Selasa, 26 September 2017
DEWAN PENGAWAS SYARIAH BAITUL MAAL WA TANWIL
1.
Pengertian
Pengawas Syariah
Dalam
kamus bahasa Indonesia kata “dewan” adalah badan yang terdiri dari beberapa
orang yang perkerjaannya memutuskan sesuatu dengan jalan berunding, pengawas
berasal dari kata awas yang berarti pengawas.[1]
Sedangkan “syariah” adalah komponen ajaran Islam yang mengatur tentang
kehidupan seorang muslim baik dari bidang ibadah (habluminallah) maupun
dalam bidang muamalah (hablumminannas) yang merupakan aktualisasi akidah
yang menjadi keyakinannya. Sementara muamalah sendiri meliputi berbagai bidang
kehidupan antara lain yang menyangkut ekonomi atau harta dan perniagaan disebut
muamalah maliyah.[2]
Dewan
pengawas syariah adalah suatu badan yang bertugas mengawasi pelaksanaan
keputusan DSN di lembaga keuangan syariah. DPS diangkat dan diberhentikan di
lembaga keuangan syariah melalui RUPS setelah mendapat rekomendasi dari DSN.[3]
Dewan
Pengawas Syariah atau yang lebih dikenal sebagai DPS merupakan badan yang ada
di lembaga keuangan syariah dan bertugas mengawasi pelaksanaan keputusan Dewan
Syariah Nasional di lembaga keuangan syariah. Dewan Pengawas Syariah ini
berkedudukan di bawah Rapat Umum Pengawas Syariah atau sejajar dengan Dewan
Komisaris di dalam struktur suatu Bank Syariah atau lembaga keuangan syariah.
Tugas utama Dewan Pengawas Syariah adalah mengawasi kegiatan usaha lembaga
keuangan syari`ah agarsesuai dengan ketentuan dan prinsip syari`ah yang telah
difatwakan oleh Dewan Syariah Nasional. Fungsi utama Dewan Pengawas Syariah
adalah sebagai penasehat dan pemberi saran kepada direksi, pimpinan unit usaha
syari`ah dan pimpinan kantor cabang syari`ah mengenai hal-hal yang terkait
dengan aspek syari`ah dan sebagai mediator antara lembaga keuangan syariah
dengan Dewan Syariah Nasional dalam mengkomunikasikan usul dan saran
pengembangan produk dan jasa dari lembaga keuangan syariah yang memerlukan
kajian dan fatwa dari Dewan Syariah Nasional. Posisi Dewan Pengawas Syariah
adalah wakil Dewan Syariah Nasional dalam mengawasi pelaksanaan fatwa-fatwa
Dewan Syariah Nasional di lembaga keuangan syariah yang bersangkutan.
Didunia
perbankan atau lembaga-lembaga keuangan lainnya yang membedakan antara lembaga
keuangan syariah dan lembaga keuangan konvensional adalah adanya kepastian
pelaksanaan prinsip-prinsip syariah dalam operasionalnya. Untuk menjamin
operasi lembaga keuangan syariah tidak menyimpang dari tuntunan syariat, maka pada
setiap lembaga Islam hanya diangkat manager dan pimpinan lembaga yang sedikit
banyak menguasai prinsip muamalah Islam. Selain dari pada itu di lembaga ini
dibentuk Dewan Pengawas Syariah yang bertugas mengawasi operasional bank atau
lembaga keuangan dari sudut syariahnya.[4]
Menurut
UU No. 21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah atau lembaga keuangan syariah,
setiap bank Islam atau lembaga keuangan Islam di indonesia, Bank Umum Syariah
(BUS) maupun Unit Usaha Syariah (UUS), wajib membentuk Dewan Pengawas Syariah,
yang secara umum bertugas untuk memberikan nasihat serta saran kepada direksi
serta mengawasi kegiatan bank agar tidak melenceng dari prinsip syariah.[5]
2.
Sejarah
Pembentukan Dewan Pengawas Syariah
Sekitar
tahun 1999-an perhatian umat Islam di indonesia terhadap ajaran ekonomi yang
berdasarkan syariah mulai tumbuhdan berkembang. Melihat kenyatan seperti itu
MUI bersama instusi lain, terutama bank Indonesia, memberikan respon positif
dan bersifat proaktif. Salah satu hasilnya adalah kelahiran bank Muamalat
indonesia 1992 sebagai bank yang pertama di Indonesia yang berbasiskan syariah
dalam kegiatan transaksinya. Kelahiran bank syariah diikuti dengan bank-bank
lain, baik yang bentuk full branch maupun yang hanya berbentuk divisi atau unit
usaha syariah. Tak ketinggalan lembaga keuangan lainnya seperti asuransi
syariah takaful, dhompet dhuafa, BPRS, BMT yang terus bermunculan.
Untuk
lebih meningkatkan khidmah dan memenuhi harapan umat yang semakin besar. MUI
pada fabruari 1999 telah membentuk DSN. Lembga ini yang beranggotakan para ahli
hukum Islam (fuqaha’) serta ahli dan prktisi ekonomi, terutama sektor
keuangan, baik bank maupun nonbank, berfungsi untuk melaksanakan tugas-tugas
MUI dalam mendorong dan memajukan ekonomi umat.
Dalam
upaya memurnikan pelayanan instistusi keuangan syariah agar benar-benar sejalan
dengan ketentuan syariah Islam maka, dibentuk lah dewan pengawas syariah. Yang
mana keberadaan dewan pengawas syariah mutlak diperlukan. DPS merupakan lembaga
kunci yang menjamin bahwa kegiatan opersional institusi keuangan syariah sesui
dengan prinsip-prinsip syariah. Merujuk pada surat keputusan Dewan Syariah
Nasional No.3 tahun 2000, dewan pengawas syariah adalah bagian dari lembaga
keuangan syariah yang bersangkutan, dan penempatannya atas persetujuan dewan
syariah nasional (DSN).
Keberadaan
dewan syaraih nasional (DSN) dan dewan pengawas syariah (DPS) yang dijamin oleh
undang-undang Nomor 10 tahun 1998 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1992 tentang perbankan masih harus dilengkapi dengan petunjuk pelaksanaan
(JUKLAK) dan petunjuk Teknis (JUKNIS). Hal ini dianggap penting agar para
anggota dewan pengawas syariah yang ditempatkan di lembaga keuangan syariah
dapat berkerja dengan lebih efektif dan efisien, sehingga jalannya perusahaan
dapat secara murni sesuai dengan prinsip syariah.[6]
3.
Kedudukan
Dewan Pengawas Syariah
Keputusan
DSN-MUI No. 01 tahun 2000 tentang Pedoman Dasar Dewan Syariah Nasional, Dewan
Pengawas Syariah (DPS) adalah badan yang ada di lembaga keuangan syariah dan bertugas
mengawasi pelaksanaan keputusan Dewan Syariah Nasional (DSN).
Lembaga
keuangan syariah adalah setiap lembaga yang kegiatan usahanya di bidang
keuangan yang didasarkan pada syariah atau hukum Islam, seperti perbankan,
reksadana, takaful, dan sebagainya (Keputusan DSN-MUI No. 03 tahun 2000). Keputusan
Menteri Koperasi dan UKM No. 91 tahun 2004 menyebutkan dalam ketentuan umum
pasal 1 poin ke-19 bahwa Dewan Pengawas Syariah adalah dewan yang dipilih oleh
koperasi yang bersangkutan berdasarkan keputusan rapat anggota dan
beranggotakan alim ulama yang ahli dalam syariah yang menjalankan fungsi dan tugas
sebagai pengawas syariah pada koperasi yang bersangkutan dan berwenang
memberikan tanggapan atau penafsiran terhadap fatwa yang dikeluarkan Dewan
Syariah Nasional.
Kedudukan
DPS dalam LKS sebagaimana diatur dalam Keputusan DSN-MUI No. 03 Tahun 2000
tentang Petunjuk Pelaksanaan Penetapan Anggota Dewan Pengawas Syariah pada Lembaga
Keuangan Syariah adalah sebagai perpanjangan tangan mewakili DSN dalam mengawasi
pelaksanaan fatwa-fatwa DSN di LKS. Kewajiban Lembaga Keuangan Syariah terhadap
DPS adalah menyediakan ruang kerja dan fasilitas lain yang diperlukan DPS serta
membantu kelancaran tugas DPS. Dalam Keputusan DSN-MUI No. 03 tahun 2000
tentang Petunjuk Pelaksanaan Penetapan Anggota Dewan Pengawas Syariah di atur
sebagai berikut:
Keanggotaan DPS :
a. Setiap
lembaga keuangan syariah harus memiliki sedikitnya tiga orang anggota DPS.
b. Salah
satu dari jumlah tersebut ditetapkan sebagai ketua.
c. Masa
tugas anggota DPS adalah 4 (empat) tahun dan akan mengalami pergantian antar
waktu apabila meninggal dunia, minta berhenti, diusulkan oleh lembaga keuangan
syariah yang bersangkutan, atau telah merusak citra DSN.
Syarat
Anggota DPS :
a.
Memiliki akhlak
karimah
b.
Memiliki kompetensi
kepakaran di bidang syariah mu’amalah dan pengetahuan di bidang perbankan
dan/atau keuangan secara umum.
c.
Memiliki
komitmen untuk mengembangkan keuangan berdasarkan syariah.
d.
Memiliki
kelayakan sebagai pengawas syariah yang dibuktikan dengan surat/sertifikat dari
DSN.
Prosedur
Penetapan Anggota DPS :
a. Lembaga
keuangan syariah mengajukan permohonan penempatan anggota DPS kepada DSN.
Permohonan tersebut dapat disertai usulan nama calon DPS.
b. Permohonan
tersebut dibahas dalam rapat BPH-DSN.
c. Hasil
rapat BPH-DSN kemudian dilaporkan kepada pimpinan DSN.
d. Pimpinan
DSN menetapkan nama-nama yang diangkat sebagai anggota DPS.
Keputusan Menteri Koperasi & UKM
tentang KJKS tidak mengatur
mengenai syarat menjadi Dewan Pengawas Syariah, yang diatur dalam aturan tersebut hanyalah mengenai
pengangkatannya dipilih
dari dan oleh anggota Koperasi dalam Rapat Anggota. Bahkan dalam keputusan tersebut juga tidak mengharuskan DPS
untuk memiliki sertifikasi kelayakan atau rekomendasi dari
DSN MUI untuk menjadi pengawas
syariah. Sedangkan dalam UU Koperasi No. 25 Tahun
1992 juga tidak mengatur hal tersebut, pengaturan mengenai pengawas dalam UU ini juga masih bersifat umum,
tidak secara khusus mengatur
mengenai pengawas syariah. Kedudukan pengawas pada
koperasi bertanggung jawab kepada Rapat Anggota.
4.
Peran
Dewan Pengawas Syariah
Salah
satu yang membedakan antara lembaga keuangan syariah dengan lembaga keuangan
konvensional adalah keberadaan DPS pada lembaga keuangan syariah. DPS memegang
peran penting untuk memastikan bahwa lembaga keuangan syariah tidak melakukan penyimpangan
terhadap prinsip-prinsip syariah. Tugas utama DPS dalam Keputusan DSN No. 03
Tahun 2000 adalah mengawasi kegiatan usaha lembaga keuangan syariah agar sesuai
dengan ketentuan dan prinsip syariah yang telah difatwakan oleh Dewan Syariah
Nasional. Sedangkan Fungsi utamanya adalah:
a. Sebagai
penasehat dan pemberi saran kepada direksi, pimpinan unit usaha syariah dan
pimpinan kantor cabang syariah mengenai hal-hal yang terkait dengan aspek
syariah.
b. Sebagai
mediator antara lembaga keuangan syariah dengan DSN dalam mengkomunikasikan
usul dan saran pengembangan produk dan jasa dari lembaga keuangan syariah yang
memerlukan kajian dan fatwa dari DSN.
Dilihat dari tugas dan fungsi utama, maka peran DPS
terhadap LKS adalah:
a. Melakukan
pengawasan atas perencanaan dan operasional lembaga keuangan syariah;
b. Memberi
nasihat dan saran kepada LKS mengenai hal-hal yang terkait dengan syariah;
c. Memberikan
opini syariah;
d. Mediator
hubungan antara BMT dengan DSN terutama dalam setiap upaya pengembangan produk
dan jasa yang perlu mendapatkan fatwa dari DSN;
Opini
syariah adalah pendapat kolektif dari DPS yang telah dibahas secara cermat dan
mendalam mengenai kedudukan / ketentuan syar’i yang berkaitan dengan produk
atau aktifitas LKS. Opini syariah dapat dijadikan pedoman sementara sebelum
adanya fatwa DSN mengenai masalah tersebut.
Pada
UU No. 25 tentang Koperasi, tugas pengawas adalah melakukan pengawasan terhadap
pelaksanaan dan pengelolaan Koperasi dan membuat laporan tertulis tentang hasil
pengawasannya (Pasal 39 ayat (1)). Dalam rangka melaksanakan tugasnya, pengawas
memiliki kewenangan meneliti catatan yang ada pada Koperasi dan mendapat segala
keterangan yang diperlukan (Pasal 39 ayat (2)). Pada Keputusan Menteri Koperasi
& UKM No. 91 tahun 2004 menyebutkan tugas Dewan Pengurus Syariah melakukan
pengawasan pelaksanaan usaha Koperasi Jasa Keuangan Syariah / Unit Jasa Keuangan
Syariah berdasarkan prinsip-prinsip syaria dan melaporkan hasil pengawasannya
kepada pejabat (Pasal 32).
5. Tugas
dan Fungsi Dewan Pengawas Syariah
Tugas dewan pengawas syariah pastilah
sangat berat, karena memang tidak mudah menjadi lembaga yang harus mengawasi
dan bersifat menjamin operasi sebuah entitas bisnis dalam kontek yang amat luas
dan komplek yang secara umum memasuki ranah-ranah khilafiyah. Karena menyangkut
urusan-urusan muamalah dimana ruang interprestasinya sangat lah luas. Dewan
pengawas syariah bertugas mengawasi operasional bank dan produk-produknya agar
tidak menyimpang dari garis syariah.[7]
Mengenai tugas, wewenang, dan tanggung
jawab DPS tersebut menurut ketentuan pasal 27 PBI No. 6/24/PBI/2004 peraturan
bank Indonesia adalah sebagai berikut11:
a. Memastikan
dan mengawasi kesesuaian kegiatan operasional bank terhadap fatwa yang
dikeluarkan oleh DSN .
b. Menilai
aspek syariah terhadap pedoman operasional, dan produk yang dikeluarkan bank.
c. Memberikan
opini dari aspek syariah terhadap pelaksanaan operasional bank secara
keseluruhan dan laporan publikasi bank.
d. Menyampaikan
laporan hasil pengawasan syariah sekurang-kurangnya setiap 6 (enam) bulan
kedepan direksi, komasaris, Dewan Syariah Nasional dan Bank Indonesia.[8]
Dalam melakukan pengawasannya setiap
anggota dewan pengawas syariah harus memiliki kualifikasi keilmuan yang
integral, yaitu ilmu fiqh muamalah dan ilmu ekonomi keuangan Islam modern.
Kesalahan besar saat ini adalah pengangkatan DPS hanya dilihat dari kharisma
dan kepopulerannya di tengah masyarakat, bukan karena keilmuannya di bidang
ekonomi dan perbankan syari’ah. Masih banyak anggota DPS yang belum mengerti
tentang teknis perbankan dan LKS, apalagi ilmu ekonomi keuangan Islam, seperti
akuntansi, akibatnya pengawasan dan peran-peran strategis lainnya sangat tidak
optimal. DPS juga harus memahami ilmu yang terkait dengan perbankan syariah
seperti ilmu ekonomi moneter, misalnya dampak bunga terhadap investasi,
produksi, un employment. Dampak bunga terhadap inflasi dan volatilitas
currency, dengan memahami ini, maka tidak ada lagi ulama yang menyamakan
margin jual beli murabahah dengan bunga. Tetapi faktanya, masih banyak ulama
yang tidak bisa membedakan margin murabahah dengan bunga, karena minimnya ilmu
yang mereka miliki. Karena pengangkatan DPS bukan didasarkan pada keilmuannya,
maka sudah bisa dipastikan, fungsi pengawasan DPS tidak optimal, akibatnya penyimpangan
dan praktek syariah menjadi hal yang mungkin dan sering terjadi.
Fungsi utama dewan pengawas syariah
adalah12:
a. Sebagai
penesehat dan pemberi saran kepada direksi, pimpinan unit usaha syariah, dan
pimpinan kantor cabang syariah mengenai hal-hal yang terkait dengan aspek
syariah.
b. Sebagai
mediator antara lembaga keuangan syariah dengan dewan syariah nasional dalam
mengomunikasikan usul dan saran pengembangan produk dan jasa dari lembaga
keuangan syariah yang memerlukan kajian dan fatwa dari dewan syariah nasional
(DSN).
c. DPS
melakukan pengawasan secara periodic pada lembaga keuangan syariah yang berada
di bawah pengawasannya.
d. DPS
berkewajiban mengajukan usul-usul pengembangan lembaga keuangan syariah kepada
pimpinan lembaga yang bersangkutan dan kepada DSN.
e. DPS
merumuskan permasalahan-permasalahan yang memerlukan pembahasan DSN.[9]
Untuk melakukan fungsi pengawasan
tersebut, anggota DPS harus memiliki kualifikasi keilmuan yang integral, yaitu
ilmu fiqih muamalat dan ilmu ekonomi keuangan Islam modern, bukan karena
kharisma dan kepopulerannya ditengah masyarakat. Jika pengangkatan DPS bukan didasarkan
pada keilmuannya, maka fungsi pengawasan DPS tidak akan efektif sehingga dapat
menyebabkan terjadinya penyimpangan praktek syariah.
Idealnya, salah satu celah yang sampai
saat ini sering kali menjadi sumber pelanggaran prinsip syariah dalam praktik
perbankan Islam atau lembaga keuangan Islam lainnya adalah fatwa yang
diterbitkan oleh DSNMUI terkait berbagai perkara perbankan Islam masih bersifat
terlalu umum. Padahal, produk perbankan Islam atau lembaga keuangan Islam yang
ditawarkan kepada masyarakat biasanya sangat spesifik yang dilengkapi dengan
skema-skema yang telah mengalami banyak modifikasi dari akad dasarnya. Sebagai
contoh, DSN-MUI hanya menetapkan fatwa mengenai hukum rahn (gadai) emas,
namun tidak menetapkan fatwa spesifik terkait produk gadai emas yang marak
ditawarkan oleh berbagai bank Islam atau lembaga keuangan Islam di Indonesia.
Dalam penerapan di lapangan, praktik gadai emas biasanya dimodifikasi oleh bank
Islam menjadi kebun emas di mana akad gadai emas digabungkan dengan akad jual
beli emas secara tangguh. Transaksi tersebut sanagat berpotensi melanggar
ketentuan syariah terkait dengan hukum jual beli emas. Namun,bank Islam tetap
meneruskan produk tersebut karena menganggap produk gadai emas yang di-budling
dengan jual beli emas diperbolehkan oleh DSN-MUI.
Dalam kasus lainnya, sering kali terjadi
perbedaan pendapat antara DSN-MUI, sebagai otoritas fatwa, dengan BI, sebagai
otoritas regulator, dalam memandang suatu perkara. Pada kasus gadai emas di
atas, BI memandang bahwa praktik gadai emas yang dilakukan oleh bank Islam sangat
berpotensi menimbulkan eksposur risiko yang cukup tinggi dan dianggap
membahayakan industri perbankan Islam di Indonesi. Namun, karena Dalam
memandang suatu perkara. Pada kasus gadai emas di atas, BI memandang bahwa
praktik gadai emas yang dilakukan oleh bank Islam sangat berpotensi menimbulkan
eksposur risiko yang cukup tinggi dan dianggap membahayakan industri perbankan
Islam di Indonesi. Namun, karena DSN-MUI tidak mengeluarkan fatwa yang spesifik
terkait produk tersebut, ruang gerak BI untuk membuat peraturan menjadi
terbatas. Oleh karena itu, mekanisme koordinasi antara DSN-MUI dan BI dalam menetapkan
DSN-MUI tidak mengeluarkan fatwa yang spesifik terkait produk tersebut, ruang
gerak BI untuk membuat peraturan menjadi terbatas. Oleh karena itu, mekanisme
koordinasi antara DSN-MUI dan BI dalam menetapkan suatu kebijakan (fatwa dan
regulasi) perbankan Islam atau lembaga keuangan Islam mutlak harus
disempurnakan.[10]
Maka, diperlukanlah pengawasan yang
optimal bertujuan untuk memastikan bahwa setiap pegawai yang memiliki tanggung
jawab bisa melaksanakannya dengan sebaik mungkin. Kinerja mereka dikontrol dengan
sistem operasional dan prosedur yang berlaku, sehingga dapat disingkap
keselahan dan penyimpangan. Selanjutnya, diberikan tindakan korektif ataupun
arahan kepada pakem yang berlaku. Untuk menjalankan fungsi ini harus dipahami
aspek psikologi seorang pegawai. Wewenang dan tanggung jawab harus
didelegasikan secara adil sesui dengan kompetensi, tidak memberikan beban yang
berlebihan. Sehingga, kinerja mereka jelek dan tidak mampu merealisasikan
tujuan yang telah ditetapkan.[11]
[1] Poerwadarminta,
Kamus Umum Bahasa Indonesia. (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), h. 289.
[2]
Amir Machmud, Rukmana, Bank Syariah Teori, Kebijakan dan Studi Empiris di
Indonesia. (Jakarta: Erlangga, 2010), h. 24.
[3]
Muhammad Firdaus Dkk, Sistem dan Mekanisme Pengawasan Syariah. (Jakarta:
Renaisan, 2007), h. 16.
[4]
Karnaen A.Perwataatmadja, Apa Dan Bagaimana Bank Islam. (Yogyakarta:
Dana Bhakti Wakaf, 1992 ), h.2
[5]
Imam Wahyudi Dkk, Manajemen Risiko Bank Islam. (Jakarta Selatan: Salemba
Empat, 2013), h. 156.
[6] Muhammad
Firdaus Dkk, Op. Cit. h. 14.
[7]
Mustafa Edwin Nasution,Budi Setianto, Nurul Huda, Muhammad Arif Mufraeni dan Bay
Safta Utama, Pengenalan eksklusif Ekonomi Islam, (Jakarta: Kencana
Pranada MediaGrup,2010), h.293
[8]
Wirdyaningsih Dkk, Bank dan Asuransi Islam di Indonesia. (Jakarta:
Kencana Pranada Media, 2005). h.83
[9] Ibid
h.85
[10]Imam Wahyudi
Dkk. Op.Cit. h. 158
[11]
Ahmad Ibrahim Abu Sinn, Manejemen Syariah. (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2008 ), h.179.
Author: Mohammad
Mohammad is the founder of STC Network which offers Web Services and Online Business Solutions to clients around the globe. Read More →
Senin, 18 September 2017
PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARIAH PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DI INDONESIA
Salah satu
asas hukum acara perdata adalah ”hakim wajib mengadili setiap perkara yang
diajukan kepadanya”.[1]
Asas ini bersumber dari ketentuan Pasal 10 Ayat 1 dan 2 UU No. 48 Tahun 2009
yang menyatakan bahwa :
1. Pengadilan tidak boleh menolak untuk
memeriksa, mengadili, dan memutus sesuatu perkara yang diajukan dengan dalih
bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan
mengadilinya
2. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1)
tidak menutup kemungkinan untuk usaha penyelesaian perkara perdata secara
perdamaian.[2]
Ketentuan pasal tersebut dapat dipahami bahwa
terhadap perkara-perkara perdata yang diajukan ke Pengadilan Agama, termasuk
dalam hal ini perkara ekonomi syari’ah yang diajukan ke Pengadilan Agama,
pengadilan tersebut tidak punya pilihan lain selain harus menyelesaikannya.
Tidak boleh menolak mengadili perkara yang diajukan kepadanya dengan alasan
hukum tidak ada atau tidak jelas karena hakim pengadilan justru yang dianggap
tahu hukum (ius curia novit).
Terhadap perkara-perkara yang diajukan ke
Pengadilan Agama, sesuai dengan ketentuan tersebut penyelesaiannya hanya ada
dua kemungkinan, yaitu : Pertama,
diselesaikan melalui perdamaian, atau apabila upaya damai tersebut tidak
berhasil ; Kedua, diselesaikan melalui proses persidangan (litigasi)
1. Penyelesaian
Melalui Mediasi
Suatu
kewajiban hakim apabila menerima suatu perkara adalah mendamaikan kedua belah
pihak dalam hukum acara perdata. Upaya damai yang harus dilakukan hakim dalam
rangka penyelesaian sengketa syariah khususnya di Pengadilan Agama tertuju pada
Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 01 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan. PERMA No. 01 Tahun 2008
adalah landasan yuridis dalam mengupayakan perdamaian di tingkat pertama.
Adanya PERMA ini membuat hakim lebih proaktif dalam mendorong kedua belah pihak
untuk berdamai, bukan sekedar formalitas saja yang hanya sekedar anjuran selama
ini. Perdamaian atau mediasi wajib dilakukan dan apabila tidak dilaksanakan
akan melanggar ketentuan Pasal 154 R.Bg/130 HIR yang tertuang didalam Pasal 2
ayat (3) PERMA, akibatnya putusan batal demi hukum (van rechtswege nietig).
Pasal 18 ayat (2) PERMA tersebut, baru dibolehkan memeriksa perkara melalui
proses hukum acara perdata biasa, apabila gagal proses mediasi sebagaimana yang
diperintahkan PERMA gagal menghasilkan
kesepakatan.[3]
Tindakan
yang harus dilakukan oleh hakim dalam mengupayakan damai berdasarkan ketentuan
Pasal 7 ayat 1 PERMA No. 1 Tahun 2008 yang berbunyi “Pada hari sidang yang
telah ditentukan yang dihadiri kedua belah pihak, hakim mewajibkan para pihak
untuk menempuh mediasi”. Dari ketentuan pasal tersebut dapat dipahami bahwa
tindakan pertama harus dilakukan oleh seorang hakim adalah mengupayakan
perdamaian di kedua belah pihak. Kemudian apabila tercapai kesepakatan unutuk
menyelesaikan perkara tersebut secara damai, maka kesepakatan itu dituangkan
dalam bentuk perjanjian (akta) perdamaian.[4]
Langkah yang
harus dilakukan hakim adalah mengupayakan perdamaian melalui mediasi sesuai
dengan ketentuan PERMA No. 01 Tahun 2008. Mediasi yang diterapkan dalam sistem
peradilan menurut ketentuan Pasal 1 butir 7 PERMA diartikan “cara penyelesaian
sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak
dengan dibantu oleh mediator.
Mediator
yang dimaksud dalam hal ini adalah:
a.
Penyelesaian sengketa melalui proses perundingan antar para pihak
b. Perundingan
para pihak tersebut dibantu oleh mediator
Kedudukan dan fungsi mediator dalam proses perundingan
tersebut menurut Pasal 1 butir 6 PERMA adalah sebagai pihak yang netral yang
akan membantu para pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai
kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau
memaksakan sebuah penyelesaian tertentu.
Tindakan seorang hakim setelah memerintahkan
para pihak agar terlebih dahulu menempuh proses mediasi adalah menyampaikan
penundaan proses persidangan perkara, hal ini sesuai dengan Pasal 7 ayat (5)
PERMA. Penundaan itu dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada kedua belah
pihak menempuh proses mediasi. Mediasi dilakukan apabila para pihak hadir dalam
persidangan yakni penggugat dan tergugat, namun apabila salah satu pihak
bersengketa tidak hadir upaya damai melalui mediasi tidak dapat dilakukan.[5]
Lamanya
proses penundaan persidangan perkara tersebut adalah selama 40 hari sejak
mediator terpilih atau ditunjuk oleh hakim,Pasal 13 ayat (3) PERMA. Dalam
proses mediasi, ada 2 hal terpenting pula yang harus diketahui yaitu mediasi
mencapai kesepakatan atau tidak mencapai kesepakatan. Apabila mediasi mencapai
kata kesepakatan, maka ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh para pihak,
yaitu:
a. Para
pihak dengan bantuan mediator wajib merumuskan secara tertulis kesepakatan yang
dicapai yang ditandatangi oleh para pihak dan mediator tersebut
b. Jika
dalam proses mediasi para pihak diwakili oleh kuasa hukum, para pihak wajib
menyatakan secara tertulis persetujuan atas kesepakatan yang dicapai
c. Para
pihak wajib menghadap kembali kepada hakim pada hari sidang yang telah
ditentukan untuk memberitahukan kesepakatan perdamaian
d. Para pihak dapat mengajukan kesepakatan
perdamaian kepada hakim untuk dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian
e. Jika
tidak, kesepakatan perdamaian harus memuat klausula pencabutan gugatan atau
klausula yang menyatakan perkara telah selesai.[6]
Terhadap
perjanjian perdamaian tersebut, apabila diminta oleh para pihak untuk dijadikan
putusan pengadilan, maka pengadilan agama (hakim) yang bersangkutan akan
menjatuhkan putusan sesuai dengan isi perjanjian tersebut, tanpa menambah atau
menguranginya,dengan diktum (amar) : “Menghukum para pihak untuk menaati dan
melaksanakan isi perjanjian perdamaian tersebut”.[7]
Selanjutnya, apabila mediasi tidak mencapai
kata kesepakatan atau gagal, maka mediator wajib melakukan:
a.
Menyatakan secara tertulis bahwa proses mediasi telah gagal
b.
Memberitahukan kegagalan tersebut kepada hakim.
Setelah pemberitahuan mengenai kegagalan
mediasi tersebut, hakim selanjutnya melanjutkan pemeriksaan perkara sesuai
dengan ketentuan hukum acara yang berlaku.
2. Penyelesaian Melalui Proses Persidangan
(Litigasi)
Di atas
telah dikemukakan bahwa apabila upaya penyelesaian melalui kedua bentuk
perdamaian tersebut tidak berhasil, dimana kedua belah pihak ternyata tidak
menemui kata sepakat untuk menyelesaikan perkaranya secara damai maka sesuai
dengan ketentuan Pasal 155 R.Bg atau Pasal 131 HIR ayat (1) dan (2) jo. Pasal
18 Ayat (2) PERMA hakim harus melanjutkan pemeriksaan perkara tersebut sesuai
dengan ketentuan hukum acara yang berlaku. Dengan demikian, perkara tersebut
akan diperiksa dan diselesaikan melalui proses persidangan (litigasi)
sebagaimana mestinya.[8]
Penyelesaian perkara di Peradilan Agama dilakukan
sesuai dengan ketentuan hukum acara perdata sebagaimana yang berlaku di
lingkungan peradilan umum.[9]
Hal ini sesuai dengan Pasal 54 Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 Tentang
Peradilan Agama, “Hukum acara yang berlaku pada pengadilan agama adalah hukum
acara perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan umum,
kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini”. Hukum acara
perdata tersebut sebagaimana yang berlaku di lingkungan peradilan umum, HIR
(Het Herzeine Inlandsche Reglement) dan R.Bg (Rechts Reglement Buitengewesten)
termasuk ketentuan yang diatur dalam Rv (Reglement of de Rechtsvordering), KUH
Perdata, Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman,
Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 Tentang Mahkamah Agung dan Undang-Undang No. 49
Tahun 2009 Tentang Peradilan Umum serta beberapa peraturan lain yang berkenaan
dengan itu.
Setelah upaya
damai ternyata tidak berhasil maka hakim melanjutkan proses pemeriksaan perkara
tersebut di persidangan sesuai dengan ketentuan hukum perdata dimaksud. Dengan
demikian dalam hal ini proses pemeriksaan perkara tersebut akan berjalan
sebagaimana lazimnya proses pemeriksaan perkara perdata di pengadilan yang
secara umum akan dimulai dengan pembacaan surat gugatan penggugat, lalu disusul
dengan proses menjawab yang akan diawali dengan jawaban dari pihak tergugat, kemudian
replik penggugat, dan terakhir duplik dari pihak tergugat.
Setelah
proses jawab menjawab tersebut selesai, lalu persidangan dilanjutkan dengan
acara pembuktian. Pada tahap pembuktian ini kedua belah pihak beperkara
masing-masing mengajukan bukti-buktinya guna mendukung dalil-dalil yang telah
dikemukakan di persidangan. Setelah masing-masing pihak mengajukan
bukti-buktinya, lalu tahap berikutnya adalah kesimpulan dari para pihak yang
merupakan tahap terakhir dari proses pemeriksaan perkara di persidangan.
Setelah
seluruh tahap pemeriksaan perkara di persidangan selesai, hakim melanjutkan
kerjanya untuk mengambil putusan dalam rangka mengadili atau memberikan
keadilan dalam perkara tersebut. Untuk itu tindakan selanjutnya yang harus
dilakukan hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara tersebut adalah melakukan
konstatir, mengkualifitsir, dan meng-konstituirguna menemukan hukum dan
menegakkan keadilan atas perkara tersebut untuk kemudian disusun dalam suatu
putusan (vonnis)hakim Adapun kerangka kerja dari ketiga hal tersebut sebagai
acuannya paling tidak seperti berikut, yaitu :
a. Mengkonstatir artinya menguji benar tidaknya
peristiwa atau fakta yang diajukan para pihak melalui pembuktian menggunakan
alat-alat bukti yang sah menurut hukum pembuktian. Hal ini harus diuraikan
secara sistematis dalam putusan hakim pada bagian duduk perkaranya. Kerangka
kerja berkaitan dengan hal ini secara garis besar meliputi :
1.
Memeriksa identitas para pihak, termasuk kuasa hukumnya jika ada
2. Mengupayakan perdamaian bagi para pihak
beperkara sesuai dengan ketentuan Pasal 154 R.Bg / 130 HIR dan / atau melalui
upaya mediasi sebagaimana PERMA No. 01 Tahun 2008 seperti diuraikan sebelumnya.
3.
Memeriksa syarat-syarat perkara tersebut sebagai perkara
4.
Memeriksa seluruh fakta atau peristiwa yang dikemukakan para pihak
5.
Memeriksa syarat-syarat dan unsur-unsur setiap fakta atau peristiwa
6. Memeriksa alat-alat bukti yang diajukan di
persidangan sesuai dengan tata cara pembuktian yang diatur dalam hukum acara
perdata
7.
Memeriksa jawaban, sangkalan, keberatan dan bukti-bukti pihak lawan
8.
Mendengar kesimpulan masing-masing pihak
9. Melakukan pemeriksaan di persidangan sesuai
dengan hukum acara yang berlaku
b. Mengkualifisir, artinya menilai peristiwa atau
fakta yang telah terbukti itu termasuk hubungan hukum apa dan menemukan
hukumnya bagi peristiwa yang telah dikonstatir. Hal ini harus diuraikan dalam
putusan hakim pada bagian pertimbangan hukumnya. Kerangka kerja dalam hal ini
secara garis besar meliputi :
1.
Merumuskan pokok perkara tersebut
2.
Mempertimbangkan syarat-syarat formil perkara
3.
Mempertimbangkan beban pembuktian
4. Mempertimbangkan keabsahan peristiwa atau
fakta sebagai fakta hukum
5. Mempertimbangkan
secara logis, kronologis, dan yuridis fakta-fakta hukum menurut hukum pembuktian
6. Mempertimbangkan jawaban, keberatan dan
sangkalansangkalan serta bukti-bukti lawan sesuai hukum pembuktian
7.
Menemukan hubungan hukum peristiwa-peristiwa atau fakta yang terbukti
dengan petitum
8.
Menemukan hukumnya, baik hukum tertulis maupun yang tidak tertulis
dengan menyebutkan sumber-sumbernya (lihat antara lain sumber-sumber hukum
materiil setelah pembahasan ini)
9. Mempertimbangkan biaya perkara.[10]
c. Mengkonstituir artinya menetapkan hukum atas
perkara tersebut. Dalam hal ini hakim :
1.
Menetapkan hukum atas perkara tersebut dalam amar putusannya
2.
Mengadili sebatas petitum yang ada, kecuali ditentukan lain oleh
undang-undang
3.
Menetapkan biaya perkara
Demikian
secara garis besar prosedur pemeriksaan perkara ekonomi syari’ah di pengadilan
agama sesuai dengan ketentuan hukum acara yang berlaku.[11]
Untuk itu tindakan selanjutnya yang harus
dilakukan hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara tersebut adalah melakukan
konstatir, mengkualifitsir, dan meng-konstituir guna menemukan hukum dan
menegakkan keadilan atas perkara tersebut untuk kemudian disusun dalam suatu
putusan (vonis)hakim.
[1] A. Mukti Arto,
Praktik Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, 1996), h. 13.
[2] Ibid,
h. 22
[3]
Syahril Abbas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat Dan Hukum Nasional,
(Jakarta: Kencana, 2011) h. 54
[4] Ibid,
h. 54
[5]
Syahril Abbas, Mediasi Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat Dan Hukum Nasional,
(Jakarta: Prenada Media Group, 2011), h. 311
[6] Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2007) h. 100
[7] M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan
Eksekusi Bidang Perdata, (Jakarta : Gramedia, 1989), h.277.
[8] Opcit,
h. 105
[9] Roihan
A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta, Rajawali Pers, 2007)
h. 10
[10] Ibid,
h. 139.
[11] A. Mukti Arto, Praktik Perkara Perdata Pada
Pengadilan Agama, (Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, ), hal. 33, 36-37.
Author: Mohammad
Mohammad is the founder of STC Network which offers Web Services and Online Business Solutions to clients around the globe. Read More →
Langganan:
Postingan (Atom)
0 komentar: