Senin, 18 September 2017
WAKAF DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DI INDONESIA
1. Pengertian
Wakaf
Ditinjau dari segi bahasa wakaf berasal dari bahasa Arab waqf yang berasal dari kata waqofa-yaqifu-waqfa
yang berarti ragu-ragu, berhenti, memperlihatkan, memperhatikan, meletakkan,
mengatakan, mengabdi, memahami, mencegah, menahan, dan tetap berdiri.[1]
Kata al-waqf adalah bentuk kata kerja dari ungkapan waqfu al-syai yang
berarti menahan sesuatu. Dalam pengertian secara umum wakaf adalah pemberian
yang pelaksanaannya dilakukan dengan jalan menahan (pemilikan) asal (tahbisul
ashli), lalu menjadikan manfaatnya berlaku umum. Sedangkan yang dimaksud
dengan tahbisul ashli ialah menahan barang yang diwakafkan itu agar
tidak diwariskan, disewakan dan digadaikan kepada orang lain. Cara pemanfaatannya,
menggunakannya adalah sesuai dengan kehendak pemberi wakaf (wakif) tanpa
imbalan.[2]
Jumhur
(yang termasuk di dalamnya adalah kedua sahabat Abu Hanifah, yakni Abbu Yusuf
dan Muhammad bin al-Hasan, golongan Syafi‟iyyah dan golongan Hanabilah) berpendapat
bahwa wakaf adalah menahan harta yang memungkinkan diambil manfaatnya, yang dimaksud
dengan istilah wakaf ialah menyerahkan sesuatu benda atau sebangsanya yang
kekal zatnya guna diambil manfaatnya bagi kepentingan umum dan atau khususnya.[3]
Menurut Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004, Pasal 1
ayat (1), pengertian Wakaf adalah perbuatan hukum Wakif untuk memisahkan
dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya
atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan
ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut Syari‟ah.[4]
Pengertian wakaf dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Pasal 1 ayat (1) tidak
disebutkan harta benda yang diwakafkan, akan tetapi dijelaskan pada Pasal 16
ayat (1, a) dan (1, b) yaitu benda tidak bergerak dan benda bergerak. Benda
tidak bergerak sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) huruf a. Meliputi hak
atas tanah dan bangunan, sedangkan benda bergerak disebutkan pada Pasal 16 ayat
(3) yaitu uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan, hak atas kekayaan
intelektual, hak sewa, dan benda bergerak lainnya sesuai dengan syariat dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara Indonesia.
Dalam
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Pasal 215 ayat (1), wakaf adalah perbuatan
hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian
dari miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadat
atau kepentingan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.[5]
Dari
beberapa pengertian di atas, penulis berkesimpulan bahwa wakaf adalah suatu
perbuatan hukum dengan perbuatan mana suatu barang atau barang keadaan telah
dikeluarkan atau diambil kegunaannya dalam lalu lintas masyarakat semula, guna
kepentingan seseorang maksudnya atau tujuannya.
2. Dasar
Hukum Wakaf
Wakaf
merupakan salah satu perbutan terpuji dan sangat bermanfaat dalam kehidupan
umat manusia. Secara umum tidak terdapat dalil yang menjadi dasar
disyariatkannya ibadah wakaf dalam Al-Quran yang menerangkan konsep wakaf
secara jelas. Oleh karena wakaf termasuk infaq fi sabilillah, maka dasar
yang digunakan para ulama dalam menerangkan konsep wakaf ini didasarkan pada
keumuman ayat-ayat al-Quran yang menjelaskan tentang infaq fi sabilillah.
Di antara ayat-ayat tersebut antara lain dalam Q.S Ali Imran ayat 92 yang
berbunyi :
`s9 (#qä9$oYs? §É9ø9$# 4Ó®Lym (#qà)ÏÿZè? $£JÏB cq6ÏtéB 4 $tBur (#qà)ÏÿZè? `ÏB &äóÓx« ¨bÎ*sù ©!$# ¾ÏmÎ/ ÒOÎ=tæ ÇÒËÈ
Artinya: Kamu sekali-kali tidak sampai kepada
kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu
cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya.[6](Q.S
Ali Imran:92)
Dalil lain yang
berkaitan dengan ibadah wakaf yaitu Q.S. Al-Baqarah ayat 261:
ã@sW¨B tûïÏ%©!$# tbqà)ÏÿZã óOßgs9ºuqøBr& Îû È@Î6y «!$# È@sVyJx. >p¬6ym ôMtFu;/Rr& yìö7y @Î/$uZy Îû Èe@ä. 7's#ç7/Yß èps($ÏiB 7p¬6ym 3 ª!$#ur ß#Ïè»Òã `yJÏ9 âä!$t±o 3 ª!$#ur ììźur íOÎ=tæ ÇËÏÊÈ
Artinya:
Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan
hartanya di jalan Allah[166] adalah serupa dengan sebutir benih yang
menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat
gandakan (ganjaran) bagi siapa yang dia kehendaki. dan Allah Maha luas
(karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.[7](Q.S
Al-Baqarah: 261).
Surat
Al-Hajj ayat 77, yakni:
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qãè2ö$# (#rßàfó$#ur (#rßç6ôã$#ur öNä3/u (#qè=yèøù$#ur uöyø9$# öNà6¯=yès9 cqßsÎ=øÿè? ) ÇÐÐÈ
Artinya: Hai
orang orang yang beriman, ruku’lah kamu, sujudlah kamu sembahlah Tuhanmu dan
perbuatan kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.[8]
(Q.S. Al-Hajj : 77).
عَنِ ابْنِ عُمَرٍ ُ قَالَ : أَصَابَ عُمَرَ رَضِيَ
االله أَرْضًا بَخَيْبَرَ فَأَتَى النَّبِي صَلَّى االلهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَسْتَأْمِرُهُ فِيْهَا فَقَالَ : يَارَسُوْلَ االلهِ اِنِّي أَصَبْتُ اَرْضًا
بِخَيْبَرَ لَمْ أُصِبْ مَالًا قَطُّ هُوَ اَنْفَسُ عِنْدِي مِنْهُ. فَالَ لَهُ
رَسُوْلُ االلهِ صَلَّى االلهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, اِنْ شِئْتَ حَبَسْتَ اَصْلَهَا
وَتَصَدَّقْتَ بِهَا, قاَلَ: فَتَصَدَّقَ بِهَا عُمَرُ: أَنَّهُ لَا
يُبَاعُ اَصْلُهَا, وَلَا يُوْرَثُ, وَلَا يُوْهَبُ, فَتَصَدَّقَ بِهَا فِي
الْفُقَرَاءِ وَفِي الْقُرْبَى وَفِي الرِّقَابِ وَفِي سَبِيْلِ االلهِ وَابْنِ
السَّبِيْلِ وَالضَّيْفِ لَا جُنَاحَ عَليَ مَنْ وَ لِيَهَا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا
بِالْمَعْرُوْفِ وَيُطْعِمُ غَيْرَ مُتَمَوَّلٍ ماَلًا (رواه متفق عليه واللفظ
مسلم) وللبخاري : تَصَدَّقَ بِأَصْلِهَا
لَا يُبَاعُ وَلَا يُوْهَبُ وَلَكِنْ يُنْفِقَ ثَمَرَهُ.
Artinya
: Dari Ibnu Umar ra. Berkata, bahwa sahabat Umar ra. Memperoleh sebidang tanah
di Khaibar, kemudian menghadap kepada Rasulullah untuk memohon petunjuk. Umar
berkata: Ya Rasulullah, saya mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, saya belum
pernah mendapatkan harta sebaik itu, maka apa yang engkau perintahkan
kepadaku?, Rasulullah menjawab: bila kamu suka, kamu tahan (pokoknya) tanah
itu, dan kamu sedekahkan (hasilnya). Kemudian Umar melakukan s{adaqah, tidak
dijual, tidak dihibahkan dan tidak pula diwariskan. Berkata Ibnu Umar: Umar
menyedekahkannya kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, budak belia,
sabilillah, ibnu sabil dan tamu. Dan tidak mengapa atau tidak dilarang bagi
yang menguasai tanah wakaf itu (pengurusnya) makan dari hasilnya dengan cara
baik (sepantasnya) atau makan dengan tidak bermaksud menumpuk harta. (HR.
Muttaffaqun ‘alaih. Susunan matan tersebut menurut riwayat Muslim)[9]
Riwayat Bukhari itu memberikan pengertian bahwa kalimat “pokoknya
tidak dijual dan tidak dihibahkan” itu dari sabda Rasulullah saw. Dan
sesungguhnya inilah keadaan wakaf yang sebenarnya. Sabda Rasulullah itu menolak
atau membantah pendapat Abu Hanifah yang membolehkan menjual wakaf. Kata Abu
Yusuf “Sesungguhnya seandainya hadis| ini sampai kepada Abu Hanifah niscaya
beliau berpendapat berdasarkan hadis| tersebut dan pasti beliau menarik kembali
yang membolehkan jual beli harta wakaf”.[10]
Berdasarkan ayat Al-Qur’an dan Hadits yang dikemukakan di atas, ada
anjuran yang mengandung perintah yang tidak harus dilakukan. Perintah wakaf
disini tidak menunjukkan wajib, sebab wakaf kalau dihukumi wajib, berarti
memaksa kepada orang yang mempunyai harta untuk berwakaf. Perintah ini hanya
sunnat, yang dapat memberikan dorongan kepada orang-orang yang mempunyai harta
untuk beribadah melalui wakaf. Maka dapat dikemukakan bahwa status hukum wakaf
adalah sunnat, yaitu merupakan perbuatan yang sangat mulia, dan akan diberi
pahala atau imbalan bagi siapa yang melakukannya. Meskipun demikian, tidak
dibebani dosa jika tidak melakukannya. Dengan demikian perbuatan wakaf adalah
merupakan anjuran dalam syari’at Islam.[11]
Di
Indonesia dasar hukum wakaf di dalam Peraturan Perundang-undangan dapat ditemui
dalam :
a. Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960.
b. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Tata Cara
Perwakafan Tanah Milik.
c. Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978 tentang Perincian
Terhadap PP Nomor 28 Tahun 1977 tentang Tata Cara Perwakafan Tanah Milik.
d. Instruksi Bersama Menteri Agama Republik Indonesia dan Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1990, Nomor 24 Tahun 1990 tentang
Sertifikasi Tanah Wakaf.
e. Badan Pertanahan Nasional Nomor 630.1-2782 Tentang Pelaksanaan
Penyertifikatan Tanah Wakaf.
f. Instruksi Presidan Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum
Islam.
g. Undang-Undang Nomor 41
Tahun 2004 Tentang Wakaf.
h. Peraturan Pemerintah RI No. 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan UU
Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.
3. Rukun
dan Syarat Wakaf
a.
Rukun Wakaf
Rukun adalah sesuatu yang merupakan sendi utama dan
unsur pokok dalam pembentukan sesuatu hal. Perkataan rukun berasal dari bahasa
Arab “ruknun” yang berarti tiang, penopang atau sandaran.[12]
Dengan kata lain, sesuatu yang karenanya baru ada hukum dan dengan ketiadaannya
tidak akan ada hukum.[13]
Atau dengan kata lain rukun adalah sesuatu yang harus dipenuhi untuk sahnya
suatu perbuatan.
Dengan
demikian, sempurna tidaknya wakaf sangat dipengaruhi oleh rukun-rukun yang ada
dalam perbuatan wakaf tersebut. Masing-masing rukun tersebut harus saling menopang
satu dengan yang lainnya. Karena keberadaan yang satu sangat menentukan
keberadaan yang lainnya. Wakaf dikatakan sah, maka harus memenuhi
ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1) Wakif (واقف)
Wakif adalah orang atau orang-orang ataupun badan hukum yang
mewakafkan benda miliknya (KHI Pasal 215 ayat (1)).[14]
Adapun syarat-syarat wakif yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut:
a) Cakap berbuat tabarru. Berhak berbuat kebaikan, sekalipun ia
bukan muslim.[15]
b) Kehendak sendiri tidak sah bila dipaksa.
c) Sehat akalnya dan dalam keadaan sadar.
d) Telah mencapai umur (balig) dan cakap.
e) Pemilik sah dari barang (benda) wakaf.[16]
2) Maukuf (موقوف)
Maukuf adalah benda yang diwakafkan. Benda wakaf adalah
segala benda, baik benda bergerak atau benda tidak bergerak yang memiliki daya
tahan dan tidak hanya dapat sekali pakai serta bernilai menurut ajaran Islam.[17]
Adapun syarat-syarat maukuf adalah sebagai berikut:
a) Benda wakaf dapat dimanfaatkan untuk jangka panjang, tidak
sekali pakai
b) Benda wakaf dapat berupa milik kelompok atau badan hukum
c) Hak milik wakif jelas batas-batas kepemilikannya, selain itu
benda wakaf merupakan benda yang bebas dari segala pembebanan, ikatan, sitaan
dan sengketa
d) Benda wakaf itu tidak dapat dimiliki dan dilimpahkan
kepemilikannya
e) Benda wakaf dapat dialihkan jika hanya jelas-jelas untuk
maslahat yang lebih besar
f) Benda wakaf tidak dapat diperjualbelikan, dihibahkan atau
diwariskan.[18]
3) Maukuf Alaih atau Tujuan Wakaf
Seharusnya wakif menentukan tujuan ia mewakafkan harta benda
miliknya. Apakah diwakafkan hartanya itu untuk menolong keluarganya sendiri,
untuk fakir miskin, sabilillah dan lain-lain, atau diwakafkan untuk kepentingan
umum. Yang utama adalah bahwa wakaf itu diperuntukkan pada kepentingan umum.
Yang jelas, syarat dari tujuan wakaf adalah untuk kebaikan, mencari ridho Allah
SWT dan mendekatkan diri kepada-Nya. Kegunaan bisa untuk sarana ibadah murni,
seperti pembangunan masjid, mushola dan pesantren atau juga dapat berbentuk
sarana sosial keagamaan lainnya yang lebih besar manfaatnya.
4) Sighat atau Ikrar/Pernyataan Wakaf
Sighat adalah pernyataan wakif sebagai tanda penyerahan
barang atau benda yang diwakafkan itu, dapat dilakukan dengan lisan maupun
melalui tulisan.[19]
Dalam KHI Pasal 218 menjelaskan pihak yang mewakafkan harus mengikrarkan
kehendaknya secara jelas dan tegas kepada nadzir di hadapan Pejabat Pembuat
Akta Ikrar Wakaf sebagaimana dimaksud dalam pasal 215 ayat (6), yang kemudian
menuangkannya dalam bentuk Ikrar Wakaf, dengan disaksikan oleh sekuran-kurangnya
2 orang saksi.[20]
Dengan pernyataan itu, hilanglah hak wakif atas benda yang diwakafkannya. Benda
itu kembali menjadi hak milik mutlak Allah yang dimanfaatkan oleh orang atau
orang-orang yang disebut dalam ikrar wakaf tersebut.[21]
Karena tindakan mewakafkan sesuatu itu di pandang sebagai
perbuatan hukum sepihak, maka dengan pernyataan wakif yang merupakan ijab,
perwakafan telah terjadi.[22]
5) Nazhir Wakaf atau Pengelola Wakaf
Sesuai dengan tujuan wakaf yaitu untuk melestarikan manfaat
dari benda wakaf, maka kehadiran nazhir sangat diperlukan. Nazhir adalah orang
yang diberi tugas untuk mengelola wakaf. Nazhir berarti orang yang berhak untuk
bertindak atas harta wakaf, baik untuk mengurusnya, memeliharanya, dan
mendistribusikan hasil wakaf kepada orang yang berhak menerimanya.[23]
b. Syarat Wakaf
Menurut hukum, untuk sahnya amalan wakaf diperlukan syarat-syarat sebagai berikut:
1) Wakaf harus secara tunai
Wakaf harus dilakukan secara tunai, sebab pernyataan wakaf
berakibat lepasnya hak milik seketika setelah wakif menyatakan berwakaf.[24]
2) Tujuan wakaf harus jelas
Oleh karena itu bila
seseorang mewakafkan hartanya tanpa menyebutkan tujuannya sama sekali, maka di
pandang tidak sah. Meskipun demikian, jika wakif mengesahkan wakafnya itu
kepada suatu badan hukum, maka ia di pandang sah. Sebab penggunaan harta wakaf
menjadi tanggung jawab badan hukum.[25]
3) Wakaf yang sah harus dilaksanakan
Wakaf yang sah itu
wajib dilaksanakan, dengan syarat tidak boleh ada khiyar (membatalkan atau
melangsungkan wakaf yang telah dinyatakan) sebab pernyataan wakaf berlangsung
seketika dan untuk selamanya.[26]
Dalam hubungannya dengan syarat-syarat wakaf di atas, apabila wakif mengajukan
syarat mengenai harta wakaf, maka syarat itu harus dihormati sepanjang tidak
bertentangan dengan syariat Islam.
4. Macam-macam
Wakaf
Wakaf
itu terdiri dari dua macam yaitu :
a. Wakaf ahli atau
wakaf keluarga atau wakaf khusus
Yang
dimaksud dengan wakaf ahli adalah wakaf yang ditujukan kepada orang-orang tertentu, seseorang atau
lebih, baik keluarga wakif atau bukan. Di beberapa negara yang mayoritas
penduduknya beragama Islam, setelah berlangsungnya wakaf ahli ini selama
puluhan tahun menimbulkan masalah, terutama kalau wakaf ahli ini berupa tanah
pertanian. Namun kemudian terjadi penyalahgunaan, misalnya :
1)
Menjadikan wakaf ahli sebagai alat untuk menghindari pembagian atau pemecahan
harta kekayaan pada ahli waris yang berhak menerima setelah wakif meninggal
dunia.
2)
Wakaf ahli dijadikan alat untuk mengelak tuntutan kreditur terhadap hutang-hutang
yang dibuat oleh seseorang sebelum ia mewakafkan tanahnya itu.[27]
Menghadapi
kenyataan semacam itu, di beberapa negara yang bidang perwakafannya telah
mempunyai sejarah lama, lembaga wakaf ahli itu diadakan peninjauan kembali yang
hasilnya dipertimbangkan lebih baik lembaga wakaf ahli ini dihapuskan.[28] Sedangkan
untuk sementara waktu wakaf ahli dapat diambil menjadi jalan keluar untuk
mempertemukan ketentuan-ketentuan hukum adat di beberapa daerah di Indonesia
dengan ketentuan-ketentuan hukum Islam yaitu mengenai macam-macam harta yang menurut
hukum adat dipertahankan menjadi harta keluarga secara kolektif, tidak
diwariskan kepada anak keturunan secara individual seperti tanah pusaka di Minangkabau,
tanah dati di Ambon, barang-barang kelakeran di Sulawesi dan lain sebagainya.[29]
b.
Wakaf Umum atau Wakaf Khairi
Yang
dimaksud dengan wakaf umum adalah wakaf yang sejak semula ditujukan untuk
kepentingan umum, tidak dikhususkan untuk orang-orang tertentu seperti
mewakafkan tanah untuk mendirikan masjid, mewakafkan sebidang kebun yang
hasilnya untuk dapat dimanfaatkan untuk membina suatu pengajian dan sebagainya.
Wakaf umum inilah yang perlu digalakkan dan dianjurkan untuk dilakukan kaum muslimin,
karena wakaf ini dapat dijadikan modal untuk menegakkan agama Allah, membina
sarana keagamaan, membangun sekolah, menolong fakir miskin, anak yatim piatu,
orang terlantar, dan sebagainya. Macam wakaf inilah yang pahalanya terus
menerus mengalir dan diperoleh wakif sekalipun sudah meninggal dunia.
5. Pelaksanaan
dan Pendaftaran harta benda wakaf
Perwakafan tanah dapat dilaksanakan dengan tertib,
maka UU Nomor 41 Tahun 2004 menentukan bagaimana tata cara perwakafan tanah
milik sebagai berikut: PPAIW atas nama naz|ir mendaftarkan harta benda wakaf
kepada Instansi yang berwenang paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak akta
ikrar wakaf ditanda tangani (pasal 32).[30]
Dalam pendaftaran harta benda wakaf sebagaimana dimaksud pasal 32, PPAIW menyerahkan:
a.
Salinan akta ikrar wakaf;
b.
Surat-surat dan/atau
bukti-bukti kepemilikan dan dokumen terkait lainnya. (pasal 33).[31]
Instansi yang berwenang menerbitkan bukti pendaftaran
harta benda wakaf. (pasal 34) Bukti pendaftaran harta benda wakaf sebagaimana
dimaksud dalam pasal 34 disampaikan oleh PPAIW kepada naz|ir (pasal 35)
Dalam hal harta
benda wakaf ditukar atau diubah peruntukannya. Nazhir melalui PPAIW
mendaftarkan kembali kepada instansi yang berwenang dan badan wakaf Indonesia
atas harta benda wakaf yang ditukar atau diubah peruntukannya sesuai dengan
ketentuan yang berlaku dalam tata cara pendaftaran harta benda wakaf.(pasal 36)[32]
Menteri dan Badan Wakaf Indonesia mengadministrasikan
pendaftaran harta benda wakaf. (pasal 37) Menteri dan Badan Wakaf Indonesia mengumumkan
pada masyarakat harta benda wakaf yang telah terdaftar. (pasal 38) Ketentuan lebih lanjut mengenai PPAIW, tata
cara pendaftaran dan pengumuman harta benda wakaf diatur dengan Peraturan
Pemerintah. (pasal 39)[33]
Tata cara pendaftaran harta benda wakaf lebih rinci
diatur pada Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006 yaitu:
Pasal 38 (1)
Pendaftaran harta benda wakaf tidak bergerak berupa tanah dilaksanakan
berdasarkan AIW (Akta Ikrar Wakaf); (2) Selain persyaratan sebagimana dimaksud
pada ayat (1) dilampirkan persyaratan sebagai berikut: a. Sertifikat hak atas
tanah atau sertifikat hak atas milik atas satuan rurnah susun yang bersangkutan
atau tanda bukti pemilikan tanah lainnya; b. Surat pemyataan dari yang
bersangkutan bahwa tanahnya tidak dalam sengketa, perkara, sitaan, dan tidak
dijaminkan yang diketahui oleh kepala desa atau lurah atau sebutan lain yang
setingkat, yang diperkuat oleh Camat setempat; c. izin dari pejabat yang
berwenang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan dalam hal tanahnya
diperoleh dari instansi pemerintah, pemerintah daerah, BUMN/BUMD dan
pemerintahan desa atau sebutan lain yang setingkat dengan itu; d. Izin dari
pejabat bidang pertanahan apabila dalam sertifikat dan keputusan pemberian
haknya diperlukan izin pelepasan/peralihan; e. Izin dari pemegang hak
pengelolaan atau hak milik dalam hal hak guna bangunan atau hak pakai yang
diwakafkan di atas hak pengelolaan atau hak milik.[34]
Pasal 39 (1)
Pendaftaran sertifikat tanah wakaf dilakukan berdasarkan AIW dengan tata cara sebagai
berikut: a. Terhadap tanah yang sudah berstatus sebagai hak milik didaftarkan
menjadi tanah wakaf atas nama naz|ir; b. Terhadap tanah hak milik yang
diwakafkan hanya sebagian dari luas keseluruan harus dilakukan pemecahan
serifikat hak milik terlebih dahulu, kemudian didaftarkan menjadi tanah wakaf
atas nama Naz|ir; c. Terhadap tanah yang belum berstatus hak milik yang berasal
dari tanah milik dapat langsung didaftarkan menjadi tanah wakaf atas nama
naz|ir, d. Terhadap hak guna bangunan, hak guna usaha atau hak pakai di atas
tanah Negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 17 ayat 1 huruf b yang telah
mendapatkan persetujuan pelepasan hak dari pejabat yang berwenang dibidang
pertanahan didaftarkan menjadi tanah wakaf atas nama naz|ir, e. Terhadap tanah Negara
yang diatasnya berdiri bangunan masjid, musholla, makam, didaftarkan menjadi
tanah wakaf atas nama naz|ir, f. Pejabat yang berwenang di bidang pertanahan
Kabupaten/Kota setempat mencatat perwakafan tanah yang bersangkutan pada buku
tanah dan sertifikatnya. (2). Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pendaftaran tanah wakaf diatur dalam peraturan Menteri setelah mendapat saran
dan pertimbangan dari pejabat yang berwenang di bidang pertanahan.[35]
Dengan demikian untuk sempurnanya perwakafan tanah,
kita biasa melihat adanya 4 pokok kegiatan yang berurutan dalam proses
perwakafan tanah, yaitu:
a. Persiapan (menyiapkan dokumen kepemilikan tanah oleh wakif dan
dokumen penunjukan/pengangkatan nadzir);
b. Ikrar wakaf secara lisan dari wakif kepada nadzir di hadapan
PPAIW di KUA dan disaksikan oleh dua orang saksi;
c. Penerbitan akta ikrar wakaf oleh PPAIW di KUA dan permohonan
Pendaftaran Tanah Wakaf oleh PPAIW ke Kepala Kantor pertanahan (BPN)
Kabupaten/Kota setempat;
d. Proses pendaftaran tanah wakaf dan penerbitan sertifikat tanah
wakaf oleh Kantor Pertanahan Nasional (BPN).[36]
[1] Farida
Prihartin dkk, Hukum Islam, Zakat dan Waqaf, Teori dan Prakteknya di
Indonesia, (Papas Sinar Sinanti dan Fak. Hukum UI, Jakarta 2005), h.
108-109.
[2] Departeman
Agama RI,2005, Paradigma Baru Wakaf di Indonesia, (Direktorat
Pengembangan Zakat dan Wakaf Depag, Jakarta), h. 1-2.
[3]
Farida Prihatini, dkk, Hukum Zakat dan Wakaf Teori dan Prakteknya di
Indonesia, ( Jakarta: Papas Sinar Sinanti, 2005), h. 109.
[4] Indonesia,
Pasal 1 ayat (1), Undang-Undang Repubik Indonesia Nomor 41 tahun 2004 Tentang
Wakaf, Lembaran Negara Nomor 159.
[5] Op,
Cit h. 113.
[6] Kementerian
Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemah, Tafsir
Perkata, (Bandung: PT. Sygma Examedia Arkenleema, 2010) h. 129
[7] Ibid, h. 19
[8] Ibid, h. 209
[9] Imam Abi
Muslim Ibnu Al-Hajj, Sahih Muslim, Juz 2, (Beirut-Libanon: Dar al- Kitab
al- ‘Alamiyah, tt). h. 14.
[10] Muhammad Faiz
Almath, Hadits-Hadits Wakaf, (Jakarta: Gramedia, 2005) h. 56
[11] Chairuman
Pasaribu, Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, (Jakarta:
Sinar Grafika, Cet-02, 1996), h. 106-107.
[12] Pusat Bahasa
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi ke III,
(Jakarta: Gramedia, 2005) h. 757.
[13] Satria Efendi,
Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 62
[14] Departemen
Agama Republik Indonesia, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, pasal 215 ayat
(1), h. 95.
[15] Sulaiman
Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Alqensindo, 2007), h. 341.
[16] Ibid, h.
343.
[17] Kompilasi
Hukum Islam, h. 95.
[18] Ahmad Rofiq, Op.Cit.,
h. 493.
[19] Abdul Halim, Hukum Perwakafan di Indonesia,
(Jakarta: Ciputat Press, 2005), h. 20.
[20] Pengantar
Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Op. Cit., h.143.
[21] Abdul Halim
Op. Cit h. 87.
[22] Ibid.
[23] Said Agil
Husin Al-Munawir, Hukum Islam Dan Pluralitas Sosial, (Jakarta:
Penamadani), h. 151.
[24] Ibid., h.
30.
[25] Ibid.
[26] Muhammad Daud
Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, (Jakarta: UI-Press, 1988), h.
45
[27] Ibid,
h. 90.
[28]
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam Tentang Wakaf Ijarah dan Syirkah, (Bandung,
Alma Arif, 1987), h. 14.
[29] Mohammad Daud
Ali, Op.Cit, h. 64.
[30] Undang-undang
Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, pasal 32
[31] Ibid.,
pasal 33
[32] Ibid.,
pasal 36
[33] Ibid.,
[34] Peraturan
Pemerintah No. 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 41 Tahun
2004 Tentang wakaf, pasal 38
[35] Ibid.,
pasal 39 33
[36] Herman Hermit,
Cara Memperoleh Sertifikat Tanah Wakaf,(Bandung : CV. Mandar Maju, 2007)
, h. 21
Author: Mohammad
Mohammad is the founder of STC Network which offers Web Services and Online Business Solutions to clients around the globe. Read More →
Related Posts:
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar: