Senin, 18 September 2017
PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARIAH PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DI INDONESIA
Salah satu
asas hukum acara perdata adalah ”hakim wajib mengadili setiap perkara yang
diajukan kepadanya”.[1]
Asas ini bersumber dari ketentuan Pasal 10 Ayat 1 dan 2 UU No. 48 Tahun 2009
yang menyatakan bahwa :
1. Pengadilan tidak boleh menolak untuk
memeriksa, mengadili, dan memutus sesuatu perkara yang diajukan dengan dalih
bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan
mengadilinya
2. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1)
tidak menutup kemungkinan untuk usaha penyelesaian perkara perdata secara
perdamaian.[2]
Ketentuan pasal tersebut dapat dipahami bahwa
terhadap perkara-perkara perdata yang diajukan ke Pengadilan Agama, termasuk
dalam hal ini perkara ekonomi syari’ah yang diajukan ke Pengadilan Agama,
pengadilan tersebut tidak punya pilihan lain selain harus menyelesaikannya.
Tidak boleh menolak mengadili perkara yang diajukan kepadanya dengan alasan
hukum tidak ada atau tidak jelas karena hakim pengadilan justru yang dianggap
tahu hukum (ius curia novit).
Terhadap perkara-perkara yang diajukan ke
Pengadilan Agama, sesuai dengan ketentuan tersebut penyelesaiannya hanya ada
dua kemungkinan, yaitu : Pertama,
diselesaikan melalui perdamaian, atau apabila upaya damai tersebut tidak
berhasil ; Kedua, diselesaikan melalui proses persidangan (litigasi)
1. Penyelesaian
Melalui Mediasi
Suatu
kewajiban hakim apabila menerima suatu perkara adalah mendamaikan kedua belah
pihak dalam hukum acara perdata. Upaya damai yang harus dilakukan hakim dalam
rangka penyelesaian sengketa syariah khususnya di Pengadilan Agama tertuju pada
Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 01 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan. PERMA No. 01 Tahun 2008
adalah landasan yuridis dalam mengupayakan perdamaian di tingkat pertama.
Adanya PERMA ini membuat hakim lebih proaktif dalam mendorong kedua belah pihak
untuk berdamai, bukan sekedar formalitas saja yang hanya sekedar anjuran selama
ini. Perdamaian atau mediasi wajib dilakukan dan apabila tidak dilaksanakan
akan melanggar ketentuan Pasal 154 R.Bg/130 HIR yang tertuang didalam Pasal 2
ayat (3) PERMA, akibatnya putusan batal demi hukum (van rechtswege nietig).
Pasal 18 ayat (2) PERMA tersebut, baru dibolehkan memeriksa perkara melalui
proses hukum acara perdata biasa, apabila gagal proses mediasi sebagaimana yang
diperintahkan PERMA gagal menghasilkan
kesepakatan.[3]
Tindakan
yang harus dilakukan oleh hakim dalam mengupayakan damai berdasarkan ketentuan
Pasal 7 ayat 1 PERMA No. 1 Tahun 2008 yang berbunyi “Pada hari sidang yang
telah ditentukan yang dihadiri kedua belah pihak, hakim mewajibkan para pihak
untuk menempuh mediasi”. Dari ketentuan pasal tersebut dapat dipahami bahwa
tindakan pertama harus dilakukan oleh seorang hakim adalah mengupayakan
perdamaian di kedua belah pihak. Kemudian apabila tercapai kesepakatan unutuk
menyelesaikan perkara tersebut secara damai, maka kesepakatan itu dituangkan
dalam bentuk perjanjian (akta) perdamaian.[4]
Langkah yang
harus dilakukan hakim adalah mengupayakan perdamaian melalui mediasi sesuai
dengan ketentuan PERMA No. 01 Tahun 2008. Mediasi yang diterapkan dalam sistem
peradilan menurut ketentuan Pasal 1 butir 7 PERMA diartikan “cara penyelesaian
sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak
dengan dibantu oleh mediator.
Mediator
yang dimaksud dalam hal ini adalah:
a.
Penyelesaian sengketa melalui proses perundingan antar para pihak
b. Perundingan
para pihak tersebut dibantu oleh mediator
Kedudukan dan fungsi mediator dalam proses perundingan
tersebut menurut Pasal 1 butir 6 PERMA adalah sebagai pihak yang netral yang
akan membantu para pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai
kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau
memaksakan sebuah penyelesaian tertentu.
Tindakan seorang hakim setelah memerintahkan
para pihak agar terlebih dahulu menempuh proses mediasi adalah menyampaikan
penundaan proses persidangan perkara, hal ini sesuai dengan Pasal 7 ayat (5)
PERMA. Penundaan itu dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada kedua belah
pihak menempuh proses mediasi. Mediasi dilakukan apabila para pihak hadir dalam
persidangan yakni penggugat dan tergugat, namun apabila salah satu pihak
bersengketa tidak hadir upaya damai melalui mediasi tidak dapat dilakukan.[5]
Lamanya
proses penundaan persidangan perkara tersebut adalah selama 40 hari sejak
mediator terpilih atau ditunjuk oleh hakim,Pasal 13 ayat (3) PERMA. Dalam
proses mediasi, ada 2 hal terpenting pula yang harus diketahui yaitu mediasi
mencapai kesepakatan atau tidak mencapai kesepakatan. Apabila mediasi mencapai
kata kesepakatan, maka ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh para pihak,
yaitu:
a. Para
pihak dengan bantuan mediator wajib merumuskan secara tertulis kesepakatan yang
dicapai yang ditandatangi oleh para pihak dan mediator tersebut
b. Jika
dalam proses mediasi para pihak diwakili oleh kuasa hukum, para pihak wajib
menyatakan secara tertulis persetujuan atas kesepakatan yang dicapai
c. Para
pihak wajib menghadap kembali kepada hakim pada hari sidang yang telah
ditentukan untuk memberitahukan kesepakatan perdamaian
d. Para pihak dapat mengajukan kesepakatan
perdamaian kepada hakim untuk dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian
e. Jika
tidak, kesepakatan perdamaian harus memuat klausula pencabutan gugatan atau
klausula yang menyatakan perkara telah selesai.[6]
Terhadap
perjanjian perdamaian tersebut, apabila diminta oleh para pihak untuk dijadikan
putusan pengadilan, maka pengadilan agama (hakim) yang bersangkutan akan
menjatuhkan putusan sesuai dengan isi perjanjian tersebut, tanpa menambah atau
menguranginya,dengan diktum (amar) : “Menghukum para pihak untuk menaati dan
melaksanakan isi perjanjian perdamaian tersebut”.[7]
Selanjutnya, apabila mediasi tidak mencapai
kata kesepakatan atau gagal, maka mediator wajib melakukan:
a.
Menyatakan secara tertulis bahwa proses mediasi telah gagal
b.
Memberitahukan kegagalan tersebut kepada hakim.
Setelah pemberitahuan mengenai kegagalan
mediasi tersebut, hakim selanjutnya melanjutkan pemeriksaan perkara sesuai
dengan ketentuan hukum acara yang berlaku.
2. Penyelesaian Melalui Proses Persidangan
(Litigasi)
Di atas
telah dikemukakan bahwa apabila upaya penyelesaian melalui kedua bentuk
perdamaian tersebut tidak berhasil, dimana kedua belah pihak ternyata tidak
menemui kata sepakat untuk menyelesaikan perkaranya secara damai maka sesuai
dengan ketentuan Pasal 155 R.Bg atau Pasal 131 HIR ayat (1) dan (2) jo. Pasal
18 Ayat (2) PERMA hakim harus melanjutkan pemeriksaan perkara tersebut sesuai
dengan ketentuan hukum acara yang berlaku. Dengan demikian, perkara tersebut
akan diperiksa dan diselesaikan melalui proses persidangan (litigasi)
sebagaimana mestinya.[8]
Penyelesaian perkara di Peradilan Agama dilakukan
sesuai dengan ketentuan hukum acara perdata sebagaimana yang berlaku di
lingkungan peradilan umum.[9]
Hal ini sesuai dengan Pasal 54 Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 Tentang
Peradilan Agama, “Hukum acara yang berlaku pada pengadilan agama adalah hukum
acara perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan umum,
kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini”. Hukum acara
perdata tersebut sebagaimana yang berlaku di lingkungan peradilan umum, HIR
(Het Herzeine Inlandsche Reglement) dan R.Bg (Rechts Reglement Buitengewesten)
termasuk ketentuan yang diatur dalam Rv (Reglement of de Rechtsvordering), KUH
Perdata, Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman,
Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 Tentang Mahkamah Agung dan Undang-Undang No. 49
Tahun 2009 Tentang Peradilan Umum serta beberapa peraturan lain yang berkenaan
dengan itu.
Setelah upaya
damai ternyata tidak berhasil maka hakim melanjutkan proses pemeriksaan perkara
tersebut di persidangan sesuai dengan ketentuan hukum perdata dimaksud. Dengan
demikian dalam hal ini proses pemeriksaan perkara tersebut akan berjalan
sebagaimana lazimnya proses pemeriksaan perkara perdata di pengadilan yang
secara umum akan dimulai dengan pembacaan surat gugatan penggugat, lalu disusul
dengan proses menjawab yang akan diawali dengan jawaban dari pihak tergugat, kemudian
replik penggugat, dan terakhir duplik dari pihak tergugat.
Setelah
proses jawab menjawab tersebut selesai, lalu persidangan dilanjutkan dengan
acara pembuktian. Pada tahap pembuktian ini kedua belah pihak beperkara
masing-masing mengajukan bukti-buktinya guna mendukung dalil-dalil yang telah
dikemukakan di persidangan. Setelah masing-masing pihak mengajukan
bukti-buktinya, lalu tahap berikutnya adalah kesimpulan dari para pihak yang
merupakan tahap terakhir dari proses pemeriksaan perkara di persidangan.
Setelah
seluruh tahap pemeriksaan perkara di persidangan selesai, hakim melanjutkan
kerjanya untuk mengambil putusan dalam rangka mengadili atau memberikan
keadilan dalam perkara tersebut. Untuk itu tindakan selanjutnya yang harus
dilakukan hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara tersebut adalah melakukan
konstatir, mengkualifitsir, dan meng-konstituirguna menemukan hukum dan
menegakkan keadilan atas perkara tersebut untuk kemudian disusun dalam suatu
putusan (vonnis)hakim Adapun kerangka kerja dari ketiga hal tersebut sebagai
acuannya paling tidak seperti berikut, yaitu :
a. Mengkonstatir artinya menguji benar tidaknya
peristiwa atau fakta yang diajukan para pihak melalui pembuktian menggunakan
alat-alat bukti yang sah menurut hukum pembuktian. Hal ini harus diuraikan
secara sistematis dalam putusan hakim pada bagian duduk perkaranya. Kerangka
kerja berkaitan dengan hal ini secara garis besar meliputi :
1.
Memeriksa identitas para pihak, termasuk kuasa hukumnya jika ada
2. Mengupayakan perdamaian bagi para pihak
beperkara sesuai dengan ketentuan Pasal 154 R.Bg / 130 HIR dan / atau melalui
upaya mediasi sebagaimana PERMA No. 01 Tahun 2008 seperti diuraikan sebelumnya.
3.
Memeriksa syarat-syarat perkara tersebut sebagai perkara
4.
Memeriksa seluruh fakta atau peristiwa yang dikemukakan para pihak
5.
Memeriksa syarat-syarat dan unsur-unsur setiap fakta atau peristiwa
6. Memeriksa alat-alat bukti yang diajukan di
persidangan sesuai dengan tata cara pembuktian yang diatur dalam hukum acara
perdata
7.
Memeriksa jawaban, sangkalan, keberatan dan bukti-bukti pihak lawan
8.
Mendengar kesimpulan masing-masing pihak
9. Melakukan pemeriksaan di persidangan sesuai
dengan hukum acara yang berlaku
b. Mengkualifisir, artinya menilai peristiwa atau
fakta yang telah terbukti itu termasuk hubungan hukum apa dan menemukan
hukumnya bagi peristiwa yang telah dikonstatir. Hal ini harus diuraikan dalam
putusan hakim pada bagian pertimbangan hukumnya. Kerangka kerja dalam hal ini
secara garis besar meliputi :
1.
Merumuskan pokok perkara tersebut
2.
Mempertimbangkan syarat-syarat formil perkara
3.
Mempertimbangkan beban pembuktian
4. Mempertimbangkan keabsahan peristiwa atau
fakta sebagai fakta hukum
5. Mempertimbangkan
secara logis, kronologis, dan yuridis fakta-fakta hukum menurut hukum pembuktian
6. Mempertimbangkan jawaban, keberatan dan
sangkalansangkalan serta bukti-bukti lawan sesuai hukum pembuktian
7.
Menemukan hubungan hukum peristiwa-peristiwa atau fakta yang terbukti
dengan petitum
8.
Menemukan hukumnya, baik hukum tertulis maupun yang tidak tertulis
dengan menyebutkan sumber-sumbernya (lihat antara lain sumber-sumber hukum
materiil setelah pembahasan ini)
9. Mempertimbangkan biaya perkara.[10]
c. Mengkonstituir artinya menetapkan hukum atas
perkara tersebut. Dalam hal ini hakim :
1.
Menetapkan hukum atas perkara tersebut dalam amar putusannya
2.
Mengadili sebatas petitum yang ada, kecuali ditentukan lain oleh
undang-undang
3.
Menetapkan biaya perkara
Demikian
secara garis besar prosedur pemeriksaan perkara ekonomi syari’ah di pengadilan
agama sesuai dengan ketentuan hukum acara yang berlaku.[11]
Untuk itu tindakan selanjutnya yang harus
dilakukan hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara tersebut adalah melakukan
konstatir, mengkualifitsir, dan meng-konstituir guna menemukan hukum dan
menegakkan keadilan atas perkara tersebut untuk kemudian disusun dalam suatu
putusan (vonis)hakim.
[1] A. Mukti Arto,
Praktik Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, 1996), h. 13.
[2] Ibid,
h. 22
[3]
Syahril Abbas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat Dan Hukum Nasional,
(Jakarta: Kencana, 2011) h. 54
[4] Ibid,
h. 54
[5]
Syahril Abbas, Mediasi Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat Dan Hukum Nasional,
(Jakarta: Prenada Media Group, 2011), h. 311
[6] Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2007) h. 100
[7] M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan
Eksekusi Bidang Perdata, (Jakarta : Gramedia, 1989), h.277.
[8] Opcit,
h. 105
[9] Roihan
A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta, Rajawali Pers, 2007)
h. 10
[10] Ibid,
h. 139.
[11] A. Mukti Arto, Praktik Perkara Perdata Pada
Pengadilan Agama, (Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, ), hal. 33, 36-37.
Author: Mohammad
Mohammad is the founder of STC Network which offers Web Services and Online Business Solutions to clients around the globe. Read More →
Related Posts:
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar: