Senin, 18 Januari 2016
MASLAHAH-MURSALAH; SUATU METHODE ISTINBATH HUKUM
ABSTRAK;
Maslahah
terbagi tiga yaitu; yang diterima syara’, yang ditolak oleh syara’ dan yang diperselisihkan
oleh ulama muslim karena tidak ada dalil, baik yang menerima maupun yang
menolaknya. Maslahah yang ketiga inilah yang menjadi objek kajian teori
maslahah-mursalah atau istislah yang diperkenalkan oleh Imam Malik. Sebagian
pemikir muslim menerima maslahah-mursalah sebagai dasar penetapan hukum Islam.
Namun sebagian yang lain, khususnya dari kalangan pengikut mazhab asy-Syafi’iyah
menolak maslahah-mursalah sebagai dasar penetapan hukum Islam, padahal
berdasarkan hasil penelitian yang ada, Imam asy-Syafi’i dan pengikutnya Imam
al-Ghazali menerima maslahah mursalah sebagai dasar penetapan hukum Islam.
Key Word;
Maslahah, Mursalah.
A.
Pendahuluan
Allah menurunkan agama Islam kepada umat-Nya disertai dengan
aturanaturan (hukum). Aturan-aturan (hukum) tersebut dibuat oleh Allah agar
manusia selamt hidup di dunia sampai ke akhirat kelak. Agama (Islam) beserta
aturan-aturan (hukum) yang dibuat oleh Allah tersebut merupakan wahyu,
diturunkan kepada para Nabi dan Rasul-Nya melalui perantaraan Malaikat Jibril.
Sedangkan Nabi dan Rasul terakhir adalah Muhammad, s.a.w. Wahyu yang diturunkan
oleh Allah tersebut, adakalanya untuk menyelesaikan persoalan hukum yang sedang
dihadapi oleh umat Islam kala itu, dan dalam ilmu al- Qur’an dikenal dengan
istilah asbabun-nuzul atau sebab-sebab turunnya wahyu (ayat al-Qur’an).[1]
Namun apabila Allah tidak menurunkan wahyu kepada Nabi atau Rasul untuk
menyelesaikan persoalan hukum (tertentu) yang sedang dihadapi oleh umat Islam
kala itu, maka Nabi melakukan ijtihad, menggali hukumnya (istinbath),
kemudian hasil ijtihad Nabi tersebut disebut dengan al-Sunnah (qauliyah,
fi’liyah dan taqriyah). Dengan demikian terlihat bahwa, sumber hukum
Islam semasa Nabi Muhammad s.a.w., hidup hanya dua yaitu, al-Qur’an dan
al-Sunnah Nabi sebagai empirisasi dari wahyu Allah.
Seiring dengan wafatnya Nabi Muhammad s.a.w., meluasnya wilayah kekuasaan
Islam, terpencarnya para sahabat Nabi ke berbagai wilayah, dan banyaknya para
sahabat yang gugur dalam pertempuran, maka umat Islam mendapat tantangan baru
di bidang hukum, karena kadang kala masalah (hukum) yang sedang dihadapi tidak
ada hukumnya di dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, dan dalam rangka menyelesaikan
persoalan-persoalan hukum baru yang sedang dihadapi tersebut, para sahabat
selalu ber-ijtihad, dan mereka dapat dengan mudah menemukan hukum atas masalah-masalah
yang sedang dihadapi oleh umat Islam kala itu karena para sahabat sangat
mengenal tekhnik Nabi ber-ijtihad.
Hasil ijtihad para sahabat tersebut, jika tidak dibantah
oleh sahabat Nabi yang lainnya, maka dianggap ijma’ para sahabat.
Sebaliknya, jika hasil ijtihad sahabat Nabi tersebut dibantah oleh
sahabat Nabi yang lain, maka hasil ijtihad sahabat Nabi tersebut tidak
dapat dianggap sebagai ijma’ para sahabat, melainkan hanya pendapat pribadi
para sahabat Nabi tentang persoalan-persoalan (hukum) tertentu. Dengan demikian
terlihat bahwa, sumber hukum Islam pada masa sahabat hanya tiga yaitu; al-Qur’an,
as-Sunnah dan ijma’ para sahabat.
Seiring dengan berjalannya waktu, dan wafatnya para sahabat Nabi,
maka otoritas tasri’ jatuh ke tangan generasi tabi’in kemudian tabi’tabi’in
dan seterusnya. Setelah masa sahabat, dalam rangka memecahkan
persoalan-persoalan hukum yang dihadapi oleh umat Islam, para ulama tetap
berpegang teguh kepada al-Qur’an, al- Sunnah dan ijma’ para sahabat.
Namun karena persoalan hukum yang dihadapi oleh umat Islam selalu berkembang
dan merupakan persoalan hukum baru, di mana dalam al-Qur’an, al-Sunnah dan ijma’
para sahabat tidak ditemukan hukumnya, maka para ulama dalam mengagali
hukumnya, memakai beberapa metode istinbath hukum di antaranya; maslahah-mursalah
atau istislah (Imam Malik), Istihsan (Imam Hanafi), qiyas (Imam
Syafi’i), istishab Imam Ahmad bin Hambal dan lain sebagainya. Beberapa
metode istinbath hukum yang dipakai oleh para imam mujtahid di atas,
metode qiyas mendapat tempat di hati sebagian besar ulama dan umat Islam
karena berdasarkan kepada nass-nass (al-Qur’an dan atau al-Sunnah)
tertentu.
Mayoritas ulama menerima qiyas sebagai sumber hukum Islam
yang keempat setelah al-Qur’an, al-Sunnah dan ijma’ para sahabat.[2]
Sedangkan metode istinbath hukum yang lainnya, termasuk maslahah-mursalah
atau istislah yang diperkenalkan oleh Imam Malik selalu
diperdebatkan, bahkan ditolak oleh mayoritas penganut mazhab asy-Syafi’iyah.[3]
Untuk itu tulisan ini mencaba menguraikan, pertama apa yang
dimaksud dengan maslahah-mursalah? Kedua, mengapa maslahah-mursalah
ditolah oleh sebagian umat Islam sebagai salah satu metode istinbath hukum?
Ketiga, apa saja persyaratan dan ruang lingkup operasional maslahah-mursalah
agar dapat diterima sebagai hujjah?
B.
Pembahasan
1.
Diskursus
Tentang Maslahah-Mursalah
Teori maslahah-mursalah atau istislah sebagaimana
disebutkan di atas, pertama kali diperkenalkan oleh Imam Malik (W. 97 H.),
pendiri mazhab Malik. Namun karena pengikutnya yang lebih akhir mengingkari hal
tersebut, maka setelah abad ketiga hijriyah tidak ada lagi ahli usul fiqih yang
menisbatkan maslahahmursalah kepada Imam Malik,[4]
sehingga tidak berlebihan jika ada pendapat yang menyatakan bahwa teori maslahah-mursalah
ditemukan dan dipopulerkan oleh ulama-ulama usul fiqih dari kalangan asy-Syafi’iyah
yaitu Imam al-Haramain al- Juwaini (w. 478 H.), guru Imam al-Ghazali. Dan
menurut beberapa hasil penelitian, ahli usul fiqih yang paling banyak membahas
dan mengkaji maslahah-mursalah adalah Imam al-Ghazali yang dikenal
dengan sebutan hujjatul Islam.[5]
Imam Malik oleh penulis muslim digolongkan ke dalam golongan
sahabat kecil, karena di waktu kecilnya, dia sempat bertemu dengan Rasulullah.
Imam Malik merupakan salah seorang imam mujtahid yang empat (Malik, Hanafi,
asy-Syafi’i dan Hambali) yang sempat bertemu dan belajar banyak kepada para
sahabat Nabi. Imam Malik tinggal di Madinah, pusat pemerintah Islam waktu itu.
Karena Madinah merupakan pusat pemerintahan Islam dan tempat tinggalnya Nabi
setelah hijrah dari Makkah, maka Madinah dikenal pula dengan sebutan kota
hadist. Dalam rangka menyelesaikan persoalan-persoalan hukum baru yang dihadapi
oleh masyarakat muslim waktu itu, Imam Malik mencari hukumnya di dalam
al-Qur’an, dan jika tidak menemukannya dalam al-Qur’an, maka Imam Malik
mencarinya di dalam as-Sunnah Nabi,[6]
dan apabila di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah tidak ditemukan, maka dia
mendasarkan pendapatnya kepada ijma’ para sahabat, dan apabila ijma’ para
sahabat tidak ada mengenai masalah (hukum) tersebut, maka Imam Malik mengaggali
hukum (istinbath) dengan cara ber-ijtihad. Sedangkan metode ijtihad
yang dipakai oleh Imam Malik dalam rangka menggali hukum (istinbath)
ada dua yaitu; qiyas dan istislah atau maslahah-mursalah.
Metode qiyas dipraktekkan atau digunakan oleh Imam Malik
apabila ada nass tertentu, baik al-Qur’an maupun as-Sunnah yang
mendasarinya. Sedangkan metode istislah atau maslahah-mursalah dipraktekkan
oleh Imam Malik apabila masalah (hukum) yang sedang dihadapi, tidak ada satupun
nass yang mendasarinya, baik yang membenarkan maupun yang melarangnya,
bahkan dalam kasus-kasus tertentu, Imam Malik menggunakan metode maslahah-mursalah
dalam men-takhsis ayat-ayat al- Qur’an yang bersifat umum.[7]
Dan yang menjadi bahasan di sini hanya metode istislah atau maslahah-mursalah.
Lalu apa yang dimaksud dengan maslahah-mursalah?
Kata maslahah yang dalam Bahasa Indonesia dikenal dengan
maslahat, berasal dari Bahasa Arab yaitu maslahah. Maslahah ini
secara bahasa atau secara etimologi berarti manfaat, faedah, bagus, baik,
kebaikan, guna atau kegunaan.[8] Maslahah
merupakan bentuk masdar (adverd) dari fi’il (verb)
salaha. Dengan demikian terlihat bahwa, kata maslahah dan kata
manfaat yang juga berasal dari Bahasa Arab mempunyai makna atau arti yang sama.
Sedangkan menurut istilah atau epistemology, maslahah diartikan oleh
para ulama Islam dengan rumusan hampir bersamaan, di antaranya al-Khawarizmi
(w. 997 H.) menyebutkan, maslahah adalah al-marodu
bil-maslahatil-mukhaafazatu ‘ala maqsudi-syar’i bidaf’i-l mufaasidi
‘ani-l- kholqi, yaitu memelihara tujuan hukum Islam dengan menolak
bencana/kerusakan/hal-hal yang merugikan diri manusia (makhluq). Sedangkan
ulama telah berkonsensus, bahwa tujuan hukum Islam adalah untuk memelihara
agama, akal, harta, jiwa dan keturunan atau kehormatan.
Tidak jauh berbeda dengan al-Khawarizmi di atas, al-Ghazali
merumuskan maslahah sebagai suatu tindakan memlihara tujuan syara’ atau
tujuan hukum Islam, sedangkan tujuan hukum Islam menurut al-Ghazali adalah
memelihara lima hal di atas. Setiap hukum yang mengandung tujuan memelihara
salah satu dari lima hal di atas disebut maslahah, dan setiap hal yang
meniadakannya disebut mafsadah, dan menolak mafsadah disebut maslahah.[9]
Sedangkan menurut asy-Syatibi dari golongan mazhab Malikiyah sebagai orang yang
paling popular dan kontropersi pendapatnya tentang maslahah-mursalah mengatakan
bahwa maslahah itu (maslahat yang tidak ditunjukkan oleh dalil khusus yang
membenarkan atau membatalkan) sejalan dengan tindakan syara’.[10]
Berdasarkan beberapa buah definisi di atas, maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa maslahah-mursalah merupakan suatu metode ijtihad dalam
rangka menggali hukum (istinbath) Islam, namun tidak berdasarkan kepada nass
tertentu, tetapi berdasarkan kepada pendekatan maksud diturunkannya hukum
syara’ (maqosid asysyari’ah). Penetapan hukum Islam melalui pendekatan maqosid
asy-syari’ah merupakan salah satu bentuk pendekatan dalam menetapkan hukum syara’
selain melalui pendekatan kaidah kebahasaan yang sering digunakan oleh para
ulama. Jika dibandingkan penetapan hukum Islam melalui pendekatan maqosid
asy-syari’ah dengan penetapan hukum Islam melalui pendekatan kaidah
kebahasaan, maka penetapan hukum Islam melalui pendekatan maqosid
asy-syari’ah dapat membuat hukum Islam lebih flexible, luwes karena
pendekatan ini akan menghasilkan hukum Islam yang bersifat kontekstual.
Sementara pengembangan hukum Islam melalui pendekatan kaidah kebahasaan akan
menghilangkan jiwa flexibelitas hukum Islam. Hukum Islam akan kaku (rigid),
sekaligus akan kehilangan nuansa kontekstualnya.[11]
Dengan pemahaman seperti di atas, seharusnya maslahah-mursalah yang
nota-bene-nya merupakan salah satu metode istinbath hukum yang
menggunakan pendekatan maqosid asy-syari’ah, mestinya dapat diterima
oleh umat Islam sebagai dasar dalam menetapkan hukum Islam. Tetapi mengapa masalah
mursalah tidak diterima oleh sebagian umat Islam, khususnya mayoritas
penganut mazhab asy- Syafi’iah sebagai dasar penetapan hukum Islam. Dalam hal
ini ada beberapa argumen yang mereka ajukan di antaranya yaitu;
a.
Masalahat
itu ada yang dibenarkan oleh syara’, ada yang ditolak oleh syara’ dan
ada pula yang diperselisihkan. Maslahat kategori pertama dan kategori kedua
(yang dibenarkan dan yang ditolak oleh syara’) tidak ada pertentangan di
kalangan umat Islam. Maslahat kategori pertama harus diterima sebagai dasar penetapan
hukum Islam, dan maslahat kategori kedua harus ditolak sebagai dasar penetapan
hukum Islam. Sedangkan maslahat kategori ketiga diperselisihkan, sebagian
menerima sebagai dasar penetapan hukum Islam, dan sebagian yang lain menolaknya.
Sesuai dengan definisi di atas, maslahat kategori ketiga inilah yang menjadi
kajian dari maslahah-mursalah atau istislah. Dengan demikian
menurut kelompok umat Islam yang tidak menerima maslahah-mursalah sebagai
dasar penetapan hukum Islam berpendapat, bahwa memandang maslahah-mursalah (kategori
ketiga) sebagai hujjah berarti mendasarkan penetapan hukum Islam kepada sesuatu
yang meragukan.
b.
Memandang
maslahah-mursalah sebagai hujjah berarti menodai kesucian hukum
Islam karena penetapan hukum Islam tidak berdasarkan kepada nass-nass tertentu,
tetapi hanya mengikuti keinginan hawa nafsu belaka dengan dalih maslahat.
Dengan dalih maslahat dikhawatirkan akan banyak penetapan hukum Islam berdasarkan
kepada kepentingan hawa nafsu.
c.
Bagi
golongan ini, hukum Islam telah lengkap dan sempurna. Dengan menjadikan
maslahat sebagai dasar dalam menetap hukum Islam, berarti umat Islam tidak
mengakui prinsip kelengkapan dan kesempurnaan hukum Islam. Artinya hukum Islam
belum lengkap dan sempurna, masih ada yang kurang.
d.
Memandang
maslahat sebagai hujjah akan membawa dampak terjadinya perbedaan hukum
Islam terhadap masalah yang sama (disparitas) disebabkan perbedaan kondisi dan
situasi. Dengan demikian akan menafikan prinsip universalitas, keluasan dan
fleksibelitas hukum Islam.[12]
Alasan-alasan
yang dikemukakan oleh sekelompok umat Islam yang tidak menerima maslahat
(kategori ketiga) sebagai dasar menetapkan hukum Islam di atas, dapat disanggah
dengan beberapa alasan.
a.
Dengan
memandang maslahat sebagai hujjah tidak berarti mendasarkan penetapan
hukum Islam kepada sesuatu yang meragukan, sebab maslahat tersebut ditentukan
lewat sekian banyak dalil dan pertimbangan, sehingga menghasilkan zann yang
kuat (sesuatu yang lemah menjadi kuat). Dalam ilmu fiqih dikenal istilah yakfi
al-‘amal biz-zann, beramal berdasarkan kepada zann dianggap cukup
karena semua fiqih adalah zann.
Dengan demikian
tidak dapat dikatakan bahwa menjadikan maslahat kategori ketiga sebagai hujjah
berarti memilih dua kemungkinan tanpa dalil, karena jika dibandingkan
maslahat yang dibenarkan oleh syara’ dengan maslahat yang ditolak oleh syara’,
maka maslahat yang dibenarkan oleh syara’ jauh lebih banyak jumlahnya
dari pada maslahat yang ditolak oleh syara’. Dengan demikian jika ada suatu
kemaslahatan, tetapi tidak ada dalil yang membenarkannya atau menolaknya, maka
maslahat tersebut harus digolongkan ke dalam maslahat yang lebih banyak.
b.
Tidak
benar kalau penetapan hukum Islam melalui metode istislah atau maslahah-mursalah
berarti menetapkan hukum Islam berdasarkan kepada hawa nafsu, karena untuk
dapat dijadikan sebagai hujjah, maslahah-mursalah harus memenuhi
persyaratan-persyaratan tertentu (bahasan dibawah). Jadi tidak asal maslahat.
Persyaratan inilah yang akan mengendalikan, sehingga tidak terjadi penyalahgunaan
dalam menetapkan hukum (Islam) berdasarkan kepada maslahat.
c.
Islam
memang telah lengkap dan sempurna, tetapi yang dimaksud dengan lengkap dan
sempurna itu adalah pokok-pokok ajaran dan prinsip-prinsip hukumnya. Jadi tidak
berarti semua masalah ada hukumnya. Ini terbukti banyak sekali masalah-masalah
baru yang belum disinggung hukumnya oleh al-Qur’an dan as-Sunnah tetapi baru
diketahui setelah digali melalui ijtihad.
d.
tidak
benar kalau memandang maslahah-mursalah sebagai hujjah akan
menafikan prinsip universalitas, keluasan dan keluwesan (flexible) hukum
Islam, tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Dengan menggunkan metode masalah-mursalah
dalam menetapkan hukum, prinsip universalitas, keluasan dan keluwesan (flexible)
hukum Islam dapat dibuktikan.[13]
Dengan demikian
terlihat bahwa beberapa alasan yang dikemukakan oleh sekelompok umat Islam yang
tidak menerima maslahah-mursalah sebagai dasar dalam menetapkan hukum
Islam, sama sekali tidak logis dan tidak realistis. Sebagaimana disebutkan di
atas, maslahat tersebut ada yang dibenarkan oleh syara’, ada yang tidak
dibenarkan oleh syara’ dan ada pula yang diperselisihkan, artinya tidak
diketahui, apakah dibenarkan atau ditolak oleh syara’. Dalam hal ini para
ulama berkonsensus, bahwa maslahat yang dibenarkan oleh syara’ dapat dijadikan
dasar dalam menetapkan hukum Islam, dan maslahat yang ditolak oleh syara’ tidak
dapat dijadikan sebagai dasar dalam menetapkan hukum Islam.
Sedangkan
masalahat kategori ketiga, hal inilah yang diperdebatkan oleh umat Islam, dan
sebagaimana disebutkan di atas, inilah yang menjadi kajian dari teori maslahahmursalah,
karena itu sebagain ulama (pendukung teori maslahah-mursalah)
membuat persyaratan penggunakan maslahah-mursalah dalam menetapkan hukum
Islam, di samping itu mereka juga membuat rung lingkup operasional maslahah-mursalah.
2.
Persyaratan
dan Ruang Lingkup Maslahah-Mursalah
Agar maslahah-mursalah dapat diterima sebagai dasar dalam
menetapkan hukum Islam maka para Imam Mujtahid, di antaranya Imam al-Ghazali,
asy-Syatibi fan at-Tufi membuat rersyaratan dan ruang lingkup operasional maslahah-mursalah.
Persyaratan yang mereka buat berbeda satu sama lain, namun ruang lingkup operasionalnya
mereka mempunyai pendapat yang sama sebagaimana terlihat dalam bahasan di bawah
ini.
Al-Ghazali membuat batasan operasional maslahah-mursalah untuk
dapat diterima sebagai dasar dalam menetapkan hukum Islam; pertama, maslahat
tersebut harus sejalan dengan tujuan penetapan hukum Islam yaitu memelihara
agama, jiwa, akal, harta dan keturunan atau kehormatan. Kedua, maslahat
tersebut tidak boleh bertentangan dengan al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma’.
Ketiga, maslahat tersebut menempati level daruriyah (primer) atau hajiyah
(sekunder) yang setingkat dengan daruriyah. Keempat, kemaslahatannya
harus berstatus qat’i atau zann yang mendekati qat’i. Kelima, dalam
kasus-kasus tertentu diperlukan persyaratan, harus bersifat qat’iyah,
daruriyah,dan kulliyah.[14]
Berdasarkan persyaratan operasional yang dibuat oleh Imam
al-Ghazali di atas terlihat bahwa Imam al-Ghazali tidak memandang maslahah-mursalah
sebagai dalil yang berdiri sendiri, terlepas dari al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma’.
Imam al-Ghazali memandang maslahah-mursalah hanya sebagai sebuah
metode istinbath (menggali/penemuan) hukum, bukan sebagai dalil atau
sumber hukum Islam. Sedangkan ruang lingkup operasional maslahah-mursalah tidak
disebutkan oleh Imam al-Ghazali secara tegas, namun berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Ahmad Munif Suratmaputra terhadap contoh-contoh
kasus maslahahmursalah yang dikemukakan oleh Imam al-Ghazali dalam
buku-bukunya (al- Mankhul, Asas al-Qiyas, Shifa al-Galil, al-Mustafa)
dapat disimpulkan bahwa Imam al-Ghazali membatasi ruang lingkup operasional maslahah-mursalah
yaitu hanya di bidang muamalah saja.[15]
Agak berbeda dengan Imam al-Ghazali, asy-Syatibi hanya membuat dua kriteria
agar maslahat dapat diterima sebagai dasar pembentukan hukum Islam. Pertama,
maslahat tersebut harus sejalan dengan jenis tindakan syara’, karena
itu maslahat yang tidak sejalan dengan jenis tindakan syara’ atau yang
berlawanan dengan dalil syara’ (al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma’)
tidak dapat diterima sebagai dasar dalam menetapkan hukum Islam. Kedua, maslahat
seperti kriteria nomor satu di atas tidak ditunjukkan oleh dalil khusus. Jika
ada dalil khusus yang menunjukkannya maka itu menurut asy-Syatibi termasuk
dalam kajian qiyas.[16]
Jika dibandingkan persyaratan yang dibuat oleh Imam al-Ghazali
dengan persyaratan yang dibuat oleh asy-Syatibi di atas, maka persyaratan yang
dibuat oleh asy-Syatibi jauh lebih longgar. Ini merupakan suatu hal yang wajar
karena asy- Syatibi termasuk golongan ulama penganut mazhab malikiyah yang
sering menjadikan maslahat sebagai dasar penetapan hukum Islam. Al-Ghazali dan
asy-Syatibi juga berbeda dalam memandang maslahahmursalah sebagai dalil
dalam menetapkan hukum Islam. Al-Ghazali memandang maslahah-mursalah sebagai
dalil yang tidak berdiri sendiri, sebaliknya asy-Syatibi malah memandang maslahah-mursalah
sebagai dalil hukum yang beridiri sendiri. Asy-Syatibi berpendapat demikian
karena metode istislah atau maslahah-mursalah dalam menetapkan
hukum Islam tidak berdasarkan kepada nass tertentu, tetapi hanya berdasarkan
maslahat yang sejalan dengan tujuan penetapan hukum syara’.[17]
Sedangkan mengenai ruang lingkup operasional maslahah-mursalah, asy-
Syatibi dan Imam al-Ghazali mempunyai pendapat yang sama, yaitu hanya berlaku dalam
bidang muamalah, dan tidak berlaku dalam bidang ibadah. Begitu juga dengan at-Tufi
yang dianggap sebagai orang yang paling berani dan paling kontropersi pendapatnya
tentang maslahat (bukan maslahah-mursalah), dia juga menetapkan bidang
muamalah dan sejenisnya sebagai ruang lingkup operasional maslahah-mursalah.
Menurut at-Tufi maslahat tidak berlaku pada bidang ibadah, muqaddarad
dan sejenisnya. At-Tufi membangun pendapatnya di atas, atas empat dasar sebagai
berikut;
a.
akal
manusia dapat menemukan dan membedakan mana maslahat dan mana mafsadat. Karena
akal manusia dapat membedakan mana maslahat dan mana yang mafsadat maka;
b.
maslahat
menurut at-Tufi merupakan dalil yang berdiri sendiri, terlepas dari nass.
c.
lapangan
operasional maslahat sebagaimana disebutkan di atas, hanya dalam bidang
muamalah dan adat, bukan pada bidang ibadah dan muqoddarod.
d.
maslahat
merupakan dalil hukum Islam yang paling kuat, karena itu menurut at-Tufi,
maslahat bukan hanya hujjah ketika tidak ada nass dan ijma’ melainkan
harus pula didahulukan atas nass dan ijma’ ketika terjadi pertentangan
di antara keduanya.[18]
Menurut Ahmad Munif Surtmaputra, pengutamaan maslahat atas nass dan ijma’
tersebut dilakukan oleh at-Tufi dengan jalan takhsis dan bayan, bukan
dengan jalan meninggalkan nass, sebagaimana mendahulukan as-Sunnah atas
al-Qur’an dengan jalan bayan.[19]
Dengan demikian
terlihat bahwa ulama-ulama besar, baik dari kalangan mazhab Malikiyah maupun
dari kalangan asy-Syafi’iyah menerima maslahahmursalah sebagai dasar
dalam menetapkan hukum Islam dengan persyaratan. Pertama, hukum yang
ditetapkan harus mengandung kemaslahatan. Kedua, maslahat tersebut
sejalan dengan maksud pembentukan hukum Islam, yaitu dalam rangka memelihara
agama, jiwa, akal, harta dan keturunan atau kehormatan. Ketiga, maslahat
yang kriterianya seperti pada poin kedua tersebut, tidak ditunjukkan oleh dalil
tertentu yang membenarkan atau sebaliknya membatalkan. Sedangkan ruang lingkup
operasionalnya khusus dalam masalah muamalah dan adat, tidak berlaku di bidang
ibadah. Namun sayangnya, dalam mengoperasionalkan maslahah-mursalah tersebut
para ulama memakai istilah yang berbeda-beda, bahka ada satu orang ulama
misalnya Imam al-Ghazali memakai beberapa istilah untuk menyebut maslahah-mursalah,
sehingga berimplikasi kepada ketidak-sempurnaan pemahaman generasi
berikutnya mengenai pendapat ulama terdahulu tentang masalah ini.
Dalam kitab al-Mankul,
Imam al-Ghazali menyebut maslahah-mursalah dengan istilah istidlal
sahih (bukan istidlal mursal), dalam kitab Asas al-Qiyas dia memakai
istilah istislah, dan dalam kitab Shifa al-Galil disebutnya
dengan istilah munasib mula’im, sedangkan dalam kitab al-Mustasfa, Imam
al-Ghazali tetap menyebutnya dengan istilah maslahah-mursalah. Karena
Imam al-Ghazali menyebut maslahah-mursalah dengan beberapa istilah, maka
ada pendapat yang mengatakan bahwa Imam al-Ghazali tidak konsisten menjadikan maslahah-mursalah
sebagai dasar dalam menetapkan hukum Islam, pada hal bukan demikian. Imam
asy-Syafi’i sebagai tokoh pendiri mazhab asy-Syafi’iyah, karena dia menyebut
maslahat tanpa pengakuan syara’ dengan istilah maslahah-mursalah, maka
ada pendapat yang mengatakan bahwa Imam asy-Syafi’i menolak maslahahmursalah
sebagai dasar dalam menetapkan hukum Islam. Namun apabila kita memahami
istilah tersebut secara luas, meliputi maslahat yang sejenisnya diakui oleh syara’
maka dapat dikatakan bahwa Imam asy-Syafi’i tidak menolak maslahahmursalah
sebagai dasar dalam menetapkan hukum Islam.[20]
Dalam catatan
yang lain ada pula pendapat yang mengatakan bahwa Imam asy-Syafi’i menolak maslahah-mursalah
sebagai dasar dalam menetapkan hukum Islam, karena Imam asy-Syafi’i dalam
kitabnya ar-Risalah, menolak istihsan sebagai dasar penetapan
hukum Islam.[21]
Namun pendapat tersebut dibantah oleh Imam Haramain dan muridnya Imam
al-Ghazali yang nota bene-nya juga sama-sama dari mazhabn asy-Syafi’iyah
dengan cara menghadirkan beberapa contoh hasil ijtihad Imam asy-Syafi’i
berdasarkan kepada maslahah-mursalah.[22]
Kalau kita
melihat kepada hasil ijtihad para imam yang empat (Malik, Hanafi, Syafi’i,
dan Hambali), banyak sekali penetapan hukum berdasarkan kepada maslahat, bahkan penetapan hukum Islam berdasarkan
kepada maslahat dilakukan juga oleh sahabat Nabi. Karena itu sering ditemukan
kemaslahatan dari hukum Islam, baik yang ditetapkan berdasarkan metode qiyas,
istihsan dan istishab maupun melalui metode istislah atau maslahah-mursalah.
Dengan demikian benar apa yang dikatakan oleh al- Qorafi bahwa imam
mujtahid/mazhab yang empat mempergunakan maslahah- mursalah sebagai
dasar dalam menetapkan hukum Islam.[23]
Adanya pendapat yang mengatakan para imam besar menolak maslahat sebagai dasar
menetapkan hukum Islam, disebabkan oleh kesalahan mereka dalam memahami
beberapa istilah yang digunakan oleh para imam tersebut.
C.
Penutup
Maslahat terbagi tiga yaitu; yang dibenarkan oleh syara’,
ditolak oleh syara’ dan yang diperselisihkan. Ulama telah berkonsensus,
maslahat kategori pertama diterima sebagai hujjah dan kategori
kedua ditolak sebagai hujjah. Sedangkan maslahat kategori ketiga
diperselisihkan karena tidak ada dalil yang membenarkan maupun yang
melarangnya, dan inilah yang menjadi kajian dari maslahah- mursalahatau istislah.
Sekelompok umat Islam menolak maslahah-mursalah sebagai hujjah dengan
alasan; menerima maslahah-mursalah kategori ketiga sebagai hujjah
berarti mendasarkan penetapan hukum Islam kepada sesuatu yang
meragukan, dan ini menodai kesucian hukum Islam. Penetapannya tidak
berdasarkan kepada nass, tetapi hanya mengikuti keinginan hawa
nafsu dengan dalih maslahat. Dengan demikian menyalahi prinsip Islam
sudah lengkap dan sempurna.
Pendapat di atas dapat disanggah dengan beberapa alasan, memandang
maslahat sebagai hujjah tidak berarti mendasarkan penetapan hukum
Islam kepada sesuatu yang diragukan, sebab maslahat tersebut ditentukan
lewat sekian banyak dalil dan pertimbangan. Tidak benar kalau penetapan
hukum Islam melalui metode maslahah-mursalah berarti menetapkan hukum
Islam berdasarkan kepada hawa nafsu, karena untuk dapat dijadikan
sebagai hujjah, maslahah-mursalah harus memenuhi
persyaratan tertentu, tidak asal maslahat. Islam memang telah lengkap dan sempurna
tetapi yang dimaksud dengan lengkap dan sempurna tersebut adalah pokokpokok ajaran
dan prinsip-prinsip hukumnya. Tidak benar kalau memandang maslahah-mursalah sebagai
hujjah akan menafikan prinsip universalitas, keluasan dan
keluwesan hukum Islam, tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Dengan menggunakan
metode maslahah-mursalah dalam menetapkan hukum Islam, prinsip universalitas,
keluasan dan keluwesan hukum Islam dapat dibuktikan.
Menerima maslahat sebagai hujjah haruslah melalui
persyaratan tertentu, minimalnya tidak bertentangan dengan al-Qur’an,
as-Sunnah dan ijma’, harus mengandung kemaslahatan, dan
kemaslahatan itu sejalan dengan tujuan penetapan hukum Islam yaitu;
dalam rangka memilihara agama, akal, jiwa, harta dan keturunan atau
kehormatan. Sedangkan ruang lingkup operasionalnya hanya di bidang muamalah
dan sejenisnya, tidak berlaku di bidang ibadah. Namun karena para ulama terdahulu
memakai istilah yang berbeda untuk maslahah-mursalah, maka timbul anggapan
bahwa imam tertentu (al-Ghazali) tidak konsisten menggunakan maslahah mursalah
sebagai dasar penetapan hukum Islam, bahkan di antara imam tersebut ada yang
dianggap menolak (asy-Syafi’i) maslahat sebagai dasar dalam penetapan hukum Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1996), Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.
Hallag, Weal B, (2002), A History of Islamic Legal Theories, Alih
bahasa E. Kusnadiningrat, Rajawali Press, Jakarta.
Keer, Malcom H., (1968), Moral and Legal Judgment Indevendent of
Relevation, Philosophy: East and West 18.
Mas’ud, Muhammad Khalid, (1977), Islamic Legal Philosophy: A
Study of Abu Ishaq al-Shatibi’s Life and Thought, Islamic Risearch
Istitute, Islamabad, Pakistan.
Munif Suratmaputra, Ahmad, (2002), Filsafat Hukum Islam
al-Ghazali: Maslahah- Mursalah dan Relevansinya dengan Pembaruan Hukum Islam, Disertasi
Pada Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Disterbitkan oleh Pustaka Firdaus, Jakarta.
Nasution, Lamuddin, (2001), Pembaruan Hukum Islam Dalam Mazhab
Syafi’i, Disertasi Pada Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatulah,
Jakarta, diterbitkan oleh Rosda Karya, Bandung.
Wahaf Khallaf, Abdul, (2003), Sejarah Pembentukan dan
Perkembangan Hukum Islam, Rajawali Press, Jakarta.
[1] Asbabun-Nuzul,
jika ditinjau dari persfektif yuridis sangat membantu umat Islam untuk
memecahkan persoalan hukum yang dihadapinya dalam kehidupan sehari-hari, yaitu
dengan cara melakukan interpretasi juridis-historis.
[2]Perkembangan
hukum Islam dapat dilihat Abdul Wahaf Khallaf (2003), Sejarah Pembentukan
dan Perkembangan Hukum Islam, Rajawali Press, Jakarta, hal 1-23.
[3]
Ahmad Munif Suratmaputra, (2002), Fisafat Hukum Islam al-Ghazali;
Maslahah-Mursalah dan Relevansinya dengan Pembaruan Hukum Islam, Pustaka
Firdaus, Jakarta, hal. 184.
[4]
Wael B. Hallag, (2000), A History of Islamic Legal Theories, Alih bahasa
E. Kusnadiningrat, Rajawali Press, Jakarta, hal. 165-166.
[5]
Ahmad Munif Suratmaputra, (2002), Op. Cit, hal. 63-64. Penulis sendiri
cenderung dengan pendapat pertama yang menyatakan teori maslahah-mursalah pertama
kali diperkenalkan oleh Imam Malik dan menjadi popoler di tangan Imam
al-Ghazali.
[6]
Imam Malik (w. 97 H.) menerima hadist-hadist ahad sebagai hujjah (sumber
hukum Islam) yaitu apabila hadist-hadist ahad tersebut sesuai dengan amalan dan
prilaku masyarakat Madinah. Namun jika hadist ahad tersebut tidak sesuai dengan
amalan dan prilaku masyarakat Madinah maka hadist ahad tersebut tidak diterima
oleh Imam Malik sebagai hujjah. Imam Malik membuat tolak ukur amalan dan
prilaku masyarakat Madinah untuk dapat menerima hadist ahad sebagai hujjah karena
pada masa itu sudah banyak berkembang hadist-hadist palsu di kalangan umat
Islam. Imam Malik menganggap masyarakat Madinah lebih tahu mengenai Sunnah Nabi
karena mereka tinggal satu kota bersama Nabi. Tolak ukur yang dibuat oleh Imam
Malik tersebut ditolak oleh Imam asy-Syafi’i, muridnya dengan alasan bahwa
setelah meninggalnya Nabi dan meluasnya wilayah kekuasaan Islam para sahabat
Nabi telah menyebar ke berbagai wilayah Islam.
[7]Abdul
Wahaf Khallaf, (2003), Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, Rajawali
Press, Jakarta, hal. 110.
[8] Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan (1996), Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta,
Balai Pustaka, cet ke 2, hal. 634.
[9]
Malcom H. Keer, (1968), Moral and Legal Judgment Indevendent of Relevation,
Philosophy: East and West 18, hal, 279.
[10]
Muhammad Khalid Mas’ud, (1977), Islamic Legal Philosophy: A Study of Abu
Ishaq al- Shatibi’s Life and Thought, Islamic Research Institute,
Islamabad, Pakistan, hal. 149-150.
[11]Ahmad
Munif Suratmaputra, (2002), Op. Cit., hal. 104.
[12]
Ahmad Munif Suratmaputra, (2002), Op. Cit., hal.80-81.
[13]
Ahmad Munif Suratmaputra, (2002), Op. Cit, hal. 78-79.
[14]
Muhammad Khalid Mas’ud, (1977), Op. Cit, hal. 149-150.
[15]
Ahmad Munif Suratmaputra, (2002), Op. Cit, hal. 144.
[16]
Muhammad Khalid Mas’ud, (1977), Op. Cit, hal. 162.
[17] Ibid.
[18]Malcom
H. Keer, (1968), Op. Cit, hal. 278.
[19]
Ahmad Munif Suratmaputra, (2002), Op. Cit, hal. 90.
[20]Lamuddin
Nasution, (2001), Pembaruan Hukum Islam dalam Mazhab Syafi’i, Disertasi pada
Program Pasca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Rosda Karya, Bandung,
hal. 135.
[21]Lamuddin
Nasution meragukan pendapat yang mengatakan Imam asy-Syafi’i tidak menerima istihsan
sebagai dasar dalam menetapkan hukum Islam, karena istihsan yang
ditentang oleh Imam asy-Syafi’i itu adalah tindakan menetapkan hukum menurut
kemauan hati sendiri tanpa kendali dan tanpa memperhatikan batas-batas yang ditetapkan
syara’. Ibid, hal. 111-112.
[22]Contoh-contoh
hasil ijtihad Imam asy-Syafi’i berdasarkan kepada maslahah-mursalah dapat
dilihat dalam empat buku Imam al-Ghazali di atas, dan kemudian contoh-contoh
tersebut dikutif oleh Ahmad Munif Suratmaputra, (2002), Op. Cit, hal.
146.
[23]Ahmad
Munif Suratmaputra, (2002), Op. Cit, hal. 148.
Author: Mohammad
Mohammad is the founder of STC Network which offers Web Services and Online Business Solutions to clients around the globe. Read More →
Related Posts:
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar: