Selasa, 26 September 2017
DEWAN PENGAWAS SYARIAH BAITUL MAAL WA TANWIL
1.
Pengertian
Pengawas Syariah
Dalam
kamus bahasa Indonesia kata “dewan” adalah badan yang terdiri dari beberapa
orang yang perkerjaannya memutuskan sesuatu dengan jalan berunding, pengawas
berasal dari kata awas yang berarti pengawas.[1]
Sedangkan “syariah” adalah komponen ajaran Islam yang mengatur tentang
kehidupan seorang muslim baik dari bidang ibadah (habluminallah) maupun
dalam bidang muamalah (hablumminannas) yang merupakan aktualisasi akidah
yang menjadi keyakinannya. Sementara muamalah sendiri meliputi berbagai bidang
kehidupan antara lain yang menyangkut ekonomi atau harta dan perniagaan disebut
muamalah maliyah.[2]
Dewan
pengawas syariah adalah suatu badan yang bertugas mengawasi pelaksanaan
keputusan DSN di lembaga keuangan syariah. DPS diangkat dan diberhentikan di
lembaga keuangan syariah melalui RUPS setelah mendapat rekomendasi dari DSN.[3]
Dewan
Pengawas Syariah atau yang lebih dikenal sebagai DPS merupakan badan yang ada
di lembaga keuangan syariah dan bertugas mengawasi pelaksanaan keputusan Dewan
Syariah Nasional di lembaga keuangan syariah. Dewan Pengawas Syariah ini
berkedudukan di bawah Rapat Umum Pengawas Syariah atau sejajar dengan Dewan
Komisaris di dalam struktur suatu Bank Syariah atau lembaga keuangan syariah.
Tugas utama Dewan Pengawas Syariah adalah mengawasi kegiatan usaha lembaga
keuangan syari`ah agarsesuai dengan ketentuan dan prinsip syari`ah yang telah
difatwakan oleh Dewan Syariah Nasional. Fungsi utama Dewan Pengawas Syariah
adalah sebagai penasehat dan pemberi saran kepada direksi, pimpinan unit usaha
syari`ah dan pimpinan kantor cabang syari`ah mengenai hal-hal yang terkait
dengan aspek syari`ah dan sebagai mediator antara lembaga keuangan syariah
dengan Dewan Syariah Nasional dalam mengkomunikasikan usul dan saran
pengembangan produk dan jasa dari lembaga keuangan syariah yang memerlukan
kajian dan fatwa dari Dewan Syariah Nasional. Posisi Dewan Pengawas Syariah
adalah wakil Dewan Syariah Nasional dalam mengawasi pelaksanaan fatwa-fatwa
Dewan Syariah Nasional di lembaga keuangan syariah yang bersangkutan.
Didunia
perbankan atau lembaga-lembaga keuangan lainnya yang membedakan antara lembaga
keuangan syariah dan lembaga keuangan konvensional adalah adanya kepastian
pelaksanaan prinsip-prinsip syariah dalam operasionalnya. Untuk menjamin
operasi lembaga keuangan syariah tidak menyimpang dari tuntunan syariat, maka pada
setiap lembaga Islam hanya diangkat manager dan pimpinan lembaga yang sedikit
banyak menguasai prinsip muamalah Islam. Selain dari pada itu di lembaga ini
dibentuk Dewan Pengawas Syariah yang bertugas mengawasi operasional bank atau
lembaga keuangan dari sudut syariahnya.[4]
Menurut
UU No. 21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah atau lembaga keuangan syariah,
setiap bank Islam atau lembaga keuangan Islam di indonesia, Bank Umum Syariah
(BUS) maupun Unit Usaha Syariah (UUS), wajib membentuk Dewan Pengawas Syariah,
yang secara umum bertugas untuk memberikan nasihat serta saran kepada direksi
serta mengawasi kegiatan bank agar tidak melenceng dari prinsip syariah.[5]
2.
Sejarah
Pembentukan Dewan Pengawas Syariah
Sekitar
tahun 1999-an perhatian umat Islam di indonesia terhadap ajaran ekonomi yang
berdasarkan syariah mulai tumbuhdan berkembang. Melihat kenyatan seperti itu
MUI bersama instusi lain, terutama bank Indonesia, memberikan respon positif
dan bersifat proaktif. Salah satu hasilnya adalah kelahiran bank Muamalat
indonesia 1992 sebagai bank yang pertama di Indonesia yang berbasiskan syariah
dalam kegiatan transaksinya. Kelahiran bank syariah diikuti dengan bank-bank
lain, baik yang bentuk full branch maupun yang hanya berbentuk divisi atau unit
usaha syariah. Tak ketinggalan lembaga keuangan lainnya seperti asuransi
syariah takaful, dhompet dhuafa, BPRS, BMT yang terus bermunculan.
Untuk
lebih meningkatkan khidmah dan memenuhi harapan umat yang semakin besar. MUI
pada fabruari 1999 telah membentuk DSN. Lembga ini yang beranggotakan para ahli
hukum Islam (fuqaha’) serta ahli dan prktisi ekonomi, terutama sektor
keuangan, baik bank maupun nonbank, berfungsi untuk melaksanakan tugas-tugas
MUI dalam mendorong dan memajukan ekonomi umat.
Dalam
upaya memurnikan pelayanan instistusi keuangan syariah agar benar-benar sejalan
dengan ketentuan syariah Islam maka, dibentuk lah dewan pengawas syariah. Yang
mana keberadaan dewan pengawas syariah mutlak diperlukan. DPS merupakan lembaga
kunci yang menjamin bahwa kegiatan opersional institusi keuangan syariah sesui
dengan prinsip-prinsip syariah. Merujuk pada surat keputusan Dewan Syariah
Nasional No.3 tahun 2000, dewan pengawas syariah adalah bagian dari lembaga
keuangan syariah yang bersangkutan, dan penempatannya atas persetujuan dewan
syariah nasional (DSN).
Keberadaan
dewan syaraih nasional (DSN) dan dewan pengawas syariah (DPS) yang dijamin oleh
undang-undang Nomor 10 tahun 1998 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1992 tentang perbankan masih harus dilengkapi dengan petunjuk pelaksanaan
(JUKLAK) dan petunjuk Teknis (JUKNIS). Hal ini dianggap penting agar para
anggota dewan pengawas syariah yang ditempatkan di lembaga keuangan syariah
dapat berkerja dengan lebih efektif dan efisien, sehingga jalannya perusahaan
dapat secara murni sesuai dengan prinsip syariah.[6]
3.
Kedudukan
Dewan Pengawas Syariah
Keputusan
DSN-MUI No. 01 tahun 2000 tentang Pedoman Dasar Dewan Syariah Nasional, Dewan
Pengawas Syariah (DPS) adalah badan yang ada di lembaga keuangan syariah dan bertugas
mengawasi pelaksanaan keputusan Dewan Syariah Nasional (DSN).
Lembaga
keuangan syariah adalah setiap lembaga yang kegiatan usahanya di bidang
keuangan yang didasarkan pada syariah atau hukum Islam, seperti perbankan,
reksadana, takaful, dan sebagainya (Keputusan DSN-MUI No. 03 tahun 2000). Keputusan
Menteri Koperasi dan UKM No. 91 tahun 2004 menyebutkan dalam ketentuan umum
pasal 1 poin ke-19 bahwa Dewan Pengawas Syariah adalah dewan yang dipilih oleh
koperasi yang bersangkutan berdasarkan keputusan rapat anggota dan
beranggotakan alim ulama yang ahli dalam syariah yang menjalankan fungsi dan tugas
sebagai pengawas syariah pada koperasi yang bersangkutan dan berwenang
memberikan tanggapan atau penafsiran terhadap fatwa yang dikeluarkan Dewan
Syariah Nasional.
Kedudukan
DPS dalam LKS sebagaimana diatur dalam Keputusan DSN-MUI No. 03 Tahun 2000
tentang Petunjuk Pelaksanaan Penetapan Anggota Dewan Pengawas Syariah pada Lembaga
Keuangan Syariah adalah sebagai perpanjangan tangan mewakili DSN dalam mengawasi
pelaksanaan fatwa-fatwa DSN di LKS. Kewajiban Lembaga Keuangan Syariah terhadap
DPS adalah menyediakan ruang kerja dan fasilitas lain yang diperlukan DPS serta
membantu kelancaran tugas DPS. Dalam Keputusan DSN-MUI No. 03 tahun 2000
tentang Petunjuk Pelaksanaan Penetapan Anggota Dewan Pengawas Syariah di atur
sebagai berikut:
Keanggotaan DPS :
a. Setiap
lembaga keuangan syariah harus memiliki sedikitnya tiga orang anggota DPS.
b. Salah
satu dari jumlah tersebut ditetapkan sebagai ketua.
c. Masa
tugas anggota DPS adalah 4 (empat) tahun dan akan mengalami pergantian antar
waktu apabila meninggal dunia, minta berhenti, diusulkan oleh lembaga keuangan
syariah yang bersangkutan, atau telah merusak citra DSN.
Syarat
Anggota DPS :
a.
Memiliki akhlak
karimah
b.
Memiliki kompetensi
kepakaran di bidang syariah mu’amalah dan pengetahuan di bidang perbankan
dan/atau keuangan secara umum.
c.
Memiliki
komitmen untuk mengembangkan keuangan berdasarkan syariah.
d.
Memiliki
kelayakan sebagai pengawas syariah yang dibuktikan dengan surat/sertifikat dari
DSN.
Prosedur
Penetapan Anggota DPS :
a. Lembaga
keuangan syariah mengajukan permohonan penempatan anggota DPS kepada DSN.
Permohonan tersebut dapat disertai usulan nama calon DPS.
b. Permohonan
tersebut dibahas dalam rapat BPH-DSN.
c. Hasil
rapat BPH-DSN kemudian dilaporkan kepada pimpinan DSN.
d. Pimpinan
DSN menetapkan nama-nama yang diangkat sebagai anggota DPS.
Keputusan Menteri Koperasi & UKM
tentang KJKS tidak mengatur
mengenai syarat menjadi Dewan Pengawas Syariah, yang diatur dalam aturan tersebut hanyalah mengenai
pengangkatannya dipilih
dari dan oleh anggota Koperasi dalam Rapat Anggota. Bahkan dalam keputusan tersebut juga tidak mengharuskan DPS
untuk memiliki sertifikasi kelayakan atau rekomendasi dari
DSN MUI untuk menjadi pengawas
syariah. Sedangkan dalam UU Koperasi No. 25 Tahun
1992 juga tidak mengatur hal tersebut, pengaturan mengenai pengawas dalam UU ini juga masih bersifat umum,
tidak secara khusus mengatur
mengenai pengawas syariah. Kedudukan pengawas pada
koperasi bertanggung jawab kepada Rapat Anggota.
4.
Peran
Dewan Pengawas Syariah
Salah
satu yang membedakan antara lembaga keuangan syariah dengan lembaga keuangan
konvensional adalah keberadaan DPS pada lembaga keuangan syariah. DPS memegang
peran penting untuk memastikan bahwa lembaga keuangan syariah tidak melakukan penyimpangan
terhadap prinsip-prinsip syariah. Tugas utama DPS dalam Keputusan DSN No. 03
Tahun 2000 adalah mengawasi kegiatan usaha lembaga keuangan syariah agar sesuai
dengan ketentuan dan prinsip syariah yang telah difatwakan oleh Dewan Syariah
Nasional. Sedangkan Fungsi utamanya adalah:
a. Sebagai
penasehat dan pemberi saran kepada direksi, pimpinan unit usaha syariah dan
pimpinan kantor cabang syariah mengenai hal-hal yang terkait dengan aspek
syariah.
b. Sebagai
mediator antara lembaga keuangan syariah dengan DSN dalam mengkomunikasikan
usul dan saran pengembangan produk dan jasa dari lembaga keuangan syariah yang
memerlukan kajian dan fatwa dari DSN.
Dilihat dari tugas dan fungsi utama, maka peran DPS
terhadap LKS adalah:
a. Melakukan
pengawasan atas perencanaan dan operasional lembaga keuangan syariah;
b. Memberi
nasihat dan saran kepada LKS mengenai hal-hal yang terkait dengan syariah;
c. Memberikan
opini syariah;
d. Mediator
hubungan antara BMT dengan DSN terutama dalam setiap upaya pengembangan produk
dan jasa yang perlu mendapatkan fatwa dari DSN;
Opini
syariah adalah pendapat kolektif dari DPS yang telah dibahas secara cermat dan
mendalam mengenai kedudukan / ketentuan syar’i yang berkaitan dengan produk
atau aktifitas LKS. Opini syariah dapat dijadikan pedoman sementara sebelum
adanya fatwa DSN mengenai masalah tersebut.
Pada
UU No. 25 tentang Koperasi, tugas pengawas adalah melakukan pengawasan terhadap
pelaksanaan dan pengelolaan Koperasi dan membuat laporan tertulis tentang hasil
pengawasannya (Pasal 39 ayat (1)). Dalam rangka melaksanakan tugasnya, pengawas
memiliki kewenangan meneliti catatan yang ada pada Koperasi dan mendapat segala
keterangan yang diperlukan (Pasal 39 ayat (2)). Pada Keputusan Menteri Koperasi
& UKM No. 91 tahun 2004 menyebutkan tugas Dewan Pengurus Syariah melakukan
pengawasan pelaksanaan usaha Koperasi Jasa Keuangan Syariah / Unit Jasa Keuangan
Syariah berdasarkan prinsip-prinsip syaria dan melaporkan hasil pengawasannya
kepada pejabat (Pasal 32).
5. Tugas
dan Fungsi Dewan Pengawas Syariah
Tugas dewan pengawas syariah pastilah
sangat berat, karena memang tidak mudah menjadi lembaga yang harus mengawasi
dan bersifat menjamin operasi sebuah entitas bisnis dalam kontek yang amat luas
dan komplek yang secara umum memasuki ranah-ranah khilafiyah. Karena menyangkut
urusan-urusan muamalah dimana ruang interprestasinya sangat lah luas. Dewan
pengawas syariah bertugas mengawasi operasional bank dan produk-produknya agar
tidak menyimpang dari garis syariah.[7]
Mengenai tugas, wewenang, dan tanggung
jawab DPS tersebut menurut ketentuan pasal 27 PBI No. 6/24/PBI/2004 peraturan
bank Indonesia adalah sebagai berikut11:
a. Memastikan
dan mengawasi kesesuaian kegiatan operasional bank terhadap fatwa yang
dikeluarkan oleh DSN .
b. Menilai
aspek syariah terhadap pedoman operasional, dan produk yang dikeluarkan bank.
c. Memberikan
opini dari aspek syariah terhadap pelaksanaan operasional bank secara
keseluruhan dan laporan publikasi bank.
d. Menyampaikan
laporan hasil pengawasan syariah sekurang-kurangnya setiap 6 (enam) bulan
kedepan direksi, komasaris, Dewan Syariah Nasional dan Bank Indonesia.[8]
Dalam melakukan pengawasannya setiap
anggota dewan pengawas syariah harus memiliki kualifikasi keilmuan yang
integral, yaitu ilmu fiqh muamalah dan ilmu ekonomi keuangan Islam modern.
Kesalahan besar saat ini adalah pengangkatan DPS hanya dilihat dari kharisma
dan kepopulerannya di tengah masyarakat, bukan karena keilmuannya di bidang
ekonomi dan perbankan syari’ah. Masih banyak anggota DPS yang belum mengerti
tentang teknis perbankan dan LKS, apalagi ilmu ekonomi keuangan Islam, seperti
akuntansi, akibatnya pengawasan dan peran-peran strategis lainnya sangat tidak
optimal. DPS juga harus memahami ilmu yang terkait dengan perbankan syariah
seperti ilmu ekonomi moneter, misalnya dampak bunga terhadap investasi,
produksi, un employment. Dampak bunga terhadap inflasi dan volatilitas
currency, dengan memahami ini, maka tidak ada lagi ulama yang menyamakan
margin jual beli murabahah dengan bunga. Tetapi faktanya, masih banyak ulama
yang tidak bisa membedakan margin murabahah dengan bunga, karena minimnya ilmu
yang mereka miliki. Karena pengangkatan DPS bukan didasarkan pada keilmuannya,
maka sudah bisa dipastikan, fungsi pengawasan DPS tidak optimal, akibatnya penyimpangan
dan praktek syariah menjadi hal yang mungkin dan sering terjadi.
Fungsi utama dewan pengawas syariah
adalah12:
a. Sebagai
penesehat dan pemberi saran kepada direksi, pimpinan unit usaha syariah, dan
pimpinan kantor cabang syariah mengenai hal-hal yang terkait dengan aspek
syariah.
b. Sebagai
mediator antara lembaga keuangan syariah dengan dewan syariah nasional dalam
mengomunikasikan usul dan saran pengembangan produk dan jasa dari lembaga
keuangan syariah yang memerlukan kajian dan fatwa dari dewan syariah nasional
(DSN).
c. DPS
melakukan pengawasan secara periodic pada lembaga keuangan syariah yang berada
di bawah pengawasannya.
d. DPS
berkewajiban mengajukan usul-usul pengembangan lembaga keuangan syariah kepada
pimpinan lembaga yang bersangkutan dan kepada DSN.
e. DPS
merumuskan permasalahan-permasalahan yang memerlukan pembahasan DSN.[9]
Untuk melakukan fungsi pengawasan
tersebut, anggota DPS harus memiliki kualifikasi keilmuan yang integral, yaitu
ilmu fiqih muamalat dan ilmu ekonomi keuangan Islam modern, bukan karena
kharisma dan kepopulerannya ditengah masyarakat. Jika pengangkatan DPS bukan didasarkan
pada keilmuannya, maka fungsi pengawasan DPS tidak akan efektif sehingga dapat
menyebabkan terjadinya penyimpangan praktek syariah.
Idealnya, salah satu celah yang sampai
saat ini sering kali menjadi sumber pelanggaran prinsip syariah dalam praktik
perbankan Islam atau lembaga keuangan Islam lainnya adalah fatwa yang
diterbitkan oleh DSNMUI terkait berbagai perkara perbankan Islam masih bersifat
terlalu umum. Padahal, produk perbankan Islam atau lembaga keuangan Islam yang
ditawarkan kepada masyarakat biasanya sangat spesifik yang dilengkapi dengan
skema-skema yang telah mengalami banyak modifikasi dari akad dasarnya. Sebagai
contoh, DSN-MUI hanya menetapkan fatwa mengenai hukum rahn (gadai) emas,
namun tidak menetapkan fatwa spesifik terkait produk gadai emas yang marak
ditawarkan oleh berbagai bank Islam atau lembaga keuangan Islam di Indonesia.
Dalam penerapan di lapangan, praktik gadai emas biasanya dimodifikasi oleh bank
Islam menjadi kebun emas di mana akad gadai emas digabungkan dengan akad jual
beli emas secara tangguh. Transaksi tersebut sanagat berpotensi melanggar
ketentuan syariah terkait dengan hukum jual beli emas. Namun,bank Islam tetap
meneruskan produk tersebut karena menganggap produk gadai emas yang di-budling
dengan jual beli emas diperbolehkan oleh DSN-MUI.
Dalam kasus lainnya, sering kali terjadi
perbedaan pendapat antara DSN-MUI, sebagai otoritas fatwa, dengan BI, sebagai
otoritas regulator, dalam memandang suatu perkara. Pada kasus gadai emas di
atas, BI memandang bahwa praktik gadai emas yang dilakukan oleh bank Islam sangat
berpotensi menimbulkan eksposur risiko yang cukup tinggi dan dianggap
membahayakan industri perbankan Islam di Indonesi. Namun, karena Dalam
memandang suatu perkara. Pada kasus gadai emas di atas, BI memandang bahwa
praktik gadai emas yang dilakukan oleh bank Islam sangat berpotensi menimbulkan
eksposur risiko yang cukup tinggi dan dianggap membahayakan industri perbankan
Islam di Indonesi. Namun, karena DSN-MUI tidak mengeluarkan fatwa yang spesifik
terkait produk tersebut, ruang gerak BI untuk membuat peraturan menjadi
terbatas. Oleh karena itu, mekanisme koordinasi antara DSN-MUI dan BI dalam menetapkan
DSN-MUI tidak mengeluarkan fatwa yang spesifik terkait produk tersebut, ruang
gerak BI untuk membuat peraturan menjadi terbatas. Oleh karena itu, mekanisme
koordinasi antara DSN-MUI dan BI dalam menetapkan suatu kebijakan (fatwa dan
regulasi) perbankan Islam atau lembaga keuangan Islam mutlak harus
disempurnakan.[10]
Maka, diperlukanlah pengawasan yang
optimal bertujuan untuk memastikan bahwa setiap pegawai yang memiliki tanggung
jawab bisa melaksanakannya dengan sebaik mungkin. Kinerja mereka dikontrol dengan
sistem operasional dan prosedur yang berlaku, sehingga dapat disingkap
keselahan dan penyimpangan. Selanjutnya, diberikan tindakan korektif ataupun
arahan kepada pakem yang berlaku. Untuk menjalankan fungsi ini harus dipahami
aspek psikologi seorang pegawai. Wewenang dan tanggung jawab harus
didelegasikan secara adil sesui dengan kompetensi, tidak memberikan beban yang
berlebihan. Sehingga, kinerja mereka jelek dan tidak mampu merealisasikan
tujuan yang telah ditetapkan.[11]
[1] Poerwadarminta,
Kamus Umum Bahasa Indonesia. (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), h. 289.
[2]
Amir Machmud, Rukmana, Bank Syariah Teori, Kebijakan dan Studi Empiris di
Indonesia. (Jakarta: Erlangga, 2010), h. 24.
[3]
Muhammad Firdaus Dkk, Sistem dan Mekanisme Pengawasan Syariah. (Jakarta:
Renaisan, 2007), h. 16.
[4]
Karnaen A.Perwataatmadja, Apa Dan Bagaimana Bank Islam. (Yogyakarta:
Dana Bhakti Wakaf, 1992 ), h.2
[5]
Imam Wahyudi Dkk, Manajemen Risiko Bank Islam. (Jakarta Selatan: Salemba
Empat, 2013), h. 156.
[6] Muhammad
Firdaus Dkk, Op. Cit. h. 14.
[7]
Mustafa Edwin Nasution,Budi Setianto, Nurul Huda, Muhammad Arif Mufraeni dan Bay
Safta Utama, Pengenalan eksklusif Ekonomi Islam, (Jakarta: Kencana
Pranada MediaGrup,2010), h.293
[8]
Wirdyaningsih Dkk, Bank dan Asuransi Islam di Indonesia. (Jakarta:
Kencana Pranada Media, 2005). h.83
[9] Ibid
h.85
[10]Imam Wahyudi
Dkk. Op.Cit. h. 158
[11]
Ahmad Ibrahim Abu Sinn, Manejemen Syariah. (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2008 ), h.179.
Author: Mohammad
Mohammad is the founder of STC Network which offers Web Services and Online Business Solutions to clients around the globe. Read More →
Related Posts:
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar: