lainnya.
Karena itu tidak mengherankan bila hasil rumusan 153 negara anggota PBB tentang
definisi "terorisme" gagal dan ditolak mentah-mentah oleh Amerika
Serikat. Kegagalan itu berlatar belakang dua hal, sebagian besar anggota komisi
PBB tersebut yang pada umumnya terdiri dari Negara-negara Asia Afrika dan
Islam, menghendaki agar usaha menyelesaikan terorisme itu terlebih dahulu perlu
memeriksa dan mengetahui akar penyebab dari timbulnya masalah terorisme, dan
berdasarkan hal itu pokok usaha dilakukan untuk mengatasi akar penyebab
tersebut. Sementara itu, Amerika Serikat menghendaki "terorisme"
harus dibasmi lebih dulu kemudian mencari akar penyebab masalahnya.
Edward Heiman dari Wharton Business Colege di
Pensylvania kemudian menyarankan definisi tentang terorisme yang dinilai
relatif netral, yaitu "penggunaan tindakan kekerasan sedemikian rupa sehingga
menimbulkan ketakutan yang luar biasa dan menyebabkan jatuhnya korban jiwa
serta kerugian harta benda bagi penduduk sipil, dalam rangka mencapai
tujuan-tujuan politik". Dengan definisi tersebut, terorisme yang ditujukan
kepada penduduk sipil dapat berasal dari Pemerintah berupa state terror,
meskipun tidak harus dengan penggunaan kekuatan senjata, tetapi juga dapat
berupa tindakan Negara atau Pemerintah yang menyebabkan ketakutan yang luar
biasa di kalangan penduduk sipil, baik hal itu berupa kebijakan Pemerintah,
peraturan, ataupun perundang-undangan (Maulani, 2005:159).
Perlu diketahui bahwa istilah “teroris” dikenakan oleh
para penguasa (Pemerintah) pada umumnya kepada pelaku non-negara. Artinya,
tidak diakui jika ada suatu penguasa (Pemerintah) melakukan teror terhadap
rakyatnya. Namun, pada kenyataannya banyak terjadi yang demikian, seperti yang
pernah dilakukan oleh pemerintahan Saddam Husain di Irak yang otoriter terhadap
rakyatnya, yaitu membungkam para penentangnya dengan cara kekerasan.
Dari pengertian jihad yang telah dikemukakan,
dapat disimpulkan bahwa jihad adalah perjuangan seorang hamba secara ikhlas,
penuh kesungguhan di jalan Allah untuk mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di
akhirat. Sedangkan terorisme adalah suatu usaha dan kegiatan seseorang atau
sekelompok orang yang mempunyai tujuan yang sama di mana gerakan tersebut penuh
ancaman yang menakutkan, dan berwujud kekerasan dengan cara yang brutal dan
cenderung menimbulkan korban, baik harta maupun jiwa, serta lingkungan, baik
terhadap musuh yang menjadi sasaran, maupun bukan musuh yang ada di sekitarnya.
Semua perbuatan teror pada dasarnya ilegal, tidak mendapat izin dan restu dari
Pemerintah setempat dan juga tidak dapat dukungan fatwa dari ulama yang berkompoten
dalam wilayah hukum setempat dan bahkan telah dilarang untuk menempuh cara
teroris dalam memperjuangkan ide-ide mereka.
Dari kedua pengertian tersebut, tampak jelas perbedaan
dan pertentangan antara keduanya. Perbedaannya terletak pada prosedur. Jihad
adalah kegiatan yang prosedural karena di jalan Allah pasti menempuh cara yang
baik dan benar, terhindar dari perbuatan yang mudharat yang dapat merugikan dan
mencederai seseorang, beserta harta dan lingkungan. Sementara teroris adalah
suatu gerakan yang tidak prosedural menurut hukum dan selalau berwujud
menimbulkan kemudharatan dari berbagai aspek. Adapun pertentangannya terletak pada
hukum-syariatnya. Jihad adalah hak karena merupakan salah satu perintah
Allah, sedangkan terorisme adalah batil karena melanggar larangan Allah.
2.
Jihad Dan Terorisme Dalam Perspektif Hukum Islam
Dalam membahas hukum jihad, penulis akan mengulas dua
ayat tentang perang sebagai salah satu implementasi dari konsep-konsep jihad.
Dalam pembahasan tentang ayat-ayat jihad, fuqahâ’ cenderung menitikberatkan
jihâd fî sabîl Allâh adalah perang yang selama ini diklaim sebagai jihad
yang hakiki (Abu Yazid, 2005:104-105).
Adapun untuk membahas gerakan terorisme dalam
perspektif hukum Islam, penulis hanya mengemukakan satu ayat dari Alquran yang
menjadi dasar kajian fuqahâ’ untuk memvonis para pelaku kejahatan
seperti kejahatan terorisme. Ada dua ayat yang dipegangi oleh fuqahâ’ dalam
membahas jihad, pertama (Q.S. Al-Baqarah (2):190).
(#qè=ÏG»s%ur Îû È@Î6y «!$# tûïÏ%©!$# óOä3tRqè=ÏG»s)ã wur (#ÿrßtG÷ès? 4 cÎ) ©!$# w =Åsã úïÏtG÷èßJø9$#
Artinya: Dan perangilah di
jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui
batas, Karena Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui
batas.
Sedangkan ayat kedua adalah Q.S. Al-Taubah (9):
5
#sÎ*sù yn=|¡S$# ãåkôF{$# ãPãçtø:$# (#qè=çGø%$$sù tûüÏ.Îô³ßJø9$# ß]øym óOèdqßJ?y`ur óOèdrääzur öNèdrçÝÇôm$#ur (#rßãèø%$#ur öNßgs9 ¨@à2 7|¹ósD 4 bÎ*sù (#qç/$s? (#qãB$s%r&ur no4qn=¢Á9$# (#âqs?#uäur no4q2¨9$# (#q=yÜsù öNßgn=Î;y 4 ¨bÎ) ©!$# Öqàÿxî ÒOÏm§
Artinya: Apabila sudah habis
bulan-bulan Haram itu, Maka Bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu
jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah ditempat
pengintaian. jika mereka bertaubat dan mendirikan sholat dan menunaikan zakat,
Maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.
Fuqahâ’ mengkategorikan tindakan teroris itu sebagai tindakan kriminal
dengan merujuk kepada QS. Al-Mâ’idah (5): 33 beikut :
$yJ¯RÎ) (#ätÂty_ tûïÏ%©!$# tbqç/Í$ptä ©!$# ¼ã&s!qßuur tböqyèó¡tur Îû ÇÚöF{$# #·$|¡sù br& (#þqè=Gs)ã ÷rr& (#þqç6¯=|Áã ÷rr& yì©Üs)è? óOÎgÏ÷r& Nßgè=ã_ör&ur ô`ÏiB A#»n=Åz ÷rr& (#öqxÿYã ÆÏB ÇÚöF{$# 4 Ï9ºs óOßgs9 Ó÷Åz Îû $u÷R9$# ( óOßgs9ur Îû ÍotÅzFy$# ë>#xtã íOÏàtã
Artinya: Sesungguhnya
pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan rasul-Nya dan membuat
kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong
tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat
kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka
didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.
Berdasarkan kedua ayat tersebut, ulama berbeda pendapat dalam menetapkan
apa yang menjadi motivasi berperang, menurut jumhur ulama (Hanafiyyah,
Malikiyyah dan Hanbaliyyah), perintah perang dalam Islam bersifat defensif.
Orang Islam tidak boleh memulai perang, jika tidak diperangi oleh orang kafir.
Menurut jumhur ulama, ilat (alasan) dari jihad adalah dâr al-harabah
(mempertahankan diri dengan perang). Salah satu dalil
yang mereka gunakan adalah surat Al-Baqarah ayat 190 sebagaimana telah
dikemukakan Abu Yazid (2005: 105-107) Sementara kalangan syafi'iyah yang
didukung kelompok Zahiriyyah dan Ibn Hazm berpendapat bahwa jihad itu
bersifat ofensif. Orang
Islam harus memulai untuk berperang ketika bertemu dengan
orang kafir kapan dan di mana saja, sebab ilat-nya adalah kekufuran.
Demikianlah Pendapat kelompok tersebut, dengan berdasar pada ayat 5 surat
Al-Taubah (9) sebagaimana telah dikemukakan.
Sebelum penulis memasuki pembahasan hukum bagi teroris, penulis perlu mengemukakan beberapa aspek tentang jihad, sebagaimana dikemukakan oleh Abû Bakr al-Jurjânî dalam Ensiklopodi Muslim (1994:424) sebagai dipaparkan pada bagian berikut.
a.
Pemahaman Dasar Hukum Jihad Dan Teroris
Metodologi
memahami kedua ayat jihad sebagai sumber dalil para fuqahâ’ untuk
memaknai jihad (perang) dalam Islam. Apakah bersifat ofensif atau defensif.
Kedua ayat tersebut, (Q.S. Al-Baqarah (2):190) dan (Q.S. Al- Taubah (9):5) yang
menjadi pegangan dari kedua kelompok fuqahâ’ klasik, sama-sama kuat.
Karena sama didukung oleh Alquran. Tetapi mana yang lebih relevan? Mencermati
kedua ayat tersebut, dapat dikemukakan bahwa titik tekan dari ayat 5 Q.S.
Al-Taubah adalah pada lafal haythu wajadtumûhum (di mana saja kalian
jumpai mereka). Redaksi haythu dalam bahasa Arab merupakan kata yang
bersifat umum sehingga ayat ini berlaku pada keumumannya. Pada ayat 190, surat
Al-Baqarah, telah ada batasan-batasan tertentu untuk melakukan perang, yaitu
jika ada serangan dari musuh. Artinya, ayat tersebut bersifat khusus. Dalam
teori usûl al-fiqh, lafal yang khas dapat men-takhsis (mengkhususkan) lafal yang ‘âmm.
Dengan demikian, ayat yang khusus seharusnya dapat men-takhsis ayat ‘âmm. Jika mengikuti alur ini maka jihad
dengan perang itu tidak boleh dipraktekkan secara serampangan. Perang hanya
diperbolehkan jika ada serangan dari musuh. Selama tidak ada reaksi dari pihak musuh,
umat Islam haram untuk memerangi orang kafir. Jadi, umat Islam cenderung
bersifat defensif.
Para ulama mazhab sepakat bahwa orang yang boleh diperangi hanya kâfir
harb (orang kafir yang menentang dan memusuhi umat Islam) tidak kepada kâfir
dhimm (orang kafir yang berdamai dengan umat Islam). Tidak hanya itu,
tetapi perang hanya dapat dimulai jika berada di dâr al-harb (negara
kafir) atau dâr al-Islâm (negara Islam).
Dengan
memperhatikan uraian di atas, dapat ditarik benang merah, bahwa jihâd fî
sabîl Allâh baru dapat dilakukan jika memenuhi tiga syarat, yaitu pertama,
diserang musuh; kedua, yang diperangi adalah kâfir harb; ketiga, berada
di negara Islam atau negara kafir. Jika salah satu syarat itu tidak ada maka
jelas jihad dalam arti perang tidak dibenarkan. Oleh karena itu, para perbuatan
teror dapat dikategorikan sebagai tindakan memerangi Allah dan rasul-Nya, sebagaimana
diungkapkan dalam Q.S. Al-Mâ’idah (5):33. Dalam memahami ayat tersebut, ada dua
kelompok ulama yang berbeda pendapat. Kelompok pertama, di pelopori oleh Saîd
b. Musayyab, Umar b. ‘Abd al-‘Azîs, Mujâhid, Dahhak dan sejumlah ulama lainnya.
Mereka berpendapat bahwa arah ayat 33 Al-Mâ’idah di atas tertuju pada segala
bentuk tindakan kriminal sehingga orang yang melakukan praktek riba pun
tercakup dalam ayat ini. Menurut kelompok ini, berdasar ayat di atas, seorang imam
atau hakim memiliki hak untuk menentukan hukuman yang pantas bagi
pelakukejahatan. Jadi, bentuk-bentuk sanksi hanya bersifat alternatif. Demikian
paparan Sa’îd Hawwâ sebagaimana dikutip Abu Yazid Adapun kelompok yang kedua
yang didukung oleh Jumhur Ulama, menegaskan bahwa ayat di atas berlaku
khusus bagi qâti’ altarîq (begal/perampok). Karena tingkat kejahatannya
bermacammacam, maka kadar sanksinya pun bertingkat-tingkat. Kadar sanksi yang
ditetapkan dalam ayat ini dijatuhkan berdasarkan besar kecilnya tindak
kejahatan yang dilakukan.
Sekedar
perbandingan antara fiqh jinâyah yang telah dikemukakan, dengan
pelaksanaan hukum positif di Indonesia ialah dalam fiqh jinâyah,
digariskan bahwa had tidak dapat diubah menjadi qisas. Hukum had
tidak dapat diubah oleh siapa pun. Sementara dalam prakteknya di Indonesia,
hukuman terhadap seseorang mukalaf (layak dihukum) berdasarkan KUHP atau
Undang-Undang Anti Teroris. Hukuman tersebut dapat berupa hukuman penjara
beberapa tahun, seumur hidup, atau hukuman mati. Semua ini dapat diubah oleh presiden
berdasarkan Konstitusi pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) UUD 45 hasil amandemen. Sehubungan
dengan hak-hak seorang presiden untuk mengubah suatu hukuman, seperti vonis
hukuman mati, tetapi belum dieksekusi, dapat dibenarkan jika ada alasan yang
tepat. Al-Mawardi (2002:23-25) menyatakan bahwa dibenarkan seorang imam (presiden)
untuk mengambil kebijakan setelah mempertimbangkan aspek kemaslahatannya.
Adapun
dalil nas untuk menghukum perbuatan teroris, penulis sepakat dengan Tim Ma'had
Aly yang mengkategorikan tindakan teroris sebagai khurafat, dan
merekomendasikan pemberian hukuman kepada pelaku teror berdasarkan ayat 33
surat Al-Mâ’idah. Karena istilah teroris adalah istilah yang tidak pernah
disebut dalam Alquran dan hadis secara eksplisit, bahkan tidak ditemukan dalam
fikhi klasik dalam hal jinâyah, sementara akibat-akibat yang ditimbulkan
oleh tindakan teroris sangat membahayakan sehingga hukuman yang pantas bagi
pelaku teror sama dengan apa yang diinginkan oleh Allah dalam surat Al-Mâ'idah
ayat 33.
b.
Rumusan Hukum Jihad Dan Terorisme
Setelah
mencermati beberapa dalil yang telah dikemukakan, dengan menggunakan metodologi
ijtihad yang bercorak bayânî jenis mawdûî (tematik), muqâran (komparartif) dan tahlîlî (deduktif)
serta induktif dengan pendekatan mendahulukan prinsip sad al-tharâ’i serta
menggunakan kajian usul fikhi yaitu mengutamakan kekhususan maksud nas dari
pada keumumannya, maka diputuskan bahwa (1) jihad adalah wajib hukumnya, baik
secara kifâyah maupun secara ‘ayn; (2) Jihad dalam arti perang
hanya bersifat depensif; (3) jihad harus menunggu perintah Ul al-Amr (Pemerintah);
dan (4) teroris yang mengatasnamakan jihad adalah tindakan melanggar syari'at
(agama), hukumnya haram.
Namun
demikian, menurut penulis, jihad (perang) dapat bersifat ofensif (menyerang)
lebih dahulu, dengan syarat: pertama, segala kemampuan dalam segala
aspek perang telah dimiliki semaksimal mungkin oleh negara Islam untuk
menghadapi kezaliman negara non- Muslim yang melanggar perjanjian damai dan kedua,
seluruh komponen bangsa yang ada dalam negara Islam mendukung diadakannya
penyerangan terhadap musuh (negara non-Muslim) yang diketahui berupaya
mendahului menyerang negara Islam.
Adapun
kelompok-kelompok atau oknum dari warga Muslim Indonesia yang menganut paham
fundamentalisme dan sangat cenderung melakukan jihad dengan kekerasan misalnya
dalam menyikapi kasus Israel-Palestina maka sebagai warga negara yang diikat
dan diatur oleh konstitusi dan undang-undang negara tentang perang, mereka
wajib berkordinasi dengan semua pihak (Pemerintah) yang berwenang. Mereka wajib
tunduk pada Pemerintah sesuai dengan kebutuhan medan dan sesuai dengan
keterampilan dan sumber daya yang mereka miliki, terbatas sebagai relawan yang
akan ditempatkan, baik sebagai petugas palang merah, maupun petugas logistik,
rohaniawan (penasihat agama) dan sebagainya yang posisinya berada di barisan
belakang. Sebaliknya, apabila mereka yang menamakan dirinya kelompok jihad ini,
tidak mengindahkan kebijakan Pemerintah dalam hal hubungan luar negeri
Indonesia dan menempuh jalan pintas untuk menyalurkan emosi dengan berkedok
jihad (seperti: berangkat ke medan perang atau melampiaskan amarah dengan cara
membunuh orang-orang non muslim warga negara asing atau menghancurkan tempat
fasilitas milik negara asing yang ada di Indonesia ) maka perbuatan tersebut
telah melanggar hukum Islam yang mengakui eksistensi sebuah negara hukum yang
berdaulat.
Perbuatan
yang nekat seperti ini, membuka peluang bagi negara asing untuk melakukan
pembalasan dan memberi sanksi yang lebih besar efek mudaratnya bagi umat Islam
Indonesia, apabila Pemerintah Indonesia tidak segera menindak mereka dengan
hukuman setimpal. Pelanggaran dengan secara nekad seperti ini, menurut hukum Islam
adalah haram secara mutlak, dan oleh semua pihak wajib mencegahnya, sebelum
datangnya malapetaka yang diderita oleh umat Islam Indonesia pada umumnya. Hal
ini diisyaratkan oleh Allah swt. dalam QS. Al-An'âm (6):108.
wur (#q7Ý¡n@ úïÏ%©!$# tbqããôt `ÏB Èbrß «!$# (#q7Ý¡usù ©!$# #Jrôtã ÎötóÎ/ 5Où=Ïæ 3
Artinya: Dan
janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, Karena
mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.
Demikianlah kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian
kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu dia memberitakan kepada mereka apa
yang dahulu mereka kerjakan.
Oleh para ahli ushul, ayat tersebut digunakan sebagai
dalil pelarangan berbuat sesuatu yang sangat besar kemungkinannya sebagai
pemicu terjadinya sesuatu tindakan yang mutlak keharamannya sebagai akibat dari
perbuatan seseorang. Perbuatan memaki sesembahan (berhala atau sarana
beribadatan umat lainnya) merupakan “perantara” terjadinya tindak balasan yang
akan melampaui batas dari perbuatan semula. Jadi, melarang terjadinya tindakan teror adalah suatu bentuk metodologi ijtihad yang
disebut sad al-tharâ’i (menutup pintu jalan menuju perantara
terjadinya tindak keharaman) (Abû Zahra, 1997:440).
C.
PENUTUP
Dari pembahasan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa
jihad dalam arti sempit, yaitu penyerahan seluruh potensi dalam menangkis serangan
musuh. Dalam arti yang luas, jihad adalah segala bentuk usaha maksimal untuk
penerapan ajaran Islam dan pemberantasan kejahatan dan kezaliman, baik terhadap
diri pribadi maupun terhadap masyarakat. Jihad wajib hukumnya, baik secara kifâyah
maupun secara ‘ayn. Jihad dalam arti perang hanya bersifat defensif (mempertahankan
diri) dan wilayah dari serangan musuh. Jihad (perang) harus menunggu perintah Ul
al-Amr (Pemerintah).Teroris yang mengatasnamakan jihad adalah tindakan
melanggar syariat (agama) sehingga hukumnya haram.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Yazid, (Ed.). 2005. Fiqh Realitas, Respon Ma’had
Aly terhadap Wacana Hukum Islam Kontemporer. Cet. ke-1. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Abû Zahrah, Muhammad. 1997. Ushul Fiqhi. Terjemahan
oleh Saefullah Ma'sum. Cet. ke-4. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Ba'abduh, al-Ustadz Luqman bin Muhammad. 2005. Mereka
adalah Teroris: Bantahan terhadap Buku Aku Melawan Teroris Imam Samudra.
Cet. ke-2. Pustaka Qaulan Syadida.
al-Bannâ’, Jamâl. 2005. Dekonstruksi Jihad dalam
Islam. Terjemahan oleh Kamran A. Insyadi. Cet. ke-1. Yogyakarta:
Pilar Religia.
Departemen Agama RI. 1994. Al-Quran dan Terjemahnya.
Jakarta: Yayasan Penterjemah dan Penafsir al-Qur'an.
Dewan Redaksi. 1994. Ensiklopedi Islam 2,
Fas-Kalangan. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve.
al-Juzayrî, Abû Bakr Jâbir. 2004. Ensiklopedi
Muslim; Minhâj al-Muslîm. Cet. ke-7. Jakarta: Dâr al-Falah.
Jazuli, Ahzami Sami'un. 2005. Fiqh al-Qur'an: Kajian
atas Tema-Tema Penting dalam al-Quran. Cet. ke-1. Jakarta: Kilau Intan.
Juengensmeyen, Mark. 2002. Teror atas Nama Tuhan:
Kebangkitan Global Kekerasan Agama. Terjemahan oleh M. Sadat Ismail. Cet.
ke-1. Jakarta: Nizam Press.
Manzûr, Ibn t.th. Lisân al-‘Arab.
Jilid III. Dâr al-Misriyyah.
Maulani, Z.A. dkk. 2005. Islam dan Terorisme: dari
Minyak Hingga Hegemoni Amerika. Cet. ke-1. Yogyakarta: UCY Press.
al-Mawardi, Imâm, 2000. Prinsip-Prinsip Penyelenggaraan
Negara Islam. Terjemahan oleh Fadhli Bahri, Lc. Cet. ke-1. Jakarta: Darul
Falah.
Shihab, M. Quraish. 1996. Wawasan al-Quran: Tafsir
Maudhu’i atas Berbagai Persoalan Umat. Cet. ke-3. Bandung: Mizan.__
Author: Mohammad
Mohammad is the founder of STC Network which offers Web Services and Online Business Solutions to clients around the globe. Read More →
Related Posts:
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar: