Selasa, 12 Januari 2016
ETIKA KONSUMSI DALAM PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM
A.
PENDAHULUAN
Indonesia sebagai salah satu negara dengan penduduk terbanyak di
Dunia khususnya di kawasan ASEAN sekaligus sebagai negara dengan penduduk
mayoritas muslim. Sebagai negara dengan penduduk terbanyak di Dunia hal ini
akan menjadikan Indonesia sebagai pasar potensial untuk masuknya barang, jasa
dan tenaga kerja terampil dari berbagai negara lainnya di ASEAN. Sebagai
anggota ASEAN tentunya Indonesia mempunyai peran yang sangat strategis dalam
implementasi Masyarakat Ekonomi ASEAN yang dikenal dengan istilah MEA yang akan
dimulai di tahun 2015, terbentuknya MEA merupakan wujud dari keingingan
negara-negara ASEAN untuk menjadikan ASEAN sebagai kawasan perekonomian yang
solid dan diperhitungkan dalam perekonomian Internasional, dengan wujud adanya
aliran bebas barang dan jasa, tenaga kerja terlatih (skilled labor),
serta aliran investasi yang lebih bebas.[1]
Dengan implementasi tersebut, Indonesia sebagai anggota ASEAN akan
sangat berpotensi untuk dibanjiri barang-barang konsumsi. Membanjirnya
barang-barang tersebut memang memiliki nilai positif bagi konsumen, dalam hal
ini akan semakin banyaknya alternatif pilihan barang dan jasa yang dapat dikonsumsi.
Namun demikian, di lain sisi jika hal ini tidak disikapi secara bijaksana
justru akan menumbuh-suburkan budaya konsumtif pada masyarakat. Pada banyak
kasus, perilaku konsumtif ini tidak didasarkan lagi pada teori kebutuhan (need),
tetapi didorong oleh hasrat (desire) dan keinginan (want). Pergeseran
perilaku konsumsi yang tidak lagi untuk memenuhi kebutuhan tetapi didasarkan
pada motivasi untuk mendapatkan tantangan, suatu sensasi, kegembiraan,
sosialisasi, menghilangkan stress,
memberikan pengetahuan baru tentang perkembangan trend baru dan model baru
serta untuk menemukan barang yang baik dan bernilai bagi diri masyarakat. Maka
tidak mengherankan ketika melihat grafik investasi dan saving selalu bergerak
turun dari waktu ke waktu. Wabah budaya konsumtif sangat mencemaskan jika tidak
diantisipasi. Hal yang berbahaya adalah ketergantungan pada barang-barang
impor, di mana hal ini akan mematikan pasar produk lokal. Sehingga budaya
konsumtif masyarakat akan menjadi “undangan” terbuka bagi kapitalisme global
untuk memengaruhi pola pikir, gaya hidup (life style) dan selera untuk
menyesuaikan dengan nilai yang melekat pada barang yang mereka hasilkan.
Akhirnya masyarakat akan terdorong untuk merubah gaya hidup dengan cepat,
mengikuti trend tingkat konsumsi, mode, perilaku sosial serta hasrat untuk
terus mengikuti produk-produk baru yang diproduksi secara up to date.[2]
Kondisi ini seakan-akan menggugah “ketentraman” seluruh lapisan
masyarakat baik tua-muda, kaya ataupun miskin, walaupun kondisi perekonomian
yang tidak menentu, semua terjangkiti “virus budaya konsumtif”. Iklan menjadi
salah satu alat yang ampuh untuk memasukkan virus ini, ironisnya ada yang menyadarinya
tetapi banyak pula yang tidak. Di sudut lain, Indonesia dipandang sebagai
negara dengan penduduk mayoritas muslim, tentunya menjadi pontensi pasar tersendiri
bagi masuknya produk-produk halal dari berbagai negara yang nota bene mempunyai
tempat tersendiri di kalangan kunsumen muslim sebagai subyek yang semestinya memperhatikan
unsur ke-halāl-an dan ke-ṭayyiban-an dalam konsumsi, hal ini banyak
dikuatkan dengan nash-nash dari Alquran dan Hadis sebagai pedoman hidup bagi
setiap muslim di dunia.
B.
PEMBAHASAN
1.
Perilaku
Konsumsi
Perilaku
konsumsi yang dikenal dalam istilah bahasa Inggris consumtion behavior
makin penting keberadaannya setelah ekonom Inggris John Mynar Lord Kynes
(1883-1946) memperkenalkan teorinya yang dikenal dengan istilah Low of
Consumtion (Hukum Konsumsi) yang belakangan mengilhami para penulis ilmu
ekonomi mempopulerkan istilah perilaku konsumen dalam tulisan mereka. Perilaku
konsumsi sejatinya teori yang dikembangkan dari muara pemahaman akan
rasionalisme ekonomi dan utilitarianisme kapitalis.[3]
Rasionalisme ekonomi menafsirkan perilaku manusia sebagai sesuatu yang
dilandasi dengan perhitungan cermat akan arah pandangan kedepan dan persiapan akan
keberhasilan ekonomi (materil), sedangkan utilitarianisme ditafsirkan sebagai
sesuatu yang berlandaskan pada nilai dan sikap moral. Sedangkan menurut Engel
perilaku konsumsi adalah tindakan yang terlibat langsung dalam mendapatkan, mengonsumsi
dan menghabiskan produk dan jasa, termasuk proses keputusan yang mendahului dan
mengikuti tindakan itu. Dan menurut Loudon dan Bitta, perilaku konsumsi adalah
suatu proses pengambilan keputusan yang mensyaratkan perilaku individu untuk
mengevaluasi, memperoleh, menggunakan dan mengatur barang dan jasa. Adapun
menurut Kotler dan Amstrong, perilaku konsumsi adalah perilaku individu ataupun
rumah tangga dalam bentuk pembelian barang dan jasa untuk konsumsi personal.
Dari beberapa
pengertian tersebut dapat dirangkum menjadi komponen-komponen seperti berikut:
a.
Perilaku konsumsi menyoroti perilaku individu
dan rumah tangga,
b.
Perilaku
konsumsi menyangkut suatu proses keputusan sebelum pembelian serta tindakan
dalam memperoleh, memakai dan menghabiskan suatu produk; dan
c.
Perilaku
konsumsi meliputi perilaku yang dapat diamati seperti jumlah yang dibeli,
kapan, dengan siapa dan oleh siapa serta bagaimana barang yang sudah dikonsumsi.
Dengan demikian perilaku konsumsi merupakan perilaku keseharian
setiap individu atau rumah tangga dalam menggunakan barang dan jasa guna
memenuhi kebutuhan diri atau keluarga. Hal ini dapat berbentuk penggunaan satu
jenis barang dan jasa untuk memenuhi khusus kebutuhan lahiriah dan dapat
bersifat memenuhi khusus kebutuhan batiniah dan dapat pula bersifat memenuhi
kebutuhan sekaligus, baik lahiriah maupun batiniah. Perilaku konsumsi dapat
berbentuk penggunaan berbagai jenis barang dan jasa seperti sandang, pangan,
alat komunikasi dan lain-lain yang bermuara pada pemenuhan kebutuhan hidup
sebagai makhluk biologis.
Perilaku konsumsi dalam waktu yang lama lebih dikenal dalam dua
macam yaitu perilaku konsumsi rumah tangga individu dan perilaku konsumsi rumah
tangga perusahaan. Dikenalnya dua macam perilaku konsumsi tersebut karena
keduanya merupakan subyek permintaan. Akan tetapi menurut Sulistyo, perilaku konsumsi
rumah tangga individu menjadi lebih tepat disebut perilaku konsumsi saja dan
perilaku konsumsi rumah tangga perusahaan disebut investasi.[4]
Hal itu terjadi sebab pada kenyataannya, isi permintaan yang datang dari rumah
tangga individu adalah permintaan akan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan
hidup; dengan kata lain, barang dan jasa yang diminta oleh satu individu atau
sebuah rumah tangga dimaksudkan untuk dikonsumsi. Sedangkan permintaan yang datang
dari rumah tangga perusahaan pada umumnya ditujukan untuk membeli barang dan
jasa modal yang diperlukan dalam proses produksi, karenanya permintaan akan
barang dan jasa modal adalah bersifat investasi.
Islam sebagai pedoman hidup tidak menonjolkan standar atau sifat
kepuasan dari sebuah perilaku konsumsi sebagaimana yang dianut dalam ilmu
ekonomi konvensional seperti utilitas dan kepuasan marginal, melainkan lebih
menonjolkan aspek normatif. Kepuasan dari sebuah perilaku konsumsi menurut
Islam harus berlandaskan pada tuntunan ajaran Islam itu sendiri. Dalam hal ini
Muhammad Nejatullah Siddiqi mengatakan, konsumen harus puas akan perilaku
konsumsinya dengan mengikuti norma-norma Islam. Konsumen muslim seharusnya
tidak mengikuti gaya konsumsi kaum xanthous (orang-orang berkulit
kekuningkuningan dan berambut kecoklat-coklatan) yang berkarakteristik menuruti
hawa nafsu.[5]
Hal ini diperkuat dengan prinsip dasar dari perilaku konsumsi menurut M. Arif
Mufraini (211) adalah seperti yang dikonfirmasikan Q.S. al-Baqarah (2): 168.[6]
Hai sekalian
manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan
janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; Karena Sesungguhnya syaitan
itu adalah musuh yang nyata bagimu.
Selain ayat tersebut, beberapa ayat lain menggariskan prinsip-prinsip
pokok perilaku konsumsi, seperti ayat pada Q.S. al-Maidah (5): 88.
Dan makanlah
makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah Telah rezekikan kepadamu, dan
bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.
Lebih tegas lagi, Yusuf Qardhawi menguraikan beberapa prinsip
perilaku konsumsi dalam Islam sebagai berikut:[7]
a.
Dasar
pemikiran pola konsumsi dalam Islam adalah hendak mengurangi kelebihan
keinginan biologis yang tumbuh dari faktor-faktor psikis buatan dengan maksud
membebaskan energi manusia untuk tujuan-tujuan spiritual.
b.
Anjuran-anjuran
Islam mengenai perilaku konsumsi dituntun oleh prinsip keadilan, prinsip
kebersihan, prinsip kesederhanaan, prinsip kemurahan hati dan prinsip
moralitas.
c.
Pada
umumnya kebutuhan-kebutuhan manusia digolongkan ke dalam tiga hal, yaitu (a)
barang-barang keperluan pokok, (b) barang-barang keperluan kesenangan dan (c)
barang-barang keperluan kemewahan. Dalam tiga pengelompokan ini, Islam menggariskan
prinsip menurut urutan prioritas kebutuhan yang dikenal dalam al-maqāṣid
al-syarī’ah dengan istilah ḍarūriyyah, hājjiyah dan taḥsīniyyah.[8]
d.
Kunci
untuk memahami perilaku konsumsi dalam Islam tidak cukup dengan hanya
mengetahui hal-hal terlarang, tetapi sekaligus harus dengan menyadari konsep
dinamik tentang sikap moderat dalam pola konsumsi yang dituntun oleh sikap yang
mementingkan bersama konsumen muslim yang lain.
Dari hal-hal yang diuraikan di atas dapat dijelaskan bahwa prinsip
perilaku konsumsi yang dapat memberikan kepuasan kepada konsumen menurut Islam
adalah barang-barang yang dikonsumsi haruslah halal dan suci menurut syariat.
Dalam hal perilaku atau gaya harus pula dalam batas wajar dalam arti tidak berlebih-lebihan
(isyrāf) atau boros (tabżīr) meskipun seorang konsumen tergolong hidup kaya
atau mampu. Sedangkan prinsip perilaku konsumsi secara konvensional menurut
Winardi, terpatok pada istilah kepuasan (utilitas). Istilah kepuasan
dimaksudkan sebagai kemampuan untuk memenuhi suatu kebutuhan. Kemampuan
tersebut meliputi (1) kemampuan akan suatu benda material atau jasa untuk
memenuhi kebutuhan manusia dan (2) kebutuhan yang berhubungan dengan istilah public
policy. Istilah ini kemudian melahirkan istilah-istilah kepuasan tempat
(utility of place), kepuasan waktu (utility of time) dan kepuasan kepemilikan
(utility of possession). Kepuasan tempat, ialah kepuasan yang timbul karena
fakta suatu benda atau jasa, tepat pada tempatnya untuk digunakan. Kepuasan waktu,
ialah kepuasan yang timbul karena fakta suatu benda atau jasa tersedia pada
waktu dibutuhkan, sedangkan kepuasan kepemilikan, ialah kepuasan yang timbul
karena fakta, suatu benda atau jasa yang ada, dimiliki oleh orang yang akan menggunakannya.[9]
Richard. G. Lipsey, Peter O. Steiner dan Donglas D. Purvis menulis sebagaimana yang dikutip Winardi bahwa yang dimaksud
dengan utilitas ialah kepuasan yang diperoleh seseorang dari mengkonsumsi
komoditi. Karena itu Richard G. Lipsey dan kawan-kawan, mengartikan utilitas
selain bermakna kegunaan atau faedah, juga bermakna kepuasan.[10]
Dominick Salvatore memberi contoh dari utilitas dengan arti kepuasan seperti
Individu yang meminta suatu komoditi tertentu, karena kepuasan yang diperoleh
dari mengkonsumsi komoditi tertentu tersebut.[11]
Jadi istilah kepuasan perilaku konsumsi bermakna suatu kepuasan yang diperoleh
seseorang atau sebuah rumah tangga melalui penggunaan akhir barang-barang dan
jasa-jasa konsumsi dari berbagai komoditi.
Beriringan dengan utilitas muncul pula kepuasan yang bersifat
marginal, yang kemudian dipopulerkan oleh ilmuwan ekonomi dengan istilah
kepuasan marginal dengan rumusan pengertian sebagai perubahan kepuasan yang
dihasilkan dengan mengkonsumsi lebih banyak atau lebih sedikit komoditi. Dalam
konteks seperti ini, bahwa semakin tinggi tingkat pendapatan, akan semakin
tinggi pula tingkat konsumsi, yang berarti akan tercapai kepuasan dalam
perilaku konsumsi. Walau demikian sangat memungkinkan selalu terjaga kepuasan
marginal atau kepuasan ekstra, baik dalam arti lebih maupun dalam arti kurang.
Selain itu, dalam ikhtiar mencapai kepuasan total atau maksimal, haruslah
ditopang oleh tindakan yang membelanjakan atas aneka komoditi atau barang dan
jasa konsumsi secara seimbang.
Pada dasarnya perilaku konsumsi seseorang atau sebuah rumah tangga,
menurut Salvatore adalah selalu berpijak atau berorientasi pada prinsip atau
nilai kepuasan.[12]
Di samping itu kecermatan dan ketepatan membelanjakan pendapatan dalam membeli
barang-barang dan jasa-jasa konsumsi untuk dapat mencapai kepuasan sangat
diperlukan, meski kepuasan itu sendiri tidak mempunyai standar pengukuran yang
pasti. Kepuasan itu sudah pasti pula tidak mempunyai titik persamaan antara
satu individu dengan individu lainnya atau sebuah rumah tangga dengan rumah
tangga lainnya. Utilitas itu bersifat sangat subyektif yakni tergantung pada
masing-masing individu atau rumah tangga yang menjalaninya. Namun yang jelas
secara konvensional, bahwa salah satu karakter utama dari perilaku konsumsi
seseorang atau sebuah rumah tangga adalah kepuasan, baik dalam arti maksimun maupun
dalam arti minimum.
2.
Perilaku
Konsumsi Di Masyarakat
a.
Motif
Perilaku Konsumsi Masyarakat
Perilaku
konsumsi seseorang dipengaruhi oleh latar belakang yang sangat kompleks. Latar
belakang itu menurut Arif Mufraini antara lain, tingkat pengetahuan, wawasan,
lingkungan sosial budaya, kemampuan ekonomi dan kepribadian (psikologis). Karena
itu, antara seorang individu dengan individu lainnya akan berbeda sifat dan
perilaku konsumsinya. Orang yang berpengetahuan dan berwawasan luas akan
berbeda motif perilaku konsumsinya dengan orang yang berpengetahuan dan berwawasan
sempit. Orang yang hidup di tengah-tengah lingkungan dan budaya yang maju akan
berbeda motif perilaku konsumsinya dengan orang yang hidup ditengah-tengah lingkungan
dan budaya terbelakang. Orang yang memiliki kehidupan ekonomi yang kuat akan
berbeda motif perilaku konsumsinya dengan orang yang memiliki kehidupan ekonomi
yang lemah. Orang yang memiliki kepribadian keagamaan yang baik akan berbeda
motif perilaku konsumsinya dengan orang yang memiliki kepribadian keagamaan
yang buruk; dan seterusnya.[13] Dalam
perspektif agama Islam misalnya, bahwa motif perilaku konsumsi orang muslim,
teristimewa yang memiliki pengetahuan dan wawasan agama serta keimanan yang
baik adalah bermotifkan tuntunan perintah agama. Mengingat agama Islam
memerintahkan makan, minum, berpakaian, bersilaturahim dan lain-lain agar tidak
terjadi kerusakan diri, hal ini ditegaskan dalam Q.S. al-A'raaf (7): 31-32.
Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid,
makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang berlebihlebihan. Katakanlah: "Siapakah yang
mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk
hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?"
Katakanlah: "Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam
kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat." Demikianlah
kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui.
Dalam perspektif
ilmu kesehatan misalnya, sudah pasti dapat dikatakan bahwa motif perilaku
konsumsi seseorang adalah bagaimana senantiasa memiliki kesehatan yang prima.
Demikian pula dalam perspektif adat dan budaya, bahwa motif perilaku konsumsi
seseorang adalah di samping untuk memelihara kesehatan dan mungkin menjalankan
perintah agama, sekaligus juga untuk mempertunjukkan dan memelihara khazanah
kearifan lokalnya.
Dalam ilmu
ekonomi konvensional, menurut Sulistyo disebutkan, bahwa perilaku konsumsi
seseorang dipengaruhi oleh faktor internal di dalam diri manusia dan faktor
eksternal dari luar diri manusia. Keynes mengemukakan, perilaku konsumsi didorong
motif yang berasal dari dalam diri manusia itu sendiri yang bersifat subyektif,
yaitu keinginan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Orang meminta barang dan
jasa karena barang dan jasa dapat memenuhi kebutuhan hidupnya yang bersifat
material. Tetapi di lain pihak perilaku konsumsi seseorang dapat diimbas
(include) dari luar melalui iklan-iklan yang gencar dipasang di berbagai media,
hal ini dapat memengaruhi keputusan seseorang pada era modern untuk berkonsumsi.
Banyak orang membeli barang dan jasa hanya karena tertarik oleh iklan dan sama
sekali tidak ada kaitan dengan usaha pemenuhan kebutuhan hidupnya. Karena itu
kata Sulistyo, pengaruh dari luar itu bersifat obyektif, sebab dapat memengaruhi
perilaku konsumsi siapa pun juga. Kedua motif (subyektif dan obyektif) tersebut
menggambarkan, perilaku konsumsi seseorang ada yang didorong oleh faktor
ekonomi, yaitu pemenuhan kebutuhan hidup; dan ada yang didorong oleh faktor non
ekonomi, yaitu lebih untuk pemenuhan keinginan hasrat hawa nafsu. Motif
subyektif menggambarkan faktor ekonomi; dan motif obyektif menggambarkan bukan
faktor ekonomi, melainkan dipengaruhi oleh faktor psikis, sosiologis dan lain-lainnya.
Selain itu kedua motif tersebut menggambarkan pula sebuah indikasi moralitas
dan etika. Motif subyektif menggambarkan kualitas moral dan etika yang baik,
sedang motif obyektif menggambarkan kualitas moral dan etika yang kurang baik.[14]
b.
Tujuan
Perilaku Konsumsi Masyarakat
Kegiatan ekonomi yang pada dasarnya lebih
bersifat suatu ikhtiar untuk memenuhi kebutuhan hidup bersama seluruh individu,
namun dalam perjalanannya berubah menjadi suatu upaya untuk memperbesar kepemilikan
atau persediaan. Karena itu yang menonjol kemudian adalah keserakahan dalam
memiliki pesediaan material dan bukan lagi sarana untuk dapat mencukupkan
persediaan akan kebutuhan yang ada. Hal ini menurut Machasin, secara makro
terlihat jelas dalam pengerukan sumber daya alam secara besar-besaran di satu
sisi dan hasil dari pengerukan itu dikonsumsi dengan cara yang sangat tidak
hemat di lain sisi.[15]
Sikap hemat dirasakan bertentangan dengan atau dapat menodai harga diri orang
yang memiliki persediaan atau harta yang lebih. Semakin besar jumlah harta yang
dimiliki seseorang semakin besar pengeluarannya untuk hal-hal yang tidak
bermanfaat.
Kegiatan
ekonomi saat ini sebagaimana dikatakan Suparlan Suhartono, bahwa ia telah
menjadi lahan subur bagi sifat serakah, sikap dan perbuatan bersaing yang
bercorak liberalisme kapitalistik, yang mengancam dan merusak moral persamaan
dan kerja sama sebagai asas dasar kehidupan sosial manusia, sehingga yang
terjadi adalah siapa yang kuat dialah yang menang, sebaliknya mereka yang
lemah, yang tidak bermodal tetap sulit keluar dari penderitaan. Kini hampir
sebagian besar manusia di dunia ini terjebak dalam suatu krisis moral yang
parah. Sistem ekonomi kapitalis dengan orientasi yang materiaslistis sudah hampir
menyelimuti dunia ini, sehingga krisis moral tersebut sulit diatasi. Akibatnya
lingkungan hidup disekitar kita banyak yang tidak sehat dan sumber dayanya juga
dalam krisis, bahkan kini krisis lingkungan hidup telah menjadi isu global.
Dunia manusia seolah terbelah menjadi dua, yaitu mereka yang berebut kemewahan
dan mereka yang menahan lapar dahaga. Kedua belah pihak inilah yang saling
berperang dan mereka bersamasama saling berlomba mengeksploitasi sumber daya
alam dan mencemari lingkungan hidup.[16]
Lebih dari itu
menurut Suparlan, bahwa kegiatan ekonomi saat ini sebenarnya telah terjadi
paradoksal di dalamnya. Di satu sisi (dalam aspek produksi), yaitu yang
berhubungan langsung dengan barang-barang dan jasa-jasa produksi memperlihatkan
pertumbuhan yang amat signifikan; namun di sisi lain, mengakibatkan pergeseran
nilai-nilai yang terkandung dalam pandangan hidup dari yang kualitatif
spiritual menjadi kuantitatif material, yang dari padanya menyebabkan semakin
menurunnya derajat moralitas kebanyakan orang sebagai manusia. Paradoksal dan
pergesaran itu termasuk terjadi dalam mikro ekonomi, yaitu motif perilaku
konsumsi seseorang bukan lagi didorong atau dipengaruhi oleh faktor material
semata, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor manusia atau individu lain.
sehingga seseorang dalam berperilaku konsumsi akan merasa selalu dinilai oleh
orang lain.
Machasin menambahkan, perilaku konsumsi
seseorang tidak hanya bersifat atau bertujuan memenuhi kebutuhan hidupnya
semata, tetapi juga untuk memenuhi tuntutan perilaku konsumsi dan penilaian
orang-orang lain demi sebuah kepercayaan diri dan martabat kemanusiaan.[17] Machasin
mencontohkan, orang yang hanya memiliki sepeda merasa lebih rendah dari pada
orang yang memiliki sepeda motor, orang yang naik sepeda motor merasa minder di
hadapan orang yang naik mobil. Demikian seterusnya sehingga dapat dikatakan
semakin banyak, mahal dan canggih produk-produk material yang dimiliki seseorang,
semakin tinggi martabatnya dan semakin tinggi kepercayaan dirinya.[18]
Perilaku
konsumsi seseorang teristimewa pada era modern saat ini tidaklah selamanya
menuruti obyektivitas tingkat kemampuan ekonomi, tetapi menuruti pula perilaku
konsumsi dan penilaian subyektivitas orang lain. Perilaku konsumsi seseorang
menurut Jean P. Baudrillard, merupakan buah dari komunikasi yang intens dari
barang dan jasa konsumsi, perilaku konsumsi dan penilaian orang lain. Dalam
perilaku konsumsi seseorang terjadi pemaksaan diri atau tidak terjadi
pengindahan fitrah independesi diri. Di satu sisi bermaksud memperlihatkan kemewahan
dan kesenangan serta martabat dan kepercayaan diri, di lain sisi terjadi
kepalsuan yang tidak mendatangkan ketenangan batin bagi individu pelaku. Akan
tetapi memang pada dasarnya manusia yang sekaligus makhluk ekonomi dan makhluk sosial,
relatif tidak mungkin sepenuhnya terlepas penuh dari penilaian atau pengaruh
dari sesamanya dalam aspek apa pun, termasuk perilaku konsumsi.
Perilaku
konsumsi menurut ilmu ekonomi konvensional yang kapitalistik bertujuan selain
memenuhi tingkat kepuasan maksimal, juga mengejar status sosial dan status
ekonomi di tengah-tengah masyarakat. Seorang konsumen ingin agar mendapat
pujian dan pengakuan sosial dari seseorang atau publik sebagai seorang yang
memiliki status sosial dan stutus ekonomi yang tinggi. Seorang konsumen biasanya
menjadi sangat senang dan bangga jika perilaku konsumsinya melebihi konsumen lainnya
dalam kehidupan keseharian ditengah-tengah masyarakat.
3.
Etika
Konsumsi Dalam Islam
Perilaku
konsumsi seringkali dipandang sebagai homogenisasi atau heterogenisasi budaya
global. Homogenisasi dapat diartikan bahwa budaya lokal akan terkooptasi oleh
budaya global atau justru yang terjadi sebaliknya. Budaya lokal akan semakin
menunjukkan eksistensinya di tengah berkembangnya budaya global.[19]
Perubahan perilaku konsumsi seringkali dipandang sebagai hal yang negatif,
menjadi kambing hitam dalam beberapa hal termasuk terdegradasinya budaya lokal,
budaya bangsa maupun budaya Islam. Sebagaimana dalam ilmu ekonomi konvensional,
bahwa motif perilaku konsumsi dikenal dua macam, yaitu motif internal (dari
diri manusia) dan motif ekstenal (dari luar diri manusia), demikian juga dalam
Islam terdapat apa yang disebut motif internal dan eksternal dalam konsumsi.[20]
a.
Motif
Internal
Adapun motif
internal yang dimaksud adalah motif yang tumbuh dalam diri seorang muslim dalam
bentuk ingin selalu hidup sehat dan kuat. Motif ini didasarkan pada hadis Nabi
saw. berikut ini:
عَنْ
اَنَسٍ قَالَ
: قَالَ رَسُوْلُ
اللهِ صعم
: اَلمؤُْمِنُ اْلقَوِيُّ
خَيْرُ وَ
اَحَبُّ اِلىَ
اللهِ
مِنَ
اْلمُؤْمِنِ الضَّعِيْفِ
- (رَوَاهُ اَحْمَدَ
).
Dari Anas, ia
berkata, Rasulullah saw. bersabda: Orang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih
disukai Allah dari pada orang mukmin yang lemah (H. R. Ahmad).
b.
Motif
Eksternal
Motif eksternal
yang dimaksud adalah sebuah motif dari luar diri manusia dalam bentuk ingin
memenuhi kebutuhan kenyamanan dari pelakunya dan secara sosiologis ingin
mendapatkan penilaian positif (visualitas estetik) dari orang lain atau publik.
Motif ini merupakan motif yang secara syar'i termasuk absah dan positif. Motif
ini didasarkan pada hadis Nabi SAW. berikut:
عَنْ
عَبْدِ اللهِ
بْنِ مَسْعُوْدٍ
: لاَ يَدْخُلُ
اْلجَنّةَ مَنْ
كَانَ فِي
قَلْبِهِ مِثْقَالَ
ذَرَّةٍ
مِنْ
كَبِ ير،
قَالَ رَجُُ
ل: اِنَّ
الرَّجُلَ يُحِبُّ
اَنْ يَكُوْ
نَ ثوَْبُهُ
حَسَنًا وَ
نَعْلُهُ
حَسَنَةً،
قَالَ : اِنَّ
الله جمَِيْلُ
يُحِبُّ اْلجَْمَالَ،
اَلْكَبِيْرُ بَطَرَ
اْلحَقَّ وَ
غَمَطَ النَّاسَ
- (رواه مسلم
).
Dari Abdullah
bin Mas’ud, ia berkata, Rasulullah saw. bersabda: tidak akan masuk surga orang
yang di dalam hatinya terdapat kesombongan walau hanya sekecil atom (dzarrah).
Seorang laki-laki berkata: bahwa sesungguhnya bagaimana halnya seorang
laki-laki yang memakai baju dan sepatu/sandal yang bagus. Rasulullah berkata:
bahwa sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai yang indah. Kesombongan itu mengenyahkan
kebenaran dan merendahkan manusia - (H.R. Muslim).
Seperti dirasakan dan disaksikan dalam kehidupan seharihari, bahwa
hidup sehat dan kuat mutlak harus ditopang oleh perilaku konsumsi, baik
perilaku konsumsi yang berkaitan sandang maupun pangan ataupun papan. Bahkan
perilaku konsumsi itu telah diatur dalam Islam sedemikian rupa guna mencapai
tingkat kesehatan dan kekuatan yang prima. Demikian juga halnya kehidupan yang
ditopang oleh fasilitas yang baik atau bagus, akan mendatangkan perilaku hidup
yang baik dan bagus pula, baik perilaku itu bersifat perilaku keagamaan maupun bersifat
perilaku keduniaan.
Dalam pandangan Islam, perilaku konsumsi mempunyai tujuan yang
berbeda dengan tujuan perilaku konsumsi dalam pandangan ekonomi konvensional
(yang materialistik) yang hanya ingin memenuhi kebutuhan jasmaniah lahiriah,
melainkan di samping memenuhi kebutuhan jasmaniah lahiriah, juga memenuhi
kebutuhan rohaniah batiniah. Hal ini dapat diuraikan dalam tujuan-tujuan
konsumsi dalam pandangan Islam sebagai berikut:
a.
Tujuan
Materil
Adapun tujuan materil dari perilaku konsumsi dalam pandangan Islam
dapat dipahami dari ayat dan hadis berikut:
1)
Mendatangkan
Kesehatan Fisik. Dalam Q.S. al-A'rāf (7): 31
dipaparkan:
Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid,
makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang berlebihlebihan.
2)
Menjaga
dan Menutup Aurat. Sebagaimana ditegaskan dalam
Q.S. al-A'rāf
(7): 26 dan 32:
Hai anak Adam,
Sesungguhnya kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan
pakaian indah untuk perhiasan. dan pakaian takwa itulah yang paling baik. yang
demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan
mereka selalu ingat.
Katakanlah:
"Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah
dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan)
rezki yang baik?" Katakanlah: "Semuanya itu (disediakan) bagi
orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di
hari kiamat." Demikianlah kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang
yang mengetahui.
3)
Memberikan
Kenyamanan Hidup. Rasulullah saw. bersabda:
عَنْ
سَعْدِ بْنِ
اَبِيْ وَقَاصٍ
: مِنْ سَعَادَةِ
ابْنِ ادَمَ
: اَلْمَرْاَةُ الصَّالحَِةُ
و
اْلَمسْكَنُ
الصَّالِحُ وَاْلَمرْكَبُ
الصَّالِ ح
(رَوَاهُ اَحْمَدَ
).
Dari Sa’ad bin
Abi Waqqash, ia berkata, Rasulullah saw. bersabda: ada tiga hal yang
membahagiakan manusia, yaitu (1) isteri yang salehah, (2) rumah yang bagus dan
(3) kendaraan yang bagus (H. R. Ahmad).
b.
Tujuan
Spiritual
Adapun tujuan spiritual dari perilaku konsumsi dalam pandangan
Islam antara lain sebagai berikut: pertama, Pembentukan jiwa syukur akan
karunia Allah. Dalam pandangan seorang konsumen muslim (hamba Allah), setiap
perilaku konsumsi sesungguhnya merupakan realisasi rasa syukur kepada Allah.
Hal itu karena tiga faktor; pertama, dikaruniakan-Nya kemampuan untuk
mencari bahan konsumsi seperti makanan; kedua, dikaruniakan-Nya bahan
konsumsi yang melimpah; dan ketiga, energi yang didapat sesudah
menkonsumsi berbagai bahan makanan, semata-mata dipergunakan untuk mempertebal
rasa kesyukurannya kepada Allah. Bahwa seorang konsumen muslim dalam setiap
perilaku konsumsinya harus teresap dalam dirinya nilai-nilai syukur. Kedua,
pembentukan ahli ibadah yang bersyukur. Seorang konsumen muslim yang telah
mengonsumsi berbagai barang konsumsi sekaligus mampu merasakannya sebagai
nikmat karunia Allah, akan berkontribusi besar dalam mengaksesnya untuk senantiasa
menunaikan ibadah dengan berlandaskan atas syukur akan nikmat karunia Allah.
Ibadah yang dilakukan berulang-ulang dengan berdasarkan atas rasa syukur akan
nikmat karunia Allah, secara otomatis akan membentuk pelakunya menjadi ahli
ibadah dengan tingkat kualitas pengamalan ibadah yang paling tinggi nilainya di
mata Allah. Allah mengisyaratkan, bahwa dalam melakukan ibadah-ibadah
kepadanya, hendaknya didasarkan atas rasa syukur akan nikmat karunia-Nya. Hal
ini ditegaskan Allah dalam Q.S. al-Baqarah (2):172.
Hai orang-orang
yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang kami berikan
kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu
menyembah.
4.
Perilaku
Konsumsi Dalam Pandangan Ekonomi Islam
Islam sebagai
pedoman hidup mengatur segenap perilaku manusia dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya. Demikian pula masalah konsumsi, Islam mengatur bagaimana manusia bisa
melakukan kegiatan-kegiatan konsumsi yang membawa manusia berguna bagi
kemaslahatan hidupnya. Islam telah mengatur jalan hidup manusia melalui Alquran
dan Hadis, supaya manusia di jauhkan dari sifat yang hina karena perilaku
konsumsinya. Perilaku konsumsi yang sesuai dengan ketentuan Allah dan Rasulullah
saw. akan menjamin kehidupan manusia yang lebih sejahtera.[21]
Seorang muslim
dalam berkonsumsi didasarkan atas beberapa pertimbangan: pertama, Manusia tidak
kuasa sepenuhnya mengatur detail permasalahan ekonomi masyarakat atau Negara,
bahkan manusia tidak dapat memaksakan cara pemenuhan hidup orang lain kepada
dirinya ataupun sebaliknya.[22]
Terselenggaranya keberlangsungan hidup manusia diatur oleh Allah swt. dalam
Q.S. al-Waqi’ah (56): 68-69.
Maka Terangkanlah kepadaku tentang air yang kamu minum. Kamukah yang
menurunkannya atau kamikah yang menurunkannya?
Kedua, dalam
konsep Islam kebutuhan yang membentuk pola konsumsi seorang muslim, sebab pola
konsumsi yang didasarkan atas kebutuhan akan menghindari pengaruhpengaruh pola
konsumsi yang tidak perlu. Dalam Q.S. Āli ’Imrān (3):180 dijelaskan:
Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang
Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu
baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. harta
yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat.
dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. dan
Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Ketiga,
Perilaku konsumsi dalam pandangan Islam akan melihat bagaimana suasana
psikologi orang lain. Dengan konsep ini maka Islam menjamin terbangunnya
pembangunan masyarakat yang berkeadilan, terhindar dari kesenjangan sosial atau
diskriminasi sosial. Q.S. al-Nisā (4): 29 menjelaskan:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan
suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya
Allah adalah maha penyayang kepadamu.
Teori ekonomi
menjelaskan bahwa kepuasan seseorang dalam mengkonsumsi suatu barang dinamakan
utility atau nilai guna. Jika kepuasan semakin tinggi maka semakin tinggi pula nilai
gunanya, sebaliknya bila kepuasan semakin rendah maka semakin rendah pula nilai
gunanya. Oleh karena itu kepuasan seorang muslim tidak didasarkan atas banyak
sedikitnya barang yang bisa dikonsumsi, tetapi lebih dikarenakan apa yang dilakukannya
sebagai ibadah dengan memenuhi apa yang diperintahkan Allah swt dan menjauhi
segala larangan Allah swt. Tindakan-tindakan yang merugikan, seperti
pemborosan, dilarang Allah sebagaimana tersebut dalam Q.S. al-Israa‘ (17): 26- 27.
Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada
orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu
menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu
adalah Saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada
Tuhannya.
Demikian pula
dalam surat al- A`raaf/7: 31.
Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki)
mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebihlebihan. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.
Allah swt.
menganjurkan hidup dalam keseimbangan sebagaimana tersebut dalam Q.S. al-Furqān
(25): 67.
Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan,
dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara
yang demikian.
Dari uraian
diatas dinyatakan bahwa memperturutkan kepuasan “yang tidak terbatas” akan
merusak diri, bukan berarti seorang muslim tidak boleh mendapatkan kepuasan
dari konsumsinya terhadap sejumlah barang, tetapi kepuasan seorang muslim
dibatasi. Untuk lebih mejelaskan kepuasan seorang muslim dapat diilustrasikan
dalam bentuk nilai guna total (total utility) dan nilai guna marginal (marginal
utility). Nilai guna total adalah jumlah seluruh kepuasan yang diperoleh dalam
mengkonsumsi sejumlah pertambahan atau pengurangan kepuasan sebagai akibat dari
pertambahan atau pengurangan penggunaan satu unit barang.[23]
Dengan demikian
kepuasan bukan didasarkan atas banyaknya barang yang dikonsumsi, tetapi
didasarkan atas kemampuan fisik manusia dalam menggunakan barang yang dikonsumsinya
dalam melangsungkan hidupnya. Sehingga dengan mengurangi konsumsi sebelum
mencapai kepuasan maksimal sebagai upaya untuk menjaga konsistensi kepuasan yang
diterima seorang muslim dari mengkonsumsi suatu barang, karena tambahan nilai
guna yang akan diperoleh akan menjadi semakin sedikit apabila ia terus-menerus
menambah konsumsinya, yang demikian dikenal dengan istilah hukum nilai guna
marginal yang semakin menurun (the law diminishing return), yang pada akhirnya
tambahan nilai guna akan menjadi negative, apabila konsumsi ke atas barang
tersebut ditambah terus, maka nilai guna total akan menjadi semakin sedikit.
Jika hukum
nilai guna marginal semakin menurun maka pertambahan yang terus menerus dalam
berkonsumsi suatu barang tidak akan menambah kepuasan dalam berkonsumsi, tetapi
lama-kelamaan tingkat kepuasan atas barang semakin menurun. Misalnya seorang
berbuka puasa dengan segelas kolak akan mendapat kepuasan, kepuasan akan
bertambah bila ditambah satu gelas yang kedua dan sampai gelas ketiga. Kalau ditawarkan
gelas keempat, orang tersebut akan menolak karena sudah merasa puas. Orang
tersebut menolak karena sudah merasa lebih puas minum tiga gelas kolak dari
pada minum empat gelas. Hal ini bermakna nilai guna total dari meminum empat
gelas adalah lebih rendah dari nilai guna yang diperoleh dari meminum tiga
gelas.
Dengan demikian
sebagai upaya dalam mendapatkan kepuasan dalam konsumsi dari setiap barang,
seyogyanya setiap muslim akan berusaha memaksimumkan nilai guna dari tiap barang
yang di konsumsi dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
C.
PENUTUP
Dari
uraian pembahasan diatas penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:
1.
perilaku konsumsi semestinya dapat
memperhatikan aspek-aspek yang tergolong kebutuhan primer (dharuriyat) kemudian
sekunder (hajjiyat) dan trisier (tahsiniyat) sesuai dengan semangat al-maqashid
asysyari’ah, sehingga dalam memenuhi kebutuhan seorang konsumen lebih
mengedepankan aspek kebutuhan daripada aspek keingingan demi membatasi
kebutuhan dan kengingan manusia yang sifatnya senantiasa tidak terbatas.
2.
Dalam
pandangan Islam perilaku konsumsi harus menghindari perilaku isrāf dan tabżīr
dalam menggunakan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup, sebagai ramburambu
dalam konsumsi pangan semestinya manusia secara umum dan muslim secara khusus
untuk senantiasa menjaga unsur halāl-an dan ke-ṭayyiban-an dalam konsumsi
sebagai langkah untuk menjaga kesehatan jasmani dan rohani.
3.
Perilaku
konsumsi dalam ekonomi Islam bertujuan untuk tercapainya aspek materil dan
aspek spiritual dalam konsumsi, kedua aspek tersebut akan tercapai dengan menyeimbangkan
antara nilai guna total (total utility) dan nilai guna marginal (marginal
utility) dalam konsumsi. Sehingga setiap muslim akan berusaha memaksimumkan
nilai guna dari tiap barang yang di konsumsi, yang akan menjadikan dirinya
semakin baik dan semakin optimis dalam menjalani hidup dan kehidupan.
DAFTAR PUSTAKA
AlFitri,
“Budaya Konsumerisme Masyarakat Perkotaan” dalam Majalah Empirika, Vol. XI. No.
01, ( 2007).
Ardhanari,
Margaretha, Memelihara Budaya: Perspektif Masyarakat Konsumen dan Perilakunya,
makalah orasi ilmiah dalam rangka Dies Natalis Universitas Katolik Widya Mandala
Surabaya ke-53 tahun 2014,
Baudrillard,
Jean P., La sociēttē de consommation, diterjemah oleh Wahyunto, Masyarakat
Konsumsi, Cet. ke-1; Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2004.
Kementerian
Agama, Al-Qur’an al-Karim dan Terjemahnya. Bandung: PT. Sygma Examedia Arkanleema,
2010.
Lipsey,
Richard. G., Steiner, O. Peter dan Purvis D. Douglas, Economics, diterjemah
oleh Jaka Wasana dan Kirbandoko dengan judul, Pengantar Mikroekonomi, Jilid I,
Edisi VIII; Jakarta: Erlangga, 1987.
Machasin, Islam
Teologi Aplikatif, Cet. ke-1; Yogyakarta: Pustaka Alief, 2003.
Mufraini,
M. Arif, Akuntansi dan Manajemen Zakat– Mengomunikasikan Kesadaran dan
Membangun Jaringan, Cet. ke-1 ; Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006
Najed,
M. Nasri Hamang, Ekonomi Islam; Zakat Ajaran Kesejahteraan dan Keselamatan
Umat: Pokok-pokok mFiqhiyyah, Landasan Perekonomian, Sejarah dan Manajemen
Zakat, Parepare: LbH Press, 2013.
Qardhawi,
Yusuf, Dawr al-Qiyam wa al-Akhlāq fī al-Iqtiṣad al- Islāmī, diterjemah oleh
Zainal Arifin dan Dahlia Husim, Norma dan Etika Ekonomi Islam, Cet. ke-4;
Jakarta: Gema Insani Press, 1422 H./2001 M.
Salvatore,
Dominick, Theory and Problems of Microeconomics, diterjemah oleh Rudy Sitompul,
Teori Mikroekonomi, Cet. ke-3; Jakarta: Erlangga, 1995.
Siddiqi,
Muhammad Nejatullah, The Economic Enterprise, diterjemah oleh Anas Sidik,
Kegiatan Ekonomi dalam Islam, Cet. ke-2; Jakarta: Bumi Aksara, 1996
Sudarsono,
Heri, Konsep Ekonomi Islam; Suatu Pengantar, Yogyakarta: Ekonisia, 2002.
Suhartono,
Suparlan, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Ujung Pandang: Program Pascasarjana
Universitas Hasanuddin, 1997.
Sulistyo,
Pengantar Ekonomi Makro, Cet. ke-3; Jakarta: Karunika Universitas Terbuka, 1986
Syāṭibī,
Abu Ishaq al-, al-Muwāfaqāt Fī Uṣūl al-Syarī’ah, Juz IV, Beirut: Dār al-Kutub
al-’Ilmiyyah,; t.th.
Winardi,
Manajemen Perilaku Organisasi, Cet. ke-1; Bandung: Mandar Maju, 2003.
[1]Margaretha
Ardhanari, Memelihara Budaya: Perspektif Masyarakat Konsumen dan Perilakunya,
makalah orasi ilmiah dalam rangka Dies Natalis Universitas Katolik Widya
Mandala Surabaya ke-53 tahun 2014, h. 2.
[2] Ibid.,
h. 3.
[3] M.
Arif Mufraini, Akuntansi dan Manajemen Zakat–Mengomunikasikan Kesadaran dan
Membangun Jaringan (Cet. ke-1 ; Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2006), h. 211.
[4] Sulistyo,
Pengantar Ekonomi Makro (Cet. ke-3; Jakarta: Karunika Universitas
Terbuka, 1986, h. 124.
[5] Muhammad
Nejatullah Siddiqi, The Economic Enterprise, diterjemah oleh Anas Sidik,
Kegiatan Ekonomi dalam Islam (Cet. ke-2; Jakarta: Bumi Aksara, 1996), h.
95.
[6] M.
Arif Mufraini, Akuntansi..., h. 211.
[7] Yusuf
Qardhawi, Dawr al-Qiyam wa al-Akhlāq fī al-Iqtiṣad al-Islāmī, diterjemah
oleh Zainal Arifin dan Dahlia Husim, Norma dan Etika Ekonomi Islam,
(Cet. ke-4; Jakarta: Gema Insani Press, 1422 H./2001 M.), h. 352.
[8] Abu
Ishaq al-Syatibi, al-Muwāfaqāt Fī Uṣūl al-Syarī’ah, Juz IV (Beirut:Dār
al-Kutub al-’Ilmiyyah, t.th.), h. 7.
[9] Winardi,
Manajemen Perilaku Organisasi (Cet. ke-1; Bandung: Mandar Maju, 2003),
h. 496.
[10]Richard.
G. Lipsey, Steiner, O. Peter dan Purvis D. Douglas, Economics, diterjemah
oleh Jaka Wasana dan Kirbandoko dengan judul, Pengantar Mikroekonomi,
Jilid I (Edisi VIII; Jakarta: Erlangga, 1987), h. 135.
[11] Dominick
Salvatore, Theory and Problems of Microeconomics, diterjemah oleh Rudy
Sitompul, Teori Mikroekonomi (Cet. ke-3; Jakarta: Erlangga, 1995), h.
67.
[12]
Ibid., h. 67.
[13] M.
Arif Mufraini, Akuntansi..., h. 213.
[14]
Sulistyo, Pengantar Ekonomi ..., h. 124-125.
[15]Machasin,
Islam Teologi Aplikatif (Cet. ke-1; Yogyakarta: Pustaka Alief, 2003), h.
160.
[16]Suparlan
Suhartono, Filsafat Ilmu Pengetahuan (Ujung Pandang: Program
Pascasarjana Universitas Hasanuddin, 1997), h. 3.
[17] Machasin,
Islam ..., h. 161.
[18]Jean
P. Baudrillard, La sociēttē de consommation, diterjemah oleh Wahyunto, Masyarakat
Konsumsi (Cet. ke-1; Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2004), h. xxxv.
[19]
AlFitri, “Budaya Konsumerisme Masyarakat Perkotaan” dalam Majalah
Empirika, Vol. XI. No. 01, ( 2007), h.1
[20]M.
Nasri Hamang Najed, Ekonomi Islam; Zakat Ajaran Kesejahteraan dan
Keselamatan Umat: Pokok-pokok Fiqhiyyah, Landasan Perekonomian, Sejarah dan
Manajemen Zakat (Parepare: LbH Press, 2013), h. 39-43.
[21]Heri
Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam; Suatu Pengantar (Yogyakarta: Ekonisia,
2002), h. 151.
[22]
Al-Ghazali menegaskan, pasar terbentuk secara alami yang ditimbulkan oleh
adanya perbedaan kebutuhan satu orang dengan orang lain. Sedangkan Adam Smith
memetaforakan keberadaan kekuatan-kekuatan tertentu yang mendorong manusia
untuk saling berhubungan dalam memenuhi kebutuhannya dengan istilah invisible
hand (tangan gaib). Heri Sudarsono, Ibid.
[23]
Ibid., h. 153
Author: Mohammad
Mohammad is the founder of STC Network which offers Web Services and Online Business Solutions to clients around the globe. Read More →
Related Posts:
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar: